Antara Obat Generik dan Obat

Antara Obat Generik dan Obat Paten
Published September 23, 2010 Artikel , Health , Informasi , Kedokteran , Kesehatan 109 Comments
Tag:Apotek, Dokter, HET, HNA, Obat, Obat Generik, Obat Generik Bermerek, Obat Paten

Atas permintaan beberapa pembaca, melalui forum diskusi di Blog ini maupun
melalui email, akhirnya saya berkesempatan menulis secara khusus tentang
Obat Generik dan Obat Paten. Dinamika pembahasan obat tak pernah ada
habisnya, terlebih ketika membicarakan harga obat nan mahal di Indonesia.
Untuk menanggulangi persoalan mahalnya harga obat, Pemerintah telah
menerbitkan kebijakan kewajiban penggunaan Obat Generik bagi institusi
layanan medis Pemerintah, melalui Permenkes
No:HK.02.02/Menkes/068/I/2010, yang merupakan aturan baru dari peraturan
sebelumnya, agar harga obat dapat terjangkau, murah, mudah didapat dan kualitasnya sama
dengan obat paten ataupun obat bermerek. Adapun harga obat generik terbaru, sebanyak 453
item, ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.
HK.0301/Menkes/146/I/2010, tertanggal 27 Januari 2010.
Pertanyaan dari masyarakat yang sering terlontar terkait dengan obat generik, diantaranya: apa
beda obat generik dan obat paten ? Mengapa obat generik lebih murah ? Apakah kualitas obat
generik tidak kalah dengan obat paten? Apakah kualitas obat paten pasti lebih bagus dibanding
obat generik ?
PENGERTIAN :

Untuk memudahkan perbedaan penamaan obat, terkait generik dan paten, definisi singkatnya
adalah sebagai berikut:
OBAT GENERIK:
Adalah nama obat yang sama dengan zat aktif berkhasiat yang dikandungnya, sesuai nama resmi
International Non Propietary Names yang telah di tetapkan dalam Farmakope Indonesia.
Contohnya: Parasetamol, Antalgin, Asam Mefenamat, Amoksisilin, Cefadroxyl, Loratadine,
Ketoconazole, Acyclovir, dan lain-lain. Obat-obat tersebut sama persis antara nama yang tertera
di kemasan dengan kandungan zat aktifnya.
OBAT PATEN:
Adalah hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat baru yang ditemukannya
berdasarkan riset. Industri farmasi tersebut diberi hak paten untuk memproduksi dan
memasarkannya, setelah melalui berbagaii tahapan uji klinis sesuai aturan yang telah ditetapkan
secara internasional. Obat yang telah diberi hak paten tersebut tidak boleh diproduksi dan
dipasarkan dengan nama generik oleh industri farmasi lain tanpa izin pemilik hak paten selama
masih dalam masa hak paten.

Berdasarkan UU No 14 tahun 2001, tentang Paten, masa hak paten berlaku 20 tahun (pasal 8
ayat 1) dan bisa juga 10 tahun (pasal 9). Contoh yang cukup populer adalah Norvask.
Kandungan Norvask ( aslinya Norvasc) adalah amlodipine besylate, untuk obat antihipertensi.
Pemilik hak paten adalah Pfizer. Ketika masih dalam masa hak paten (sebelum 2007), hanya

Pfizer yang boleh memproduksi dan memasarkan amlodipine. Bisa dibayangkan, produsen tanpa
saingan. Harganya luar biasa mahal. Biaya riset, biaya produksi, biaya promosi dan biaya-biaya
lain (termasuk berbagai bentuk upeti kepada pihak-pihak terkait), semuanya dibebankan kepada
pasien.
Setelah masa hak paten berakhir, barulah industri farmasi lain boleh memproduksi dan
memasarkan amlodipine dengan berbagai merek. Amlodipine adalah nama generik dan merekmerek yang beredar dengan berbagai nama adalah obat generik bermerek. Bukan lagi obat
paten, lha wong masa hak paten sudah berakhir. Anehnya, amlodipine dengan macam-macam
merek dan kemasan harganya masih mahal, padahal yang generik haraganya sekitar 3 ribu per
tablet. Inipun menurut saya masih mahal.
OBAT GENERIK BERMEREK:
Adalah obat generik tertentu yang diberi nama atau merek dagang sesuai kehendak produsen
obat. Biasanya salah satu suku katanya mencerminkan nama produsennya. Contoh: natrium
diklofenak (nama generik). Di pasaran memiliki berbagai nama merek dagang, misalnya:
Voltaren, Voltadex, Klotaren, Voren, Divoltar, dan lain-lain.
Nah, jelaslah bahwa obat genrik bermerek yang selama ini dianggap obat paten sebenarnya
adalah obat generik yang diberi merek dagang oleh masing-masing produsen obat. Dan jelas pula
bahwa pengertian paten adalah hak paten, bukan ampuh hanya karena mahal dan kemasannya
menarik.
PERBANDINGAN
Dari sekilas penjelasan di atas, nampaklah bahwa khasiat zat aktif antara obat generik dan obat

generik bermerek adalah sama sejauh kualitas bahan dasarnya sama. Contoh: misalnya saja
penjenengan punya pabrik obat bernama cakmoki farma, yang memproduksi Natriun diklofenak
dalam 2 produk. Yang satu obat generik, namanya otomatis Natrium diklofenak dengan nama
produsen cakmoki farma. Adapun produk obat generik bermerek menggunakan nama yang
dipertimbangkan agar mudah laku di pasaran, misalnya saja mokivoltar. Otomatis kualitas
khasiat kedua obat Natrium diklofenak yang diproduksi cakmoki farma sama saja, soalnya
membeli bahan dasar dari tempat yang sama dengan kualitas yang sama pula. Bedanya hanya
pada nama, kemasan dan tentunya harga. Yang satu Natrium diklofenak generik dengan harga
yang sudah ditetapkan sesuai peraturan dan satunya mokivoltar dengan harga lebih mahal, sesuai
pangsa pasar dan segala lika-likunya. :P
Mengapa harga obat generik jauh lebih murah ketimbang obat generik bermerek ? Sebagaimana
contoh di atas, Natrium diklofenak 50 mg, para produsen obat yang memproduksinya
menggunakan nama generik yang sama, yakni Natrium diklofenak dengan label generik. Tanpa
promosi, tanpa upeti dan tanpa biaya-biaya non produksi lainnya. Harganya sudah ditetapkan,

yakni HNA (Harga Netto Apotek) plus PPN = Rp 10.884,- berisi 50 tablet dan HET (Harga
Eceran Tertinggi) = Rp 13.605,- sebagaimana diatur Kepmenkes
No.HK.03.01/Menkes/146/I/2010. Artinya, harga per tablet Natrium diklofenak 50 mg gak akan
lebih dari Rp 272,- per tablet, siapapun produsennya. Tidak bisa diotak-atik lagi. Itu sebabnya
harga obat generik jauh lebih murah ketimbang obat generik bermerek.

Masih banyak pertanyaan serta opini seputar obat generik dan obat bermerek, terutama terkait
kualitas dan harganya.
Akhirnya, tak ada salahnya kita belajar kepada negara lain yang telah mapan dalam memberikan
informasi terbuka kepada khalayak, misalnya India, agar bangsa Indonesia lebih memahami
seluk beluk obat dan berhak menentukan pilihan sesuai situasi dan kondisi masing-masing
pengguna jasa layanan kesehatan.