Alih Kode Tuturan Penjual Dan Pembeli Di Pasar Puan Maimun Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan, alih
kode, campur kode dan bilingualisme.
2.1.1 Tuturan
Tuturan atau sering disebut sebagai peristiwa tutur yaitu terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan
di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina,2010 :47).
Interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli di pasar pada waktu tertentu
dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah
peristiwa tutur.
2.1.2 Alih Kode
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa di dalam
masyarakat dwibahasawan, artinya di dalam masyarakat dwibahasawan hampir
tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa
sedikit pun memanfaatkan bahasa lain.
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi
apabila seseorang penutur mula-mula menggunakan kode A dan kemudian

beralih menggunakan kode B, peralihan bahasa seperti itu disebut sebagai alih
kode Suwito (dalam Rahardi, 2010: 23-24). Kode adalah salah satu varian di
dalam hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi Suwito (dalam

Universitas Sumatera Utara

Rahardi,2010 :25). Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata
dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo
dalam Rahardi, 2010 :25).
Poplack (1980: 583) dalam tesis Sugihana mengatakan bahwa alih kode
adalah alternasi dua buah bahasa dalam sebuah wacana kalimat dengan
konstituent wujud dan alih kode dapat terjadi pada tingkat kata, frasa, klausa,
dan kalimat

yang mewarnai kegiatan komunikasi dalam berbahasa.

Menurut Effendi,dkk (2015), kata adalah satuan gramatikal bebas terkecil.
Frasa adalah satuan gramatikal yang dibentuk dari dua atau beberapa kata yang
bersama-sama mendukung satu fungsi gramatikal.
Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frasa; di

dalamnya terdapat satu hubungan predikatif (atau hubungan subjek-predikat).
Kalimat adalah satuan gramatikal yang disusun oleh konstituen dasar yang
umumnya berupa klausa, kata penghubung (jika ada), dan intonasi final. Dalam
bahasa tertulis intonasi final ini dinyatakan dengan tanda baca (.), (?), atau (!).
Berbagai

kepusatakaan

linguistik

secara

umum,

faktor

yang

menyebabkan terjadinya alih kode antara lain yaitu:
a. Pembicara atau Penutur

Seorang penutur melakukan alih kode dengan tujuan tertentu. Penutur
dengan sengaja dan sadar dalam beralih kode untuk mendapatkan
keuntungan. Misalnya, seorang bawahan sedang berbicara dengan
atasannya tentang

masalah permohonan cuti pekerjaan. Pada awal

pembicaraan mereka menggunakan bahasa indonesia, dan ketika bawahan
tersebut mengetahui bahwa a tasannya memiliki bahasa daerah yang sama,

Universitas Sumatera Utara

maka ia berusaha melakukan alih kode dalam bahasa daerah. Alih kode
tersebut dilakuakn agar tercipta rasa keakraban antara satu sama lain
dengan tujuan agar urusannya cepat selesai.
b. Pendengar atau Lawan tutur
Setiap penutur biasanya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan
oleh lawan tuturnya. Jika lawan tutur berlatar belakang bahasa yang sama
dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan
varian (baik regional, maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Jika

lawan tutur berlatar belakang bahasa yang berbeda dengan penutur maka
terjadi alih bahasa.
c. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Perubahan situasi dapat menyebabkan alih kode. Jika dua orang memiliki
bahasa daerah yang sama, tentunya mereka lebih memilih menggunakan
bahasa

daerahnya

dibanding

dengan

bahasa

indonesia

dalam

berkomunikasi satu sama lain. Tetapi apabila dalam pembicaraan mereka

hadir orang ketiga, yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda,
maka penutur dan lawan tutur akan beralih kode menggunakan bahasa
yang dikusai oleh orang ketiga karena menghormati hadirnya orang ketiga
dalam pembicaraan tersebut.
d. Perubahan dari formal ke informal
Perubahan situasi dari formal ke informal menyebabkan terjadinya alih
kode. Di dalam kelas, saat sedang kuliah situasinya formal dan bahasa
yang digunakan yaitu bahasa indonesia, kemudian saat kuliah selesai
situasi berubah menjadi tidak formal dengan menggunakan ragam bahasa

Universitas Sumatera Utara

yang santai.Dengan berubahnya situasi seperti itu, maka terjadilah
peralihan kode.
e. Perubahan topik pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan juga menentukan terjadinya alih kode.
Dalam pokok pembicaraan, biasanya penutur dan lawan tutur ada yang
memilih menggunakan bahasa yang baku dan non baku, penggunaannya
tergantung pada topik pembicaraan mereka. Apabila seorang mahasiswa
berbicara dengan dosen sedang membahas masalah pelajaran di dalam

kelas maka seorang mahasiswa akan menggunakan bahasa yang baku dan
disampaikan dengan serius, akan tetapi jika seorang mahasiswa berbicara
dengan temannya, ia menggunakan bahasa yang non baku dan santai
karena yang dibahas tidak lagi tentang pelajaran.
2.1.3 Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan
mengenai campur kode.Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat
yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar
dibedakan. Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah
digunakannnya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
satu masyarakat tutur.
Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu
masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan
sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan di dalam campur kode ada
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu

Universitas Sumatera Utara

hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau keotonomian

sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia
banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah
melakukan campur kode. Akibatnya akan muncul satu ragam bahasa Indonesia
yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa
Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda)
(Chaer,2004:114-115).
2.1.4 Bilingualisme
III3.

Istilah Bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa indonesia

disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey, 1962: 12, Fishman,
1975 : 73 dalam Chaer dan Agustina). Untuk dapat menggunakan dua bahasa
tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama bahasa ibu atau
bahasa pertama (B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa
keduanya (B2). Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut bilingual
(dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (kedwibahasaan).

Pendapat Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2010:87) tentang
bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah
bahasa secara sama baiknya. Bloomfield (1933)

juga mengatakan bahwa

menguasai dua bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Sementara itu,
Mackey 1962:12 dalam Chaer dan Agustina, 2010: 87 mengatakan bbahwa
bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa

Universitas Sumatera Utara

yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua
bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan penutur dalam memahami, mengerti, atau
menggunakan dua bahasa.
2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori etnografi komunikasi yang pertama kali
dikemukakan oleh Hymes (1974) dengan istilah etnografi wicara (ethnography of

speaking) adalah salah satu ancangan yang dapat digunakan di dalam penelitian
hubungan bahasa dengan masyarakat. Etnografi komunikasi di pandang sebagai
kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu
bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompok
tersebut. Karena sosiolinguistik itu lebih mengungkapkan pemakaian bahasa , dan
bukan struktur bahasa, etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian
bahasa dalam pertuturan atau, lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan
bahasa ( Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 309-310)
Menurut Hymes (1974), kerangka acuan yang dipakai dalam penelitian
etnografi komunikasi bukanlah linguistik, tetapi komunitas (guyup) dengan
kegiatan- kegiatan komunikatif sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian,
pengamatan utama adalah unsur komunikasi yang harus dilihat dari sudut pandang
dan minat komunitas itu sendiri. Linguistik yang dapat memberi sumbangan
kepada etnografi komunikasi, itulah sosiolinguistik.
Menurut Dell Hymes ( dalam Chaer dan Leoni, 2010: 48) Suatu peristiwa
tutur harus memenuhi delapan komponen, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

S


: Setting and scene

P

: Participants

E

: Ends : purpose and goal

A

: Act sequences

K

: Key : tone or spirit of act

I


: Instrumentalities

N

: Norms of interaction and interpretation

G

: Genres

1. Setting and scene ( Latar dan situasi )
Setting mengacu pada waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan
scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau

situasi psikologis

pembicaraan (Chaer dan Leonie, 2010 : 48). Waktu, tempat dan situasi
tuturan yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan variasi bahasa yang
digunakan. Berbicara pada saat menonton konser musik dalam situasi ramai
tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang
membaca dengan keadaan yang sunyi.
2. Participants ( peserta percakapan )
Menurut Chaer dan Leonie (2010: 48) participants adalah pihakpihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa, pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang
bercakap- cakap dapat berganti peran sebagai penutur dan lawan tutur tetapi
ada situasi dimana lawan tutur tidak bisa bertukar peran seperti ketika
khotbah di mesjid. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa
yang digunakan. Misalnya seorang mahasiswa akan menggunakan ragam

Universitas Sumatera Utara

bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan dosen jika dibandingkan ia
berbicara dengan temannya.
3. Ends (tujuan)
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Pembicaraan di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan masalah namun
partisipan dalam peristiwa tutur mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa
ingin membuktikan bahwa terdakwa tersebut bersalah, akan tetapi pembela
ingin membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah dan hakim berusaha
untuk memberikan keputusan yang adil.
4. Act sequences (urutan tindak)
Act sequences mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Bentuk ujaran
berkenaan dengan kata- kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya,
dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
5. Key (kunci)
Key mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Hal ini juga dapat diperjelas
dengan gerak tubuh dan isyarat.
6. Instrumentalities (sarana)
Instrumentalities mengacu pada sarana bahasa yang digunakan, seperti
secara lisan, secara tertulis, melaui telegraf atau telepon. Instrumentalities
ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek,
fragam, atau register.

Universitas Sumatera Utara

7. Norms (norma)
Norms mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya,
yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga
mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
8. Genre (jenis)
Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa dan sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka anyaug
Beberapa hasil penelitian, yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan
sebagai berikut.
Syuli Mokodompit (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Alih Kode dalam
Twitter”. Dalam penelitian ini Syuli membahas tentang bentuk alih kode dalam
twitter dan faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode. Metode yang
digunakan dalam mengumpulkan data dengan menggunakan alat bantu berupa
laptop, flashdisk dan handphone. Selanjutnya data yang dikumpulkan dianalisis
dengan menggunakan teori alih kode menurut Dell Hymes dan Suwito (dalam
Mulyani). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam twitter sejak bulan
Januari sampai Maret terdapat bentuk – bentuk alih kode (Inggris) yang berbentuk
frase dan kalimat dan penyebab terjadinya alih kode dalam twitter ada beberapa
faktor yaitu karena penutur, mitra tutur, pokok pembicaraan serta fungsi dan
tujuan. . Teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan
dalam menjelaskan masalah bentuk- bentuk alih kode dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Universitas Sumatera Utara

Muhammad Rhida (2012) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode pada
Film Salt (2010) dan Eastern Promises (2007): Sebuah Kajian Sosiolinguistik.
Dalam penelitian ini, membahas tentang apakah jenis alih kode yang sering
muncul pada percakapan dalam film Salt (2010) dan Eastern Promises (2007)
serta pemicunya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
deskriptif. Hasil penelitian diperoleh bahwa jenis alih kode yang sering muncul
pada pecakapan film Salt (2010) dan Eastern Promises (2007) adalah interjeksi
atau pelengkap pesan dan spesikasi penerima. Sementara itu, pemicu alih kode
yaitu karena alasan retoris, karena kehadiran peserta lain dalam percakapan, topik
pembicaraan, karena perbedaan status dan formalitas antara peserta tutur, karena
keinginan mengutip perkataan seseorang atau peribahasa dan karena kekurangan
kosa kata. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi mengenai metode yang
digunakan.
Mustika Sari (2011) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode Penutur
Bahasa Pesisir di Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhan Batu Utara.
Dalam penelitian ini menggunakan metode cakap dan metode simak. Teknik yang
digunakan adalah teknik pilah unsur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teori Abdul Chaer. Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor penyebab
terjadinya alih kode terbagi menjadi pembicara atau penutur, penutur atau lawan
tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan topik pembcara,
perubahan dari formal ke nformal dan jenis alih kode terbagi atas tingkat tutur
ngoko, tingkat tutur krama dan tingkat tutur madya. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjelaskan masalah faktorfaktor penyebab terjadinya alih kode.

Universitas Sumatera Utara

Ni Ketut Ayu Ratmika (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Campur
Kode dan Alih Kode Pemakaian Bahasa Bali dalam Dharma Wacana Ida Pedanda
Gede Made Gunung”. Dalam penelitian ini menggunakan metode simak dengan
teknik dasar sadap yang kemudian dilanjutkan dengan teknik simak libat cakap
dan metode wawancara dengan teknik pancing. Hasil penelitian dapat
disimpulkan peristiwa campur kode berdasarkan macamnya dapat dibagi menjadi
dua yaitu, (1) berdasarkan perangkat tingkat kebahasaan berwujud kata, frase dan
klausa. (2) Berdasarkan asal serapannya diklasifikasikan menjadi campur kode ke
dalam, campur kode ke luar, dan campur kode campuran. Alih kode berdasarkan
pengalihan bahasanya dapat dibagi menjadi dua yaitu alih kode ke dalam dan alih
kode ke luar. Ciri-ciri campur kode yaitu tidak dituntut oleh situasi, karena
kesantaian dan kebiasaan, campur kode berwujud kata, frase, klausa, dan unsur
yang menyisip akan mendukung fungsi bahasa yang disisipi. Ciri Alih kode yaitu
karena adanya kontak bahasa, penutur yang multilingual, berwujud kalimat yang
mendukung fungsinya masing-masing, dan fungsi tiap bahasa disesuaikan dengan
situasi. Penyebab terjadinya campur kode dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu
faktor penutur, kebahasaan, dan prestise (wibawa). Penyebab terjadinya alih kode
dilatarbelakangi oleh empat faktor yaitu faktor peserta pembicara, bahasa, situasi,
dan pokok pembicaraan. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi
mengenai metode yang digunakan.
Azizah (2006) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode dan Alih Kode
Tuturan Penjual dan Pembeli di Pasar Johar Semarang. Metode yang digunakan
yaitu metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu menggunakan teknik simak
bebas libat cakap, teknik rekam dan teknik catat. Hasil penelitian Azizah

Universitas Sumatera Utara

menyimpulkan bahwa wujud campur kode tuturan penjual dan dembeli di pasar
Johar Semarang adalah berupa penyisipan unsur-unsur

yang berwujud

kata,berwujud frase,berwujud klausa,berwujud kata ulang, dan berwujud
idiom/ungkapan. wujud alih kode tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang berupa alih bahasa yang meliputi alih bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa, alih bahasa jawa ke bahasa Indonesia dan alih bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Asing. Alih bahasa jawa berupa : pealihan antar tingkat tutur, yaitu
krama, madya dan ngoko. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi
mengenai metode yang digunakan.

Universitas Sumatera Utara