UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ANARKIS MASSA BERDASARKAN PROSEDUR TETAP KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

(1)

ABSTRAK

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ANARKIS MASSA BERDASARKAN PROSEDUR TETAP KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010

(Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) Oleh

RIDZA ANANDA LUBIS

Demonstrasi atau aksi massa pada dasarnya merupakan sarana untuk menyampaikan pendapat secara lisan yang dilindungi oleh Undang-Undang, namun demikian pelaksanaan harus dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggung jawab. Pada kenyataannya di lapangan sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak kekerasan dan anarkhis massa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Responden penelitian ini terdiri dari Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis terdiri dari: a) Upaya penal dilakukan dengan menggunakan kekuatan secara bertanggung jawab, dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penggunaan kekuatan Kepolisian yang bertanggungjawab. Selain itu dilakukan dengan pengamanan sesuai prosedur dan dalam batas-batas wajar, seperti tidak memukul atau menganiaya demonstran yang mengganggu ketertiban umum, melakukan pelanggaran atau tindak pidana. b)Upaya non penal dilakukan dengan negosiasi terhadap para demonstran, tugas pengamanan demonstrasi tidak hanya mengawal dan mengamankan para demonstran agar tidak bertindak melanggar hukum, tetapi polisi dituntut untuk memiliki kemampuan negosiasi terhadap aksi massa yang anarkhis sehingga situasi menjadi kembali kondusif dan aman. 2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis


(2)

Ridza Ananda Lubis

massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010, terdiri dari: a) Faktor penegak hukum, secara kualitas yaitu masih kurang profesionalnya anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. b) Faktor Sarana dan Parasarana, secara kuantitas yaitu kurangnya idealnya jumlah anggota polisi dibandingkan dengan para demonstran, kurangnya sarana dan prasarana untuk mengantisipasi jumlah demonstran yang sangat besar sehingga pengamanan tidak berjalan secara maksimal. c) Faktor masyarakat, yaitu adanya para massa bayaran dalam demonstrasi. Para demonstran bayaran ini seringkali melanggar aturan dan menjadi pemicu bentok dengan anggota polisi.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada Pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya meningkatkan profesionalisme dalam pengamanan demonstrasi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas kewajaran kepada demonstran. (2) Disarankan kepada para demonstran hendaknya memahami hak dan kewajiban dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum serta melaksanakan hak dan kewajiban tersebut secara seimbang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari potensi pelanggaran, tindak pidana dan anarkis massa.


(3)

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ANARKIS MASSA BERDASARKAN PROSEDUR TETAP KEPOLISIAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh

RIDZA ANANDA LUBIS

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ANARKIS MASSA BERDASARKAN PROSEDUR TETAP KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010

(Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

RIDZA ANANDA LUBIS

NPM. 0912011367

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

i DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian Upaya Kepolisian ... 16

B. Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 19

C. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana ... 25

D. Demonstrasi dan Dasar Hukum Ketertiban Umum ... 28

III METODE PENELITIAN ... 35

A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Karakteristik Responden ... 40

B. Upaya Kepolisian dalam Penganggulangan Anarkis Massa Sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki .. 41

C. Faktor Penghambat Upaya Kepolisian dalam Penganggulangan Anarkis Massa Sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki ... 57


(6)

ii

V PENUTUP ... 63 A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(7)

(8)

(9)

MOTTO

You know that we are still young.

So don’t be dumb.

Don’t trust anyone,

Cause you only live once.

(The Lonely Island - YOLO)

Lakukan suatu perbuatan dengan kesabaran semaksimal mungkin, sekalipun

hasil yang didapat seminimal mungkin.

(Penulis)

Berhenti mengukur masalah, mulailah membangun langkah


(10)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Mama

sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan

membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih

sayang yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Abang dan Adik

yang selalu membantu dalam pengerjaan skripsi dan memberi motivasi penulis

untuk selalu berpikir maju dan memikirkan masa depan

yang jauh lebih baik dari sekarang.

Almamaterku Tercinta

Universitas Lampung


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 26 Agustus 1991, merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Idham Pandu Lubis, S.H., M.H. dan Ibu Ria Delta, S.H., M.H.

Penulis menempuh pendidikan TK Kartika II-31 selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Beringin Raya diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(12)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan Anarkis Massa Berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010” (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini


(13)

5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

8. Para sahabat CDT (Arief Meriyanto, S.H., Bambang Sepriyanto, S.H., Dafson Rafsanjani, S.H., Fahmi Reza Intama, S.H., M. Fariz Banuwa, S.H., Raditya Satwika Arjan, S.H., Riga Marga Limba, S.T., Reveni Softiani, S.IP., Revina Softiana, S.E., Susan Dercellina, S.IP., M.IP., Farhan Wahyudi Intama, S.E.) dan untuk Heditia Umi Ismulyani, S.E., serta teman – teman penghuni kantin EMAK fakultas hukum UNILA.

9. Para sahabat semasa SMA yang selalu memberi dukungan dan pertolongannya sampai sekarang Riga, Bobby, Hafiid, Irfan, Alfi, Jimmy, Niko (yang gak disebutin satu persatu namanya jangan marah) terutama untuk alm. Danang semoga dapat tempat terbaik di sisi-Nya.

10.Teman-teman seperjuangan Bro_Kum (Feri Wirawansyah, S.H., Bagus Sadam Yekti, S.H., M. Soleh, S.H., Yoga Nugraha Liawan, S.H., Nirmala Asri Prayogi, S.H., Vanny Ciendy Octaviany, S.H., Utari Dwi Pratiwi, S.H., Welin Tri Mayasari, S.H. , M. Andri Mirmaska, S.H., Yoga Pratama, S.H., Agung Senna F, S.H., Yasir Ahmad, S.H., Fahmi Andriansyah, dan Rifki Apriansyah, S.H.)


(14)

11.Seluruh teman-teman angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

12.Teman-teman KKN Tematik Unila 2009 Desa Sumber Alam, Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat dan untuk Perumnas Basket Ball Lampung. 13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya.

14.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). Wewenang kepolisian dalam pelaksanaan tugas kepolisian tersebut adalah mengadakan tindakan menurut hukum yang bertanggungjawab dan dilaksanakan dengan syarat yaitu: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). Tugas dan wewenang kepolisian tersebut merupakan bagian dari peranan kepolisian dalam melaksanakan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat,


(16)

2

termasuk pengamanan unjuk rasa. Unjuk rasa pada dasarnya merupakan kemerdekaan masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, yang idealnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai pula dengan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang menetapkan sebagai berikut: 1) Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan

pengembangan kepribadian secara bebas dan penuh.

2) Dalam pelaksanaan hak kebebasan, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

3) Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Unjuk rasa sebagai bentuk kemerdekaan mengemukakan pendapat diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat lima asas yang merupakan landasan kebebasan bertanggungjawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kelima asas tersebut adalah asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas dan asas mufakat.


(17)

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, diketahui bahwa pelaksanaan unjuk rasa harus proporsionalitas, artinya meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi maupun aparatur pemerintah yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial dan etika institual. Dengan landasan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, maka dalam pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan berikut, yakni:

1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.

3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab dalam kehidupan berdemokrasi.

4) Menempatkan tanggungjawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Setiap warga negara perlu mengerti hak dan kewajiban warga negara dalam mengemukakan pendapat. Hak warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum. Kewajiban warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah:


(18)

4

1) Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain 2) Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum

3) Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 4) Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum

5) Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa

Perangkat aturan tentang pelaksanaan unjuk rasa yang bebas dan bertanggungjawab meskipun telah diberlakukan, tetapi belum menjamin ketertiban dalam pelaksanaannya. Unjuk rasa sering kali mengarah pada kekerasan, pengerusakan, anarkis dan mengganggu ketertiban umum. Selain itu unjuk rasa juga seringkali dilakukan oleh sekelompok massa tanpa perizinan dari pihak kepolisian. Secara ideal unjuk rasa seharusnya dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggungjawab, namun pada kenyataannya sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak pidana seperti kekerasan, pengerusakan dan anarkis.

Unjuk rasa pada umumnya dilakukan oleh sekelompok elemen masyarakat yang menyuarakan tuntutan dengan jumlah massa yang sering kali tidak dapat diprediksikan, meskipun pada pemberitahuan unjuk rasa yang diajukan kepada pihak kepolisian disebutkan jumlah massa yang akan berunjuk rasa, namun pada kenyatannya di lapangan, jumlah tersebut sering kali menjadi massif dan bertambah besar serta jauh melebihi jumlah yang tertera pada pemberitahuan. Ketidakpastian ini terjadi pula dalam lama orasi dan berunjuk rasa, sering kali tidak dapat diprediksikan, karena pada pelaksanaannya di lapangan lama mereka berorasi dan berunjuk rasa sering kali meleset dari perkiraan dan pemberitahuan


(19)

yang disampaikan kepada pihak kepolisian, dengan alasan di antaranya tuntutan yang disampaikan belum selesai, tidak ada pejabat pemerintahan yang menemui massa dan negosiasi yang memakan waktu lama.

Potensi terjadinya kekerasan dan anarkis dalam unjuk rasa dapat disebabkan oleh situasi yang serba kalut dan tidak terkoordinasi (out of control) dapat memungkinkan massa melakukan kekerasan dan pengerusakan terhadap fasilitas publik maupun terhadap aparat yang menjaga keamanan unjuk rasa. Belum lagi adanya pihak-pihak yang memprovokasi dan memperkeruh keadaan, bisa menjadi pemicu bagi massa untuk melakukan anarkis atau mengganggu ketertiban umum. Kekerasan dalam unjuk rasa juga dapat disebabkan oleh tidak adanya respon atau tanggapan dari pihak yang didemo oleh masyarakat, sehingga masyarakat menjadi kesal dan melakukan hal-hal yang mengarah pada tindak kekerasan. 1

Kepolisian dalam kondisi yang demikian melaksanakan peranannya sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kepolisian dituntut untuk melaksanakan upaya penanggulangan unjuk rasa yang disertai dengan tindak kekerasan.2

Kondisi yang demikian menuntut pihak Kepolisian untuk melaksanakan peranannya sebagai alat negara sesuai dengan Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

1

Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997, hlm. 27. 2


(20)

6

Tentang Kepolisian di antaranya adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pengamanan terhadap demonstrasi oleh kepolisian harus dilaksanakan secara profesional, artinya polisi harus memposisikan diri sebagai pemelihara kemanan dan ketertiban masyarakat, sebagai penegak hukum dan pelindung serta pelayan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki persepsi positif dan turut berpartisipasi dalam menciptakan keamanan, yaitu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan pada masyarakat.

Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan demonstrasi yang bersifat anarkis merupakan bentuk kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal diterapkan dengan memberlakuan undang-undang sebagai suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dijadikan untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan


(21)

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan demonstrasi yang bersifat anarkis dapat dilakukan melalui upay non penal maupun penal. Upay non penal dapat dilakukan dengan pengamanan secara wajar dan negosiasi dengan para demonstran. Sementara itu upaya penal dilakukan dengan menggunakan kekuatan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana merupakan suatu usaha yang tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam suatu konteks tertentu, dalam hal ini adalah perubahan sosial dan modernisasi. Perkembangan ini dapat dilihat sebagai usaha untuk melakukan perombakan masyarakat atau sebagai perubahan dari sistem hukum sendiri. Hal yang berkaitan dengan perkembangan tersebut adalah konsep pembangunan hukum, yang meliputi berbagai lembaga, peraturan, kegiatan dan orang-orang yang terlibat di dalam pekerjaan hukum, yang dalam hal ini adalah untuk dapat menciptakan perubahan-perubahan sesuai dengan struktur masyarakat yang diinginkan, hukum harus dilihat sebagai usaha besama yang pada akhirnya membuahkan hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.3

Salah satu contoh kasus demonstrasi atau unjuk rasa yang berakhir dengan anarkis di Kota Bandar Lampung adalah protes terhadap keberadaan Bus Rapid Transit

3

H. R. Abdussalam. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta. 2009, hlm. 43


(22)

8

(BRT) yang dilakukan oleh para supir angkutan kota, namun pada akhirnya demonstrasi ini berakhir anarkis dengan terjadinya pengrusakan terhadap BRT. Pemberitaan Radar Lampung menyebutkan bahwa Polresta Bandar Lampung mengembangkan kasus perusakan bus rapid transit (BRT), Selasa (2/5). Sebelumnya, polisi mengamankan empat orang yang diduga terlibat perusakan. Keempatnya adalah Rian Riski (22), Riki Wijaya (24), Dedi Saputra (31), dan Roni Setiawan (20). Mereka mengaku sopir dan kernet angkutan kota (angkot) yang ikut demo. Diketahui, perusakan itu merupakan buntut dari unjuk rasa penolakan ratusan sopir angkot terhadap operasional BRT. Sebelumnya, para sopir angkot dari berbagai jurusan mendatangi Mapolresta Bandar Lampung.4 Pengamanan unjuk rasa yang disertai dengan tindak kekerasan harus mengacu pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Salah satunya adalah Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki, yang secara terperinci mengenai berbagai tindakan yang ditempuh oleh anggota kepolisian dalam penanggulangan anarkis.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dalam rangka menyusun Skripsi yang berjudul: Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan anarkis massa Berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).

4

http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/49008-kembangkan- kasus-perusakan-brt. Edisi 4 Mei 2012. Diakses 4 Maret 2013


(23)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis? 2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan kajian mengenai upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis. Ruang lingkup lokasi adalah pada Kepolisian Resor Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2013. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis


(24)

10

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis 2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang terkait upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis dan faktor-faktor penghambatnya.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi Kepolisian dalam menerapkan diskresi kepolisian dalam upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi elemen masyarakat untuk melaksanakan demonstrasi yang aman, tertib dam bertanggungjawab.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(25)

a. Upaya Kepolisian

Upaya Kepolisian dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.

Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. 2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan5

5


(26)

12

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. (5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.6

6

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. Hlm.8-12


(27)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian7. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Upaya kepolisian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kepolisian untuk memperoleh sesuatu dan mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dengan menggunakan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki. 8

b. Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

c. Penanggulangan tindak pidana adalah pelaksanaan kebijakan kriminal yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh aparat penegak hukum, dengan menggunakan sarana pidana/sarana penal maupun sarana di luar hukum pidana/sarana nonpenal, dalam rangka penegakan hukum dan terciptanya kepastian hukum9

d. Anarki merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga perlau dilakukan penindakan secara tepat, dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta sesuai ketentuan perundang

7

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.74 8

Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997, hlm. 44. 9


(28)

14

undangan yang berlaku (Angka 1 Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki).

e. Massa adalah sebutan bagi sekelompok atau sekumpulan orang yang berada ada suatu waktu dan tempat yang sama, serta melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang sama10

f. Prosedur adalah langkah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan atau aktivitas, sehingga dapat tercapainya tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien, serta dapat dengan mudah menyelesaikan suatu masalah secara terperinci menurut jangka waktu yang telah ditentukan.11

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu Penanggulangan Tindak Pidana, kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana dan Anarkis massa

10

Adi Sudarmanto. Wacana Negara Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta. 2001. hlm. 11

11


(29)

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis dan faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(30)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Upaya Kepolisian

Upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya.1

Pelaksanaan dari politik hukum pidana menurut Barda Nawawi Arif harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

1. Tahap Formulasi

Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan

1


(31)

situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif

2. Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Tahap eksekusi yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. 2

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Penggunaan hukum pidana

2


(32)

18

merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik. Upaya kepolisian merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah

“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menurut Barda Nawawi Arif menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. 2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan3

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kebijakan penal menitik beratkan pada sifat represif setelah suatu tindak pidana terjadi dengan dua dasar yaitu penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Kebijakan nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan maka sasaran utamanya adalah menangani

3


(33)

faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan baik secara langsung atau tidak langsung.

Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/ tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa pidana. Semula suatu perbuatan dianggap tidak tercela, akan tetapi akhirnya masyarakat menilai bahwa perbuatan itu adalah tercela, sehingga terhadap perbuatan itu diancamkan dengan suatu sanksi pidana. Memang tidak mungkin semua perbuatan yang tercela dan sebagainya itu dijadikan tindak pidana. Empat kriteria yang perlu diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana (mengkriminalisasi), yaitu tujuan hukum pidana; penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; perbandingan antara sarana dan hasil; dan kemampuan badan penegak hukum.

A. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,


(34)

20

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. \

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:

1) Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

2) Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,


(35)

serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri. Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Kepolisian adalah:

1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2) Menegakkan hukumdan

3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, memiliki fungsi yaitu:

1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan

3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa


(36)

22

7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya 8) Melaksanakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium

forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian

9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia

10)Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

11)Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian

12)Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, wewenang Kepolisian adalah:

1) Menerima laporan dan/atau pengaduan

2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakatantara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsaAliran yang dimaksud adalah semua atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan


(37)

kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9) Mencari keterangan dan barang bukti

10)Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

11)Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

12)Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat

13)Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor 3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor

4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik

5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam


(38)

24

6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan

7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian

8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional

9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait

10)Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional

11)Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Penyelenggaraan tugas sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam proses pidana diatur dalam Pasal 16, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan

3) Membawa dan menghadapkan orang pada penyidik dalam rangka penyidikan 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat


(39)

7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

8) Mengadakan penghentian penyidikan

9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

10)Mengajukan permintaan secara langsung pada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana

11)Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan dari penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum

12)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, slaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati Hak Asasi Manusia.

B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan


(40)

26

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan4

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 5

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, menurut Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

1) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana

3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22

5

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.


(41)

4) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal6 Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana menurut Andi Hamzah adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat ( = perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 7

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

6

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. hlm. 25-27

7


(42)

28

C. Demonstrasi dan Dasar Hukum Ketertiban Umum

1. Pengertian Demonstrasi

Demonstrasi adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi, dalam rangka menyampaikan aspirasi atau tuntutan kepada pemerintah, dengan cara mengerahkan atau menurunkan massa dalam jumlah kecil atau besar8

Demonstrasi merupakan perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, sebagai salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas. 9

Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainaya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum

8

Adi Sudarmanto, Wacana Negara Demokrasi, Yayasan Obor, Jakarta , 2001, hlm. 76. 9


(43)

sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.

2. Dasar Hukum Ketertiban Umum Dalam Unjuk Rasa

a. Dasar Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Para pengunjuk rasa yang melakukan tindak kekerasan dapat diancam pidana sebagaimana terdapat pada Pasal 167 KUHP menyebutkan barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lema sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 170 KUHP Ayat (1) menyatakan bahwa barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Pasal 170 KUHP Ayat (2) menyatakan bahwa yang bersalah diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut. Ancaman lain terdapat pada Pasal 193 Ayat (1) KUHP yaitu barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bangunan untuk lalu lintas umum dihancurkan, tidak dapat dipakai atau merusak, atau menyebabkan jalan umum


(44)

30

darat atau air dirintangi, atau usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan itu digagalkan, diancam: dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 193 Ayat (2) KUHP menyatakan bahwa jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun, jika kerena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.

b. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan bahwa setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 2 Ayat (1) menambahkan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada:

1) Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; 2) Asas musyawarah dan mufakat;

3) Asas kepastian hukum dan keadilan; 4) Asas proporsionalitas; dan


(45)

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah:

1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam

menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;

3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab dalam kehidupan berdemokrasi;

4) Menempatkan tanggungjawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Pasal 5 menyatakan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum. Pasal 6 menyebutkan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mmenjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.


(46)

32

Menurut Pasal 7, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan. Selanjutnya Pasal 8 menyebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta secara bertanggungjawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.

Ancaman pidananya terdapat pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang menyatakan bahwa penanggungjawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.

c. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka diketahui bahwa organisasi kemasyarakatan berfungsi sebagai :

1) Wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya;

2) Wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi;


(47)

4) Sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka diketahui bahwa organisasi Kemasyarakatan berhak melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dan mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan organisasi.

Selanjutnya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka diketahui bahwa organisasi Kemasyarakatan berkewajiban:

1) Mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangg

2) Menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

3) Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Ancaman terhadap organiasi kemasyarakatan yang tidak memenuhi kewajiban di atas terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang menyatakan bahwa pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan:

1) Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; 2) Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;


(48)

34

3) memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa apabila Organisasi Kemasyarakatan yang Pengurusnya dibekukan masih tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan.


(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

1


(50)

36

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

(4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

(5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(6) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

(7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

(8) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(51)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:

(1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

(2) Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003, Tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

(3) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(52)

38

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung = 2 orang 2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha


(53)

mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(54)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis terdiri dari: (a) Upaya penal dilakukan dengan menggunakan kekuatan secara bertanggung jawab, dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penggunaan kekuatan Kepolisian yang bertanggungjawab. Selain itu dilakukan dengan pengamanan sesuai prosedur dan dalam batas-batas wajar, seperti tidak memukul atau menganiaya demonstran yang mengganggu ketertiban umum, melakukan pelanggaran atau tindak pidana.

(b) Upaya non penal dilakukan dengan negosiasi terhadap para demonstran, tugas pengamanan demonstrasi tidak hanya mengawal dan mengamankan para demonstran agar tidak bertindak melanggar hukum, tetapi polisi dituntut untuk memiliki kemampuan negosiasi terhadap aksi massa yang anarkhis sehingga situasi menjadi kembali kondusif dan aman.


(55)

2. Faktor-faktor yang menghambat upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010, terdiri dari: a. Faktor penegak hukum, secara kuantitas yaitu kurangnya idealnya jumlah

anggota polisi dibandingkan dengan para demonstran dan secara kualitas yaitu masih kurang profesionalnya anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

b. Faktor Sarana dan Parasarana, yaitu kurangnya sarana dan prasarana untuk mengantisipasi jumlah demonstran yang sangat besar sehingga pengamanan tidak berjalan secara maksimal.

c. Faktor masyarakat, yaitu adanya para massa bayaran dalam demonstrasi. Para demonstran bayaran ini seringkali melanggar aturan dan menjadi pemicu bentok dengan anggota polisi.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disarankan kepada Pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya meningkatkan profesionalisme dalam pengamanan demonstrasi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas kewajaran kepada demonstran. 2. Disarankan kepada para demonstran hendaknya memahami hak dan kewajiban

dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum serta melaksanakan hak dan kewajiban tersebut secara seimbang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari potensi pelanggaran, tindak pidana dan anarkis massa.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, H. R. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta.

Arif, Barda Nawawi. 2004. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1998. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.

Kelana, Momo. 1981. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Raharjo, Satjipto. 1991. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. _______________. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


(57)

Sudarmanto, Adi. 2006. Wacana Negara Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003, Tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki


(1)

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung = 2 orang 2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha


(2)

39

mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis terdiri dari: (a) Upaya penal dilakukan dengan menggunakan kekuatan secara bertanggung jawab, dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penggunaan kekuatan Kepolisian yang bertanggungjawab. Selain itu dilakukan dengan pengamanan sesuai prosedur dan dalam batas-batas wajar, seperti tidak memukul atau menganiaya demonstran yang mengganggu ketertiban umum, melakukan pelanggaran atau tindak pidana.

(b) Upaya non penal dilakukan dengan negosiasi terhadap para demonstran, tugas pengamanan demonstrasi tidak hanya mengawal dan mengamankan para demonstran agar tidak bertindak melanggar hukum, tetapi polisi dituntut untuk memiliki kemampuan negosiasi terhadap aksi massa yang anarkhis sehingga situasi menjadi kembali kondusif dan aman.


(4)

64

2. Faktor-faktor yang menghambat upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010, terdiri dari: a. Faktor penegak hukum, secara kuantitas yaitu kurangnya idealnya jumlah

anggota polisi dibandingkan dengan para demonstran dan secara kualitas yaitu masih kurang profesionalnya anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

b. Faktor Sarana dan Parasarana, yaitu kurangnya sarana dan prasarana untuk mengantisipasi jumlah demonstran yang sangat besar sehingga pengamanan tidak berjalan secara maksimal.

c. Faktor masyarakat, yaitu adanya para massa bayaran dalam demonstrasi. Para demonstran bayaran ini seringkali melanggar aturan dan menjadi pemicu bentok dengan anggota polisi.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disarankan kepada Pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya meningkatkan profesionalisme dalam pengamanan demonstrasi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas kewajaran kepada demonstran. 2. Disarankan kepada para demonstran hendaknya memahami hak dan kewajiban

dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum serta melaksanakan hak dan kewajiban tersebut secara seimbang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari potensi pelanggaran, tindak pidana dan anarkis massa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, H. R. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta.

Arif, BardaNawawi. 2004. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1998. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.

Kelana, Momo. 1981. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Raharjo, Satjipto. 1991. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. _______________. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


(6)

Sudarmanto, Adi. 2006. Wacana Negara Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003, Tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki