KISAH PERJALANAN HIDUP SEORANG INSAN BIA

TENTANG PENULIS

TEGUH SANTOSO dilahirkan di sebuah desa kecil yaitu: Sarirejo, Dukuh Galsari, Kecamatan Ngaringan, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada tahun 1996, lulus dari SDN 02 Sarirejo di tempat kelahirannya, kemudian meneruskan sekolahnya ke MTs AL-HAMIDAH di daerah Kuwu, Kecamatan Kradenan dan dinyatakan lulus pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2004 lulus dari MAN 1 Semarang. Pada tahun 2008 telah berhasil menyelesaikan studi D3 Bahasa Jepang kemudian pada tahun 2012 berhasil menyelesaikan studinya ke jenjang S1 Bahasa Jepang Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini beliau sedang menempuh pendidikan S2 Linguistik Jepang di Universitas Padjadjaran, Bandung. Cita-citanya adalah menjadi seorang yang ahli di bidang bahasa. Pada tahun 2007 mengajar bahasa Jepang di SMP-SMA Semesta, Semarang dan di LPK Merdeka Semarang. Pada tahun 2009-2010 mengajar bahasa Jepang di LPK Aishiro Gakuen, dan SMK Pembangunan, Semarang. Pada tahun 2011-2013 di LPK Seikou, Semarang dan pada tahun 2013 sampai sekarang menjadi staf pengajar luar biasa untuk bidang Bahasa Jepang di STIKES AN-NUR Purwodadi, Grobogan Jawa Tengah. Email : entossjp@gmail.com. Karya yang sudah diterbitkannya antara lain:

1. Dasar-Dasar Morfologi Bahasa Jepang Edisi 1 (2015) Penerbit Irsyadul Fikr

2. Dasar-Dasar Morfologi Bahasa Jepang Edisi 2 (2015), Penerbit Morfalingua

3. Konsep Waktu Masyarakat Kejawen: Kajian Antropolinguistik (Proseding SETALI UPI, 2015).

4. Kajian Kontrastif: Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-usuk Bahasa Jawa (2015) Penerbit Morfalingua

MASA KECIL TEGAR Bagian Pertama

Di pagi yang cerah itu, Tegar bermain bersama dengan teman-teman seusianya. Tegar dan teman-temannya waktu itu kebetulan sedang bermain petak umpet. Pada saat itu mereka hanya bermain bertiga saja. Tegar ditemani oleh Darsih, Temin dan Yatmi. Saat temannya Tegar bernama si Temin sedang mulai berhitung sebagai tanda permainan telah dimulai, maka Tegar dan teman-teman lainnya pun segera mencari tempat untuk bersembunyi. Temannya yang bernama Sudarsih bersembunyi di rumahnya sendiri karena rumahnya hanya Di pagi yang cerah itu, Tegar bermain bersama dengan teman-teman seusianya. Tegar dan teman-temannya waktu itu kebetulan sedang bermain petak umpet. Pada saat itu mereka hanya bermain bertiga saja. Tegar ditemani oleh Darsih, Temin dan Yatmi. Saat temannya Tegar bernama si Temin sedang mulai berhitung sebagai tanda permainan telah dimulai, maka Tegar dan teman-teman lainnya pun segera mencari tempat untuk bersembunyi. Temannya yang bernama Sudarsih bersembunyi di rumahnya sendiri karena rumahnya hanya

Waktu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), saat mandi, Tegar memang suka untuk berendam (kungkum) di ember bulat berwarna hitam yang dipenuhi air. Kalau sudah masuk ember tersebut Tegar pasti malas-malasan untuk menyudahi kegemarannya itu. Baru kalau sudah merasa kedinginan dia akan menyudahinya sendiri. Apabila belum puas kungkum sudah dipaksa oleh kakak atau ibunya untuk segera menyudahi mandinya, Tegar seringkali teriak-teriak sambil menangis pertanda bahwa dia menolak permintaan mereka.

Saat itu si Yatmi bersembunyi di kamar mandi sambil mengambili air memakai gayung. Karena waktu itu kebetulan air di bak mandi tinggal sedikit, maka Tegar langsung meminta bantuan Yatmi untuk memenuhi ember bulat kesayangannya agar dipenuhi dengan air. Dan saat itu si Lasiman belum sempat mengambil air ke sumur untuk mengisi penuh bak mandi karena kebetulan masih ada tugas yang lainnya. Saat itu juga kebetulan rumah Tegar sedang sepi. Ayah dan ibunya sedang pergi keluar rumah karena ada urusan di kantor. Sedangkan kakak-kakaknya belum pulang dari sekolahnya. Para pekerja yang bekerja di rumahnya entah pada pergi kemana waktu itu. Tidak biasanya di rumah tampak sepi dengan penghuni orang dewasa. Waktu itu hanya ada Tegar dan teman-temannya saja yang lagi asyik bermain petak umpet bersama.

Saat Tegar masih bersembunyi di kamar, dia masih mendengar Yatmi beberapa kali mengambili air dengan gayung. Setelah beberapa saat kemudian terdengar suara: ’’Mak ceblung ’’... di kamar mandi. Setelah itu terdengar suara tangisan dari Yatmi. Setelah itu Tegar memeriksa dengan sambil mengintip dari celah lubang dinding yang dia temukan di kamarnya. Ternyata tampak dari celah dinding kamarnya si Yatmi sudah tercebur di bak mandi yang kedalamannya sekitar 1,5 meter. Tegar bukannya membantunya tetapi dia malah langsung kabur untuk bersembunyi ke tempat lain agar susah dicari orang karena ketakutan. Untungnya air di bak mandi waktu itu tinggal sedikit, kalau airnya banyak atau penuh mah bisa mati tuh anak... Bak mandi di kamar mandinya terbuat dari satu bis (gorong-gorong) bahan untuk membuat sumur. Makanya untuk anak-anak seusia mereka saat itu bak mandi seukuran tersebut cukup dalam kalau ingin masuk di bak mandi tersebut. Apalagi kalau sudah masuk di bak mandi itu, pasti akan butuh bantuan orang dewasa untuk bisa naik keatas.

Kemudian, si Temin mendatangi sumber suara tangisan tersebut. Temin juga tidak bisa membantu Yatmi untuk keluar dari bak mandi tersebut. Kemudian Temin berlari sambil berteriak-teriak begini: Wooiiiiii.......!!! Yatmi nangis kejegor jedhing...Yatmi nangis kejegor jedhing... ‘Wooiiiiii......!!! Yatmi nangis kecebur bak mandi....Yatmi nangis kecebur bak mandi... ’ Itulah teriakan Temin waktu itu dan akhirnya di dengar oleh ibu dan bapaknya Yatmi. Kemudian orang tuanya Yatmi datang ke kamar mandi Tegar dan mengangkat Yatmi dari bak mandi tersebut. Setelah itu, ayahnya Yatmi bertanya kepada Temin begini, Ayahnya Yatmi: ’’Lah Tegar wonge saiki ngendi Min?’’ ‘Lah, Tegar sekarang dimana Min?’ Temin pun menjawab: ’’Wonge lagi dhelik Lik... ‘Orangnya lagi sembunyi, Om...’ Ayahnya Yatmi: ’’Dhelik nang endi jajal! Golekona!’’ ‘Sembunyi dimana coba! Carikan! ’

Tegar yang masih bersembunyi karena ketakutan tidak berani untuk keluar dari persembunyiannya. Akhirnya setelah itu ayah dan ibunya Tegar pulang. Orang tua Yatmi kemudian menceritakan semua kejadian tadi pagi yang sudah menimpa anaknya. Tegar pun dimarahi oleh ayah dan ibunya. Apalagi kakak Tegar juga ikut memarahinya. Akibat ada kejadian itu Yatmi dilarang keras oleh orang tuanya untuk bermain dengannya lagi setelah ada kejadian itu.

Sambil dengan berjalannya waktu, akhirnya orang tuanya Yatmi sudah melupakan dan memaafkan kesalahan dan keteledoran Tegar kepada anaknya sehingga terjadi kecelakaan tersebut. Tegar pun kembali melakukan kegiatan seperti biasanya yaitu bersekolah di TK dan bermain setelah pulang dari sekolah. Saat masih duduk di bangku TK dia belajar mulai jam 07.00 sampai jam 09.00 WIB. Kebetulan saat Yatmi tercebur di bak mandi di rumahnya waktu itu sekolah mereka sedang diliburkan karena gurunya lagi ada kegiatan rapat bersama dengan guru-guru lainnya.

Teman-teman yang biasa bermain bersama saat Tegar masih kecil lumayan banyak. Mereka adalah Sudarsih, Suratmin, Suyatmi, Darno, Darni sepupu Tegar, Tarmi, Hartini, Sukahar, Saelan, Sugiono, dan lainnya. Jenis permainan untuk bermaian bersama saat Tegar masih kecil pun beragam, antara lain : bermain kelereng, dam-daman, benthik, gejik, jithungan, kasti, gobak sodor, congklak, bekel, srobot-srobotan, cublak-cublak suweng dan jenis permainan tradisional lainnya.

Sedangkan Tegar saat masih duduk di bangku sekolah TK dia terkenal sebagai anak pendiam. Tidak akan mau ikut bermain kalau tidak ada yang mengajaknya bermain. Saat itu Tegar mempunyai teman akrab yang bernama Matohari dan Teguh Tri Nugoho putra dari

kepala sekolah SDN Sarirejo 02 waktu itu yang ditakuti oleh banyak siswa dan siswi karena terkenal galak. Beliau adalah Pak Parno. Kalau ada seorang siswa atau siswi yang kedapatan nakal dan ditangani oleh beliau tak lupa kepala sekolah tersebut untuk main tangan saat memberikan hukuman kepada siswa atau siswi tersebut. Entah itu mereka akan mendapat cubitan yang sakit di tangan, jambakan rambut, mendapat jeweran yang nyeri di telinga atau mendapat tamparan yang pedas di pipinya atau yang lainnya. Meskipun seringkali siswa mendapat hukuman seperti itu, tidak ada pihak orang tua siswa yang sampai berani untuk melaporkannya ke pihak berwajib. Karena semua itu memang sudah dianggap biasa bagi orangtua siswa dan termasuk didikan yang wajar-wajar saja. Tidak seperti jaman sekarang ada peraturan hukum yang tidak boleh menyakiti atau menganiaya anak-anak dibawah umur. Kalau pihak orang tuanya tidak terima anaknya disakiti atau dianiaya oleh oknum guru di sekolah maka pihak orangtua siswa korban bisa melaporkan oknum guru tersebut ke pihak berwajib. Karena ada undang-undang tentang perlindungan anak.

Pada masa kecilku, aku (Tegar) sering melihat anak-anak yang mendapat perlakuan seperti itu, tapi toh orang tua anak tersebut juga tidak merasa anaknya disakiti atau dianiaya. Buktinya? Tidak ada pihak orang tua yang sampai berurusan ke pihak berwajib saat itu apabila ada anak mereka diperlakukan oleh oknum kepala sekolah tersebut. Karena baik dari pihak orang tua kandung siswa yang disakiti tersebut memang tidak ada niat untuk melapor atau memang tidak tahu bagaimana cara melaporkannya ke pihak berwajib kah atau memang menganggap hal tersebut itu semua merupakan bagian didikan dari pihak sekolah agar putranya menjadi lebih disiplin atau gimana aku pun kurang memahaminya.

Setelah Tegar lulus dari TK dia pun beranjak naik ke kelas satu SD. Saat itu, bangunan sekolah TK dan SD jaraknya masih berada di lingkungan satu tempat. Nama sekolah TK dan SD dinamai dengan TK Sarirejo dan nama sekolah dasarnya dinamai SDN

02 Sarirejo karena masih terletak di dusun Galsari desa Sarirejo Kecamatan Ngaringan. Selama duduk di bangku SD mulai kelas satu sampai kelas empat SD Tegar hanya mendapatkan peringkat 5 besar saja. Itu karena dia tidak rajin dalam belajar. Yang mendapat peringkat satu di kelas selalu diraih oleh anak kepala sekolah di sekolah tersebut. Teguh Tri Nugroho namanya. Dia bisa mempertahankan rangking pertamanya mulai kelas satu SD sampai lulus dari kelas enam SD di sekolah tersebut. Sedangkan yang memperoleh peringkat duanya adalah Matohari. Kemudian disusul lagi oleh Eko Endah Susanti peringkat ke tiganya, Saeko Mukti sebagai peringkat empatnya, dan baru Tegar yang mendapatkan peringkat limanya setelah itu disusul oleh teman lainnya.

Saat naik kelas di kelas empat SD Tegar sudah mulai malas dan malas belajar. Dia hanya bisa bermain dan minta uang ibu untuk jajan. Karena kebiasaan buruknya yang terus bermain dan jajan itu, Tegar pernah sekali di hukum kakaknya dengan di kunci di kamar dari luar agar dia tidak bisa kemana-mana dan mau untuk belajar dan tidak suka jajan terus. Tegar pun berteriak-teriak sambil menangis saat itu.

Kemudian, saat naik ke kelas lima SD dia mulai mendapatkan teman baru yang tidak naik kelas. Mungkin mereka kebiasannnya sama seperti Tegar yang malas untuk belajar jadi tidak naik kelas, bedanya dengan Tegar meskipun malas belajar dia tidak pernah tidak naik kelas sampai lulus SD. Teman-teman baru Tegar saat itu antara lain Wadiono, Suwarni dan Yanti. Yanti adalah putranya pak carik (sekretaris lurah) di desa Tegar. Mulai kelas lima SD inilah Tegar tidak lagi mendapatkan peringkat di kelas. Hingga sampai lulus dari kelas 6 SD yang masih bertahan di peringkat pertamanya masih dipegang oleh Teguh Tri Nugroho. Dia memang terkenal rajin dalam hal belajar. Mungkin karena didikan dari ayahnya sejak kecil yang biasa ditanamkan kepada anaknya untuk disiplin dalam hal belajar jadi dia bisa mempertahankan untuk menjadi peringakat pertamanya terus.

Beda dengan diri Tegar, kalau lagi males belajar sering mendapat marah dari kakak- kakaknya. Bukannya mengubah kebiasaan buruk Tegar karena malas dalam belajar dan suka jajan dengan sering dimarahi terus-menerus. Marah bukanlah solusi terbaik dalam mendidik anak. Marah boleh saja dilakukan dalam kondisi tertentu. Akibat sering mendapat marah tersebut bukannya dia menjadi anak yang rajin dalam belajar, justru dia malah semakin malas untuk belajar saat itu.

Di kelas lima sampai kelas enam SDN 02 Sarirejo yang mendapat peringkat di kelas antara lain Teguh Tri Nugroho sebagai peringkat pertamanya, Eko Endah Susanti dan Saeko Mukti yang bergantian mendapatkan peringkat kedua, Ngadimin dan Matohari yang bergantian mendapat peringkat ketiganya, Sukahar dan Mursalin yang bergantian mendapat peringkat keempatnya dan kemudian disusul oleh teman lainnya. Sedangkan anak-anak yang dianggap sebagai troublemakers dari kelas lima hingga sampai kelas enam tersebut antara lain: Tegar, Suwarni, Rumini, Winarsih, Sri Sunardi, Sugiyanto, Wito, Tarmidzi, Bajang, Sati, Wadiono, Yanti dan lainnya. Karena nilai mereka semua selalu jelek saat ada ulangan Matematika, IPS, IPA, dan PMP. Pak Kirman selaku guru yang mengampu di kelas mereka mulai dari kelas lima hingga lulus kelas enam SD sampai garuk-garuk kepala karena merasa pusing sendiri setiap kali melihat hasil prestasi mereka.

Saat masih duduk di kelas enam SD, saat mengajar pelajaran kesenian dan ketrampilan Pak Kirman begitu suka memberi tugas kepada kami untuk membuat kerajinan tangan. Misalnya: membuat vigura, pot gantung, dan lain-lain. Dan yang masih teringat untuk tugas terakhir kalinya sebelum kami lulus dari sekolah tersebut diadakan kompetisi dalam kegiatan masak-memasak antara siswa satu kelas VI di kelas tersebut. Ada yang membuat lontong, rolade, gorengan: seperti tahu pong (tahu isi), bakwan, dan lainnya. Kebetulan Winarsih, Rumini, Sukahar, Sugiono, Suwarni dan aku menjadi satu tim dalam kelompok masak-memasak tersebut.

Tim anggota kelompok kami waktu itu dipilih oleh Pak Kirman sesuai dengan siswa atau siswi yang rumahnya berdekatan saja. Kebetulan waktu itu rumah kami tidak begitu berjauhan. Dan masakan kami waktu itu adalah lontong tahu sambal kacang. Kami semua menyiapkan bahan-bahan untuk menu masakan kami. Aku dan Sukahar bertugas membeli kacang tanah, dan membeli kecambah (taoge) sedangkan bagian yang membeli tahu adalah Rumini karena ibunya (Yang Ru) adalah seorang pedagang sayuran dan kebutuhan dapur lainnya yang biasa berjualan keliling di kampung jadi gampang untuk mendapatkan tahunya. Dan yang bertugas mencari daun pisangnya adalah Sugiono. Kemudian yang menyiapkan daun pisang sebagai pembungkus lontongnya adalah Winarsih, Suwarni dan dibantu oleh Bu Supi ibu kandung dari Suwarni. Malam harinya lontong dimasak dirumahnya Bu Supi atau orang tuanya Suwarni. Saat memasak lontong tersebut tidak ada teman-teman cowok yang membantunya lagi karena dilarang oleh Suwarni. Dia bilang kepada kami kalau urusan masak-memasak biar ditangani oleh mereka sebagai cewek.

Keesokan harinya Sukahar dan Sugiono langsung berangkat ke sekolah terlebih dulu. Sedangkan lontongnya dibawa dalam satu rombong (bronjong) yang ditaruh di belakang sepedanya Winarsih. Dan aku saat itu disuruh ikut naik juga diatas sepeda tersebut untuk menemani Winarsih mengantarkan masakan kami sampai ke sekolah untuk dihidangkan kepada para guru kami di ruang guru nantinya. Sesampainya di sekolah, kami semua sibuk membantu menyiapkan masakan kami untuk disajikan di ruang guru. Sambil menyajikan masakan kami ada beberapa kelompok dari grup masak-memasak yang lain saling tukar- menukar hasil masakan kami untuk dicicipi.

Saat acara makan-makan di ruang guru, kami tidak ada pelajaran seharian pada waktu itu. Setelah selesai mencicipi masakan kami, semua juri dari pihak para guru mengumumkan masakan siapa yang paling enak yang sudah disantap oleh para guru kami. Setelah Saat acara makan-makan di ruang guru, kami tidak ada pelajaran seharian pada waktu itu. Setelah selesai mencicipi masakan kami, semua juri dari pihak para guru mengumumkan masakan siapa yang paling enak yang sudah disantap oleh para guru kami. Setelah

Ujian nasional dan ujian praktek tak terasa sudah dekat. Atas saran Matohari kemudian aku (Tegar), Sukahar, Tarmidzi, Sugiono, Sugiyanto, Ngadimin dan Teguh Tri Nugroho kemudian mengadakan belajar kelompok bersama di rumahnya Teguh Tri Nugroho. Hampir tiap malam kami belajar kelompok bersama. Kami libur belajar kelompok tiap malam minggu saja. Sukahar dan Sugiono sebelum berangkat belajar bersama di rumahnya Teguh Tri Nugroho selalu mampir ke rumahku terlebih dahulu. Kami bertiga selalu berangkat bersama menuju rumahnya Pak Parno. Setelah beberapa kali di rumahnya Pak Parno karena tujuan belajar bersama dengan putranya, ternyata Pak Parno yang kami kenal galak saat di sekolah ternyata saat dirumah orangnya kelihatan baik kepada kami. Saat belajar kalau ada makanan seringkali disuguhkan kepada kami saat kami sedang belajar bersama.

Saat belajar kelompok di rumah Pak Parno waktu itu belum ada listrik yang masuk ke desa kami. Listrik baru masuk ke desa kami pada tahun 1995. Kebanyakan di rumah-rumah penduduk desa Sarirejo waktu itu untuk penerangan di malam hari masih menggunakan lampu tradisional yang biasa disebut uplik atau teplok. Lampu teplok yang lumayan bagus bentuknya dapat di beli di toko yang menjual peralatan rumah tangga di pasar Kuwu. Ukurannya pun beragam, ada ukuran kecil, sedang dan besar. Kadang-kadang juga ada penjual yang berjualan lampu teplok keliling di kampung kami. Sedangkan lampu uplik atau teplok yang sederhana dapat dibuat sendiri dari bahan kaleng susu bekas, kaleng bekas obat pembasmi hama tanaman dan lainya. Sebagai bahan bakar lampu uplik atau teplok tersebut adalah minyak tanah. Kebetulan di rumah Teguh Tri Nugroho waktu itu ada lampu petromaknya. Jadi cahayanya lebih terang lagi ketimbang lampu teplok. Karena lampu petromak itu tergolong lebih mahal harganya dibanding dengan lampu teplok, jadi tidak banyak warga yang memilikinya.

*************************************************************************** Tak terasa ujian nasional dan ujian praktek SD kami sudah berhasil kami lewati. Kini

tibalah kami untuk mengambil ijazah tersebut. Pak Kirman menyampaikan ke kelas kami tibalah kami untuk mengambil ijazah tersebut. Pak Kirman menyampaikan ke kelas kami

MASA KECIL TEGAR Bagian Kedua

Aku adalah seorang anak laki-laki yang disayang dan dimanja oleh ayah dan ibuku. Aku merupakan anak terakhir dari 5 bersaudara. Mereka adalah Mas Murtopo Suparmin, Mbak Sri Suparni, Mbak Sri Suparmi, Mas Samiko, Mbak Budi Setyaning dan terakhir adalah aku, bernama Tegar Susanto. Ayahku bernama S. Domo sedangkan ibuku Marsiyem Darmi. Meski ayahku galak tapi hatinya lembut. Sedangkan ibuku terkenal ulet dan rajin dalam bekerja.

Saat masih duduk dibangku SD, dulu banyak orang yang ikut dirumahku. Mereka banyak yang datang dari desa sekitar dan desa yang lain seperti: Setren, Tengger, Sendangrejo, Tambak, Karangjati, Pamor, Galsari, Kalanglundo, Sulursari dan lainnya yang masih berada di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah. Kebanyakan mereka bekerja dirumah orang tuaku hanya demi sesuap nasi. Walaupun mereka dibayar dengan upah makan mereka cukup senang. Kadangkala kalau ayahku lagi ada rejeki lebih mereka pun diberikan uang sebagai upah. Mereka antara lain: Lik Gaeb yang mengasuhku saat masih kecil, Sukarti, Lasiman, Daman dan lainnya. Ada yang bekerja sebagai pencari rumput untuk binatang ternak keluargaku. Ada yang bekerja menjadi tukang masak. Ada yang bekerja mencari kayu bakar untuk bahan bakar masak di dapur. Ada pula yang bekerja khusus merawatku, misalnya: memandikan aku, mengantar dan menjemputku ke sekolah dan menyuapi aku makan. Lasiman dan Sukarti adalah orang yang bertugas bergantian mengantar dan menjemput aku sekolah saat masih TK sampai SD kelas IV. Saat masih SD selain ibuku, Sukarti juga yang biasa menyuapi aku saat makan. Saat waktunya mandi kadang Sukarti dan Lasiman juga yang bergantian memandikan aku. Yah begitulah kehidupan di keluargaku di masa kecilku. Keluarga yang bukan tergolong kaya raya namun bisa dibilang berkecukupan.

Ayahku selain bekerja sebagai mantri kesehatan saat itu beliau juga seorang yang multi talenta dalam bidang pendidikan, kesenian, dan pengobatan.

Ayahku pernah bilang kalau beliau itu lahir dari keluarga yang miskin. Karena keuletan dan ketekunannya beliau lah akhirnya bisa menjadi sukses. Sebelum sukses, beliau pernah menjadi seorang penggembala kambing, jualan petasan, menjadi jongos di daerah Jawa Timur, menjadi pemain ketoprak dan akhirnya mempunyai grup atau rombongan ketoprak sendiri dengan nama Pamin. Saat menjadi pemain ketoprak selain sudah mempunyai grup sendiri ayahku juga terikat kontrak kerja dengan grup ketoprak yang lain yaitu Sakimin.

Selain itu ayahku juga dipercaya untuk menjadi pranatacara (MC) saat ada acara pernikahan dan kegiatan tertentu lainnya dan pada puncak kesuksesannya beliau akhirnya menjadi seorang PNS Mantri Kesehatan di Puskesmas di wilayah Ngaringan, Jawa Tengah. Sedangkan ibuku merupakan ibu rumah tangga. Ibuku sekolahnya tidak sampai tamat SD karena sulitnya perekonomian saat itu akhirnya demi membantu memperbaiki perekonomian keluarga, ibuku terpaksa harus putus sekolah di tengah jalan demi membantu memperbaiki kondisi ekonomi orangtuanya dengan berdagang dan lainnya.

Waktu aku kecil ibuku selain menjadi ibu rumah tangga, ibu juga mempunyai kegiatan sambilan, yaitu membuka warung nasi kecil-kecilan. Warung ibu selalu ramai oleh pengunjung saat itu karena masakan ibuku terkenal enak menurut pelanggan warungnya. Walaupun masakan yang disajikan di warung ibuku nasi pecel dan lontong, warung ibuku jarang sepi dari pelanggan.

Dalam bidang kesenian, ayahku mempunyai grup kesenian ketoprak sendiri, kadangkala aku pun diajak untuk menemani beliau saat akan berangkat pentas di daerah yang merupakan masih asing dalam diriku. Saat ayahku ada jadual pentas aku seringkali dibiarkan tidur diruang make up para pemain ketoprak sampai acara selesai. Baru kalau pentas telah usai ayahku baru akan membangunkanku dari tidur bahkan terkadang bangun tidur tahu-tahu sudah pindah tempat, yaitu di rumah sendiri tanpa terasa saat aku masih tertidur ayah menggendongku sampai pulang ke rumah. Selain menjadi pemain ketoprak ayahku selalu mengisi acara-acara temu temanten (acara pembuka saat pengantin dipertemukan pada pesta pernikahan dalam adat Jawa) baik di kampung sendiri maupun di kampung lain. Beliau seringkali diundang kesana kemari untuk menjadi MC diacara tersebut. Saat mengisi acara di setiap pesta pernikahan (pranatacara), ayahku selalu berbicara dengan menggunakan bahasa Dalam bidang kesenian, ayahku mempunyai grup kesenian ketoprak sendiri, kadangkala aku pun diajak untuk menemani beliau saat akan berangkat pentas di daerah yang merupakan masih asing dalam diriku. Saat ayahku ada jadual pentas aku seringkali dibiarkan tidur diruang make up para pemain ketoprak sampai acara selesai. Baru kalau pentas telah usai ayahku baru akan membangunkanku dari tidur bahkan terkadang bangun tidur tahu-tahu sudah pindah tempat, yaitu di rumah sendiri tanpa terasa saat aku masih tertidur ayah menggendongku sampai pulang ke rumah. Selain menjadi pemain ketoprak ayahku selalu mengisi acara-acara temu temanten (acara pembuka saat pengantin dipertemukan pada pesta pernikahan dalam adat Jawa) baik di kampung sendiri maupun di kampung lain. Beliau seringkali diundang kesana kemari untuk menjadi MC diacara tersebut. Saat mengisi acara di setiap pesta pernikahan (pranatacara), ayahku selalu berbicara dengan menggunakan bahasa

Dalam bidang pendidikan, ayahku pernah bilang saat beliau masih sekolah di bangku SR (Sekolah Rakyat ) beliau selalu mendapatkan peringkat pertama. Sebagai orang yang ahli dalam Kejawen ayahku juga sering sekali mendapat tamu dari desa sekitar maupun dari desa lain yang lumayan jauh letaknya dari rumahku untuk dimintai tolong oleh setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan agar dicarikan hari atau penanggalan yang baik menurut paham kejawen yang tidak sedikitpun aku untuk mengertinya karena ada rumus yang cukup rumit untuk menghitungnya. Yah, hampir sama dengan belajar Matematika, padahal aku kurang suka dengan belajar Matematika. Untuk balas terima kasih atas jasa yang diberikan kepada ayahku biasanya beliau akan mendapat kiriman nasi dengan lauk pauknya seekor ayam utuh yang sudah dimasak (ingkung) dengan beberapa jenis makanan tradisional didalamnya. Aku pun merasa senang saat itu karena pada tiap musim pernikahan tiba, ayahku seringkali mendapat banyak kiriman makanan tersebut. Selain menentukan hari baik untuk pernikahan, membangun rumah, mencari pekerjaan dan lainnya juga ada aturan perhitungannya menurut aturan kejawen. Disamping itu, adapula tamu ayahku yang minta jimat pengasihan atau apalah aku pun kurang memahaminya.

Dalam bidang kesehatan yang berprofesi sebagai seorang mantri kesehatan, ayahku selalu dimintai tolong orang atau pasien untuk menyuntik yang datang untuk berobat atau hanya sekedar periksa diri saja. Maklumlah kebetulan ayahku juga sudah menjadi pegawai negeri sipil mantri kesehatan di kala itu. Tamunya pun berdatangan dari desa sekitar dan dari beberapa desa yang jauh juga. Mantri kesehatan dulu sudah dikenal seperti dokter jaman sekarang. Selain menyuntik pasien juga melayani anak laki-laki yang mau disunat.

Sampai kelas 5 SD aku pun masih dirawat oleh para pekerja ayahku yang rela bekerja hanya demi sesuap nasi tanpa ada gaji bulanan. Kebanyakan mereka adalah laki-laki yang bekerja di rumahku. Saat sekolah, setiap berangkat dan pulang aku selalu diantar jemput dengan memakai sepeda. Sepada merupakan alat transportasi yang tergolong mewah saat itu karena dalam satu kelurahan hanya ada 4 sepeda milik warga yang baru memilikinya.

Saat masih SD aku mempunyai sifat yang keras dalam menginginkan sesuatu, keinginanku kalau tidak segera dipenuhi pasti akan marah dan nangis. Bahkan sesekali para pekerja yang ikut dirumahku pernah aku lempari benda yang langsung aku peroleh dan kadang juga memaki-makinya sambil aku nangis. Apalagi saat pulang sekolah pekerja yang Saat masih SD aku mempunyai sifat yang keras dalam menginginkan sesuatu, keinginanku kalau tidak segera dipenuhi pasti akan marah dan nangis. Bahkan sesekali para pekerja yang ikut dirumahku pernah aku lempari benda yang langsung aku peroleh dan kadang juga memaki-makinya sambil aku nangis. Apalagi saat pulang sekolah pekerja yang

Saat duduk dibangku Sekolah Dasar, Tegar bukanlah tergolong siswa yang pandai di kelas, karena Tegar malas dalam belajar. Tegar hanya mendapat rangking di peringkat lima besar saja pada saat Tegar masih duduk di kelas satu sampai di kelas tiga SD aja. Setelah itu, mulai dari kelas empat sampai kelas enam SD Tegar pun malas dan malas belajar. Sampai- sampai nilai hasil ujian Ebtanas kelulusan SD kelas enam itu hasil ujiannya jauh dari rata-rata sehingga Tegar pun sempat dimarahi sama kakak-kakaknya. Itu gara-garanya Tegar keasyikan nonton acara TV dan main-main terus sampai-sampai kegiatan belajar itu sudah tidak menarik lagi buatnya. Jangan ditiru ya teman-teman hobinya Tegar saat masih kecil yang malas belajar dan suka jajan... Meskipun kakak-kakaknya berkali-kali mengingatkan Tegar untuk belajar, dia pun cuma sekedar bilang iya saja. Sempat juga kakaknya merasa jengkel melihat ulahnya itu yang hobinya cuma main dan jajan. Pernah juga saat Tegar mau nonton acara TV kesukaannya, waktu itu ada salah satu dari kakaknya bernama Mbak Sri Suparmi yang menyembunyikan ACCU yang dipakai untuk saluran listrik agar TV nya bisa menyala. Kalau tidak ada ACCU tersebut pastinya TV tidak mungkin bisa menyala. Tegar pun marah dan nangis saat itu. Waktu aku (Tegar) kecil sih belum ada yang banyak mempunyai pesawat TV seperti pada era sekarang. TV di masa kecilku itu hanya tiga orang warga yang baru memilikinya saat itu. Itupun masih TV hitam putih dan bukan TV berwarna yang banyak ditemukan di setiap rumah-rumah warga dari kalangan atas maupun kalangan ke bawah seperti sekarang. Bahkan banyak model TV yang berbentuk flat pada jaman sekarang, yang bisa ditonton dirumah, di kendaraan pribadi, di kendaraan umum dan di tempat umum lainnya juga bisa bahkan channelnya pun beragam, tidak seperti pada masa aku kecil yang baru ada TVRI saja dan channelnya pun masih terbatas tidak seperti saat ini. Setiap ada acara ketoprak dari Kediri yang diputar di TVRI misalnya, rumahku selalu penuh dengan banyak orang yang ingin ikut menonton bersama dalam acara tersebut. Kira-kira hampir ada satu RT Saat duduk dibangku Sekolah Dasar, Tegar bukanlah tergolong siswa yang pandai di kelas, karena Tegar malas dalam belajar. Tegar hanya mendapat rangking di peringkat lima besar saja pada saat Tegar masih duduk di kelas satu sampai di kelas tiga SD aja. Setelah itu, mulai dari kelas empat sampai kelas enam SD Tegar pun malas dan malas belajar. Sampai- sampai nilai hasil ujian Ebtanas kelulusan SD kelas enam itu hasil ujiannya jauh dari rata-rata sehingga Tegar pun sempat dimarahi sama kakak-kakaknya. Itu gara-garanya Tegar keasyikan nonton acara TV dan main-main terus sampai-sampai kegiatan belajar itu sudah tidak menarik lagi buatnya. Jangan ditiru ya teman-teman hobinya Tegar saat masih kecil yang malas belajar dan suka jajan... Meskipun kakak-kakaknya berkali-kali mengingatkan Tegar untuk belajar, dia pun cuma sekedar bilang iya saja. Sempat juga kakaknya merasa jengkel melihat ulahnya itu yang hobinya cuma main dan jajan. Pernah juga saat Tegar mau nonton acara TV kesukaannya, waktu itu ada salah satu dari kakaknya bernama Mbak Sri Suparmi yang menyembunyikan ACCU yang dipakai untuk saluran listrik agar TV nya bisa menyala. Kalau tidak ada ACCU tersebut pastinya TV tidak mungkin bisa menyala. Tegar pun marah dan nangis saat itu. Waktu aku (Tegar) kecil sih belum ada yang banyak mempunyai pesawat TV seperti pada era sekarang. TV di masa kecilku itu hanya tiga orang warga yang baru memilikinya saat itu. Itupun masih TV hitam putih dan bukan TV berwarna yang banyak ditemukan di setiap rumah-rumah warga dari kalangan atas maupun kalangan ke bawah seperti sekarang. Bahkan banyak model TV yang berbentuk flat pada jaman sekarang, yang bisa ditonton dirumah, di kendaraan pribadi, di kendaraan umum dan di tempat umum lainnya juga bisa bahkan channelnya pun beragam, tidak seperti pada masa aku kecil yang baru ada TVRI saja dan channelnya pun masih terbatas tidak seperti saat ini. Setiap ada acara ketoprak dari Kediri yang diputar di TVRI misalnya, rumahku selalu penuh dengan banyak orang yang ingin ikut menonton bersama dalam acara tersebut. Kira-kira hampir ada satu RT

Setelah ijazah kelulusan SD ku sudah bisa diambil, akupun mengambilnya ke kepala sekolah yang bernama Pak Parno saat itu dengan ditemani oleh ayahku sendiri. Ayahku sih kelihatan kecewa melihat hasil prestasiku setelah tahu dari daftar nilai EBTANAS saat itu. Meskipun kecewa, ayahku tidak terlalu memarahiku saat itu. Beliau hanya menggerutu saja saat melihat hasil nilaiku. Meskipun sudah dinyatakan lulus, tapi hasil nilainya jauh dari rata- rata. Aku sih cuek saja karena setelah lulus SD aku sama sekali tidak ada minat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi saat itu. Akupun istirahat selama satu tahun saat itu setelah lulus dari SDN 02 Sarirejo, Ngaringan. Selama satu tahun itu akupun cuma bisa main, jajan dan main saja kerjaannya.

Tibalah saat itu sekitar pertengahan Juli 1996, aku disuruh ibu untuk melanjutkan sekolah lagi. Awalnya sih aku masih ragu-ragu karena nilai ijazahku yang pas-pasan saat itu. Pasti tidak mungkin untuk bisa masuk di sekolah SMP favorit di sekitar tempatku. Karena atas nasehat, dan desakan ibu yang sabar dalam mendidik anaknya maka akhirnya dengan keadaan terpaksa aku pun mau untuk bersekolah lagi. Waktu itu ibuku berkata begini: Meh dadi opo kowe le, mengko lek moh sekolah, lek ora sekolah maneh?! Saiki sing penting sekolah. Sekolah nang ngendi wae iku podho wae sing penting sekolah gak perlu mlebu sekolah negeri sing favorit, swasta wae yo oraopo. ‘Mau jadi apa nak, nanti kalau kamu tidak mau sekolah, kalau tidak sekolah lagi? Sekarang yang penting itu sekolah. Sekolah dimana saja itu sama saja yang penting sekolah, tidak perlu masuk di sekolah negeri favorit, yang swasta saja tidak apa-apa ’. Aku pun hanya diam saat ibu berkata begitu padaku. Kemudian, aku merenungkan semua nasehat dari ibuku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mau melanjutkan sekolah lagi.

DESA KELAHIRANKU

Desaku itu desa yang kecil. Pastinya banyak orang yang belum tau tentang desaku. Kalau musim hujan tiba becek, dan lumpur tanah ada dimana-mana. Bagi yang punya

kendaraan seperti motor, sepeda atau yang lainnya pasti capek untuk membersihkan kendaraan yang dipunya. Karena habis selesai pakai pasti sudah tampak kotor lagi karena akibat lumpur tanah akibat jalanan yang becek karena hujan. Kalau musim kering atau kemarau tiba, debu pun ada dimana-mana. Sampai-sampai di pinggir jalan, dedaunan di pagar tanaman tampak kotor karena tertutub debu yang beterbangan di udara akibat tertiup oleh angin. Saat musim ini pun susah. Kendaraan pun tampak kotor karena debu yang menempel, meja kursi kalau tak sering disulak debunya juga akan cepat menutupi. Disamping itu, sumur- sumur banyak yang kering airnya karena akibat kemarau. Banyak warga yang susah untuk mendapatkan air untuk keperluan rumah tangga, seperti mandi, mencuci dan lainnya. Bahkan ada beberapa warga yang rela untuk ikut ngantri mengambil air di sumur yang jaraknya lumayan jauh dari kampung warga. Meski ada irigasi desa, saat kemarau seringkali tak ada air yang cukup yang mengalir di irigasi tersebut.

Desaku bernama Sarirejo, yang terdiri dari dusun Galsari, Tambak, Karangjati, Tengger dan Setren. Aku sendiri dibesarkan di dusun Galsari. Mobilitas untuk menuju kecamatan desaku lumayan susah. Karena jaraknya lumayan jauh dari kota dan kondisi jalan yang belum merata pembangunannya. Mayoritas penduduknya adalah petani dan pedagang. Namun, ada juga yang menjadi tukang kayu, bidan, perawat dan beberapa orang yang menjadi pegawai negeri guru, dosen, TNI, dan polisi.

Desaku terletak di paling ujung selatan kecamatan Ngaringan, berbatasan kecamatan Kradenan yang masih wilayah Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Kondisi geografis Kabupaten Grobogan cocok untuk pertanian karena potensi aliran sungai Tuntang, Serang, dan Lusi, serta beberapa anak sungainya mampu mengairi sebagian tanah-tanah persawahan di Grobogan. Disamping itu, untuk tandon air, dibangunlah bendungan Sedadi, Kali Lanang, Sidorejo, Dumpil, Klambu, serta Waduk Kedungombo, Waduk Nglangon, dan Waduk Sanggah.

Penduduk Grobogan pernah dijajah oleh Jepang. Tepatnya pada tanggal 1 Maret 1942. Jepang mulai masuk wilayah Pulau Jawa, yaitu Banten, Indramayu dan Rembang masing- masing dengan kekuatan dan satu divisi. Pasukan yang mendarat di Rembang dengan cepat menuju ke ke arah selatan, sehingga dalam waktu sehari berhasil menduduki kota Blora. Dari Blora pasukan Jepang yang dipimpin oleh Yamamoto dan Matsumoto terus bergerak ke arah Purwodadi Grobogan dan berhasil menguasai kota ini pada tanggal 3 Maret 1942. Dari Purwodadi Grobogan pasukan Jepang terus menuju ke selatan sehingga hampir semua kota di

Jawa Tengah bagian selatan berhasil diduduki. Pada masa pendudukan Jepang ini, semua menderita, termasuk penduduk Kabupaten Grobogan. Mobilitasi penduduk Kabupaten Grobogan digerakkan oleh Jepang melalui program pengerahan tenaga kerja paksa yang dikenal dengan 労務者 Roumusha. Ribuan tenaga roumusha ini dipekerjakan di tempat- tempat proyek pembangunan pertahanan militer Jepang, seperti pembuatan jalan, jembatan, waduk, lapangan udara dan rel kereta api. Disamping itu, penduduk yang masih tinggal di grobogan wajib menanam tanaman jarak. Di daerah-daerah Kabupaten Grobogan yang lahannya subur, penduduk wajib menyetorkan padinya demi kepentingan pertahanan militer Jepang. Menurut cerita nenekku, penderitaan yang paling berat dirasakan adalah ketika dijajah oleh Jepang yang dikenal dengan jaman Jepang. Penderitaan mendalam yang dialami oleh masyarakat Grobogan ini lambat laun menumbuhkan rasa benci kepada Jepang, yang akhirnya membangkitkan perlawanan. Mereka mulai menghindar untuk setor padi, dengan cara memanen diam-diam padinya di malam hari, lalu menyimpannya di atas langit-langit atau loteng rumah. Hal ini memang mengandung resiko tinggi, karena jika ketahuan bisa fatal akibatnya. Tapi masyarakat Grobogan tidak takut, demi untuk melawan kekejaman tentara Jepang. (Suparni, 2014: 71-72).

AYAHKU ADALAH SEORANG PENGANUT KEJAWEN

Aku sedari kecil sudah diatur dengan aturan kejawen dalam kehidupanku. Setiap kegiatan apa saja pasti dikaitkan dengan kejawen. Apapun yang dikatakan ayahku tentang kejawen tidak ada satu pun anaknya yang berani membantahnya. Walaupun pandangan anaknya seringkali bergejolak dalam hati. Apa sih sebenarnya Kejawen itu?....

Well, let ’s share together....asal-usul kejawen bermula dari dua tokoh misteri yang bernama Sri dan Sadono. Sri sebenarnya penjelmaan dari Dewi Laksi, istri dari Sadono penjelmaan dari Wisnu. Itulah sebabnya kalau orang Jawa beranggapan bahwa Sri dan Sadono merupakan kakak-beradik, kebenaran ceritanya tergantung dari mana akan ditinjau. Dalam kaitannya ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen. Maka dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat tempat khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai Dewi Padi dan Dewi Kesuburan.

Konon ceritanya, Dewi Sri pernah menjelma ke dalam diri tokoh putri Daha yang bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji.

Keduanya pernah berpisah namun akhirnya berjumpa kembali. Berarti kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya.

Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dan Sekartaji terjadi di gunung Tidar, Magelang. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri diberi tanda (tetenger) dengan menancapkan paku tanah Jawa. Kebetulan pada saat itu di Jawa terjadi pergolakan yang hebat setelah adanya paku tersebut tanah Jawa menjadi tenang kembali. Paku tersebut dikenal dengan sebutan Paku Buwana (paku bumi). Paku buwana inilah yang menyebabkan orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sadono dan Sri menjadi banyak. Hanya saja keturunan mereka ada yang baik dan ada yang buruk. Maka, Batara Guru segera menyuruh Semar dan Togog ke gunung Tidar. Semar diminta mengasuh keturunan Sadono dan Sri yang baik-baik, sedangkan Togog mengasuh yang angkara murka (yang tidak baik). Togog dan Semar pun akhirnya menuruti perintah itu, karena merasa bahwa Batara Guru sebagai rajanya.

Suatu ketika, Batara Guru mengadakan perlombaan menelan gunung untuk menguji kesaktian Semar dan Togog. Namun, Semar dan Togog dianggap kalah dalam perlombaan tersebut. Ketika lomba dimulai, Togog mendapat giliran pertama untuk menelan gunung. Gunung itu tidak dapat masuk ke mulut Togog, tetapi dia memaksakannya. Akibatnya mulut Togog menjadi sangat lebar. Sedangkan Semar dapat menelan gunung, tetapi gunung itu tidak dapat keluar dari tubuhnya sehingga menyebabkan bokongnya menjadi besar. Kelak, gunung yang ada di dalam perut semar berfungsi sebagai senjatanya. Semar terkenal dengan kentutnya yang sangat bau (busuk) sebagai senjatanya yang mematikan. Dalam perlombaan menelan gunung, hanya Batara Guru yang sukses. Dia dapat menelan gunung dan akhirnya berhak menjadi raja di kahyangan. Namun, dia juga tidak bisa mengeluarkan gunung dari perutnya, bahkan tiba-tiba tangannya bertambah menjadi dua sehingga semuanya menjadi empat.

Paham mistik Sri dan Sadono, selanjutnya dalam tradisi kejawen dipuja menjadi sebuah patung kecil bernama Loro Blonyo. Patung tersebut senantiasa diletakkan di kamar (senthong) tengah dan selalu menjadi pajangan pada saat ada pesta pernikahan. Patung tersebut juga diwujudkan dalam tarian untuk menyambut pengantin, yaitu tari Karonsih. Maksudnya, menyatukan dua tubuh laki-laki dan perempuan yang penuh sih (cinta suci). Tarian ini melambangkan pertemuan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji.

Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri-Sadono adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Falsafah Ajisaka penuh dengan liku-liku kejawen. Ajisaka berasal dari kata Aji (raja, yang dihormati, dipuja dan disembah) dan Saka yang berarti tiang atau cabang. Ajisaka berarti tiang Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri-Sadono adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Falsafah Ajisaka penuh dengan liku-liku kejawen. Ajisaka berasal dari kata Aji (raja, yang dihormati, dipuja dan disembah) dan Saka yang berarti tiang atau cabang. Ajisaka berarti tiang

Sistem berpikir mistis sering mempengaruhi pola-pola hidup yang bersandar pada nasib. Nasib ini dalam istilah Jawa dinamakan kebegjan (keberuntungan) yang telah disertai dengan usaha. Karena usaha dan nasib juga sering menyatu padu. Maka, orang Jawa justru sampai pada pemikiran homologi antropokosmik, maksudnya dalam langkah dan kehidupannya disesuaikan dengan tatanan manusia dan dunia sekelilingnya.

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya. Macam-macam nafsu pada diri manusia terdapat tujuh macam, diantaranya:

1. Nafsu amarah . Nafsu manusia yang terendah tingkatannya, dimana orang termasuk di dalam golongan ini adalah orang yang sangat jelek sifat dan wataknya. Ciri-cirinya:

Gampang tersinggung, selalu marah-marah, tidak mau kalah, dendam, ringan tangan, nafsu sex yang tidak terkendali, tidak ada rem dalam dirinya (Norma atau etika). (Qs:Yusuf: 10, ayat: 53)

2. Nafsu lawwamah . Setingkat lebih baik daripada nafsu amarah, namun dia belum stabil betul, karena terkadang dia kembali kepada tingkat nafsu amarah. Ciri-ciri : Tidak stabil,

setelah menjadi baik bahkan mengajak orang untuk baik pula, setelah ada ujian atau godaan sedikit saja masih kembali ke asal (maksiat) dan tidak sabar. (Qs: Al-Qiyamah:

75, ayat: 2).

3. Nafsu mulhimah, telah cukup mengetahui tentang kebenaran (haq) dan kesalahan (bathil), namun belum mampu untuk melaksanakannya dengan baik, dikarenakan kelemahannya.

Ciri-cirinya : telah mengetahui kebathilan atau kemaksiatan tapi tetap saja melakukannya dengan kesadaran, telah mengetahui kebenaran tapi tidak ada kemauan untuk melaksanakannya. (Qs: Asy-Syam: 91: ayat: 8)

4. Nafsu muthmainah . Tingkatan ini adalah orang yang telah dijanjikan Allah SWT untuk masuk ke dalam syurga-Nya (Al-Jannah). Ciri-cirinya :Jiwa tenang, kembali kpd

Rabbnya dgn hati yang puas, kepribadian yang mantap mengerjakan perintah Allah, meninggalkan larangan, tidak mudah terpengaruh, Istiqamah. (Qs: Al-Fajr: 89, Ayat: 27- 30)

5. Nafsu radhiah . Tingkatan ini berada setingkat diatas nafsu Muthmainah, ditambah dengan rasa ikhlas dan penyerahan total kepada Allah SWT, kesusahan/musibah/-

tantangan menjadi nikmat baginya. Ciri-ciri :penuh dengan ketaqwaan, menerima segala ujian, musibah, tantangan dengan keikhlasan dan penuh kesabaran (tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah). (Qs: Al-Baqarah, 2/45 & Ali Imran, 3/146).

6. Nafsu mardhiah. Tingkatan ini beradan setingkat lagi di atas Nafsu Radhiah, Sesuatu yang sunnah menjadi wajib dan yang subhat menjadi haram. Ciri-cirinya : Semua yang dimiliki pada tingkatan nafsu radhiah ditambah mempunyai daya amal ma'ruf nahi

munkar sejati, menjadi pemberi peringatan dan berita gembira. (Qs: Ali mran, 3/104 & 19/97).

7. Nafsu kamilah . Tingkatan nafsu yang sempurna, ini hanya dimiliki oleh setingkat Nabi- nabi dan Rasul-rasul. (Penyerahan diri secara totalitas pengabdian kepada Allah). Ciri-

cirinya: Sifat Nabi / Rasul : Siddiq (jujur/ benar), amanah (dipercaya) Fathonah (cerdas),

Tabliq (menyampaikan). (Qs: Ali-Imran, 3/110, 33/21)

Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan- kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.

Sistem berpikir mistis biasanya terpantul dalam tindakan nyata yang disebut laku. Orang Jawa gemar menjalankan laku yang identik dengan prihatin. Laku juga senada dengan tirakat (ngurang-ngurangi), yang lebih eksplisit lagi sering dinamakan tapa brata (bersemedi ditempat yang tidak boleh terkena cahaya matahari). Karena itu, orang Jawa sering menjalankan tapa ngrowat (makan yang tidak berbiji), tapa ngidang (hanya makan sayuran), mutih (hanya makan nasi tanpa garam maupun lauk-pauk). Berbagai laku tersebut dilakukan untuk membersihkan diri secara batin.

Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan seseorang. Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang sangat dasyat sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia biasa. Perilaku tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah rohani.

Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan suatu ilmu. Atau biasa disebut juga Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan bekas pada seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa yaitu Penabungan Energi. Jika badan atau fisik kita memerlukan pengisian 3 kali sehari melalui makan agar anda tetap bisa beraktivitas dengan baik, begitu juga untuk memperoleh kekuatan supranatural, kita perlu mengisi energi. Hanya saja dalam Ilmu Gaib pengisian ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup. Penabungan energi ini dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung jenis ilmu yang ingin dikuasai. Cara- cara penabungan energi lazim disebut Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat mendapatkan ilmu) yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu.