43. Pendayagunaan Derma Keagamaan Harus Lebih Universal

Budhy Munawar Rachman

Pendayagunaan Derma Keagamaan Harus Lebih
Universal
Sumber:
Judul buku
Ditulis ulang dari

: Pengarusutamaan Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial
di Indonesia: Proyek yang Belum Selesai
: Jurnal Galang, Vol.1 No.3 April 2006, PIRAC, 2006, Opini,
Hal 82 – 90

Setiap agama atau kepercayaan mengajarkan konsep kasih sayang dan memberi kepada
orang yang membutuhkan. Konsep ini memberi peluang kepada lembaga-lembaga
keagamaan untuk mengelola potensi tersebut dan mendayagunakannya untuk
kemaslahatan umat. Namun, apakah pengelolaan dan distribusinya sudah cukup produktif,
mengapa ada kesan terjadi kemandegan dalam pendayagunaannya, bagaimana pula upaya
mengatasi problem yang muncul dari konsep hirarki tersebut. Berikut wawancara redaktur
galang (Hamid Abidin dan Yuni Kusumastuti) dengan Budhy Munawar Rachman, Program
Officer Islam dan Masyarakat Sipil, The Asia Foundation.

Bagaimana Anda melihat perkembangan religious philanthropy secara umum,
menurut Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain di Indonesia, baik dari aspek
penggalangan, pengelolaan dan pendayagunaannya?
Sebenarnya filantropi itu termasuk dari salah satu ajaran keagamaan pada semua agama.
Bahkan sumber-sumber daya keagamaan itu diperoleh justru berdasarkan konsep filantropi
yang ada dalam agama itu. Misalnya, di dalam tradisi agama Kristen, mereka mempunyai
tradisi per-sepuluhan. Orang Syiah juga punya qumus; semacam kewajiban dari seorang
anggota komunitas muslim Syiah, yaitu sekitar 20% dari pendapatannya diberikan kepada
agama. Kemudian dalam tradisi Sunni, konsep zakat yang prakteknya sebenarnya lebih
banyak dipakai untuk soal-soal yang konsumtif di Indonesia. Zakat maal misalnya,
jumlahnya antara 2,5% - 10% dari hasil pertanian, dan sebagainya. Jadi bagaimanapun
kondisinya sekarang ini filantropi termasuk bagian dari ajaran keagamaan dan biasanya
kekuatan keagamaan atau komunitas yang berdasarkan keagamaan dibangun dari
filantropinya; berdasarkan suatu rasa tanggung jawab dari komunitas tersebut untuk
membangun keagamaannya atau lebih tepat komunitas keagamaannya. Jika hal itu dikelola
dengan sangat baik, biasanya komunitas itu berkembang. Tetapi jika hal itu tidak dikelola
dengan baik, maka sebetulnya filantropi akan menjadi sesuatu yang tidak bermakna; ini
hanya menjadi bagian dari konsep give and take.
Kita bisa melihat banyak dalam tradisi keagamaan, banyak institusi-institusi keagamaan
yang menjadi berkembang cepat karena filantropi. Saya pernah mengunjungi satu sekte dari

agama Kristen, namanya agama Mormon di Amerika. Satu sekte yang filantropinya sangat
kuat dan mungkin juga karena ghirah keagamaannya yang sudah mapan sehingga bisa
mengelola dengan baik sehingga bisa mengirimkan hasil dari filantropi anggota
komunitasnya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dan sebenarnya kalau
kita lihat, sebagian besar lembaga-lembaga donor muncul dari tradisi keagamaan atau
komunitas-komunitas semacam ini.
Sejauh ini baru derma yang berkaitan dengan Islam yang banyak terekspos, seperti
zakat, infak, sedekah, sementara derma-derma lainnya belum banyak diketahui.
Kenapa hal ini bisa terjadi?

Saya kira faktornya karena kita tidak punya ketertarikan untuk mempelajari apa yang terjadi
pada agama lain. Masyarakat kita tidak punya suatu rasa ingin tahu yang kuat untuk
mengetahui agama lain. Karena tidak tertarik mengetahui agama lain akhirnya juga tidak
tertarik untuk mengetahui persoalan filantropi ini. Mungkin juga hal ini muncul karena rasa
superioritas yang masih melekat pada banyak orang Islam sebagai suatu kelompok yang di
masa lalu memimpin peradaban. Sampai sekarang sebenarnya orang Islam sudah tidak
memimpin peradaban lagi, tapi mental itu masih melekat. Ada split of personality yang
menghinggapi orang Islam sehingga orang Islam tidak mau melihat atau tidak tahu
bagaimana perkembangan di agama lain.
Saya kira di dalam tradisi-tradisi keagamaan yang bukan Islam di Indonesia ini, mereka

berkembang karena filantropi. Misalnya tradisi-tradisi di kelompok Kristen atau Katholik.
Filantropi di dalam Katholik merupakan kultur, sudah menjadi bagian apalagi dalam satu
sekte keagamaan yang baru. Sekte keagamaan yang baru pasti kuat filantropinya karena
kelangsungan hidup sektenya bergantung dari dana filantropi ini. Dan orang yang sangat
tersentuh dan mau masuk ke sekte tersebut biasanya juga mau memberikan sebagian
hartanya untuk pengembangan sekte tersebut. Juga kalau kita melihat kelompok-kelompok
seperti new age, yang sebenarnya di Indonesia juga banyak berkembang kelompokkelompok spiritual semacam itu. Biasanya kelompok-kelompok spiritualitas ini juga
berkembang berdasarkan filantropi; mereka dihidupi oleh anggotanya, jemaatnya. Misalnya
lagi dalam tradisi agama Hindu di Jakarta, mereka punya center meditasi (yoga) yang besar
sekali dan kita benar-benar terkesan. Center-nya betul-betul modern. Bagaimana mereka
bisa mempunyai suatu center meditasi yang bagus sekali? Saya yakin disebabkan loyalitas
anggotanya dalam melakukan filantropi.
Ada hal yang harus dikembangkan untuk membuat orang peduli dengan kepentingan
orang lain. Salah satunya dengan menekankan mengenai humanisme sehingga fungsi dari
lembaga-lembaga filantropi agama lain dapat lebih terekspos. Saya kira semua lembaga
keagamaan mempunyai tradisi dan nilai-nilai derma yang mendasar. Sejauh yang saya tahu
dalam teologi Kristen bahkan itu menjadi bagian dari pelajaran keagamaan. Agama Kristen
dibangun dari jemaat yang begitu solid, ada keanggotaan dari suatu komunitas. Tetapi kalau
di Islam sebenarnya tidak ada hal semacam itu, tidak ada keanggotaan masjid. Jadi kita bisa
ke masjid di mana saja sehingga menjadi begitu longgar aturannya. Biasanya yang memiliki

komunitas ini adalah orang-orang di sekitar tapi hal itu tidak mengikat. Seperti keanggotaan
dalam suatu gereja atau pesantren biasanya seorang kiai diikuti oleh umat yang banyak
sekali; tentunya ada protensi derma yang besar sekali.
Dalam lingkungan semacam inilah filantropi berkembang di dunia Islam; di dalam
lingkungan yang lebih solid filantropi berkembang di dunia Kristen. Di dunia Kristen,
pengelolaan filantropinya sudah jauh lebih baik karena sistem dari keagamaan itu sendiri,
hierarkis. Jadi seorang jemaat, misalnya, dia tahu di mana gerejanya sehingga dia tahu di
mana akan berderma. Tetapi kalau Islam di mana-mana bisa, tergantung dia maunya di
mana. Syukur sebenarnya dalam stuasi seperti ini lembaga-lembaga dengan manajemen
baru berkembang, seperti Dompet Dhuafa (DD) atau sekarang di PKS itu ada PKPU, dan
seterusnya. Itu satu perkembangan baru yang saya kira bisa menjadi satu model di mana
dana-dana derma dari masyarakat yang menaruh kepercayaan dapat ditampung. Jadi DD,
PKPU ,PDU-DT sudah jauh lebih rasional, atas dasar trust. Orang mau, misalnya
menyalurkan zakat dan kurbannya ke DD, karena ada trust di situ. Padahal keanggotaan
dari orang yang berderma ke DD atau lembaga LAZIS lainnya tidak didasarkan pada satu
ikatan emosional, lain dengan di gereja, lain dengan di pesantren. Jadi, menurut saya
lembaga filantropi di dalam Islam harusnya membangun suatu tantangan atau kepercayaan
dari masyarakatnya dulu. Banyak sekali LAZIS-LAZIS atau BAZIS atau sejenis itu
dilingkungan kita tetapi, karena tidak ada kepercayaan dan tidak ada akuntabilitas yang
jelas, sehingga orang kemudian tidak percaya dan biasanya lembaga tersebut akhirnya tidak

berkembang.

Bagaimana upaya untuk mengembangkan ajaran derma yang awalnya hanya
berdasarkan kewajiban atau menuruti perintah Tuhan agar bisa digeser ke hal yang
lebih produktif dan berjangka panjang?
Dari segi teologi Islam saya kira ini akibat dari pandangan keagamaan bahwa hasil dari
zakat itu harus segera didistribusikan. Dan suatu pemikiran mengenai zakat yang lebih
produktif, pendayagunaan yang lebih produktif yang dapat dijadikan modal berkelanjutan
(revolving fund), belum ada fikihnya. Mungkin nanti lembaga-lembaga Islam akan membuat
fikihnya. Tapi, hal itu memang sudah menjadi tradisi keagamaan yang ratusan tahun dan
untuk mengubahnya sangat sulit sehingga kita tidak pernah melihat, misalnya suatu
penggunaan yang lebih produktif dari lembaga-lembaga zakat yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini hanya bisa dilakukan pada lembaga yang bekerja secara profesional
untuk bidang ini. Kalau seperti lembaga zakat yang ada di masjid-masjid, mereka hanya
membuka dan menerima sumbangan masyarakat pada waktu Ramadhan, menyalurkan
zakat, dan mereka juga tahu bahwa ini harus disalurkan habis. Segi produktif yang bisa
mereka gunakan biasanya untuk pembangunan dan pengembangan masjid. Dompet Dhuafa
merupakan salah satu contoh yang bagus. Mereka menginvestasikan, misalnya untuk
membangun sekolah dan rumah sakit. Ini merupakan tradisi yang sangat baru dan ide yang
sangat brilian. Dompet Dhuafa menginvestasikan kembali bantuan masyarakat atau zakat

Islam untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan.
Intinya adalah pengembangan humanisme. Salah satu fungsi dari lembaga-lembaga
filantropi adalah memberikan bantuan humanitarian. Dan ini yang masih sangat kurang di
kita. Humanisme berarti bahwa satu derma akan digunakan untuk kemaslahatan dalam arti
yang seluas-luasnya dan bahkan sudah tidak lagi berdasarkan suatu keagamaan tertentu.
Hal ini sudah sangat maju di dunia yang tingkat kemakmurannya melimpah, seperti di
Eropa, Amerika, Australia. Kita masih belum sampai kesana, tetapi memang sudah
semestinya dipikirkan bagaimana lembaga filantropi bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan
primer. Misalnya, memberantas kemiskinan atau memberikan bantuan untuk
pengembangan sumber daya manusia. Program semacam ini saya kira akan berjalan
bersama dengan peningkatan kemakmuran. Kalau pertumbuhan ekonomi suatu komunitas
meningkat, filantropi bisa diharapakan meningkat juga. Karena hanya orang-orang yang
punya kelebihan yang bisa memberikan derma lebih banyak.
Dari aspek penggalangan, sekarang sudah ada perkembangan luar biasa. Ada SMS
charity, ada zakat on line, dan sebagainya. Namun, dari aspek pendayagunaannya
nampaknya masih mandeg. Misalnya masih lebih banyak berkaitan dengan hal yang
bersifat konsumtif, charity. Faktor apa saja yang membuat demikian?
Saya yakin hal itu berhubungan dengan kebijaksanaan dan orientasi dari lembaga filantropi
yang bersangkutan dan itu hal yang wajar. Bahkan lembaga donor pun sangat tergantung
dari visi yang mereka miliki dalam menjalankan programnya. Ada banyak lembaga donor,

misalnya, lembaga donor dibiayai dari filantropi masyarakatnya atau negara di mana mereka
berasal untuk membantu pembangunan infrastruktur, membantu bencana alam,
pemberdayaan program kesehatan, atau untuk pengembangan sumber daya, dan
seterusnya. Jadi memang sangat bergantung dari misi kelembagaannya dan saya kira
charity merupakan sesuatu yang sangat mendasar di dalam suatu lembaga filantropi; suatu
kegiatan lembaga memang dimulai dengan charity dulu.
Apakah aspek pemahaman hukum agama, misalnya ajaran Islam berkaitan dengan
pendayagunaan Zakat untuk 8 asnaf, turut berkontribusi terhadap kemandegan
tersebut?
Kepada siapa sedekah tersebut diberikan sebenarnya tidak ada masalah karena hal ini bisa
di transformasikan. Yang menjadi problem adalah cara menyalurkannya. Kalau ada orang
miskin, misalnya, mereka harus mendapatkan bantuan langsung, itu harus dilewati dulu.

Tapi kalau ada dana yang berkelebihan itu memang harus dikelola secara produktif. Charity
itu sangat penting, misalnya, lagi-lagi satu contoh dari Mormon yang saya lihat. Dari derma
komunitasnya, mereka membuat satu pabrik roti yang besar sekali. Setiap hari mereka
menghasilkan makanan yang sudah dibungkus rapi dan ada petugas yang setiap siang
bertugas keliling kota untuk melihat siapa, misalnya, gelandangan yang tidak punya rumah.
Pada level itu mereka punya institusinya. Mereka membangun dulu pabriknya, kemudian
ketika pabrik sudah dapat berjalan dan memberikan kontribusi langsung untuk membantu

mengatasi salah satu persoalan mendasar masyarakat miskin, mereka mulai membantu
untuk kebutuhan yang lebih produktif dalam arti mencoba membuat orang mulai bisa
mandiri. Misalnya, bantuan sekolah atau beasiswa, dan seterusnya. Model seperti ini hanya
salah satu contoh dari bagaimana menyalurkan dana.
Mengenai asnaf saya kira tetap saja seperti itu karena ayatnya sudah jelas. Untuk
mengubah pemaknaan miskin bukan sebagai orang miskin tapi kemiskinan dibutuhkan
pengetahuan yang mendalam. Dan saya kira para pengelola filantropi harus mempunyai
pengetahuan yang lebih luas. Pengetahuan yang lebih luas itulah yang akan membuat dia
secara kreatif mengembangakn seperti apa lembaga filantropinya. Jika diamati puluhan atau
ratusan lembaga LAZIS-LAZIS itu masih dalam tahap menyalurkan bantuan saja. Belum
sampai pada tingkat yang lebih luas.
Dengan pendayagunaan dana yang sifatnya charity itu membuat alokasi dana sosial
menjadi timpang. Organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang charity lebih
banyak disumbang, seperti anak yatim atau masjid. Sementara lembaga yang
bergerak di bidang advokasi, pemberdayaan perempuan, yang isunya lebih strategis,
tetapi mungkin lebih abstrak dan berjangka panjang, tidak banyak mendapat
sumbangan. Bagaimana menggeser pola menyumbang yang sifatnya charity agar
lebih terorganisir atau lebih punya prospektif jangka panjang?
Karena itu sudah menjadi tradisi, susah untuk diubah. Tapi, lagi-lagi kalau kita bisa
membentuk suatu lembaga filantropi yang dipercaya masyarakat, maka lembaga tersebut

akan menjadi pengelola banyak program. Jadi tergantung pengelolaannya dan saya kira
satu institusi yang punya visi yang jauh akan bisa memanfaatkan derma dari masyarakat ini
untuk soal yang berjangka panjang. Mungkin kita masih belum seperti lembaga-lembaga
donor yang sudah punya pikiran jauh ke depan. Mereka bisa membiayai program atau
membiayai suatu pengembangan sumber daya manusia. Pereusahaan seperti Ford
Foundation juga melakukan filantropi kepada masyarakat dunia.
Peruntukan zakat, infak, sedekah akan tetap untuk program-program karitas jika masih
dikelola dengan cara seperti sekarang. Apalagi masjid-masjid tidak pernah mendapatkan
pelatihan bagaimana mengelola dana-dana dari komunitasnya. Jadi ini juga berkaitan
dengan kecerdasan dan kemampuan intelektual dari masyarakat kita. Tapi saya sangat
yakin kalau seandainya kemakmuran itu lebih tinggi di masa depan, itu semua akan
berubah. Kalau orang Islam yang berpendidikan tinggi lebih banyak, banyak hal yang
barubah. Saya kira pada beberapa lembaga LAZIS dan BAZIS yang ada juga memikirkan
program-program yang lebih produktif ketika mereka mempunyai dana yang besar dari
masyarakat. Pemahaman masyarakat tentang filantropi juga masih kurang, belum menjadi
sesuatu yang fenomena. Filantropi seolah-olah bagaimana orang memberikan zakatnya
kemudian lembaga sosial menyalurkannya. Kemudian di hari raya dilaporkan berapa zakat
terkumpul dan berapa yang sudah disalurkan. Itu sudah menjadi tradisi masyarakat kita.
Tapi, saya percaya bahwa sesuai dengan perkembangan, lembaga-lembaga dana ini akan
mengalami banyak kemajuan.

Nah, bagaimana mengubah mindset yang menganggap surga menyumbang terdapat
pada hal-hal yang bersifat charity dan berbau keagamaan? Bagaimana mengubah
paradigma bahwa berderma itu bukan hanya menciptakan surga di akhirat tapi juga
kemaslahatan di dunia?

Saya kira ini berkaitan dengan konsep akherat kita yang masih sempit. Anda membuat
masjid pasti akan banyak yang ingin membantu. Tapi kalau pemberdayaan perempuan atau
pemberantasan buta huruf, sedikit yang akan membantu. Membangun masjid adalah
investasi, itu kaitannya dengan keagamaan. Tetapi pemberdayaan perempuan, itu urusan
dunia. Cara berpikir semacam itu yang membuat saya heran. Misalnya, ketika pulang
kampung saya melihat di desa-desa itu masjidnya jauh lebih bagus daripada kampungnya,
kampung orang-orang yang menyumbangnya. Mereka mau berderma kalau untuk masjid,
tapi kalau untuk perbaikan kampung, sikap mereka sebaliknya. Padahal mereka miskin, tapi
kalau menyumbang untuk masjid, menurut mereka ada ketenangan batin. Jadi mindset dari
kita memang sangat berpengaruh dalam konsep derma ini.
Untuk mencegah pola berpikir semacam ini, tentunya harus mengembangkan
pendidikan dan meningkatkan kecerdasan masyarakat. Pemahaman semacam itu
dibutuhkan wawasan yang lebih luas karena lebih abstrak. Sementara mungkin kita belum
sampai pada tingkat yang seperti itu.
Mengapa pemahaman seperti itu belum berkembang di kalangan organisasi

keagamaan, misalnya di kalangan NU dan Muhammadiyah? Mereka belum mendorong
masyarakatnya untuk berderma ke arah yang lebih progresif, strategis, dan
berorientasi masa depan?
Itu karena masih mengentalnya patrenalisme dalam soal pengelolaan lembaga. Pesantren
yang sebagian besar dikelola NU memang belum bisa diubah dengan manajemen yang
lebih modern. Sebenarnya pesantren itu dimiliki dan dikelola keluarga, khususnya keluarga
kiai. Pengelolaan ini juga berpengaruh dalam pengelolaan derma. Banyak yang
beranggapan untuk agama itu menjadi derma untuk kiai. Padahal mungkin orang
memberikan derma tersebut bukan untuk kiainya, tetapi untuk agama. Dia mau sedekah
melalui kiai dan diharapkan sang kiai kemudian menyalurkannya sesuai dengan tuntunan
agama. Problem yang terjadi selanjutnya adalah minimnya akuntabilitas. Kalau itu
dibongkar, pasti akan membongkar struktur manajemen pesantren dan akan
mempertanyakan kredibilitas kiai atau hak kiai untuk melakukan seperti itu. Saya kira hal-hal
yang lebih progresif hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang lebih modern, dan
Muhammadiyah lebih bisa dalam soal seperti ini. Jadi Muhammadiyah itu pengelolaan
filantropinya akan berbeda dengan di NU. Di NU akan sangat tergantung dari kesadaran
kiainya, sementara di Muhammadiyah sangat tergantung dari kesadaran institusinya. Tetapi
dua-duanya belum mempunyai contoh yang bagus berkenaan dengan kepemilikan lembaga
filantropi. NU dan Muhammadiyah belum memiliki lembaga semacam ini, padahal mereka
mempunyai aset masyarakat yang besar sekali. Jika dilihat klaim mereka, katanya
Muhammadiyah sebanyak 30 juta, NU 40 juta.
Tadi diceritakan bahwa di agama-agama lain pola dermanya sudah lebih universal
bahkan sekat-sekat agama tidak ada lagi. Apakah itu dimungkinkan, misalnya untuk
derma keagamaan seperti zakat, persepuluhan dan lain-lain?
Sangat dimungkinkan. Ambil contoh, beberapa negara Timur Tengah di mana filantropi atau
zakat itu dikelola oleh negara. Terutama negara-negara yang makmur seperti Kuwait, dan
beberapa negara di Teluk, di mana ada, misalnya, komunitas nonmuslim di situ. Mereka
memberi bantuan dari zakat untuk pembangunan gereja. Itu adalah sesuatu yang belum
terpikirkan untuk kondisi kita sekarang ini. Masih terjadi perdebatan dalam fikih lintas agama
apakah memberi zakat kepada nonmuslim itu boleh atau tidak.
Kalau dalam fikihnya menurut pandangan yang hidup di masyarakat, zakat tidak boleh
diberikan kepada nonmuslim. Makanya dalam fikih lintas agama, mungkin Anda pernah
melihat yang dibuat di Paramadina, di situ diberikan satu argumen bahwa zakat boleh
diberikan kepada nonmuslim kalau mereka memerlukannya. Dan menurut saya sudah
sangat tidak relevan bagi suatu dana dari masyarakat tertentu hanya untuk komunitasnya
sendiri dalam situasi seperti sekarang ini. Misalnya terjadi bencana, longsor atau banjir dan

kemudian orang mulai pilih-pilih mana yang muslim, mana yang bukan muslim. Hal ini
benar-benar tidak masuk akal, lagi-lagi masalah teologi yang menentukan. Tetapi melihat
beberapa kasus atau perkembangan, contoh di Timur Tengah itu menarik, di mana gereja
diberikan bantuan setiap bulannya oleh negara dan dananya dari zakat masyarakat. Karena
zakat dikelola oleh negara, jadi mereka tidak membedakan zakat dengan pajak seperti yang
berlaku di sini. Karena itu suatu dana masyarakat, kalau diambil oleh negara, masyarakat
tidak punya dana lagi.
Sebenarnya, ini dari sisi teologi, Masdar Mas’udi memikirkan bahwa seharusnya yang
namanya pajak itu adalah zakat dilihat dari sudut pandang keagamaan. Dilihat daari sudut
pandang negara, sekarang pajak itu adalah zakat. Jadi tidak ada dualisme. Tetapi implikasi
penerapan semacam itu di dalam suatu masyarakat yang zakat sudah sangat menjadi
bagian dari kehidupan sosial sangat susah. Kita tidak bisa membuat seperti itu, menjadi
pajak adalah zakat, zakat adalah pajak. Ini sama artinya dengan menyerahkan sumber daya
keuangan masyarakat ke negara. Karena di zaman dulu, yang namanya membayar zakat
sebenarnya membayar pajak kepada negara. Tapi dualisme ini sudah terjadi dan saya kira
pemerintah tidak terlalu tertarik untuk masuk dalam persoalan ini. Bahkan kemudian yang
terjadi adalah munculnya Undang-undang zakat. Itu jadi lebih rumit lagi dan sepertinya
pemerintah berpikir ini urusan keagamaan. Sehingga akhirnya orang bayar zakat dan pajak.
Orang beranggapan kalau membayar pajak itu urusannya duniawi, sedangkan membayar
zakat itu urusannya keagamaan: ada pahala dan dosanya. Tetapi kalau membayar pajak
tidak ada pahala dan dosanya.
Bisakah filantropi Islam ini menjadi semacam mekanisme alternatif di luar mekanisme
negara dan pasar dalam mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan?
Kalau kita bicara mengenai civil society, kekuatan civil cociety ini adalah filantropi. Civil
society berarti satu kelompok di mana masyarakat membangun kemandiriannya, juga dari
intervensi negara. Karena kemandirian inilah masyarakat bisa kritis terhadap negara.
Misalnya, kalau negara mampunyai policy yang masyarakat memandang itu merugikan
masyarakat, masyarakat dapat mengajukan kritik terhadap kebijakan itu dan masyarakat
punya kekuatan karena mereka punya sumber daya; salah satunya uang. Sumber daya
inilah yang menjadi kekuatan atau tulang punggung dari civil society. Sayangnya,
masyarakat sipil yang ada di Indonesia belum kuat. Sehingga beralasan jika kadang-kadang
negara begitu mudah mengintervensi masyarakat karena kita memang tidak mempunyai
suatu civil society yang kuat. Dan kalau kita berbicara filantropi, ternyata filantropi di dalam
masyarakat tidak mendukung civil society ini.
Tapi kenyataannya mereka justru tenjebak dalam mekanisme pasar. Misalnya, banyak
lembaga sosial mendirikan sekolah atau rumah sakit yang menerapkan mekanisme
dalam memberikan pelayanan. Pelayanan mereka lebih banyak dinikmati orang-orang
kaya dari pada masyarakat miskin yang jauh lebih membutuhkan. Lembaga-lembaga
sosial itu lebih memilih masuk ke mekanisme pasar dibandingkan dengan
pemberdayaan masyarakat. Bagaimana Anda mencermati hal ini?
Itu konsekuensi akibat dari adanya investasi. Suatu contoh, pengelola sekolah
membutuhkan uang yang banyak sekali untuk membangun infrastrukturnya. Yayasan
biasanya tidak akan sanggup jika mengerjakan secara swadaya. Dan itu hanya bisa
dilakukan kalau mengundang investor. Ketika mengundang investor, logikanya bukan lagi
logika yayasan yang lebih sosial, tetapi logikanya sudah logika bisnis. Nah, disini kemudian
sekolah dikelola secara bisnis; dan itu berarti uang yang sudah diinvestasikan harus
kembali. Itu adalah logika dagang yang biasa. Jadi, diperlukan satu pemikiran yang kreatif
bagaimana wakaf bisa dikembalikan kepada masyarakat. Sekolah Lazuardi yang dikelola
Haidar Bagir merupakan salah satu contoh yang bagus di mana dia berpikir seperti ini.
Tetapi dia tahu bahwa kalau dilakukan sepenuhnya secara sosial, sekolahnya tidak akan
sustainable. Dan sudah punya pengalaman banyak dengan sekolah yang didirikan

sebelumnya. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian dia membangun suatu sistem di
sekolah supaya orang-orang miskin juga bisa menikmati sistem yang ada di sekolah yang
dibangun dengan infrastruktur yang mahal ini. Jadi ada dua sekolah pararel, satu sekolah
katakan untuk orang kaya dan satu sekolah untuk orang miskin. Tapi ada masa di mana
anak yang dari sekolah miskin yang kurikulumnya sama, dia bisa mengambil fasilitas di
sekolah yang lebih bagus. Ada saat-saat tertentu terjadi pembaruan di mana kemudian
anak-anak dari orang kaya bisa tahu mengenai realitas sesungguhnya mengenai
kemiskinan, lewat teman-temannya yang miskin, yang kadang-kadang datang bersamasama mungkin, ikut dalam suatu olah raga, acara bersama atau mengikuti mata pelajaran
yang sama.
Penyediaan layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi
tanggung jawab sosial negara. Negara lebih punya peluang untuk menyelenggarakannya
karena dia bisa mengelola dana-dana dari pajak. Pajak memang bukan filantropi, tetapi
pajak termasuk sumber daya yang sangat penting untuk negara. Karena negara masih
sangat tergantung dari pajak, negara banyak mendapatkan pandapatan dari masyarakat
dan seharusnya dikembalikan kepada masyarakat. Tetapi karena negara ini makin sulit
akhirnya menyerahkan kepada masyarakat dan masyarakat kini logika kapitalisme yang
berlaku. Itu yang kemudian mengakibatkan kita tidak punya lagi sekolah yang seperti dulu,
di mana orang biasa mampu menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik. Sekarang hampirhampir sekolah yang negeri pun mahal, bahkan mungkin lebih mahal dari swasta dan itu
ironi.
Bagaimana dengan aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga sosial
yang mengelola derma keagamaan tersebut?
Sebenarnya hal itu merupakan suatu yang sangat memperihatinkan karena sebagian
lembaga zakat belum transparan. Sebagian besar mereka tidak mengundang akuntan publik
untuk memeriksa keuangannya dan kemudian melaporkan kepada masyarakat mengenai
akuntabilitas dari sistem keuangannya. Nah, itu kelemahan yang paling besar sehingga tidak
pernah ada laporan yang sudah diaudit dari masjid-masjid bahkan lembaga zakat
sekalipun. Mudah-mudahan Dompet Dhuafa dan lembaga besar lainnya yang sudah
mempunyai tradisi audit seperti itu bisa memberi contoh. Transparansi dan akuntabilitas
merupakan sarana untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Mereka bisa mengekspos
lewat media cetak, misalnya, orang pasti akan percaya.