Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon

(1)

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI

Bakau Minyak (

Rhizopora apiculata

BI)

TERHADAP SALINITAS DAN

KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON

HASIL PENELITIAN

Oleh:

PRAYUNITA

081202033/BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI

Bakau Minyak (

Rhizopora apiculata

BI)

TERHADAP SALINITAS DAN

KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON

HASIL PENELITIAN

Oleh: PRAYUNITA

081202033/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon

Nama : Prayunita

NIM : 081202033

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni S.Hut, M.Si, Ph.D Dr.Ir. Lollie Agustina P. Putri M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Departemen Kehutanan


(4)

ABSTRAK

PRAYUNITA. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian salinitas terhadap pertumbuhan dan bioamassa mangrove jenis non sekresi Rhizopora apiculata pada tingkat semai dan kandungan lipid dan NSL pada tingkat pohon. Tingkat salinitas dibuat dengan 5 perlakuan yaitu 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% dan bibit ditanam selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik semai Rhizopora apiculata berada di salinitas 1,5%, jumlah daun dan luas daun di salinitas 0,5%. Biomassa batang dan akar terbaik di 1,5%, sedangkan biomassa daun terbaik di salinitas 0,5%. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg. Penelitian ini dapat memberikan informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya paling baik pada berbagai tingkat salinitas.

Kata kunci : Mangrove, Rhizopora apiculata, Salinitas, Morfologi, Kandungan Lipid dan NSL (Non Saponifiable Lipid)


(5)

ABSTRACK

PRAYUNITA. Growth and biomass seedling of Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) against Salinity and Lipid Contain at Tree Level. MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.

This study aims to see the effect of salinity on the growth bioamassa mangrove non secretion species Rhizophora apiculata in seedling and content of lipid and NSL at tree level. Made with 5 levels of salinity treatments of 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% and the seed is planted for 5 months. The results showed the best height and diameter growth of Rhizophora apiculata seedlings at salinity 1.5%, leaf number and leaf area in the salinity of 0.5%. Stem and root biomass best at salinity 1.5%, while the best leaf biomass in the salinity of 0.5%. Total lipid content of the tree Rhizophora apiculata leaves more in the 9.60 mg than in the root is 6.40 mg. NSL content of the tree Rhizophora apiculata NSL roots more in the 0.226 mg than in the leaves is 0.10 mg. This study may provide information to the rehabilitation program in order to obtain Rhizophora apiculata seedlings growing best at different levels of salinity.

Keywords : Mangrove, Rhizopora apiculata, Salinity, Morphology, Content of Lipid and NSL (Non Sapofiniable Lipid)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 4 Oktober 1990 dari pasangan Bapak Mujiono dan Ibu Tri Handayani. Penulis merupakan putri ke dua dari empat bersaudara.

Lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 094153 Kabupaten Simalungun pada tahun 2002, pada tahun 2005 lulus dari SMP Negeri 1 Siantar, dan pada tahun 2008 lulus dari SMA Negeri 3 Pematang Siantar. Pada tahun yang sama penulis di terima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Ujian Masuk Bersama. Penulis memilih jurusan Budidaya Hutan, Program Studi Kehutanan.

Selama mengikuti kuliah, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Hasil Hutan Non Kayu tahun 2010, Asisten Ekologi Hutan tahun 2010 dan 2011, Asisten Praktikum Silvika tahun 2012, Asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) tahun 2011.

Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Hutan Dataran Tinggi Gunung Sinabung dan TWA Deleng Lancuk Kabupaten Karo tahun 2010. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman NAsional Baluran, Situbondo, Jawa Timur dari tanggal 3 Februari sampai 3 Maret 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun proposal penelitian ini berjudul “Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua komisi pembimbing Mohammad. Basyuni S.Hut, M.si, Ph.D dan anggota komisi pembimbing Dr.Ir. Lollie Agustina P. Putri M.Si yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan proposal ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan yang telah mendukung penulis serta pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa pembuatan proposal ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan proposal ini.

Akhirnya penulis berharap proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kehutanan.

Medan, Agustus 2012


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACK ... ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove dan Karakteristiknya ... 5

Penyebaran Hutan Mangrove ... 6

Zonasi di Hutan Mangrove ... 7

Taksonomi dan Morfologi Rhizopora apiculata ... 8

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove ... 10

Potensi Triterpenoid pada Mangrove ... 13

Mekanisme Toleransi Tanaman Terhadap Cekaman Garam ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

Penanaman ... 17

Pengambilan Sampel dan Ekstraksi ... 17

Kondisi Umum Lokasi Pengambilan Sampel ... 17

Alat dan Bahan Penelitian ... 19

Penanaman ... 19

Ekstraksi dan Analisis ... 20

Prosedur Penelitian ... 20

Penyiapan Media Tanam... 20

Pemilihan Propagul ... 21

Penanaman Propagul ... 21

Ekstraksi Lipid ... 21

Analisis NSL (Nonsaponifiable Lipid) ... 21

Pengamatan Parameter ... 22

Pertambahan Tinggi Semai (cm) ... 22

Pertambahan Diameter Semai (mm) ... 22

Pertambahan Jumlah Daun ... 22


(9)

Berat Basah Tajuk (g) ... 23

Berat Basah Batang (g) ... 23

Berat Kering Akar (g) ... 23

Berat Kering Tajuk (g) ... 23

Berat Kering Batang (g) ... 23

Ratio Tajuk dan Akar ... 23

Ratio Batang dan Akar ... 23

Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Semai ... 25

Pengaruh Salinitas Terhadap Biomassa Semai ... 29

Rasio Tajuk/Akar dan Rasio Batang/Akar Semai ... 31

Total Lipid dan Kandungan NSL (Nonsaponifiable Lipid) ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ……….. 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Total Lipid dan Kandungan NSL pada Jenis Ceriops tagal ... 35


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Peta Lokasi Pulau Semnilan ... 18 2. Tinggi dan diameter semai R. apiculata pada berbagai

konsentrasi salinitas pada umur 5 bulan. Data merupakan rata-rata ± SE (n=13-15). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05

dan tanda ** menandakan P < 0,01

... 26 3. Rata-rata Jumlah Daun (A) dan Luas Daun Rhizopora apiculata (B). Data

merupakan rata-rata ± SE (n = 13-15) untuk rata-rata jumlah daun dan SE (n= 5) untuk luas daun. Tanda * mengindikasikan secara statistik

P<0,05 dan tanda ** menandakan

P<0,01... 28 4. Pengaruh Salinitas terhadap Berat Basah (A) dan Berat Kering

(B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets

... 26

5. Rasio Tajuk dan Akar (A), Rasio Batang dan Akar (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets... 32 6. Zonasi Mangrove di Pulau Sembilan Kabupaten Langkat

Sumatera Utara ... 34


(12)

ABSTRAK

PRAYUNITA. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian salinitas terhadap pertumbuhan dan bioamassa mangrove jenis non sekresi Rhizopora apiculata pada tingkat semai dan kandungan lipid dan NSL pada tingkat pohon. Tingkat salinitas dibuat dengan 5 perlakuan yaitu 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% dan bibit ditanam selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik semai Rhizopora apiculata berada di salinitas 1,5%, jumlah daun dan luas daun di salinitas 0,5%. Biomassa batang dan akar terbaik di 1,5%, sedangkan biomassa daun terbaik di salinitas 0,5%. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg. Penelitian ini dapat memberikan informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya paling baik pada berbagai tingkat salinitas.

Kata kunci : Mangrove, Rhizopora apiculata, Salinitas, Morfologi, Kandungan Lipid dan NSL (Non Saponifiable Lipid)


(13)

ABSTRACK

PRAYUNITA. Growth and biomass seedling of Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) against Salinity and Lipid Contain at Tree Level. MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.

This study aims to see the effect of salinity on the growth bioamassa mangrove non secretion species Rhizophora apiculata in seedling and content of lipid and NSL at tree level. Made with 5 levels of salinity treatments of 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% and the seed is planted for 5 months. The results showed the best height and diameter growth of Rhizophora apiculata seedlings at salinity 1.5%, leaf number and leaf area in the salinity of 0.5%. Stem and root biomass best at salinity 1.5%, while the best leaf biomass in the salinity of 0.5%. Total lipid content of the tree Rhizophora apiculata leaves more in the 9.60 mg than in the root is 6.40 mg. NSL content of the tree Rhizophora apiculata NSL roots more in the 0.226 mg than in the leaves is 0.10 mg. This study may provide information to the rehabilitation program in order to obtain Rhizophora apiculata seedlings growing best at different levels of salinity.

Keywords : Mangrove, Rhizopora apiculata, Salinity, Morphology, Content of Lipid and NSL (Non Sapofiniable Lipid)


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara luas hutan mangrove dalam zona pasang surut daerah tropis dan subtropis, membentuk ekosistem penting bagi ikan dan melindungi dari erosi pantai (Tomlinson, 1986; Alongi, 2002; Basyuni et al., 2007). Posisinya yang berada di sepanjang permukaan daratan-laut, mangrove sangat rentan terhadap perubahan permukaan laut dan sedimen sungai (Nicholls et al., 1999; Basyuni et al., 2007).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif di bumi, dan jatuhnya sampah mangrove merupakan sumber karbon organik yang paling penting pada siklus biogeokimia dalam ekosistem mangrove (Wafar et al, 1997.; Clough et al., 2000) dan indikator yang berharga dalam produktivitas mangrove (Clough, 1998). Oleh karena itu produktivitas yang tinggi, tingkat perputaran bahan organik dan pertukaran ekosistem darat dan laut, mangrove merupakan bagian yang penting dalam siklus ulang biogeokimia karbon dan elemen yang terkait di sepanjang pesisir wilayah tropis.

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 21% dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Spalding et al., 2010). Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang hidup diantara daratan dan lautan daerah pasang surut, kondisi tanah berlumpur dan salinitas tinggi di daerah tropis dan subtropis (Kathiresan and Bingham, 2001).


(15)

mangrove telah diakui bagi ekosistem global, namun terdapat sedikit informasi yang menjelaskan mengapa tanaman mangrove dapat tumbuh di lingkungan salinitas yang tinggi, terutama yang berasal dari mangrove Indonesia. Menurut karakteristik morfologinya dalam manajemen garam, tanaman mangrove dibagi ke dalam dua kelompok besar (Scholander et al., 1962). Kelompok pertama adalah spesies yang mensekresi garam (jenis sekresi/secreting species) yang memiliki kelenjar garam di daunnya atau rambut garam untuk menghilangkan kelebihan garam. Yang kedua adalah spesies non-sekresi (non-scereting species) yang tidak memiliki fitur morfologi tersebut untuk ekskresi kelebihan garam (Scholander et al., 1962; Tomlinson, 1986). Dengan demikian, hutan mangrove merupakan model tanaman yang ideal untuk mempelajari mekanisme toleransi garam pada tingkat seluler.

Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas, temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan lautan. Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove.

Mangrove terkenal kaya sebagai sumber senyawa triterpenoid dan fitosterol (isoprenoid) (Koch et al, 2003; Basyuni et al, 2007a). Salah satu kemampuan mencolok spesies mangrove adalah tumbuh dalam berbagai tingkat salinitas mulai dari air tawar sampai ke tingkat di atas air laut. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa cekaman garam menginduksi perubahan


(16)

konsentrasi triterpenoid di mangrove jenis non-sekresi (Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007b, 2009). Tambahan lagi, senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai chemical defense bagi dirinya (Williams, 1999).

Selain itu, telah ditemukan bahwa tanaman mangrove menghasilkan metabolit sekunder dalam merespon berbagai faktor eksternal (Parida and Das, 2005). Jadi lipid pada membran sel dapat memainkan peran penting dalam adaptasi tanaman terhadap tekanan lingkungan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa triterpenoid memainkan peran penting untuk melindungi mangrove dari cekaman garam (Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007a, 2009, 2011). Meskipun demikian, sedikit studi yang difokuskan pada komposisi triterpenoid dan fitosterol dari hutan mangrove, terutama dari hutan mangrove Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan pada isolasi dan karakterisasi senyawa isoprenoid dari mangrove jenis non-sekresi Rhizophora apiculata dan relevansinya dengan toleransi garam.

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan biomassa semai bakau minyak (Rhizophora apiculata) pada berbagai konsentrasi salinitas.

2. Untuk mengetahui gambaran zonasi mangrove di Pulau Sembilan.

3. Untuk mengetahui kandungan lipid di daun dan akar Rhizopora apiculata pada tingkat pohon.


(17)

Hipotesis Penelitian

Pertumbuhanan dan biomassa semai Rhizopora apiculata berpengaruh paling baik pada salinitas 1,5%.

Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya lebih baik pada berbagai tingkat salinitas.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan mangrove dan karakeristiknya

Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove (Jayatissa dkk., 2002). Menurut MacNae (1968) kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (semak-belukar), menjadi mangrove yakni semak-belukar yang tumbuh di tepi laut. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut maupun untuk individu-individu tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yangkomunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.

Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang tumbuh diantara daratan dan lautan di daerah tropis dan subtropis. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan lewat kelenjar daun. Sementara jenis yang lainnya mengembangkan sistem perakaran untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Dalam hal yang lain, beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya


(19)

(vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora (Tomlinson, 1986; Kathiresan and Bingham, 2001).

Selanjutnya Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni: (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sejati), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. (2) Flora mangrove sejati minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. (3) Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Penyebaran Hutan Mangrove

Indonesia merupakan negara yang kaya, Indonesia mempunyai hutan mangrove yang terluas didunia, sebaran terumbu karang yang eksotik, rumput laut yang terdapat dihampir sepanjang pantai, sumber perikanan yang tidak ternilai banyaknya. menurut Noor, dkk., (2006) Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas hutan mangrove terluas didunia dengan keragaman hayati terbesar didunia dan struktur paling bervariasi didunia.


(20)

Hutan mangrove atau yang biasa disebut hutan bakau, walaupun penyebutan hutan bakau itu tidak pas sebenarnya karena bakau hanya merupakan salah satu dari jenis mangrove itu sendiri yaitu jenis Rhizopora spp. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2007).

Zonasi Hutan Mangrove

Zonasi yang terjadi dihutan mangrove adalah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan, gerakan air pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin dan hempasan ombak, serta jarak tumbuhan dari garis pantai.

Bengen (2002) mengemukakan bahwa jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan dapat dibedakan menjadi 4 zonasi, yaitu :

• Zona api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia sp.), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp.). • Zona bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp.) dan


(21)

dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp.).

• Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak dibelakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp.) dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

• Zona Nipah (Nypa fructican)

Zona ini terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada ditepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructican) dan beberapa spesies palem lainnya.

Taksonomi dan Morfologi Rhizopora apiculata

Bakau minyak memiliki nama ilmiah Rhizophora apiculata Bl. (atau sering pula disebut R. conjugata L.), bakau minyak juga disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain. Tandanya, dengan warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.

Bakau Minyak (Rhizophora apiculata BI.) mempunyai taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida


(22)

Famili :

Genus

Spesies : Rhizophora apiculata Bl.

Rhizophora apiculata dikenal dengan berbagai nama seperti bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik, donggo akit, jankar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang, wako. Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Daunnya berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Sederhana dan letaknya berlawanan. Berbentuk elips menyempit. Ujungnya meruncing dan ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14 mm. Terletak di ketiak daun dengan formasi kelompok (2 bunga perkelompok). Daun mahkota 4 kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga berwarna kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari 11-12 dan tak bertangkai. Buah kasar dan berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertile. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotiledon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.

Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu


(23)

lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting darat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi pembungaan terdapat sepanjang tahun. Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang, kulit kayu berisi hingga 30% tanin (persen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan diberati batu. Di jawa acapkali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor et al., 2006).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove Cahaya

Cahaya merupakan satu faktor yang penting dalam proses fotosintesisdalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiolagi dan struktur fisik tumbuhan. Intensitas cahaya didalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu faktor penting untuk tumbuhan. Umumnya tumbuhan di ekosistem mangrove juga membutuhkan intensitas tinggi ( Mac Nae, 1968).

Suhu

Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk bruguiera spp adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC (Hutchings dan Saenger, 1987).


(24)

Tanah

Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 2006).

Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorgansme, seperti bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).

Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah- tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai

kadar garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi, kecuali tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan garam tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu karang maupun di daerah endapan liat.


(25)

Salinitas

Bagi kebanyakan pohon-pohon mangrove dan fauna penggali liang dalam tanah, salinitas air pasang mungkin kurang penting dibandingkan dengan salinitas air tanah. Salinitas air tanah umumnya lebih rendah dibandingkan dengan air pasang diatasnya, hal ini disebabkan karena terjadinya pengenceran oleh air tawar (hujan) yang merembes kedalam tanah. Bagi akar-akar pohon dan fauna penggali lubang, faktor terpenting bukan hanya kadar NaCl tetapi tekanan osmotik.

Salinitas bervariasi dari hari ke hari dan dari musim kemusim. Selama siang hari salinitas lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Demikian pula pada musim pasang, salinitas akan turun dan cenderung untuk naik bila surut kembali. Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.

Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk membuang kelebihan garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih dari 90% masuknya garam dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit kayu dan daun tua yang hampir gugur. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diuapkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan mengecap daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya.. Untuk itu membran sel


(26)

di permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi (Soeroyo, 1993).

Potensi triterpenoid pada tanaman mangrove

Mangrove terkenal kaya sebagai sumber senyawa triterpenoid dan fitosterol (isoprenoid) (Koch et al, 2003; Basyuni et al, 2007a). Karena memiliki berbagai aktivitas biologis, isoprenoidnya dianggap penting sebagai sumber alam yang potensial untuk senyawa obat (Sparg et al., 2004). Beberapa aktivitas biologi dari triterpenoid di mangrove telah dilaporkan. Misalnya, ekstrak dari Rhizophora apiculata telah diguanakan sebagai obat tradisional dan biologi senyawa aktifnya diindentifikasi sebagai triterpenoid (Kokpol et al., 1990). Triterpenoid dari Acanthus illicifolius telah dilaporkan memiliki aktivitas anti-leukimia (Kokpol et al., 1986).

Penelitian sebelumnya menyarankan bahwa triterpenoid mungkin terlibat dalam perlindungan mangrove dari stres garam (Oku et al., 2003). Demikian pula, telah dilaporkan bahwa triterpene synthases dari Arabidopsis thaliana menunjukkan tanggapan positif terhadap salinitas (Zwenger dan Basu, 2007).

Selain fungsi mereka terhadap stres garam, triterpenoid juga dianggap memainkan peran defensif terhadap herbivora serangga. Triterpenoid dari Rhizophora mangle dapat berfungsi sebagai zat pertahanan kimia karena menunjukkan aktivitas insektisida (William, 1999). Selain itu, publikasi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ekspresi PgTPS terpenoid syntase meningkat oleh stres garam dalam Panax ginseng (Kim et al, 2008). Tingkat ekspresi gen triterpenoid synthase dari tiga pohon mangrove: K. candel, B.


(27)

gymnorrhiza dan Rhizophora stylosa ditingkatkan oleh salinitas (Basyuni et al., 2009; Basyuni et al., 2011).

Mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman garam

Mekanisme sel tanaman untuk beradaptasi terhadap cekaman garam dan strateginya belum banyak dipahami (Yeo, 1998; Munns, 2005). Meskipun mekanisme toleransi garam tanaman tampak kompleks dan bervariasi, beberapa mekanisme telah dilaporkan: penyesuaian tekanan osmotik oleh akumulasi molekul kecil seperti osmolytes, glisin-betain atau alkohol gula (Popp, 1984; Sakamoto and Murata, 2000); garam ekstrusi melewati membran plasma menggunakan ion transporter (Allen et al., 1995); akumulasi garam dalam vakuola menggunakan tonoplast transporter (Blumwald dan Poole, 1987; Mimura et al., 2003).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa stres salinitas meningkatkan ekspresi dari sejumlah gen dan tingkat protein (Sugihara et al., 2000; Ueda et al., 2002; Yamada et al., 2002.). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa cekaman garam menginduksi perubahan konsentrasi triterpenoid dan ekspresi gen triterpenoid di mangrove jenis non-sekresi (Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007b, 2009).

Dalam kondisi cekaman garam, tanaman dapat mengubah tingkat metabolit sekunder seperti triterpenoid atau senyawa fenolik untuk meningkatkan sistem pertahanan mereka terhadap stres oksidatif (Kim et al, 2008). Membran plasma telah memainkan peran penting dalam toleransi tanaman untuk cekaman garam. Komposisi lipid membran mengontrol membran permeabilitas (Mansour et al., 1994, Kim et al, 2008.).


(28)

Karena lipid terdiri dari proporsi yang signifikan dalam pengeluaran karbon dari mangrove (Wannigama et al, 1981.; Hogg dan Gillan, 1984; Basyuni et al., 2007), pengetahuan dari komposisi lipid mangrove menjanjikan kontribusi untuk memperkirakan sumber dan tingkat akumulasi materi sedimen organik. Lipid Nonsaponifiable (NSLS) pada dasarnya menunjukkan fraksi lipid sederhana kecuali untuk asam lemak (saponifiable lipid) setelah hidrolisis basa dari lipid total, dan mengandung sterol, rantai panjang alkohol dan alkana. Pada umumnya, NSL mewakili sebagian kecil lipid lebih stabil dibandingkan fraksi lipid saponifiable (asam lemak), dan resisten terhadap degradasi mikroba telah dianggap faktor yang relatif penting dalam mengontrol jalur diagenetic (Killops dan Frewin, 1994;. Koch et al,2005; Basyuni et al., 2007). Triterpenoid adalah konstituen kimia umum yang lebih tinggi pada tanaman, terdiri dari proporsi utama dari NSLS, dan telah diidentifikasi dalam lilin kutikula mangrove dan spesies tanaman lain (Beaton et al, 1955;. Wannigama et al, 1981;. Ghosh et al, 1985;. Koch et al, 2003; Basyuni et al., 2007). Beberapa studi telah menjadikan terpenoid pentasiklik sebagai pelacak untuk sumber utama organik yang ada pada mangrove karena stabilitas mangrove selama sedimentasi dan diagenesis (Killops dan Frewin, 1994; Versteegh et al, 2004;. Koch et al, 2005; Basyuni et al., 2007). Jadi, analisis dari terpenoid adalah prasyarat untuk interpretasi sinyal biomarker di sedimen mangrove. Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa daun mangrove merupakan sumber asam lemak (lipid saponifiable) dan lipid lainnya untuk ekosistem sekitarnya (Basyuni et al., 2007).

Pengamatan ini juga sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa cekaman garam meningkatkan konsentrasi triterpenoid di akar dan daun tanaman mangrove


(29)

serta berkontribusi terhadap toleransi garam di hutan mangrove (Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007a, 2009). Selanjutnya, triterpenoid ada dalam proporsi yang lebih besar di bagian luar akar, menunjukkan peran pelindung triterpenoid pada spesies pohon mangrove (Basyuni et al., 2007b). Meskipun banyak penelitian bahwa skrining gen yang terlibat dalam toleransi terhadap garam, tidak ada yang menggambarkan ekspresi garam-responsif dari gen untuk sintasa triterpenoid. Hal ini bisa karena perbedaan antara spesies tanaman, jaringan dipelajari, durasi dan perlakuan garam, dan mungkin indikasi dari beragamnya mekanisme toleransi garam antara pohon-pohon mangrove (Ezawa and Tada, 2009; Basyuni et al., 2011).


(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penananam

Penanaman propagul Rhizopora apiculata dengan berbagai perlakuan salinitas dalam kurun waktu 5 bulan dilakukan pada 24 agustus 2011 sampai 24 januari 2012 di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengambilan Sampel dan Ekstraksi

Sampel daun dan akar Rhizopora apiculata diambil dari pohon dewasa di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 14 April 2012. Ekstraksi lipid dan Analisis NSL (Nonsaponifieble Lipids) dilakukan pada 25 juni-juli 2012, di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

Kondisi Umum Lokasi Pengambilan Sampel

Pulau Sembilan merupakan nama suatu Desa yang berada digugusan pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. Desa ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat hingga pelabuhan penyebrangan di Pangkalan Susu yang terletak sekitar 90 km dari Kota Medan. Jarak Pulau Sembilan dengan ibu kota kecamatan Pangkalan Susu sejauh 6 km (Thoha, 2009).


(31)

(32)

Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2 atau ± 9,67% dari total luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2). Jumlah total penduduk di Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian antara lain sebagai pertani sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19 KK, pedagang 29 KK, supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan penggunaan lahan antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29 km2 dan lainnya seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal kawasan lindung seperti ka nan kiri sungai dan tepi pantai (BPS, 2010).

Di Pulau Sembilan tersebar pantai-pantai yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek Ekowisata. Namun masyarakat masih tertumpu pada pengembangan budidaya ikan kerambah dan mutiara serta pengolahan kulit kerang. Di Pulau Sembilan ini juga dapat dijumpai ekosistem lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat untuk aktifitas pertanian tadah hujan maupun pengairan. Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur yang asin atau terkena intrusi air laut (BPS, 2009). Adapun peta lokasi Pulau Sembilan dapat dilihat di Gambar 1.


(33)

Alat dan Bahan Penelitian Penanaman

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka sorong, penggaris, kamera, oven, timbangan, cutter, hand refractometer dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah propagul Rhizopora apiculata yang sehat dan matang, bubuk garam komersial (marine salt), pasir dari sungai (tidak memiliki salinitas), pot plastik, amplop coklat, dan label.

Ekstraksi dan Analisis

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun dan akar pohon mangrove yang berasal dari jenis Rhizopora apiculata. Sedangkan bahan kimia dan bahan lainnya yang digunakan adalah nitrogen cair, klorofom, methanol, hexane, KOH, ethanol, cholesterol, garam buatan, aluminium foil, kertas tisu.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah salinity refractometer S/Mill-E (Atago Co. Ltd, Tokyo, Jepang), tabung reaksi untuk mengekstrak daun dan akar pohon mangrove, rak kultur untuk tempat peletakan tabung reaksi yang digunakan dalam pengekstrakan, Eyela Evaporator, waterbath, kertas filtrasi No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang).

Prosedur Penelitian

Percobaan toleransi garam 1. Penyiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan adalah pasir sungai (tidak memiliki salinitas). Konsentrasi garam dibuat dengan melarutkan bubuk garam komersial untuk membuat salinitas 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% (sama dengan level air laut,


(34)

metode ini mengacu pada penelitian Basyuni et al., (2009, 2012). Dimana garam yang dipakai adalah marine salt. Untuk membuat konsentrasi salinitas 0,5%, 1,5%, 2%, 3% dengan cara melarutkan 5,67 gram, 17 gram, 22,66 gram, 34 gram bubuk garam komersial masing-masing dalam 1 liter air. Salinitas adalah massa serbuk garam/ massa larutan. Konsentrasi garam pada setiap perlakuan pot diperiksa seminggu sekali selama percobaan dengan hand refraktometer.

2. Pemilihan Propagul

Propagul R. apiculata yang digunakan berasal dari pohon induk yang berumur 5 tahun atau lebih. Propagul yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang oleh hama dan penyakit dan telah matang secara fisiologi dengan warna propagul hijau kecoklatan.

3. Penanaman Propagul

Propagul R. apiculata yang telah disediakan ditanam ke dalam pot plastik yang telah berisi media tumbuh yang telah disesuaikan dengan perlakuannya masing-masing. Kemudian polibag diberi tanda/label sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

4. Ekstraksi Lipid

Daun R. apiculata sebanyak 2-4 lembar atau 4-5 gram akar digerus dengan Nitrogen cair, kemudian di ekstrak dengan chloroform-methanol 2:1 (CM21), dinding sel yang berisi kotoran yang tidak larut dalam CM21 disaring dengan kertas saring No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang) dan yang tersisa adalah lipid ekstrak di dalam chloroform. Sebagian ekstrak dimurnikan untuk dianalisis kandungan lipidnya seperti yang digambarkan sebelumnya (Folch et al., 1957; Oku et al., 2003). Cairan ekstrak yang pekat dikeringkan kemudian ditimbang dan


(35)

di dapatkan berat lipidnya. Secara langsung dapat diketahui kandungan total lipid/tisue (mg/g tisue).

5. Analisis NSL (Nonsaponifieble Lipids)

Lipid ekstrak di dalam chloroform (yang telah diketahui berat total lipidnya) dikeringkan kemudian ditambahkan 2ml KOH 20% dalam Ethanol 50% di refluxed selama 10 menit dengan suhu 90º C, ditambahkan 2 ml Hexane (NSL) kemudian diaduk. Lapisan Hexane dipindahkan kedalam tube yang telah diketahui beratnya, kemudian cairan di keringkan dengan Nitrogen stream, kemudian dikeringkan di bawah vakum selama 10 menit,selanjutnya ditimbang berat NSLnya. Secara langsung dapat diketahui kandungan NSL/tisue (mg/g tisue) atau kandungan NSL/total lipid (mg/mg total lipid) (Basyuni et al., 2007)

Parameter Penelitian

Pengamatan dilakukan ketika tanaman berumur 5 bulan dengan parameter yang diamati adalah :

1. Tinggi semai (cm)

Pengukuran tinggi semai diukur dengan penggaris. Pengambilan data dilakukan pada umur 5 bulan sebelum pemanenan. Tinggi semai diukur mulai dari bagian plumula sampai titik tumbuh tertinggi.

2. Diameter semai (cm)

Pengukuran diameter batang dilakukan pada tanda awal dengan menggunakan jangka sorong dengan dua arah yang berlawanan dan saling tegak lurus terhadap batang kemudian diambil rata-ratanya.


(36)

3. Jumlah daun

Perhitungan jumlah daun dilakukan pada pada saat semai berumur 5 bulan sesaat sebelum dilakukan pemanenan. Pengambilan data dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi dan diameter semai.

4. Luas permukaan daun

Pengukuran luas permukaan daun dilakukan pada akhir penelitian. Luas permukaan daun diukur dengan menggunakan program Image J dari NIH (National Institute of Health).

5. Berat basah akar, batang dan tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat basah akar, batang dan tajuk bagian akar, tajuk dan daun yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal R.apiculata.

6. Berat kering akar, batang dan tajuk

Pengamatan berat kering semai dilakukan setelah selesai kegiatan pemanenan semai R. apiculata. Untuk mendapatkan berat kering akar, batang dan daun dimasukkan kedalam amplop sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar, batang, dan daun R. apiculata dioven pada temperatur 75° sampai berat kering konstan lalu ditimbang berat keringnya.

7. Ratio tajuk dan akar

Perhitungan ratio tajuk dan akar dilakukan setelah semai berumur 6 bulan. Perhitungan ratio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus

sebagai berikut : Rasio =

akar kering Berat

tajuk kering Berat


(37)

8. Rasio batang dan akar

Perhitungan ratio batang dan akar dilakukan setelah semai berumur 6 bulan. Perhitungan ratio batang dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan

rumus sebagai berikut : Rasio =

akar kering Berat

batang kering

Berat

Analisis Data

Pengujian data-data tersebut diolah dengan menggunakan model rancangan acak lengkap. Dengan menggunakan 5 perlakuan dan masing-masing 5 ulangan yaitu dengan konsentrasi garam sebagai berikut 0%, 0,5% , 1,5%, 2% dan 3%.

Model linear dari rancangan tersebut adalah: Yij = µ + αi + ε i( j)

Dimana:

Yij = Respon pengaruh bagian ke-i ulangan ke-j i = 1, 2, 3, 4, 5

j = 1, 2, 3, 4, 5 µ = Rata-rata umum

αi = Pengaruh konsentrasi gaaram ke-i εi ( j) = Kesalahan (galad) percobaan

Data dianalisis dengan analisis varian satu arah (ANOVA) yang diikuti dengan uji Dunnett untuk perbandingan dari semua perlakuan terhadap kontrol. Signifikansi koefisien korelasi dilakukan dengan menggunakan uji t. Nilai P<0,05 dan P<0,01 dipilih sebagai batas signifikansi statistik. Semua analisa statistik dilakukan dengan menggunakan program softawre SPSS 16.


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertambahan Tinggi dan Diameter Semai Rhizopora apiculata

Hasil dari pengukuran morfologi Rhizopora apiculata disajikan dalam bentuk grafik. Tinggi Rhizopora apiculata paling tinggi pada salinitas 1,5% yaitu 12,58 cm dan paling rendah pada kontrol yaitu 6,31 cm. Berdasarkan hasil uji Dunnet P<0,05 menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh nyata di salinitas 1,5% dan 2% dan P<0,01 menunjukkan bahwa salinitas 1,5% berpengaruh nyata terhadap kontrol. Pertambahan tinggi semai Rhizopora apiculata dapat dilihat di Gambar 2A.

Gambar 2. Tinggi dan diameter semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 5 bulan. Data merupakan rata-rata ± SE (n=13-15). Tanda * mengindikasikan secara statistik P<0,05 dan tanda ** menandakan P<0,01.

Pertumbuhan diameter semai Rhizopora apiculata paling tinggi pada salinitas 1,5% yaitu 0,513 cm dan paling rendah pada salinitas 3% yaitu


(39)

0,463 cm. Hasil uji Dunnet P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa salinitas 0,5% dan 1,5% berpengaruh nyata dibandingkan dengan kontrol terhadap pertambahan diameter semai Rhizopora apiculata. Pertambahan diameter semai Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 2B.

Berdasarkan hasil uji Dunnet yang telah dilakukan bahwa pemberian berbagai salinitas berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi semai Rhizopora apiculata. Pertambahan tinggi semai Rhizopora apiculata yang optimal terdapat di salinitas 1,5% yaitu 12,58 cm. Ini berarti pertumbuhan tinggi semai Rhizopora apiculata menunjukkan respon positif di salinitas 1,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya pada Avicennia marina dan Rhizopora stylosa pertumbuhan terbaik berada pada salinitas 1,5% (Basyuni et al., 2012). Hal ini membuktikan bahwa Rhizopora apiculata merupakan jenis mangrove yang toleran terhadap garam. Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi yang baik diperoleh pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt demand) tetapi tumbuhan yang toleran terhadap garam (salt tolerance). Aksornkoae (1993) meneliti unsur-unsur mineral yang dibutuhkan tanaman mangrove untuk pertumbuhan, dan disebutkan bahwa unsur mineral yang dibutuhkan terdiri dari unsur makro yaitu N, P, S, K, Ca dan Mg serta unsur mikro yang terdiri dari Zn, Mn dan Cu. Noakes (1951) menyatakan bahwa mangrove bukan halofit obligat, yang berarti bahwa tumbuhan mangrove dapat tumbuh pada air tawar, tetapi ditambahkan bahwa mangrove akan tumbuh maksimum pada pertengahan antara air tawar dan air laut.


(40)

Pertambahan dimeter semai Rhizopora apiculata memberikan respon yang baik di salinitas 1,5% (Gambar 2B). Berdasarkan hasil uji Dunnet juga dibuktikan bahwa pada salinitas 1,5% berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter semai Rhizopora apiculata. Seiring dengan pertambahan tinggi yang optimal di salinitas 1,5%, pertumbuhan diameter juga optimal di 1,5%. Hal ini dikarenakan kandungan garam yang berada di salinitas 1,5% cukup untuk pertumbuhan semai Rhizopora apiculata, karena kandungan garam dan cadangan makanan yang ada akan mempengaruhi pertumbuhan semai itu sendiri. Proses pertumbuhan yang baik dan berlangsung cepat karena adanya energi yang tersimpan pada benih

untuk melakukan perkecambahan dengan sempurna. Hal ini didukung oleh Kramer dan Kozlowski (1960) yang menyatakan bahwa keberhasilan

pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada dalam jaringan sel tanaman tersebut.

Gambar 3. Rata-rata Jumlah Daun (A) dan Luas Daun Rhizopora apiculta (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13-15) untuk rata-rata jumlah daun dan SE (n= 5) untuk luas daun.

Jumlah daun semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat pada salinitas 0,5% yaitu 6 helai dan paling rendah pada salinitas 3% 5 helai.


(41)

Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun semai Rhizopora apiculata. Jumlah daun semai Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 3A.

Luas daun semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat di salinitas 0,5% yaitu 127,84 cm2 dan paling rendah pada salinitas 3% yaitu 83,86 cm2. Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa pemberian berbagai perlakuan salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun. Luas daun pada berbagai salinitas dapat dilihat pada Gambar 3B.

Berdasarkan hasil uji Dunnet salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun dan luas permukaan daun. Pertambahan daun tidak selalu diikuti dengan pertambahan tinggi, karena pertambahan daun tidak selalu dari pucuk tetapi dapat juga terjadi di cabang anakan. Hal ini diduga berkaitan dengan Rhizopora apiculata merupakan jenis mangrove non ekskresi ( non-scereting species), yaitu jenis mangrove yang tidak memiliki fitur morfologi untuk ekskresi kelebihan garam (Scholander et al., 1962; Tomlinson, 1986). Kelebihan garam pada jenis Rhizopora apiculata akan disimpan didalam daun yang akan brakibat dengan produksi daun. Sehingga semai Rhizopora apiculata tidak akan memproduksi daun dalam jumlah yang besar di salinitas yang tinggi dan juga akan berpengaruh terhadap luas daun. Tidak seperti Avicennia marina untuk mencegah akumulasi garam, anakan Avicennia marina akan mengeluarkannya melalui kelenjar tersebut, sehingga anakan ini merespon konsentrasi garam yang tinggi dengan memproduksi daun dalam jumlah yang besar. Hutching and Saenger (1987) melaporkan bahwa pada


(42)

tumbuhan yang mempunyai kelenjar pengeluaran garam ditemukan jumlah dan konsentrasi Na+ dan Cl- yang tinggi pada daun muda. Tingkat konsentrasi garam yang tinggi juga dapat mengakibatkan daun cepat gugur.

Pengaruh Salinitas Terhadap Biomassa Semai Rhizopora apiculata

Berat basah akar semai Rhizopora apiculata tertinggi pada salinitas 1,5 % yaitu 5,74 gr dan terendah pada kontrol yaitu 2,58 gr. Berat basah batang Rhizopora apiculata paling tinggi berada pada salinitas 1,5 % yaitu 1,78 gr dan paling rendah pada kontrol 0,42 gr. Berat basah daun paling tinggi berada pada salinitas 0,5% yaitu 6,36 gr dan paling rendah pada kontrol yaitu 3,54 gr. Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 pada salinitas 0,5% dan 1,5% dan P<0,01 salinitas 1,5% menunjukkan bahwa berat basah akar semai Rhizopora apiculata pada pemberian salinitas berpengaruh nyata terhadap kontrol. Hasil uji Dunnett P<0,05 menunjukan bahwa berat basah batang pada salinitas 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% dan P<0,01 pada salinitas 0,5%, 1,5% dan 3% berpengaruh nyata terhadap kontrol. Berat basah daun berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01 berpengaruh nyata di salinitas 0,5% dan 1,5%. Pertambahan berat basah akar, batang dan daun dapat dilihat pada Gambar 4A.

Berat kering akar pada semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat pada salinitas 1,5 % yaitu 2,54 gr dan paling rendah pada kontrol 1,02 gr. Berat kering batang juga pada salinitas 1,5 % merupakan yang paling tinggi yaitu 1,08 % dan paling rendah pada kontrol. Berat kering daun paling tinggi pada salinitas 0,5% yaitu 3,34 gr dan paling rendah pada salinitas 3 % yaitu 1,52 gr. Hasil uji Dunnet P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa berat kering akar berpengaruh nyata di salinitas 0,5% dan 1,5%, berat kering batang berpengaruh nyata pada


(43)

salinitas 0,5%, 1,5% dan 2%, sedangkan berat kering daun tidak berpengaruh nyata pada berbagai perlakuan salinitas. Pertambahan berat kering semai Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 4B.

Gambar 4. Pengaruh Salinitas terhadap Berat Basah (A) dan Berat Kering (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets.

Perlakuan salinitas memberikan respon yang berbeda terhadap pertambahan tinggi dan diameter dengan jumlah daun yang dihasilkan. Pada salinitas yang rendah semai Rhizopora apiculata akan memproduksi jumlah daun yang lebih besar daripada salinitas tinggi, sebaliknya respon yang rendah untuk pertumbuhan tinggi dan diameter. Ini dikarenakan Rhizopora apiculata tidak memiliki kelenjar untuk mengeluarkan kelebihan garam sehingga pertumbuhan daun terhambat.


(44)

Pengukuran biomassa ini dilakukan dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat cadangan karbon yang ada. Karena didalam akar, batang dan daun tersimpan karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya terseimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Carbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan ini mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer. (Sutaryo, 2009).

Rasio Daun/Akar Dan Ratio Batang/Akar Semai

Rasio daun dan akar semai Rhizopora apiculata paling tinggi pada kontrol yaitu 2,74 gr dan paling rendah pada salinitas 1,5 % yaitu 1,35 gr. Hasil uji Dunnet P<0,05 menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap rasio daun/akar semai Rhizopora apiculata. Rasio daun dan akar semai Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 5A.

Gambar 5. Rasio Tajuk dan Akar (A), Rasio Batang dan Akar (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets.


(45)

Hal ini sesuai dengan pernyataan Lingga dan Marsono (2011) bahwa pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan sebagai proses bertambahnya ukuran dan jumlah sel-sel tanaman yang diikuti adanya pertumbuhan berat kering tanaman, sedangkan perkembangan tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses menuju tercapainya kedewasaan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terbagi menjadi dua fase yaitu fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif, perbandingan atau rasio daun (pucuk) dan akar sangat menentukan perkembangan selanjutnya terutama dalam hal produksi. Bila pertumbuhan akar lebih cepat dari daun (pucuk) maupun sebaliknya akan berpengaruh kurang baik pada pertumbuhan dan produksi tanaman itu sendiri. Disini jelas dibutuhkan adanya keseimbangan antara rasio pertumbuhan daun dengan akar. Artinya agar baik pertumbuhan akar maupun daun sama-sama tumbuh dan berkembang secara normal dan seimbang tanpa saling mendominasi.

Rasio batang dan akar tertinggi terdapat di salinitas 2 % yaitu 0,53 gr dan rasio terendah pada kontrol yaitu 0,17%. Berdasarkan hasil uji Dunnet P<0,05 menunjukkan bahwa salinitas 1,5% dan 2% dan P<0,01 pada salinintas 2% berpengaruh nyata terhadap rasio batang dan akar semai Rhizopora apiculata. Rasio batang dan akar dapat dilihat pada Gambar 5B. Rasio berat kering batang/akar merupakan karakter fisiologi yang dapat membantu untuk memahami pertumbuhan relatif batang-akar. Hal ini berkaitan dengan sinar matahari atau naungan dan dengan tanah yang lembab atau tanah yang kering serta salinitas. Perbandingan batang/akar menunjukkan bahwa rerata berat kering akar lebih besar dibanding berat kering batang.


(46)

Produksi bahan kering pada vegetasi menggambarkan keragaman tekanan lingkungan, terutama berhubungan dengan penyedian energi matahari, air dan mineral/nutrien. Spesies tumbuhan yang sama secara genotip dapat menunjukkan perbedaan tanggapan terhadap bentuk-bentuk stres dan masing-masing terlatih menghadapi bermacam-macam stres yang berbeda-beda. Menurut Crime (1980), stres dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tekanan dari luar yang membatasi rata-rata produksi biomassa kering seluruh atau sebagian vegetasi.

Berdasarkan pengamatan parameter tinggi , diameter dan biomassa diatas dapat dilihat bahwa Rhizopora apiculata dapat tumbuh baik di salinitas 0,5%-1,5%. Dari hasil ini dapat digambarkan posisi Rizopora apiculata pada zonasi mangrove di Pulau Sembilan berada berada di zonasi tengah yaitu di antara zona Avicennia sp dan zona Bruguiera sp (dapat dilihat di Gambar 6). Zona Rhizopora biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizopora sp.) dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp.) (Bengen, 2002).

Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah Bruguiera eriopetala, Bruguiera gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizopora mucronata, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus Moluccensis (Samingan, 1980; Noor et al., 2006).


(47)

Zonasi mangrove Pulau Sembilan berbeda dengan zonasi mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Terdapat empat zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa, yaitu : Zona pertama, R.mucronata, yang merupakan zona yang paling luar dan langsung berbatasan dengan laut dan selalu tergenang air laut pada saat pasang harian, pertumbuhan R. mucronata menunjukkan indikasi asosiasi dengan B. gymnorrhiza. Di Pulau Kaledupa, R.mucronata merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang terbentuk di depan formasi mangrove paling luar (arah laut). Zona kedua, R.apiculata, pertumbuhan R. apiculata berasosiasi dengan B. gymnorrhiza, dan dengan Ceriops tagal. Zona ketiga, C. tagal, berkembang pada bagian belakang umumnya berupa belukar dengan ketinggian yang hampir seragam, dengan rata-rata ukuran diameter batang relatif lebih kecil dibandingkan jenis lain yang menyusun tegakan pada kawasan ini. Zona keempat, C. decandra, yang merupakan zona yang paling dalam (berbatasan dengan tumbuhan darat) yang hanya digenangi air laut pada pasang tertinggi. Spesies lain yang juga ditemukan pada zona ini adalah Avicennia marina dan Xylocarpus granatum (Jamili et al., 2009).


(48)

Gambar 6. Zonasi mangrove di Pulau Sembilan

Total Lipid dan Kandungan NSL (Nonsaponifiable Lipid) Rhizopora apiculata

pada Tingkat Pohon

Hasil ekstraksi daun dan akar Rhizopora apiculata didapat nilai total lipid dan NSL (Nonsaponifiable Lipid). Adapun hasil ekstraksi dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Total Lipid dan Kandungan NSL pada jenis Rhizopora apiculata

Jenis Jaringan

(Tisue) Berat Sampel (gr) Total Lipid (mg) NSL (mg) Total Lipid/Tisue mg/g NSL/Tisue mg/g NSL/Total Lipid (mg/mg) Rhizopora Apiculata

Daun 5,4440 9,60 0,10 1,76 0,02 0,01

Akar 5,1400 6,40 0,226 1,25 4,40 3,53

Avicennia marina Rhizopra apiculata Xylocarpus granatum

Sonneratia alba Bruguiera gymnorhiza Nypah fruticans 3% 2% 1,5% 0,5% 0%


(49)

Tabel 1 menunjukkan total lipid dan NSL dari daun dan akar mangrove. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kandungan total lipid/tissue lebih banyak di daun dibandingkan di akar yaitu di daun sebedar 9,60 mg/tissue dan di akar sebesar 6,40 mg/tissue. Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya kandungan total lipid dari daun Rhizopora stylosa juga yaitu 7,49 mg/tissue (Basyuni et al, 2007). Mfline dkk (2005) dalam Basyuni (2007) mempelajari perubahan total lipid dan asam lemak pada daun mangrove terhadap mikroba pada dua jenis spesies mangrove di Okinawa yaitu Kandelia candel dan Bruguiera gymnorhiza. Mereka melaporkan bahwa daun mangrove merupakan sumber utama asam lemak dan kemungkinan ada kandungan lipid yang lain.

Nilai NSL lebih tinggi di akar dibandingkan di daun yaitu 0,10 mg di akar dan 0,226 mg di daun. Hal ini berbanding terbalik dengan total lipid yang lebih banyak di daun dibandingkan di akar. Ini kemungkinan dikarenakan hasil ekstraksi NSL pada akar terdapat kandungan air. Sehingga kadar NSL lebih banyak di daun daripada di akar yang seharusnya lebih banyak di daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Basyuni et al (2007) bahwa kandungan NSL terdiri dari 8% sampai 23% dari lipid total.

Triterpenoid merupakan kandungan kimia yang cukup tinggi didalam mangrove, yang memiliki proporsi utama NSL dan telah diidentifikasi dalam lilin kutikula mangrove dan beberapa spesies tanaman lain (Beaton et al, 1955; Wannigama et al, 1981; Ghosh dkk, 1985; Koch et al, 2003). Dengan demikian dari analisis lipid dan NSLS ini dapat digunakan sebagai biomarker bahan organik di hutan mangrove atau sebagai lipid input. Lipid merupakan proporsi yang signifikan dengan karbon yang dikeluarkan dari hutan mangrove (Wannigama et


(50)

al, 1981;Hogg dan Gillan, 1984). Pengetahuan tentang kompisisi lipid dapat menjadi kontribusi untuk memperkirakan sumber dan tingkat akumulasi bahan organik.

Terlepas dari perubahan metabolis untuk mengatasi masalah cekaman lingkungan, membran sel tanaman itu sendiri adalah dasar dan penghalang yang potensial untuk mengatasi beberapa faktor eksternal. Dengan demikian, lipid pada membran sel memiliki peranan yang penting dalam adaptasi tanaman terhadap lingkungan.


(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pertumbuhan dan biomassa terbaik semai Rhizopora apiculata berada pada salinitas 1,5%.

2. Posisi Rhizopora apiculata dalam zonasi mangrove berada di zonasi tengah yaitu zonasi yang memiliki salinitas 1,5%.

3. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg.

4. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg.

Saran

Sebaiknya pembibitan R. apulata dilakukan pada salinitas 1,5% karena menunjukkan tingkat pertumbuhan yg paling baik. Diperlukan penelitian lanjutan untuk melihat kandungan lipid dan NSL pada semai Rhizopora apiculata di berbagai perlakuan salinitas 0,5%, 1,5%, 2% dan 3%.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S., 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN. Bangkok.

Allen, G.J., Wyn-Joens, R.G., Leigh, R.A., 1995. Sodium transport measured in plasma membrane vesicles isolated from wheat genotypes with differing K+/Na+ determination traits. Plant Cell Environ. 18, 105-115.

Basyuni, M., Oku, H., Baba, S., Takara, K., Iwasaki, and Oku, H., 2007. Isoprenoids of Okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. J. Oceanogr.63, 601-608.

Basyuni, M., Oku, H., Tsujimoto, E., Kinjo, K., Baba, S., Takara, K., 2007b. Triterpene synthases from the Okinawan mangrove tribe, Rhizophoraceae. FEBS J. 274, 5028-5042.

Basyuni, M., Baba, S., Inafuku, M., Iwasaki, H., Kinjo, K., Oku, H., 2009. Expression of terpenoid synthase mRNA and terpenoid content in salt stressed mangrove. J. Plant Physiol. 166, 1786-1800.

Basyuni, M., Kinjo, Y., Baba, S., Shinzato, N., Iwasaki, H., Siregar, E.B.M., Oku, H., 2011. Isolation of Salt Stress Tolerance Genes from Roots of Mangrove Plant, Rhizophora stylosa Griff., using PCR-based Suppression Subtractive Hybridization. Plant Mol. Biol. Rep. 29, 533-543.

Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, H. Oku. 2012. Salinity Increase the Triterpenoid Content of a Salt Secretor and a Non Salt Secretor Mangrove. Aquatic Botany 97, 17-23.

Bengen, D. G. dan Adrianto. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Blumwald, E., Poole, R.J., 1987. Salt tolerance in suspension cultures of sugar beet: induction of Na+/H+ antiport activity at the tonoplast by growth in salt. Plant Physiol. 83, 884-887.

BPS. 2010. Kecamatan Pangkalan Susu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Langkat.

BPS. 2009. Kecamatan Pangkalan Susu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Langkat.

Clough, B. (1998): Mangrove forest productivity and biomass accumulation in Hichinbrook Channel, Australia. Mang. Salt Marsh., 2, 191–198.

Clough, B., Tan, D.T., Phuong, D.X., Buu, D.C., 2000. Canopy leaf area index and litter fall in stands of the mangrove Rhizophora apiculata of different age in the Mekong Delta, Vietnam. Aquat. Bot. 66, 311-320.


(53)

Crime, J.P., 1980. Plant Strategies and Vegetation Processes. Chichester: John Wiley and Sons.

Ezawa, S., Tada, Y., 2009. Identification of salt tolerance genes from the mangrove plant Bruguiera gymnorrhiza using Agrobacterium screening. Plant Sci. 176, 272-278.

FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Hutching, P. and P. Saenger, 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press, St. Lucia. Australia.

Jamili, Dede, S, Ibnul, Q, Edi, G. 2009. Struktur Dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Desember 2009 Vol 14 (4) : 36-45.

Jayatissa, dkk. 2002. The Citanduy River Diversion Project some critical thoughts. In Good Governance or Bad Mangement; An Overview of the ADB's Decision.

Kathiresan, K. and B. L. Bingham. 2001. Biology of mangrove and mangrove ecosystem. Adv. Mar. Biol. 40, 81-151.

Kim, Y.J., Ham, A.R., Shim, J.S., Lee, J.H., Jung, D.Y., In J.G., Lee, B.S.,Yang, D.C., 2008. Isolation and characterization of terpene synthase gene from Panax ginseng. J. Ginseng Res. 32,114–119.

Koch, B.P., Rullkotter, J., Lara, R.J., 2003. Evaluation of triterpenoids and sterols as organic matter biomarkers in a mangrove ecosystem in northen Brazil. Wetl. Ecol. Manag. 11, 257-263.

Kokpol, U., Chittawong, V., Miles, D.H., 1986. Chemical constituents of the roots of Acanthus illicifolius. J. Nat. Prod. 49, 355-356.

Kokpol, U., Chavasiri, W., Chittawong, V., Miles, D.H., 1990. Taraxeryl cis-p-hydroxycinnamate, a novel taraxeryl from Rhizophora mucronata. J. Nat. Prod. 53, 953-955.

Kramer, D. J dan T. T Kozlowsky. 1960. Physiology of tree. McGraw Hill Book Company Inc. New York.

Lingga, P. dan Morsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mac Nae, W. 1968.A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region.Advances in Marine Biology 6: 73-270.


(54)

Mansour, M.M.F., van Hasselt, P.R., Kuiper, P.J.C., 1994. Plasma membrane lipid alternations induced by NaCl in winter wheat roots. Physiol. Plant. 92: 473–478.

Mimura, T., Kura-Hotta, M., Tsujimura, T., Ohnishi, M., Miura, M., Okazaki, Y., Mimura, M., Maeshima, M., Washitani-Nemoto, S., 2003. Rapid increase of vascular volume in response to salt stress. Planta 216, 397-402.

Mulyani, N, Kusmana, C dan Supryanto. 1999. Pengkajian Penerapan Teknik Budidaya Rhizophora sp dengan Stek Hipokotil. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. V No 1 : 57-65.

Munns, R., 2005. Genes and salt tolerance: bring them together. New Phytol. 167, 645-663.

Noakes, 1951. Mangrove. FAO Tropical Silviculture (2) : 379 - 404.

Noor, Y. R, M. Khazali dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands Internasional-Indonesia Programe. Bogor.

Oku, H., Baba, S., Koga, H., Takara, K., Iwasaki, H., 2003. Lipid composition of mangroves and its relevance to salt tolerance. J. Plant Res. 116, 37-45. Parida, A.K., Das, A.B., 2005. Salt tolerance and salinity effects on plants: a

review. Ecotoxicol. Environ. Saf. 60, 324-349.

Popp, M., 1984. Chemical composition of Australian mangroves II. Low molecular weight carbohydrates. Z. Pflanzenphysiol. 113, 411-421.

Sakamoto, A., Murata, N., 2000. Genetic engineering of glycinebetaine synthesis in plants: current status and implication for enhancement of stress tolerance. J. Exp. Bot. 51, 81-88.

Scholander, P.F., Hammel, H.T., Hemmingsen, E., Garey, W., 1962. Salt balance in mangroves. Plant Physiol. 37, 722-729.

Soeroyo, 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin Ilmiah INSTIPER. Yogyakarta.

Spalding, M., Kainuma, M., Collins, L., 2010. World Atlas of Mangroves. Earthscan. London.

Sparg, S.G., Light, M.E., van Staden, J., 2004. Biological activities and distribution of plant saponins. J. Ethnopharmacol. 94, 219-243.

Sugihara, K., Hanagata, N., Dubinsky, Z., Baba, S., Karube, I., 2000. Molecular characterization of cDNA encoding oxygen evolving enhancer protein 1 increased by salt treatment in the mangrove Bruguiera gymnorrhiza. Plant Cell Physiol. 41, 1279-1285


(55)

Tomlinson P.B., 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press; 1986.

Thoha, A. S. 2009. Kondisi Umur Aras Napal dan Pulau Sembilan. Lokasi Umum Praktik. Diakses dari http://ptigah.wordpress.com/2009/06/02/kondisi-umum-aras-napal-dan-pulau-sembilan/. (20 Juni 2012).

Ueda, A., Shi, W., Nakamura, T., Takabe, T., 2002. Analysis of salt-inducible genes in barley roots by differential display. J. Plant Res. 115, 119-130. Williams, L.A.D., 1999. Rhizophora mangle (Rhizophoraceae) triterpenoids with

insectidal activity. Naturwissenschaften 86, 450-452.

Yamada, A., Saitoh, T., Mimura, T., Ozeki, Y., 2002. Expression of mangrove allene oxide cyclase enhances salt tolerance in Escherichia coli, yeast, and tobacco cells. Plant Cell Physiol. 43, 903-910.

Yeo, A., 1998. Molecular biology of salt tolerance in the context of whole-plant physiology. J. Exp. Bot. Vol. 49, 915–929.

Zwenger, S., Basu C., 2007. In silico analysis of terpene synthase genes in Arabidopsis thaliana. EXCLI J. 6:203-211.


(56)

LAMPIRAN

1. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett semai R. apiculata pada

berbagai tingkat salinitas.

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett pertambahan tinggi semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

Tinggi

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 346.627 4 86.657 8.523 .000

Within Groups 691.412 68 10.168

Total 1038.039 72

Multiple Comparisons

Tinggi

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% 2.8395 1.2083 .072 -.184 5.863

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 6.5400* 1.1643 .000 3.626 9.454

Salinitas 2% Salinitas 0% 3.3200* 1.1643 .020 .406 6.234

Salinitas 3% Salinitas 0% 1.7733 1.1643 .364 -1.141 4.687


(57)

P<0,01

ANOVA

Tinggi

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 346.627 4 86.657 8.523 .000

Within Groups 691.412 68 10.168

Total 1038.039 72

Multiple Comparisons

Tinggi

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% 2.8395 1.2083 .072 -.916 6.595

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 6.5400* 1.1643 .000 2.921 10.159

Salinitas 2% Salinitas 0% 3.3200 1.1643 .020 -.299 6.939

Salinitas 3% Salinitas 0% 1.7733 1.1643 .364 -1.845 5.392


(58)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett pertambahan diameter semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

Diameter

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups .058 4 .014 13.140 .000

Within Groups .063 57 .001

Total .120 61

Multiple Comparisons

Diameter

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .04397* .01326 .006 .0106 .0773

Salinitas 1.5% Salinitas 0% .06897* .01326 .000 .0356 .1023

Salinitas 2% Salinitas 0% -.00231 .01299 .999 -.0350 .0304

Salinitas 3% Salinitas 0% -.00936 .01326 .892 -.0427 .0240


(59)

P<0,01

ANOVA

Diameter

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups .058 4 .014 13.140 .000

Within Groups .063 57 .001

Total .120 61

Multiple Comparisons

Diameter

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .04397* .01326 .006 .0025 .0855

Salinitas 1.5% Salinitas 0% .06897* .01326 .000 .0275 .1105

Salinitas 2% Salinitas 0% -.00231 .01299 .999 -.0430 .0384

Salinitas 3% Salinitas 0% -.00936 .01326 .892 -.0509 .0322


(60)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett jumlah daun semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

Tinggi

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 5.641 4 1.410 1.716 .157

Within Groups 54.246 66 .822

Total 59.887 70

Multiple Comparisons

Tinggi

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .3077 .3556 .794 -.580 1.195

Salinitas 1.5% Salinitas 0% .1487 .3435 .977 -.708 1.006

Salinitas 2% Salinitas 0% -.1179 .3435 .990 -.975 .739


(61)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett luas daun semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

LuasDaun

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7912.195 4 1978.049 2.024 .130

Within Groups 19547.177 20 977.359

Total 27459.372 24

Multiple Comparisons

LuasDaun

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% 48.85180 19.77229 .072 -3.5654 101.2690

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 31.17780 19.77229 .351 -21.2394 83.5950

Salinitas 2% Salinitas 0% 19.55260 19.77229 .722 -32.8646 71.9698


(62)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett berat basah akar semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

BBAkar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 48.923 4 12.231 11.061 .000

Within Groups 19.903 18 1.106

Total 68.826 22

Multiple Comparisons

BBAkar

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% 2.2600* .6650 .011 .475 4.045

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 3.8950* .7054 .000 2.001 5.789

Salinitas 2% Salinitas 0% .8400 .6650 .548 -.945 2.625

Salinitas 3% Salinitas 0% -.1050 .7054 1.000 -1.999 1.789


(63)

P<0,01

ANOVA

BBAkar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 48.923 4 12.231 11.061 .000

Within Groups 19.903 18 1.106

Total 68.826 22

Multiple Comparisons

BBAkar

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% 2.2600 .6650 .011 -.035 4.555

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 3.8950* .7054 .000 1.460 6.330

Salinitas 2% Salinitas 0% .8400 .6650 .548 -1.455 3.135

Salinitas 3% Salinitas 0% -.1050 .7054 1.000 -2.540 2.330


(64)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett berat basah batang semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

BBBatang

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.471 4 .868 16.256 .000

Within Groups .907 17 .053

Total 4.379 21

Multiple Comparisons

BBBatang

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .8400* .1461 .000 .445 1.235

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 1.1050* .1550 .000 .686 1.524

Salinitas 2% Salinitas 0% .4800* .1687 .038 .024 .936

Salinitas 3% Salinitas 0% .8800* .1461 .000 .485 1.275


(65)

P<0,01

ANOVA

BBBatang

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.471 4 .868 16.256 .000

Within Groups .907 17 .053

Total 4.379 21

Multiple Comparisons

BBBatang

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .8400* .1461 .000 .331 1.349

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 1.1050* .1550 .000 .565 1.645

Salinitas 2% Salinitas 0% .4800 .1687 .038 -.108 1.068

Salinitas 3% Salinitas 0% .8800* .1461 .000 .371 1.389


(66)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett berat basah daun semai

R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas

P<0,05

ANOVA

BBDaun

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 39.533 4 9.883 8.914 .001

Within Groups 17.739 16 1.109

Total 57.272 20

Multiple Comparisons

BBDaun

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

salinitas 0.5% salinitas 0% 2.9850* .7063 .002 1.060 4.910

salinitas 1.5% salinitas 0% 3.8100* .7063 .000 1.885 5.735

salinitas 2% salinitas 0% 1.9100 .7063 .052 -.015 3.835

salinitas 3% salinitas 0% 1.1600 .7063 .336 -.765 3.085


(67)

P<0,01

ANOVA

BBDaun

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 39.533 4 9.883 8.914 .001

Within Groups 17.739 16 1.109

Total 57.272 20

Multiple Comparisons

BBDaun

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

salinitas 0.5% salinitas 0% 2.9850* .7063 .002 .497 5.473

salinitas 1.5% salinitas 0% 3.8100* .7063 .000 1.322 6.298

salinitas 2% salinitas 0% 1.9100 .7063 .052 -.578 4.398

salinitas 3% salinitas 0% 1.1600 .7063 .336 -1.328 3.648


(1)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett berat kering batang semai

R. apiculata

pada berbagai konsentrasi salinitas

P

<0,05

ANOVA BKBatang

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.543 4 .636 18.247 .000

Within Groups .662 19 .035

Total 3.205 23

Multiple Comparisons BKBatang

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .5000* .1181 .002 .185 .815

Salinitas 1.5% Salinitas 0% .9000* .1181 .000 .585 1.215

Salinitas 2% Salinitas 0% .4400* .1181 .005 .125 .755

Salinitas 3% Salinitas 0% .0700 .1252 .947 -.264 .404

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(2)

P

<0,01

ANOVA BKBatang

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.543 4 .636 18.247 .000

Within Groups .662 19 .035

Total 3.205 23

Multiple Comparisons BKBatang

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .5000* .1181 .002 .096 .904

Salinitas 1.5% Salinitas 0% .9000* .1181 .000 .496 1.304

Salinitas 2% Salinitas 0% .4400* .1181 .005 .036 .844

Salinitas 3% Salinitas 0% .0700 .1252 .947 -.358 .498


(3)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett berat kering daun semai

R. apiculata

pada berbagai konsentrasi salinitas

P

<0,05

ANOVA BKDaun

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 12.665 4 3.166 8.554 .001

Within Groups 5.552 15 .370

Total 18.218 19

P

<0,01

Multiple Comparisons BKDaun

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% .1750 .4302 .982 -.998 1.348

Salinitas 1.5% Salinitas 0% 1.0750 .4302 .077 -.098 2.248

Salinitas 2% Salinitas 0% -.5500 .4302 .533 -1.723 .623

Salinitas 3% Salinitas 0% -1.3250* .4302 .025 -2.498 -.152

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(4)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji dunnett ratio tajuk dan akar semai

R. apiculata

pada berbagai konsentrasi salinitas

P

<0,05

ANOVA RatioTajukAkar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.107 4 .277 2.038 .134

Within Groups 2.308 17 .136

Total 3.415 21

Multiple Comparisons RatioTajukAkar

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% Salinitas 0% -.52933 .26908 .175 -1.2421 .1834

Salinitas 1.5% Salinitas 0% -.62533 .26908 .093 -1.3381 .0874

Salinitas 2% Salinitas 0% -.17833 .28141 .900 -.9237 .5671


(5)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Dunnett ratio batang dan akar semai

R. apiculata

pada berbagai konsentrasi salinitas

P

<0,05

ANOVA RatioBatangAkar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .329 4 .082 11.956 .000

Within Groups .110 16 .007

Total .439 20

Multiple Comparisons RatioBatangAkar

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% SalinitAS 0% .13000 .05564 .100 -.0204 .2804

Salinitas 1.5% SalinitAS 0% .18750* .05865 .019 .0290 .3460

Salinitas 2% SalinitAS 0% .37500* .05865 .000 .2165 .5335

Salinitas 3% SalinitAS 0% .06500 .05865 .640 -.0935 .2235

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(6)

P

<0,01

ANOVA RatioBatangAkar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .329 4 .082 11.956 .000

Within Groups .110 16 .007

Total .439 20

Multiple Comparisons RatioBatangAkar

Dunnett t (2-sided)

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

99% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Salinitas 0.5% SalinitAS 0% .13000 .05564 .100 -.0650 .3250

Salinitas 1.5% SalinitAS 0% .18750 .05865 .019 -.0180 .3930

Salinitas 2% SalinitAS 0% .37500* .05865 .000 .1695 .5805

Salinitas 3% SalinitAS 0% .06500 .05865 .640 -.1405 .2705


Dokumen yang terkait

Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) Pada Berbagai Konsentrasi Salinitas

0 37 44

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Biomassa Semai Non-Sekresi Ceriops tagal Dan Kandungan Lipid Pada Tingkat Pohon

0 43 68

Pertumbuhan Propagul Rhizophora stylosa Setelah Proses Pemeraman

5 52 50

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 0 11

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 0 2

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 0 2

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 1 4

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI Chapter III V

0 0 16

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 0 3

Pengaruh Variasi Salinitas dan Adaptasi Air Tawar Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Serta Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Semai Rhizophora apiculata BI

0 0 1