Mencermati Label dan Iklan Pangan (1)

Mencermati Label dan Iklan Pangan
Purwiyatno Hariyadi
Hanya dengan menonton televisi atau membaca surat kabar kita bisa merasakan
adanya perubahan arah yang terjadi pada industri pangan. Perubahan itu ditandai
dengan tumbuhnya industri pangan fungsional dan pangan suplemen. Pangan
fungsional adalah pangan yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi esensial pada
tubuh, tetapi juga memberikan efek perlindungan tubuh (atau bahkan penyembuhan)
terhadap beberapa gangguan penyakit.
Pertumbuhan pangan fungsional ini didorong oleh kecenderungan meningkatnya
kesadaran konsumen adanya hubungan erat antara makanan, gizi dan kesehatan. Di
samping itu, tuntutan kehidupan modern telah mengakibatkan konsumen menjadi
sangat sibuk. Inilah yang digunakan produsen untuk menggencarkan produk suplemen
makanan.
Setidaknya dapat terlihat dari label dan iklan produk-produk pangan yang ditawarkan
produsen. Sayang, sampai saat ini masih banyak iklan dan label, memakai berbagai
istilah yang tidak atau kurang jujur, dan cenderung menyesatkan. Bahkan sering
dijumpai pula berbagai klaim yang 'terkesan' atau 'seolah-olah ilmiah' sehingga tidak
hanya membingungkan juga berpotensi menyesatkan konsumen. Konsumen sering
rancu dan bingung dengan istilah low, less, reduced, free , light, lite, extra, dan lainlain.
Salah satu manfaat pencantuman informasi yang benar pada label dan iklan adalah
untuk memberikan pendidikan kepada konsumen tentang hal yang berkaitan dengan

pangan. Informasi penting yang umum disampaikan melalui label dan iklan tersebut
antara lain berupa bagaimana cara menyimpan pangan, cara pengolahan yang tepat,
kandungan gizi pada pangan tertentu, fungsi zat gizi tersebut terhadap kesehatan, dan
sebagainya.
Adalah UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap label
dan atau iklan pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai
pangan dengan benar. Produk pangan hendaknya tidak dinyatakan, didiskripsikan atau
dipresentasikan secara salah, menyesatkan (misleading atau deceptive), atau menjurus
pada munculnya impresi yang salah terhadap karakter produk pangan tersebut.
Bahkan, diskripsi atau presentasi--baik melalui kata-kata, gambar, atau cara lain-hendaknya tidak secara sugestif, baik langsung atau tidak langsung, membuat
konsumen mempunyai impresi dan asosiasi terhadap produk lain.

Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti bahwa istilah yang digunakan pada
label dan iklan hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan
pengawasan), kalangan produsen (untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun
oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya). Kebenaran suatu informasi
pada label dan iklan hendaknya dikaji dan dievaluasi dengan menggunakan prinsip
ilmiah, yaitu berdasarkan pada fakta dan data ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini penting khususnya dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional. Namun, perlu disadari bahwa fakta dan data ini bisa saja

berubah terhadap waktu. Bahkan bisa saja hal itu berbeda antar negara sehingga
muncullah keperluan untuk melakukan transparansi informasi dan harmonisasi.
Permasalahan umum pada label dan periklanan pangan
Permasalahan yang umum dijumpai pada label dan iklan adalah tentang klaim.
Pertama, adalah klaim mengenai kandungan gizi kuantatif. Perlu diketahui disadari
bahwa secara kuantitatif kandungan zat gizi pada umumnya akan berubah (umumnya
menurun) selama penyimpanan.
Karena itulah perlu diatur lebih lanjut mengenai toleransi. Batas toleransi yang
ditetapkan tentunya harus mengacu pada kajian pengaruhnya terhadap kesehatan
publik, kadaluarsa, ketelitian analisis, variabilitas proses, stabilitas zat gizi, dan
sebagainya. Di berbagai negara, batas toleransi ini bervariasi. Ada yang menetapkan
plus/minus 20 persen, atau ditetapkan tergantung zat gizinya.
Sering juga kita melihat label yang menyatakan bahwa produk pangan 'mengandung
X'. Apa arti 'mengandung'?. Pernyataan ini sungguh hanya berarti 'ada' namun tidak
ada informasi mengenai apakah keberadaannya tersebut bermakna atau tidak.
Demikian juga istilah-istilah seperti rendah kolesterol, kaya vitamin, dan lainnya.
Jadi, supaya komunikasi yang terjadi tidak menjadi menyesatkan maka perlu adanya
kejelasan istilah yang dimengerti oleh semua pihak. Pengertian berbagai istilah
tersebut tentunya perlu pula mengacu pada peraturan dan/atau standar internasional,
seperti yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission.

Istilah rendah energi (low energy), misalnya, hanya boleh digunakan untuk produk
pangan padat yang mempunyai kandungan energi 40 kilokalori per 100 gram atau
kurang; atau produk pangan cair dengan kandungan energi 20 kilokalori per 100 ml
atau kurang. Istilah free energy hanya boleh diperuntukkan pada pangan cair yang
hanya mengandung energi 4 kilokalori per 100 ml.

Klaim yang juga berpotensi menyesatkan adalah klaim seperti no added
sugar, without added sugar, atau no sugar added. Ketiga istilah ini dalam bahasa
Indonesia sering dinyatakan dengan 'tanpa penambahan gula'. Klaim ini hanya boleh
digunakan jika penambahan gula memang tidak dilakukan selama pengolahan,
termasuk penambahan ingridien yang mengandung gula seperti sirup, jus buah, sos
apel, dan lain-lain. Disamping itu, pengolahan yang dilakukan juga tidak
menyebabkan peningkatan gula (secara nyata), sedangkan pada umumnya, produk
pangan tersebut atau produk sejenisnya diproses dengan penambahan gula.
Dalam standar internasional, khususnya dengan dipelopori oleh munculnya
Nutritional Labeling and Education Act (NLEA) di AS, label pangan hendaknya
mencantumkan informasi gizi. Di Indonesia, penggunaan informasi gizi pada lebel ini
belum memasyarakat. Beberapa produk terlihat sudah mulai mengacu pada peraturan
internasional ini. Pada label produk pangan di Indonesia kebanyakan hanya
mencantumkan daftar ingridien (atau bahan baku). Sayangnya, daftar bahan baku ini

secara salah dinyatakan sebagai komposisi.
Secara umum, informasi gizi perlu diberikan kepada konsumen sehingga konsumen
bisa berhitung seberapa besar kontribusi produk pangan tersebut pada dietnya secara
keseluruhan. Karena itulah maka informasi gizi ini perlu diperbandingkan dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG), yaitu angka atau dosis keperluan akan zat gizi,
terutama untuk lemak, lemak jenuh, kolesterol, karbohidrat, protein, serat, sodium,
dan potassium, vitamin dan mineral esensial.
Di Indonesia, angka kecukupan gizi ini biasanya dievaluasi, dibahas dan ditetapkan
melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Namun sayangnya, standarisasi
pencantuman informasi gizi ini belum dilakukan. Hal ini menyebabkan informasi gizi
yang dicantumkan pada label sangat beragam.
Klaim jenis lain adalah klaim relatif, yaitu klaim yang menyatakan bahwa suatu
produk lebih atau kurang dari yang lain. Misalnya klaim yang menggunakan
istilah reduced atau fewer calory. Hal ini hanya boleh dilakukan jika produk tersebut
paling tidak mengandung kalori 25 persen lebih kecil daripada produk pangan
biasanya atau produk pangan acuannya. Artinya jika pada umumnya produk biskuit
mengandung kalori sebanyak 100 kilokalori per 20 gram; lalu ada produk baru
mengandung 85 kilokalori per 20 gram, maka produk tersebut tidak boleh melakukan
klaim sebagai reduced calory.
Demikian juga dengan lemak. Klaim reduced atau less fat hanya boleh dilakukan oleh

produk yang paling tidak mengandung lemak 25 persen lebih kecil daripada produk
pangan sejenis pada umumnya. Yang agak istimewa adalah klaim reduced atau less

cholesterol. Klaim ini tidak hanya mensyaratkan bahwa produk tersebut paling tidak
mengandung kolesterol 25 persen lebih kecil dari produk sejenis biasanya tetapi juga
harus mengandung lemak jenuh paling tidak 2 gram lebih kecil lebih kecil daripada
produk pangan acuannya tersebut.
Persyaratan tertentu juga berlaku untuk produk pangan yang mengklaim telah
ditambahkan sesuatu, seperti high fiber, good source of fiber, dan lain-lain.
Klaim high fiber, hanya boleh digunakan untuk produk yang paling tidak mengandung
serat (fiber) 5 gram per 100 gram (padat) atau 100 ml (cairan) dan memenuhi
persyaratan sebagai produk pangan low fat, atau kandungan lemaknya dinyatakan
berdampingan dengan klaim kaya serat.
Sedangkan istilah good source of fiber menyatakan bahwa produk tersebut paling
tidak mengandung mengandung serat 2,5-4,9 gram per penyajian. Jika kita melihat
istilah more atauadded fiber, maka itu berarti bahwa paling tidak produk tersebut
mengandung mengandung serat 2,5 gram per penyajian.
Klaim Kesehatan
Menurut pengamatan penulis, terutama pada iklan pangan, klaim kesehatan yang
dibuat sangat berlebihan. Beberapa terlihat sangat menyederhanakan bahwa dengan

konsumsi produk pangan (terutama pangan suplemen) tertentu maka masalah
kesehatan akan terselesaikan. Hal ini tentunya bisa berpotensi membahayakan
kesehatan konsumen itu sendiri.
Klaim kesehatan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya hubungan antara zat
gizi atau senyawa lain dalam produk pangan dan penyakit atau kondisi kesehatan
lainnya. Namun perlu diingat bahwa produk pangan bukanlah obat, dan tidak boleh
direpresentasikan sebagai obat. Produk pangan tidak boleh memberikan klaim bisa
mengobati suatu penyakit.
Klaim kesehatan ini bisa digunakan, baik untuk produk pangan biasa (konvensional)
maupun pangan suplemen. Secara umum, peraturan menganai pelabelan dan iklan
pangan menyatakan bahwa (i) produk pangan bukan obat (pasal 7, Bab II, PP 69), (ii)
hanya diperbolehkan pada hal-hal yang didukung oleh fakta ilmiah yang dapat
dipertangggungjawabkan (telah mendapatkansignificant scientific agreement dari
masyarakat ilmiah; (iii) untuk senyawa tertentu, kandungan ambang signifikannya
perlu diperhatikan sehingga manfaat kesehatannya dapat dijamin, serta -yang paling
penting diketahui oleh konsumen adalah (iv) klaim kesehatan tidak diperbolehkan
pada produk pangan yang mengandung total lemak, lemak jenuh, kolesterol, dan
sodium tinggi. Disamping itu, ada hal-hal lain tergantung pada kasusnya.

Perlu Panduan

Dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan
(PP 69/1999) dan PP tentang Perlindungan Konsumen maka terlihat jelas perlunya
dibuat panduan yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label dan iklan pangan.
Pada kenyataannya, masih banyak praktek pemberian label dan beriklan yang
menyesatkan. Karena itu, perlu dibuat rambu-rambu dan peraturan yang jelas dari
pemerintah, sehingga konsumen terlindungi dari kemungkinan label dan iklan yang
tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Konsep label dan iklan (termasuk advertorial)
hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus
mendidik konsumen.

Sumber :
Harian Republika, 2005
http://www.republika.co.id/detail.asp?katakunci=purwiyatno%20%20hariyadi&id=66
926
 

View publication stats