Langkah Peraturan Presiden Radigro Duterte Terhadap Pemberantasan Narkoba Menurut Convention Against Torture and Other Cruet, In Human or Degrading Treatment or Punishment Chapter III V

BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Dan Sejarah Perkembangan HAM.
Jhon Locke menytakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “ hak-hak
yang di berikan lansung oleh Tuha Yang Maha Esa sebagai hak yang kordati.
Oleh karenanya tidaka ada kekuasaan apapun di dunia yang mencabutnya.35
Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam
kehidupan manusia.
Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan bahwa ” Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi negara, hukum, pemerintah setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan beberapa perumusan pengertian Hak Asasi Manusia di atas,
diperoleh suatu kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak
yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai
suatu anugrah ALLAH Swt yang harus di hormati, dijaga dan dilindungi oleh
setiap individu masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan

dan perlindungan terhadap Hak Asai Manusia(HAM) adalah menjaga keselamatan
eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara hak dan
35

Azyunardi Azra, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. TIM ICCE UIN
Jakarta, 2003, h.201

Universitas Sumatera Utara

kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Upaya menghromati, melindungi dan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM), menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara
individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik militer maupun sipil) bahkan
negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlerpas dari pemenuhan
kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan
perseorangan tidak boleh memaksa

kepentingan orang banyak (kepentingan

umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan kepada Hak

Asasi Manusia (HAM) harus diikuti dengan pemenuhan terhadap kewajiban hak
asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat dan bernegara. Jadi dapat disimpulkan Bahwa hakikat dari Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah keterpaduan antara Hak Asasi Manusia (HAM),
kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia yang berlangsung .
secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsur asasi yaitu Hak Asasi Manusia
(HAM), kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia yang
melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi,
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan
secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan
kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.
Berdasarkan beberapa rumusan Hak Asasi Manusia (HAM) di atas, maka
dapat diketahui beberapa ciri pokok hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu
sebagai berikut :
1. Hak Asasi Manusia (HAM) tidak perlu diberikan, dibeli atau di warisi.
Hak Asasi Manusia adalah bagian dari manusia secara otomatis.

Universitas Sumatera Utara

2.


Hak Asasi Manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis
kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan
bangsa.

3.

Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun
mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang
tetap mempunyai Hak Asasi Manusia (HAM) walaupun sebuah negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM).36

Pembicaraan tentang keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas
dari pengakuan terhadap adanya hukum alam (natural law) yang menjadi cikal
bakal bagi kelahiran Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya Hak Asasi
Manusia (HAM) di kawasan Eropa dimulai dengan lahimya Magna Charta yang
antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasan
absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan

hukum yang dibuatnya) menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggung jawabannya di muka hukum. Magna Charta telah menghilangkan hak
absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktekkan jika raja melanggar hukum harus
diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya kepada
parlermen.37
Menurut Arlina Permanisari menyebutkan bahwa intisari dari hak-hak asasi
manusia (hard core rights) atau disebut juga sebagai hak-hak yang paling dasar
mempakan jaminan perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap
36
37

Ibid, h.201-202
ibid

Universitas Sumatera Utara

siapapun baik dimasa damai maupun diwaktu perang. Hak-hak yang paling dasar
tersebut adalah hak untuk hidup, larangan perbudakan, jaminan peradilan.38
Pasal 21 Magna Charta menggariskan “Earls and barons shall be fined by their
equal and only in proportion the measure of the offence ” (para Pangeran dan

Baron akan dihukum (didenda) berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukannya.39
Selanjutnya dalam Pasal 40 Magna Charta ditegaskan “...no one will we deny
or delay, rights or justice ” (. . .tidak seorang pun menghendaki kita mengingkari
atau menunda tegaknya hak atau keadilan).
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh lahimya Bill of Rights
di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul pandangan (adagium)
yang intinya bahwa manusia sama di muka hulcum (equality before the law).
Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan negara
demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus diwujudkan, betapun
berat resiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan jika ada
hak persamaan.
Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) selanjutnya ditandai dengan
munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham
Rousseau dan Montesquieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka
sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus
dibelenggu.40

38


Arlina Permanisari, Pengantar Hukum Humaniter , Internasional Committee of The
Red Cross, Jakarta, 1999, h.342
39
Azyunardi Azra, Op.Cit, h.202
40
Ibid,h.203

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi
Francis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat
dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi “tidak boleh ada penangkapan
dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah
dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah”.41
Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang
yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah
sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bersalah. Kemudian prinsip ini dipertegas oleh prinsip freedom of
expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan
menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), The rights of property

(perlindungan hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi dalam French
Declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi
mauupun negara hukum.
Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) terus berlangsung dalam rangka
mencari rumusan yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis
besar perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) dibagi pada 4
generasi yaitu:42
1. Generasi pertama berpendapat Bahwa pengertian hanya berpusat pada bidang
hukum dan politik. Fokus pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) generasi
pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi
perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru
merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru.
41
42

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara


2 . Generasi kedua, pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak saja
menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Jadi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) generasi kedua
menunjukkan perluasan pengertian konsep dan cakupun hak asasi manusia.
Pada generasi kedua ini lahir dua covenant yaitu International Covenant on
Economic, Social and cultural Rights dan International Convenant on Civil
and Political Rights., kedua Covenant tersebut disepakati dalam sidang
Umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat
penekanan sehingga terjadi ketidak seimbangan dengan hak sosial budaya,
hak ekonomi dan hak politik.
3. Selanjutnya lahir generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran Hak Asasi Manusia
(HAM) generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara
yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (The Rgihts of
Development). Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran Hak Asasi Manusia
(HAM) generasi ketiga juga mengalami ketidak seimbangan dimana teljadi
penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi
prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan
banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar. Jika
kata „pembangunan‟ tetap dipertahankan, maka pembangunan tersebut
haruslah berpihak kepada rakyat dan diarahkan kepada redistrubusi kekayaan

nasional serta redistribusi sumber-sumber daya sosial, ekonomi, hukum,
politik dan budaya secara merata. Keadilan dan pemenuhan hak asasi haruslah
dimulai sejak mulainya pembangunan itu sendiri, bukan setelah pembangunan
itu selesai.

Universitas Sumatera Utara

4. Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran Hak
Asasi Manusia (HAM) generasi ketiga, lahirkan generasi keempat yang
mengkritikk peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan
yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbukan dampak negatif
seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program
pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara
keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran Hak
Asasi Manusia (HAM) generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di
kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia
yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and
Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga; karena
tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada
terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Selain itu Hak Asasi Manusia

(HAM) Asia telah berbicara mengenai masalah kewajiban asasi bukan hanya
hak asasi. Deklarasi tersebut juga secara positif mengukuhkan keharusan
imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasi masyarakatnya. Beberapa
masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam kaitan dengan pembangunan sebagai berikut:
a.

Pembangunan berdikari (self development).
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan
rakyat dan bangsa dan ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada
rakyat sumber-sumber daya sosial ekonomi. Relokasi dan redistribusi
kekayaan dan modal nasional haruslah dilakukan dan sudah waktunya
sasaran pembangunan itu ditujukan kepada rakyat banyak di pedesaan.

Universitas Sumatera Utara

b. Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berani anti perang, anti nuklir, dan
anti perang bintang. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk
melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence) dengan segala

bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya damai (culture of
peace) menjadi tugas semua pihak baik rakyat, negara, regional maupun
dunia intemasional.
c. Partisipasi rakyat
Soal partisipasi rakyat ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat
mendesak untuk terus dipeijuangkan baik dalam dunia politik maupun
dalam persoalan publik lainnya.
d.

Hak-hak budaya
Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya.
Begitu juga adanya upaya dan kebijakan penyeragaman budaya oleh
negara merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya,
karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya yang menjadi
identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.

e.

Hak keadilan sosial
Keadilan sosial tidak saja berhenti dengan menaiknya pendapatan
perkapita, tetapi justru baru berhenti pada saat tatanan sosial yang tidak
adil dijungkirbalikkan dan diganti dengan tatanan sosial yang berkeadilan.

B. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berbeda-beda modus, baik
perlakuan yang tidak adil ataupun diskriminasi terhadap golongan tertentu dan

Universitas Sumatera Utara

lain sebagainya, maka perlu di bentuk pengadilan hak asasi manusia. Pelanggaranpelanggaran itu pada pokonya di bedakan menjadi tiga jenis, yakni, pertama,
pelanggaran terhadap hak asasi manusia pada umumnya, kedua, genosida, dan
ketiga, kejahatan terhadap kemanusian 43 . Adapun yang di maksud dengan
kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:44
a. Membuat anggota kelompok.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian kelompok.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok, atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Sedangan yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusian
adalah salah satu perbuatan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditunjuk secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa tindakan:
a. Pembunuhan.
b. Pemusnahan.
c. Perbudakan.
43

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, (Jakarata:
Buana Ilmu Populer, 2007), h.619
44
Lihat penjelasan pasal 7, 8, dan 9 UU No.26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM

Universitas Sumatera Utara

d. Penyiksaan.
e. Pengusiran atau pemindahan pendudukan secara paksa.
f. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum
internasional.
g. Perkosaan,

perbudakan

seksual,

pelacuran

secara

paksa,

pemaksaan kehamilan, pemandualan atau sterilisasi secara paksa,
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari atas perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lai yang telah di akui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, atau
j. Kejahatan apartheid.
Adapun kejahatan kemanusian untuk dapat dikatagorikan sebagai
pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi syarat, yaitu adanya serangan yang
meluas dan sintetis, diketahui bahwa serangan itu ditunjukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, dan serangan itu sebagai kelanjutan kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi. 45 Diluar kelompok kejahatan genosida dan
kejahatan kemanusian itu maka pelangaran HAM pada umumnya, harus di cegah
dan di tindak apabila tejadi secara sungguh-sungguh agar kehormatan, harkat, dan

45

Syamsir Abdullah Rozali, Pekembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaan Hak
Asasi Manusia di Indonesia, h.38

Universitas Sumatera Utara

martabat manusia dapat dijaga dan dilindungi dengan sebaik-baiknya.

46

Sedangkan realisasinya sudah terbukti dalam putusan ataupun perkara yang sudah
masuk dalam katagori genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.47

C. Perangkat Hukum Internasional Tentang HAM
Perangkat hukum internasional tentang hak asasi manusia adalah Konvensi
dan Deklarasi. Terdapat perbedaan antara keduanya, Konvensi bersifat mengikat
secara hukum dan memiliki sanksi yang tegas, (hard law) sedangkan Deklarasi
tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki sanksi yang tegas (soft law).
Pelanggaran kemanusian di berbagai negara kemudian menjadi topik
pembahasan yang serius di PBB. Diskriminasi rasial termusuk dalam pelanggaran
hak asasi manusia. Defenisi diskriminasi rasial adalah “setiap pembedaan,
pengecualian, pembatasan atau pilihan didasarkan pada suku bangsa, warna
ku;it, keturunan atau asal bangsa atau suku yang mempunyai tujuan atau
pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pengaruh
menghilangkan

atau

merusak

pengakuan,

kesenagan

atau

pengaruh

menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada
dasar persamaan, hak-hak asasi manusia dan kebebasn yang hakiki dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya atau sesuatu bidang kehidupan masyarakat.”
Dalam sejarah dunia setidaknya kita mencatat bebrapa contoh peristiwa
pelanggaran diskriminasi rasial yang besar. Kasus Afrika Selatan, semua
penduduk Afrika Selatan di daftarkan berdasarkan rasnya, tentu saja proses
hukum ini juga melahirkan diskriminasi rasial dalam prakteknya. Selain beragam
46

Jimly Asshiddiqie, Op.cit, h.620
Kompilasi Pelanggaran Berat Rwanda, Genosida, Kejahatan Perang dan Kejahatan
Terhadap Kemanusian, (Jakarta: ELSAM,2007), h.1
47

Universitas Sumatera Utara

tindak kekerasan, juga banyak peraturan yang amat membatasi hak kaum hitam.
Misalkan: dibuat gheto-gheto bagi kaum kulit hitam, aturan yang melarang kaum
kulit hitam mempelajari budaya selain budayanya sendiri, harus memiliki surat
jalan jika hendak keluar dari wilayahnya dan bahkan juga larangan perkawinan
antar ras.
Kasus Turki di Eropa di anggap bukan sebagai “pribumi” Eropa. Mereka
dianggap bangsa asing (Asia) yang berusaha mendapat keuntungan dari Eropa
dengan melakukan asimilasi dan penyeludupan hukum.
Kasus kaum Indian di Amerika. Kelompok Indian sebagai penduduk asli
(indigenous people) benua Amerika mengalami penyerangan, pembunuhan massal
dan pengusiran dari wilayah-wilayah tempat tinggal mereka oleh kelompok kaum
pendatang kulit putih. Selain tindak kekerasan tersebut, kaum pendatang juga
mendatangkan berpeti-peti minuman keras yang mendatangkan kebiasaan
bermabuk-mabukan dikalangan pemuda Indian. Stigminasi juga dilakukan secara
kejam. Kelompok Indian digambarkan sebagai kelompok yang biadab,
mempunyai kebiasaan menari-nari dan membakar manusia. Stgmatisasi in
berlangsung ratusan tahun. Sampai sekarang rasialisme masuh tumbuh dengan
subur di benua Amerika.
Pelanggaran kemanusiaan di berbagai negara ini kemudian menjadi topik
pembahasan yang serius di PBB. Setelah melalui perdebatan yang panjang pada
banyak persidangan Majelis Umum PBB, akhirnya dibuka dan ditandatangani
sebuah konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pada
tanggal 7 maret 1996.

Universitas Sumatera Utara

Komisi Hak Asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian menyusun
sebuah rancangan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial. Rancangan ini selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum
PBB. Pada tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Rancangan ini selanjutnya di ajukan kepada Majelis Umum PBB. Pada tanggal 21
Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internsional tentang
penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination/ CERD).
Dengan disahkannya konvensi ini, maka konvensi ini menjadi memiliki
kekuatan hukum kepada negara anggota yang mendatangani konvensi ini.
Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal
25 Mei 1999, tiga puluh empat tahun setelah konvensi ini dibuat.
Deklarasi HAM Universal 1948 adalah dokumen tertulis pertama tentang
HAM yang diterima semua bangsa. Karena itu, Majelis Umum PBB menyebut
Deklarasi HAM Universal 1948 sebagai a cammon standard of achievment for all
peoples and nations (pencapaian yang jadi standar bersama bagi semua orang dan
bangsa).
Deklarasi HAM Universal 1948 diadopsi lewat revolusi PBB No 217 (III)
tahun 1948. Deklarasi HAM Universal 1948 dilahirkan di tengah reruntuhan
peradaban manusia akibat Perang Dunia II dan kebrutalan monster-monster
kemanusian, semisal Hitler, Mussolini, dan Jepang di Asia Pasifik. Selain itu,
awal berlangsungnya perang dingin yang membuat polarisasi dunia yang kian

Universitas Sumatera Utara

menajam dan mengorbankan HAM, memicu semangat untuk membuat instrumen
perlindungan HAM, yang kini kita kenal sebagai deklarasi HAM.
Sejalan dengan itu, PD II yang berakhir tahun 1945, mengilhami dan
memicu semangat dekolonisasi, khususnya di Asia Afrika. Seluruh kejadian ini
membulatkan tekad warga dunia untuk membuat dataran yang bisa di pakai
bersama guna menegakkan prinsip-prinsip HAM.
Deklarasi yang memiliki 30 pasal ini, secara garis besar, berbicara
mengenai hak-hak dan jaminan agar tiap individu bisa hidup dan tidak boleh ada
satu orang pun yang leluasa membunuhnya (life), tiap individu di jamin agar tidak
ada individu lain yang menyaksikannya (no turture) dan kebebasan (liberty).
Level operasional Deklarasi HAM Universal 1948 dapat dibagi dalam
empat kelompok besar,yaitu:
Pertama, penegasan prinsip yang menjadi fondasi dasar deklarasi
ini bahwa tiap orang lahir dengan kebebasan dan persamaan dalam hak
dan martabat.
Kedua, prinsip kesamaan dan tidak dibenarkan memberlakukan
diskriminasi. Kelompok ini memberi kewajiban kepada negara untuk
melindungi dan menegakkan prinsip-prinsip itu.
Ketiga, kewajiban tiap individu di masyarakat untuk menjalankan
dann menegakkan HAM dan kebebasan.
Keempat, larangan bagi negara, kelompok, atau individu untuk
berbuat sesuatu yang mencederai hak-hak dan kebebasan yang diatur
dalam Deklarasi HAM Univeral 1948.

Universitas Sumatera Utara

Kendati deklarasi ini hanya singkat, ternyata cakupan soal yang
dilindunginya cukup basar. Bahkan , ada hal-hal yang dicantumkan deklarasi
tetapi tidak ada dalam Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,
misalnya, hak untuk kepemilikan, hak untuk memperoleh suaka, dan hak untuk
menentukan kebangsaan (Burgenthal, 1990).
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai standart umum
keberhasilan sesama manusia dan semua bangsa dengan tujuan bahwa setiap
individu dan setiap organ masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini,
akan berusaha melalui cara pengajaran dan pendidikan untuk memajukan
penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan dan melalui upaya-upaya yang
progresif baik secara nasional dan internasional, menjamin pengakuan dan
ketaatan yang universal dan efektif, baik oleh rakyat negara peserta maupun
rakyat yang berada di wilayah yang masuk dalam wilayah hukumnya.
Menurut Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia bahwa semua
manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani serta hendaknya bergaul satu dengan
yang lain dalam semangat persaudaraan.
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tanpa membedekan dalam bentuk
apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, bangsa, agama, keyakinan
politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik,
kelahiran atau status lainnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status
politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang

Universitas Sumatera Utara

berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa
pemerintahan sendiri atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya.
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia bahwa semua
orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi apapun. Semua orang berhak untuk mendapat perlidungan
yang sama terhadap diskriminasi apapun yang melanggar Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia dan terhadap segala hasutan untuk melakukan
diskriminasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
LANGKAH PERATURAN PRESIDEN RODIGRO DUTERTE
TERHADAP PEMBERANTASAN NARKOBA MENURUT
CONVENSITION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUET, IN HUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT

A.

Latar belakang langkah peraturan Presiden Radigro Duterte dalam
kejahatan narkotika di Negara Filipina
Apa yang terbayang di pikiran bahkan benak ketika menonton film

thriller kondang adaptasi komik Marvel bertitel The Punisher Film adaptasi
komik Marvel dengan karakter antihero utama bernama Frank Castle ini
menceritakan sosok Frank, seorang

pria yang membalas dendam atas

terbunuhnya keluarganya oleh mafia, dengan aksi perang seorang diri berupa
pembersihan dan vigilante (main hakim sendiri) kepada setiap pelaku kriminal
yang ditemuinya. Dan dalam fiksi tersebut, diceritakan sosok Frank alias
"Punisher", adalah sosok yang sangat terobsesi pada balas dendam dan
menganggap segala bentuk kekerasan bahkan pembunuhan adalah hal yang pantas
dibayar untuk memerangi kejahatan.
Belakangan dan yang sedang menjadi perbincangan hangat publik dunia,
aksi bengis dan kejam ala sosok Frank "Punisher" Castle ini tak lagi hanya bisa
ditemukan secara fiktif, melainkan benar-benar terjadi di dunia nyata. Penerapnya
tak lain adalah salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Filipina, atas perintah
sang presiden yang baru saja terpilih dua bulan yang lalu yakni seorang Rodrigo
Duterte. Dengan kampanye presidensil Duterte yakni "pembersihan 100.000
kriminal narkoba untuk menyelamatkan Filipina sampai seruan perang semesta

65

Universitas Sumatera Utara

bagi rakyat Filipina untuk melawan kriminal narkoba" , Duterte mendapat
sematan julukan baru yakni "Punisher" Duterte oleh majalah TIME, sampai "Dirty
Harry" Duterte.
Duterte bernama lengkap Rodrigo Duterte, adalah presiden terpilih
keenambelas Filipina kelahiran Maasin 71 tahun silam. Meski kelahiran Maasin,
Duterte hanya setahun bersekolah di sana kemudian pada masa selanjutnya ia
berpindah ke Davao. Duterte mengaku dekat dengan Davao dan menganggapnya
sebagai rumah sendiri. Bahkan di tempat inilah awal karir sang presiden di
panggung politik dituliskan.
Duterte menjabat sebagai walikota sekaligus pimpinan tertinggi Davao
selama dua dekade lamanya. Dan pada periode pemerintahannya di Davao inilah
pula, Duterte mendapatkan gelar "Punisher" dari majalah berpengaruh dunia
TIME. Atas dugaan keterlibatan Duterte dalam mendukung Davao Death
Squad (DDS), unit pembunuh bayaran yang bertanggungjawab atas terbunuh dan
hilangnya lebih dari 1000 orang dari berbagai latar belakang kriminal terutama
peredaran narkoba, sepanjang periode 1998-2008 yang merupakan salah satu
periode Duterte menjabat sebagai walikota Davao.
Seiring dengan misi Duterte untuk memberantas perdagangan dan
kebiasaan penggunaan narkoba di Davao, sekaligus menciptakan suasana yang
lebih aman dan tertib bagi Davao selama Duterte menjadi walikota. Duterte
memenangi pemilu presidensil Filipina pada Mei 2016 dengan keunggulan suara
telak atas rival terberatnya, Mar Roxas. Di usianya yang telah menapak 71 tahun
sekaligus mengukuhkan Duterte sebagai presiden tertua kedua Filipina sesudah
nama Sergio Osmena.

Universitas Sumatera Utara

Meski baru menjalani penobatan secara resmi sebagai presiden dan
bertugas di Malacanang pada Juni 2016, Duterte telah dituduh menjadi orang yang
bertanggung jawab di balik layar atas tewasnya kurang lebih 800 orang yang
terlibat jaringan narkoba di Filipina. Pada pidatonya semenjak menjabat walikota
di Davao, Duterte telah berkali-kali bersumpah untuk memerangi bahkan
memberantas jaringan peredaran narkoba Filipina yang dinilainya telah
membunuh ribuan bahkan ratusan ribu nyawa tak berdosa rakyatnya sendiri
sepanjang tahun.
Duterte mengaku telah mengantongi kurang lebih 150 nama pejabat
Filipina dari bermacam latar belakang seperti pejabat Kongres, hakim, bahkan
petinggi militer yang dicurigai memiliki koneksi dengan jaringan peredaran
narkoba negara tersebut.

Ia memiliki kewajiban memberitahukan hal tersebut

kepada rakyat Filipina dan sebaliknya, rakyat Filipina berhak untuk mengetahui
nama-nama tersebut, menunjukkan bahwa negara mereka kini telah menjadi
negara yang narko-politik. Sekaligus, pada pidatonya tersebut Duterte pada
posisinya sebagai presiden Filipina mengumumkan "perang" terhadap jaringan
narkoba dan kriminal di negara tersebut, sekaligus mengajak rakyat Filipina untuk
ikut menyukseskan seruan tersebut dengan diperbolehkan menangkap, bahkan
membunuh para bandar narkoba atau pengedar dan pelaku kriminal lain dengan
iming iming hadiah beribu peso, hadiah tersebut juga dijanjikan Duterte pada
pecandu narkoba yang mau menyerahkan diri. Duterte boleh saja awalnya
mengelak pada tuduhan tersebut, namun penyelidikan Amnesti Internasional pada
peningkatan jumlah pelaku kriminal yang tewas oleh death squad Davao pada
periode kedua Duterte menjabat sebagai walikota, dan meningkatnya kembali

Universitas Sumatera Utara

jumlah pelaku kriminal yang tewas secara pesat, terutama setelah pidato deklarasi
Duterte selaku presiden mengenai perang terhadap jaringan narkoba Filipina
membuat sang "Punisher" dari Davao tak lagi sanggup berkelit.
Kurang lebih 50 pelaku kriminal dan bandar narkoba ditemukan tewas
pada empat hari pertama terhitung sejak Duterte mengumumkan deklarasi
tersebut. Disusul 500.000 orang pecandu dan pengedar narkotik menyerahkan diri
pada awal aksi kampanye anti-narkoba presiden. Korban tewas ditemukan di
sepanjang jalan, kolong jembatan, bahkan ruang publik dan keramaian lainnya di
Manila. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang mengendarai sepeda motor tak
berpelat nomor, dengan topeng dan pakaian serba hitam, yang membunuh dengan
cara menembak belakang kepala atau menikam.
Death squad Duterte kini tak lagi hanya merajah Davao. Tindakan yang
seringkali disebut sebagai pembunuhan ekstra-yudisial (pembunuhan yang
dianggap legal dan tanpa sanksi dari proses hukum yang berlaku) ini tentu saja
menuai protes kemanusiaan dari berbagai pihak. Terutama dari lembaga dunia
seperti Human Right Watch PBB. Amnesti Internasional, Kongres yang diwakili
Senator Leila de Lima, dan pemimpin Katolik seperti Socrates Villegas. Senator
Leila de Lima menganggap bahwa metode ekstra-yudisial death squad ala Duarte
tidak mewakili poin Konstitusi Filipina. Sedang Socrates Villegas menilai bahwa
metode Duarte malah mengubah perilaku generasi pecandu narkoba Filipina
menjadi generasi pembunuh jalanan yang dianggapnya lebih menjadi suatu mimpi
buruk. Dari pihak Human Right Watch PBB, malah mengancam Duterte bahwa
mereka akan mengirim ahli untuk menyelidiki lebih lanjut death squad dan
keterlibatan Duterte.

Universitas Sumatera Utara

Duterte mengaku tidak peduli dan berbalik mempertanyakan peran PBB
yang useless sepanjang terjadinya konflik di Timur Tengah terutama Irak dan
Syiria. Dan menurut Duterte, PBB tidak akan turut bertanggungjawab akan
kerusakan moral berkelanjutan generasi muda Filipina jika peredaran narkoba di
negeri itu terus mengalir dan dibiarkan. Duterte bahkan mengancam PBB bahwa
bisa jadi ia mempertimbangkan keluarnya Filipina dari PBB dan membentuk
organisasi lain bersama China dan negara lain termasuk Afrika.
Hal yang bisa jadi membawa harmonisasi baru Filipina-China sejak
rivalitas panas mereka mengenai nine dashed line Laut China Selatan pada masa
Benigno Aquino III. Death Squad bentukan Duterte ditengarai merupakan jebolan
New Peoples Army, sayap partai kiri Filipina yang diminta langsung oleh Duterte
untuk membantunya membasmi para bandar narkoba Filipina dan jaringannya.
Death Squad ini tak hanya beranggotakan pria, bahkan perempuan juga direkrut
untuk melancarkan operasi Duterte dengan logika bahwa perempuan akan lebih
mudah mendekati terduga kriminal dan lebih tidak dicurigai.
Anggota Death Squad yang berhasil membunuh satu kepala, akan
diganjar imbalan dua puluh ribu peso atau sekitar lima juta rupiah. Jumlah yang
diakui termasuk banyak oleh para anggota yang kebanyakan hanya berprofesi
sebagai sipil untuk biaya bertahan hidup meski jumlah sedemikian kadang harus
dibagi dengan anggota yang lain.
Death Squad ditengarai juga mendapatkan kebebasan dan imunitas dari
aparat kepolisian dan militer seiring dengan support Duterte sendiri atas langkah
pembunuhan gelap yang mereka lakukan. Aparat Filipina juga ditengarai
menyokong aksi death squad dengan respons kepada tiap laporan pembunuhan

Universitas Sumatera Utara

yang diperlambat. Posisi ini membuat musuh anggota death squad hanya satu
yakni para bandar narkoba dan kriminal lain di sekelilingnya, yang menurut
mereka tak kalah sadis dan menuntut para anggota untuk secara cerdas
menyembunyikan dan secepatnya berganti identitas.
Hal ini juga membuktikan bahwa langkah kejam Duterte adalah diikuti
oleh kebersihan aparatur negara yang ingin dibuat dan dijunjung Duterte. Death
squad Duterte diatur sedemikian rupa olehnya untuk bisa berkorelasi dengan baik
seperti pada kepolisian untuk membasmi sesuatu yang telah mengakar kuat dan
sulit dibasmi di Filipina yaitu peredaran narkoba. Sesuatu yang mustahil adanya
dilakukan tanpa terciptanya sistem aparatur yang bersih dan tanpa kongkalikong
terhadap jaringan yang menjadi buruan sendiri.
Oleh sebab itu Duterte pernah berujar bahwa "hukum tidak memerintah
presiden untuk melindungi pejabat", dan menjamin imunitas anggota kepolisian
dan militer atas tuduhan pembunuhan jika mereka melakukan hal tersebut
(ekstrayudisial terhadap bandar narkoba dan kriminal). Duterte juga pernah
berkata bahwa "percayalah, aku tidak peduli tentang HAM", bersamaan bahwa
instruksi masyarakat sipil untuk memerangi pelaku narkoba bahkan kriminal
dengan menembak sampai membunuh, adalah berlaku sampai Duterte masih
hidup menjabat.
Begitu

tegasnya

Duterte

melawan

narkoba

dan

keinginannya

menyelamatkan filipinos dari sesuatu yang membuat hancur hidup mereka yang
tak terhitung jumlahnya menurutnya lebih penting daripada hanya "menghitung
jumlah korban kriminal yang tewas oleh death squad maupun sipil biasa". Duterte
juga mengaku jengah dengan peredaran narkoba di negerinya terutama terhadap

Universitas Sumatera Utara

sabu-sabu dan zat metamfetamin yang dikandungnya karena berasal dari reaksi
kimia. "Enam bulan sampai setahun ketagihan, lalu banyak pemuda Filipina akan
mengalami kerusakan otak setelah mengonsumsinya", ujar sang Punisher pada
suatu kesempatan mengacu pada bobroknya mentalitas dan kehancuran hidup
banyak pemuda Filipina akibat bahaya peredaran narkoba.
Opini dan impresi rakyat Filipina pun terbelah. Antara memuji, atau
mencaci Duterte, bagai berusaha memilih stempel penilaian yang pas yaitu
malaikat ataukah malah iblis pada sosoknya. Sedang tekanan publik luar
mengenai penegakan kemanusiaan tentu masih saja gencar kepada sang presiden.
Bagaimanapun kisah dan aksi yang dilakukan Duterte tentu dimaksudkan sebagai
sesuatu yang baik pada keselamatan bangsanya Filipina, terhadap apa yang sering
disebut sebagai penghancur generasi mudanya yaitu narkoba. Sesuatu yang
terbilang bengis dan semacam itu ketika Duterte bahkan membentuk suatu death
squad dari sipilnya sendiri yang melakukan aksi petrus (penembakan misterius)
dan bahkan telah mempunyai bekal berupa daftar calon korban incarannya.
Alasannya simpel, karena menurut Duterte jika memerangi narkoba hanya
bergantung via berbagai toleransi dan rehabilitasi tanpa tindakan tegas, mata
rantai peredaran narkoba berujung kerusakan moral-mental jutaan generasi
muda filipina tidak akan putus.
Duterte ingin membasmi narkotika yang ibarat jamur Filipina, sampai ke
akar-akarnya. Meski metodologi petrus kali ini yang dilakukan ala Duterte, adalah
untuk menegakkan gaung perlawanan rakyat melawan segala bentuk toleransi
narkotika, bukan malah diselewengkan sebagai alat hegemoni politik dengan

Universitas Sumatera Utara

melakukan petrus pada mereka yang disebut suara rakyat via perwakilanperwakilan yang dahulu dianggap bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Secara menyentil pula, bahwa Duterte menegakkan perang pada narkotika
dengan berusaha menjamin bahwa segala birokrasi dan aparatur negara benarbenar bersih seutuhnya dan tidak terlibat, atau mereka akan berakhir hidupnya di
tangan death squad. Seolah seperti suatu sarkasme pada penegakan hukum dan
usaha pembasmian narkotika di negara ini yang kadang birokrasinya masih
berbelit, dan banyak aparatur terlibat main mata dan kongkalikong. Percayalah,
selama di negeri ini hal tersebut masih terjadi, tempat rehabilitasi niscaya cuma
ditakdirkan untuk hanya disesaki, lalu akhirnya ditambah lagi.
Membuat pemberantasan narkoba kadang hanya wangi sebagai bungabunga slogan, penegakan hanya sampai ranting, belum sampai akar. Tak
berperikemanusiaan agaknya, tapi salut untuk komitmen tanpa pandang bulu
Duterte demi menyelamatkan masa depan jutaan generasi muda Filipina dari
bahaya laten narkoba.48

b. Pandangan HAM terhadap langkah peraturan Presiden Radigro Duterte
dalam kejahatan narkotika di Negara Filipina
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

48

http://www.kompasiana.com,bayuariframadhan,rodrigo-punisher-duterte-dilema-hamdan-penyelamatan-filipina-dari-narkoba, diakses pada tanggal 28 agustus 2016

Universitas Sumatera Utara

perlindungan harkat dan martabat manusia.49 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
merupakan hak yang melekat pada manusia yang dimiliki oleh manusia sematamata karena ia manusia, bukan pemberian manusia lain ataupun pemberian
hukum positif melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia. Dan
ini berarti Hak Asasi Manusia tidak dapat dicabut dan dirampas sewenangwenang oleh orang lain.
Pada awalnya konsep hak menentukan nasib sendiri ditujukan untuk
membebaskan rakyat dari belenggu kolonial. Namun penerapannya kemudian
mengalami perluasan makna tidak hanya berlaku bagi rakyat negara kolonial,
tetapi juga rakyat yang ditindas oleh pemerintah despotik, rakyat yang berada di
bawah dominasi asing, dan rakyat multi bangsa yang haknya ditentukan oleh
penguasa pusat.50
Saat ini, pengaturan mengenai hak-hak manusia sudah banyak diatur oleh
dunia, seperti diatur dalam: Universal Declarations of Human Right PBB
(DUHAM 1948), Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966),
Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR 1966),
Konvensi Penghapusan segala Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW),
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Againts Torrture & Others Cruel,
Inhuman or Degraing Punishment / CAT) dan sebagainya.51.
Hak Prinsip yang bersifat kolektif untuk menentukan nasib sendiri
merupakan salah satu dari empat tujuan dibentuknya PBB. Prinsip ini telah

49

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Antonio Cassese, Hak Menentukan Nasib Sendiri, dalam Hak Sipil dan Politik : EsaiEsai Pilihan, Ifdhal Kasim (editor), Jakarta, ELSAM, 2001, h. 83-84
50

51

. Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
Bogor: Ghalia Indonesia, h 76.

Universitas Sumatera Utara

berkontribusi dan memainkan peranan penting di suatu negara dimana selfdetermination dinyatakan sebagai hak asasi dalam konvean Internasional,
yaituKonvenan

Internasional

Hak-Hak

Sipil

dan

Politikdan

Konvenan

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya .52
Hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), menurut UU
No.12 tahun 2005 tentang Pengsahan “International Convenant on Civil and
Political Right” atau Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
menyatakan “bahwa semua bangsa atau rakyat dapat menyerukan kepada semua
negara termasuk negara-negara yang bertanggungjawab atas pemerintahan
wilayah yang tidak berperintahan sendiri dan wilayah perwalian unntuk
memajukan perwujuan hak tersebut”. Maupun seperti yang dituangkan dalam
Undang-Undang No.11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant
on Economic, Social and Cultural Rights ( Konvenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang dalam pasal 1 merumuskan “Bahwa
semua bangsa atau rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
menyerukan kepada semua negara, termasuk Negara-negara yang bertanggung
jawab atas pemerintahan Wilayah yang tidak Berpemerintahan Sendiri dan
Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut”. 53
Salah satu hak untuk menentukan nasib sendiri atau self-determination, baik
hak untuk mendapatkan kebebasan, dan persamaan serta hak untuk terlibat secara
politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang sesuai dengan aturan yang berlaku
52

. Adnan Buyung Nasution dan Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman 127.
53

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Convenant on Economic, Social and Cultural Rights ( Konvenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Universitas Sumatera Utara

di negaranya ini dapat dituangkan dengan adanya Konvensi Menentang
Penyiksaan (Convention Againts Torture and Others Cruel, Inhuman or
Degrading Punishment /CAT), mengartikan Penyiksaan itu dilarang.
Konvensi ini memperjuangkan hak-hak orang banyak seperti hak untuk
hidup secara bebas dan damai dalam segala aspek, baik dari segi ekonomi, sosial,
politik maupun budaya apabila mereka merasa hak-haknya dirampas dengan
adanya suatu penyiksaan dengan kekerasan. Padahal seharusnya mereka
mempunyai hak untuk bebas dari segala macam bentuk penyiksaan.
Konsep self-determination ini telah mendasari pemenuhan atas hak-hak sipil
dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Self Determination atau Hak
untuk Menentukan Nasib Sendiri merupakan sesuatu hal yang penting dalam
pelaksanaan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya seperti
yang tercantum dalam konvensi-konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) Konvenan
ini mengingatkan Negara-negara akan kewajibannya menurut piagam PBB untuk
memajukan dan melindungi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) terutama
dalam menentukan nasibnya sendiri untuk menikmati kebebasan sipil dan politik
serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan yang hanya dapat tercapai apabila
telah tercapainya suatu keadaan dimana seseorang dapat menikmati hak-hak yang
mendasar seperti hak ekonomi, sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan
politiknya.
Penentuan nasib sendiri adalah pilihan bebas seseorang untuk bertindak
sendiri tanpa paksaan dari luar, dan terutama sebagai kebebasan seseorang dari
suatu wilayah tertentu untuk menentukan status politik mereka sendiri. Bebas
untuk

menentukan

nasibnya

sendiri,

bebas

untuk

bersikap

tindak,

Universitas Sumatera Utara

mengekspresikan hidup mereka tanpa adanya kekangan dari orang ataupun
kelompok manapun.
Akan tetapi, bebas disini tetap terbatas pada peraturan-peraturan yang
berlaku di negaranya tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang harus mereka
lakukan. Karena apabila seseorang mengingikan sesuatu hak, maka tak terlepas
mereka harus mengerjakan kewajibannya terlebih dahulu. Karena hak dan
kewajiban merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
It can also be defined as the ability or power to make decisions for yourself,
especially the power of a nation to decide how it will be governed. Maksud dari
kata self determination itu sendiri mengandung 2 unsur, yakni :54
1.

Tindakan atau kekerasan yang membutuhkan satu pemikiran tersendiri

tentang apa yang seharusnya difikirkan, dilakukan tanpa adanya pengaruh dari
luar atau paksaan.
2.

Hak rakyat untuk memutuskan sendiri status politik atau bentuk dari suatu

Pemerintahan, tanpa adanya pengaruh dari luar.
Oleh karena itu disimpulkan sebagai kemampuan atau kekuatan untuk
membuat keputusan untuk diri sendiri, terutama kekuatan dari suatu negara untuk
memutuskan peraturan-peraturan yang berlaku di negaranya. In other words, it is
the right of the people of a nation to decide how they want to be governed without
the influence of any other country. The latter is a complex concept with conflicting
definitions and legal criteria for determining which groups may legitimately claim
the

right

to

self-determination.

55

This

often

coincides

with

54

. http://www.yourdictionary.com/self-determination
Antonio Cassese, Hak Menentukan Nasib Sendiri, dalam Hak Sipil dan Politik : EsaiEsai Pilihan, Ifdhal Kasim (editor), Jakarta, ELSAM, 2001, hal. 83-84
55

Universitas Sumatera Utara

various nationalist movements.Dengan kata lain, ini merupakan hak rakyat di
suatu negara untuk memutuskan bagaimana mereka ingin diatur tanpa pengaruh
negara lain.
Dengan adanya hak ini, setiap warga negara masyarakat berhak untuk
memiliki kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan budaya bangsa. Dan pasal dalam konvensi ini
merupakan sesuatu yang sangat penting pada tahun 1966 karena ketika itu masih
banyak wilayah jajahan yang didalamnya terkandung Hak Asasi Manusia (HAM)
yang paling mendasar dan mutlak adanya yaitu hak untuk hidup.
Hak untuk hidup yang melekat pada setiap manusia di dalam
kehidupannya sesungguhnya merupakan hak yang paling mendasar dan hak yang
paling tradisional maupun fundamental yang keberadaanya menjiwai hampir
keseluruhan nilai HAM, baik di bidang sipil dan politik, maupun ekonomi, sosial
dan budaya. Karena hak ini sangat penting sehingga hak hidup sangat wajib untuk
dilindungi oleh hukum sehingga tidak ada seorang pun yang dapat merampas hak
hidup secara sewenang-wenang. Untuk menentukan nasib sendiri terkadang masih
terdapat banyak halangan sehingga hak-hak asasi atau hak kodrati sebagai
manusia merasa terampas dan tidak dapat memperoleh hak yang sepatutnya
mereka peroleh.
Kekerasan dengan tindakan-tindakan penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
manusia. Selain penembakan mati di tempat terhadap pengguna narkoba yang ada
di Negara Filipina sebagai contoh kasus misalnya saja yang sering dialami oleh

Universitas Sumatera Utara

Tenaga Kerja Wanita, Mahasiswa Perguruan Tinggi Militer dan bahkan
Tersangka/tahanan di dalam penjara.
Ada bermacam-macam Pengertian dari Penyiksaan, antara lain dapat
diartikan sebagai berikut:
Tindakan penyiksaan menurut Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat

manusia

dapat

dirumuskan

dalam

pasal

1

yang

isinya

: “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau
dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah
dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau
mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan
yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul
hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku “.56
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan dalam pasal ini terdapat 3 unsur
pokok didalam maksud penyiksaan, ketiga unsur tersebut antara lain:
1.

Harus adanya rasa sakit atau penderitaan terhadap jasmani/raga maupun
rohani/jiwa yang luar biasa.

2.

Harus ada suatu tujuan

56

Pasal 1 Undang-Undang No.5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan

Universitas Sumatera Utara

3.

Harus ditimbulkan oleh dan atau hasutan dari atau dengan persetujuan atau
sepengetahuan dari seseorang pejabat public atau seseorang yang bertindak
di dalam kapasitas pemerintahan.
Dalam Deklarasi Tokyo 1975 World Medical Association disebutkan

bahwa Penyiksaan adalah tindakan kekerasan fisik dan atau mental yang
dilakukan secara sepihak, sengaja dan sistematik oleh seseorang atau sekelompok
orang lain yang menimbulkan perasaan tidak nyaman sampai dengan nyeri yang
tidak tertahankan,unbearable pain, sehingga berakibat terjadinya cedera dan
kerusakan sementara dan atau menetap pada tubuh maupun pada fungsi organ
tubuh; serta gangguan psikiatrik berupa perasaan cemas, takut dan teror yang
berlebihan, hilangnya harga diri atau jati diri, serta penyiksaan berat yang dapat
menyebabkan kematian dan sebagainya57.
Pasal 351 KUHPidana merumuskan Penyiksaan sebagai sesuatu yang
mengakibatkan luka-luka berat, kematian, dan sengaja merusak kesehatan. Akan
tetapi dalam pasal 28 KUHPidana merumuskan Penyiksaan adalah luka-luka berat
hanya pada penyiksaan fisik semata.58
Efek dari penyiksaan adalah penderitaan (pain or suffering). yang
bertingkat-tingkat. Ada beberapa istilah dalam penyiksaan antara lain:59
a.

Falanga, istilah untuk pemukulan berulang-ulang yang sangat hebat
(menyakitkan) pada telapak kaki dan seputar kaki. Falanga termasuk

57

http://www.komnasham.go.id/portal/files/Majalah%20Suar%20Juni%202002.pdf
akses pada tanggal 20 juni 2002

di

58

Pasal 351 dan pasal 28 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
http://www.komnasham.go.id/portal/files/Majalah%20Suar%20Juni%202002.pdf, h.9
diakses pada tanggal 20 juni 2002
59

Universitas Sumatera Utara

pemukulan sistematis dan berakibat cacatnya korban. Penyiksaan ini acap
menimpa para tahanan di seluruh dunia.
b.

Planton adalah penyiksaan

yang dilakukan pada tahanan dengan

melakukan suatu posisi yang tidak normal dengan jangka waktu tertentu
misalnya berdiri dengan kepala ditutup selama 14 jam. Planton lebih
dikenal dengan memaksa korban untuk berdiri dengan jangka waktu lama.
c.

Submarino adalah memasukkan kepala korban ke dalam air, lumpur atau
cairan

lainnya,

atau

lebih

dikenal

dengan wet

submarino. Dry

submarino adalah memasukkan kepala korban ke kantong plastik dan
mengikat kantong itu dengan tujuan korban akan kesulitan bernapas.
d.

Telephono, pemukulan kedua daun te