Metode dan Konsep Restrukturisasi Sebaga (1)

Metode dan Konsep Restrukturisasi Sebagai Pelaksanaan Asas
Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) Terhadap Perusahaan Publik dan Non Publik

Kukuh Komandoko Hadiwidjojo

I.

Pendahuluan

Terganggunya pertumbuhan ekonomi sejak akhir 2013 mulai dirasakan
dampaknya oleh masyarakat bisnis Indonesia pada tahun 2015, terutama dengan
melemahnya nilai Rupiah hingga menyentuh Rp 14.700 per Dollar AS pada akhir
September 2015 dan aliran dana keluar dari pasar saham dan pasar surat utang
negara tidak terbendung sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun
hingga di bawah 42001.

Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 masih belum bergerak
signifikan dari angka 4,7% dan melambatnya ekonomi menyebabkan roda bisnis
perusahaan terganggu sehingga tidak bisa membayar kewajiban keuangannya
yang telah jatuh tempo. Secara umum, keadaan ini menimbulkan sengketa bisnis

dan menyebabkan naiknya permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat2.

Sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa sebelum terjadi krisis finansial
pada tahun 1998, perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran


1
Arus Dana Keluar Tidak Terbendung, Harian Kontan, Kamis 20 Agustus 2015.
2

Pemerintah Tetap Yakin Ekonomi Tumbuh 5,2%, Harian Kontan, Kamis, 2 Juli 2015 dan
Ekonomi Seret, Kasus Utang Semarak, Harian Kontan, Senin, 19 Oktober 2015. Berdasarkan
data dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jumlah permohonan PKPU tahun 2015 lebih besar
dari tahun 2014. Per 14 Oktober 2015, jumlah pengajuan PKPU yang telah terdaftar adalah
sebanyak 76 perkara.

Halaman




1

utang diatur dalam Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 271 jo. S.1096
No. 348 yang yang berlaku berdasarkan asas konkordansi. Pada masa tersebut,
peraturan Kepailitan itu terdiri dari 2 Bab, yaitu3:
1.

Bab I, tentang Kepailitan, Pasal 1 s/d Pasal 211;

2.

Bab II, tentang Penundaan Pembayaran, Pasal 212 s/d Pasal 279.
Pada saat krisis finansial menimpa beberapa negara Asia dan Indonesia

pada tahun 1997 – 1998, kegiatan ekonomi menurun, bisnis sulit berkembang
dan pengembalian modal pinjaman para pelaku bisnis terganggu. Bahkan banyak
perusahaan dan bank umum yang terjebak pada kondisi insolvensi, kebangkrutan
dan likuidasi4.


Situasi krisis ekonomi mengakibatkan ketentuan kepailitan dan penundaan
pembayaran sebagaimana diatur dalam Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905
No. 271 jo. S.1096 No. 348 menjadi sangat penting, dikarenakan banyaknya
sengketa utang-piutang yang terjadi dan penyelesaian utang-piutang harus
dilakukan

secara

cepat

dan

efektif.

Peraturan

kepailitan

dalam


Fv

(Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 271 jo. S.1096 No. 348 jarang
dimanfaatkan, sehingga mekanisme yang diatur di dalamnya menjadi kurang
teruji dan prasarana yang mendukung mekanisme tersebut juga tidak terlatih.
Atas dasar pertimbangan hal tersebut, Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905
No. 271 jo. S.1096 No. 348 5 perlu disempurnakan dengan diberlakukannya


3

Lee A Weng, 2001. Tinjauan Pasal Demi Pasal Fv (Faillissements-Verordening) S.1905 No.271
jo S.1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Medan,
halaman 5.
4

Pada 31 Oktober 1997 dicapai kesepakatan pertama dengan IMF. Kesepakatan tersebut berisi
kebijakan ekonomi yang salah satu programnya adalah memulihkan sektor perbankan. Pemulihan
sektor perbankan diawalai diantaranya dengan melakukan penutupan terhadap 16 bank umum.

Kemudian pada Februari 1998, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pada awal
tugasnya adalah melakukan penanganan terhadap 54 bank umum. A. Deni Daruri dan Djony
Edward, 2004. BPPN Garbage in Garbage Out, Jakarta: Center For Banking Crisis, halaman 51.
5

Lee A Weng, Op. Cit., halaman 9. Penyempurnaan Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905 No.
271 jo. S.1096 No. 348 dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:
1. Adanya kebutuhan yang besar dan bersifat mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana
hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil, terbuka dan efektif terhadap utang-piutang
perusahaan yang besar pengaruhnya bagi perekonomian nasional;
2. Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan
tahun 1997, terhadap utang-piutang dikalangan dunia usaha nasional secepatnya diselesaikan
Halaman



2

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan


Atas

Undang-Undang

Tentang

Kepailitan

yang

selanjutnya

ditegaskan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang
(“UU No. 4 Tahun 1998”).

Setelah berakhirnya situasi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia (salah
satunya ditandai dengan dibubarkannya Badan Penyehatan Perbankan Nasional

pada tahun 2004), pada tahun yang sama, pemerintah juga memberlakukan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (“UU No. 37 Tahun 2004”). Secara prinsip, UU No.
37 Tahun 2004 perlu dibentuk untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan
masyarakat

dunia

usaha,

khususnya

bagi

para

kreditur

dalam


upaya

penyelesaian piutangnya secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Beberapa faktor yang perlu ditekankan terkait dengan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, yaitu6:
1.

menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;

2.

menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau kreditur lainnya;

3.

menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditur

atau debitur sendiri.

Selain beberapa faktor sebagaimana tersebut di atas, UU No. 37 Tahun
2004 dibuat dengan didasarkan pada beberapa asas hukum7:


dan penyelesaian masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu
dalam bidang perekonomian.

6
Lihat penjelasan bagian Umum UU No. 37 Tahun 2004.
7

ibid.
Halaman



3


1.

Asas Keseimbangan
Mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur
yang tidak jujur dan selain itu juga dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak
beritikad baik.

2.

Asas Kelangsungan Usaha
Perusahaan debitur yang memiliki prospek bisnis yang baik dimungkinkan
untuk tetap dipertahankan kelangsungan usahanya.

3.

Asas Keadilan
Mencegah

terjadinya


kesewang-wenangan

pihak

penagih

yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur
dengan tidak memedulikan kreditur lainnya.
4.

Asas Integrasi
Aspek hukum formil dan hukum materiilnya dalam UU No. 37 Tahun 2004
merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan
hukum acara perdata nasional.

Asas hukum adalah prinsip hukum yang merupakan alasan, landasan dan
atau pemikiran pokok dari lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum bukan
peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui
asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Untuk memahami hukum suatu bangsa
dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan
hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas
hukumnya8.

II.

Asas Kelangsungan Usaha dalam UU No. 37 Tahun 2004

UU No. 37 Tahun 2004 tidak menjelaskan secara detail dan komprehensif
mengenai Asas Kelangsungan Usaha. Penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2004


8

Prof. DR. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Penerbit Alumni. Bandung 1986, halaman 87.
Halaman



4

hanya secara singkat menyatakan dalam UU No. 37 Tahun 2004 terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang masih memiliki prospek
bisnis yang baik tetap dipertahankan.

Dari pernyataan dalam penjelasan umum tersebut, secara sederhana UU
No. 37 Tahun 2004 memberikan perlindungan dan toleransi kepada debitur yang
mengalami kesulitan keuangan dengan prospek bisnis yang baik. Namun
demikian, UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan uraian atau pengaturan lebih
lanjut mengenai debitur yang prospektif atau debitur dengan prospek bisnis yang
baik.

Pengaturan mengenai asas kelangsungan usaha dapat dilihat pada
beberapa pasal, baik dalam rangka pemberesan harta pailit, yaitu Pasal 104 ayat
(1) dan (2), Pasal 179 ayat (1) dan Pasal 184 ayat (2), maupun dalam rangka
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang antara lain diatur
dalam Pasal 240 Ayat (1) dan Pasal 242 Ayat (1).

Asas kelangsungan usaha dalam rangka pemberesan harta pailit:

Pasal 104
(1)

Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, Kurator dapat
melanjutkan usaha Debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap
putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali.

(2)

Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, Kurator
memerlukan

izin

Hakim

Pengawas

untuk

melanjutkan

usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 179
(1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak

Halaman



5

diterima,

Kurator

atau

Kreditur

yang

hadir

dalam

rapat

dapat

mengusulkan supaya perusahaan Debitur Pailit dilanjutkan.

Pasal 184
(2) Dalam hal perusahaan dilanjutkan, dapat dilakukan penjualan benda
yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan untuk meneruskan
perusahaan.

Dari ketiga pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan nilai aset dalam boedel pailit, perusahaan debitur pailit masih
dimungkinkan untuk dilanjutkan kegiatan usahanya oleh kurator dengan
memperoleh persetujuan hakim pengawas.

Asas kelangsungan usaha dalam rangka PKPU:

Pasal 240
(1) Selama

penundaan

kewajiban

pembayaran

utang,

Debitur

tanpa

persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau
kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

Pasal 242
(1) Selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang,
Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk
memperioleh pelunasan utang, harus ditangguhkan.

Pasal 240 Ayat (1) diartikan bahwa dalam masa PKPU, dengan
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pengurus, debitur masih dapat
melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas asetnya. Sedangkan
Pasal 242 Ayat (1) menegaskan tidak akan terjadi eksekusi atau tindakan

Halaman



6

penjualan (likuidasi) terhadap aset debitur, dengan demikian debitur dapat
melakukan restrukturisasi.

III.

PKPU dan PKPU terhadap perusahaan publik

Pada prakteknya, PKPU atau suspension of payment atau surseance van
betaling merupakan hal pertama yang diajukan oleh debitur sebagai upaya
perlawanan terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya. Jika
permohonan pailit telah diajukan terlebih dahulu oleh para kreditur dan debitur
mengajukan PKPU, maka hakim harus mengabulkan PKPU sementara untuk
jangka waktu 45 hari sementara gugatan pailit gugur demi hukum9.
Dalam kondisi PKPU, debitur dapat menghindar dari status pailit10 dan
memberikan peluang yang besar bagi debitur untuk melakukan restrukturisasi
dalam penyelesaian kewajiban pembayaran utang-utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.

PKPU adalah suatu kondisi yang diberikan oleh Undang-Undang melalui
Putusan Pengadilan Niaga, kondisi yang mana kreditur dan debitur diberikan
kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan
memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk
apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut11, sehingga dalam hal ini,
debitur ditempatkan dalam kondisi yang menguntungkan.



9

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Halaman 83.

10

Permohonan mengenai PKPU dapat diajukan sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan
atau permohonan mengenai PKPU dapat diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit,
dengan syarat permohonan mengenai PKPU harus diajukan pada saat sidang pertama
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Bahkan jika permohonan pernyataan pailit dan
permohonan mengenai PKPU diajukan secara bersamaan, permohonan PKPU yang akan
diperiksa terlebih dahulu.
11

Munir Fuady. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999,
halaman 15.
Halaman



7

Pada

periode

PKPU,

debitur

masih

memiliki

keleluasaan

dalam

pengelolaan aset-aset miliknya, walaupun terdapat pembatas harus dengan
persetujuan dari pengurus. Keleluasaan debitur terkait dengan aset-aset miliknya
sebagai akibat hukum PKPU diantaranya adalah12:
1.

debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya dan semua
upaya eksekusi yang telah dimulai dalam rangka pelunasan utang harus
ditangguhkan;

2.

berdasarkan pemintaan dari pengurus, seluruh sita yang telah diletakkan
menjadi gugur dan dalam hal debitur disandera, debitur harus dilepaskan
segera setelah diucapkan putusan PKPU tetap atau setelah putusan
pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Begitu pula
terhadap eksekusi dan sita atas benda yang tidak dibebani wajib diangkat
oleh pengadilan.

Debitur memiliki kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian
dalam PKPU. Rencana perdamaian yang diajukan dilengkapi dengan tawaran
pembayaran terhadap sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Selanjutnya,
debitur dan para krediturnya dapat bernegosiasi mengenai cara bagaimana
pembayaran utang harus dilakukan. Perdamaian yang dilakukan dalam PKPU
akan mengikat kreditur lain di luar PKPU, sehingga pelaksanaan restrukturisasi
dapat mudah dijalani tanpa gangguan dari para kreditur di luar PKPU. Namun
demikian, perdamaian dapat dimintakan pembatalan oleh para kreditur dan
debitur akan pailit, yaitu dalam hal debitur wanprestasi terhadap perjanjian
perdamaian.

PKPU juga memberikan kesempatan yang luas bagi debitur untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak dalam keadaan

insolvensi dan memiliki

prospek bisnis yang masih bagus. Sayangnya, UU No. 37 Tahun 2004 tidak
tegas mengatur mengenai asas solvabilitas dan tidak memberikan parameter
mengenai prospek bisnis yang masih bagus. Namun demikian dengan mengacu


12

Pasal 242 UU No. 37 Tahun 2004.


Halaman



8

pada makna asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan, pelaksanaan
PKPU sepatutnya juga memperhatikan asas solvabilitas13.

UU No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan syarat materil maupun syarat
formil terkait PKPU antara perusahaan publik dan perusahaan non-publik.
Perbedaan persyaratan PKPU hanya berdasarkan bidang usaha dan BUMN14.

IV.

Solvabilitas, Insolvensi dan Likuiditas

Secara

sederhana,

analisa

solvabilitas

dilakukan

dengan

cara

membandingkan keadaan total aset dengan total kewajiban. Suatu perusahaan
dikatakan memiliki kondisi yang baik apabila perusahaan dapat memenuhi
kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang.

Dalam hal ini, analisa terhadap solvabilitas dilakukan untuk memastikan
apakah aset yang dimiliki oleh debitur mampu untuk mendukung seluruh kegiatan
bisnisnya 15 . Dari teori likuidasi, solvabilitas adalah kemampuan debitur untuk
memenuhi kewajiban keuangannya apabila debitur dilikuidasi, hal ini mencakup
kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang16.



13

Ifa Sudewi, Penerapan Asas Solvabilitas Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan. Puslitbang
Hukum dan Keadilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014, halaman 37.

14

Andrey Sitanggang, PKPU Pada Perusahaan Publik dan Dampaknya Bagi Investor, paper pada
seminar HKHPM 26 Oktober 2015, halaman 6.
15

Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya, baik utang
jangka pendek maupun utang jangka panjang, sebagaimana diutarakan oleh Sugiyarso dan
Winarwi dalam: Manajemen Keuangan. Media Persindo, Yogyakarta 2006, halaman 115.
16

Munawir. Analisis Laporan Keuangan. Liberty, Yogyakarta, 2007, halaman 32. Selain itu baca
juga Sutrisno dalam Manajemen Keuangan, Teori, Konsep dan Aplikasi, Ekonisia Kampus
Fakultas Ekonomi Yogyakarta, edisi pertama, 2009, halaman 15, yang mengatakan, bahwa
solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya apabila
perusahaan dilikuidasi.

Halaman



9

Secara akuntansi dapat disimpulkan, solvabilitas debitur dihitung dengan
menggunakan rasio keuangan17:
1.

Debt to Asset Ratio, yang berarti makin rendah rasio utang berarti makin
baik tingkat keamanan dananya. Rasio utang diperoleh dengan cara
membagi total utang dengan total aset yang dimiliki dan dikali 100%.

2.

Debt to Equity Ratio, yang merupakan imbangan antara utang yang
merupakan beban perusahaan terhadap modal sendiri, semakin tinggi
rasio berarti modal semakin sedikit dibanding utangnya.

Apabila dari hasil perhitungan rasio, aset yang dimiliki debitur lebih kecil
dari kewajiban utang yang harus dibayar, baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang, maka debitur memiliki solvabilitas yang buruk atau
dengan kata lain debitur dalam keadaan insolvensi. Sebuah perusahaan
dikatakan insolvency bankruptcy apabila nilai buku dari total kewajibannya
melebihi nilai pasar dari seluruh aset perusahaan18.
Insolvency menurut Black’s Law Dictionary adalah19:
“1. The condition of being unable to pay debts as they fall due or in the
usual course of business. 2. The inability to pay debts as they mature”
Sedangkan insolvent menurut Black’s Law Dictionary adalah:
“having liabilities that exceed the value of assets: having stopped paying
debts in the ordinary course of business or being unable to pay them as
they fall due”.

Secara normatif, UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan definisi khusus
mengenai insolvensi, namun demikian UU No. 37 Tahun 2004 mengartikan
insolvensi dalam arti yang lebih sederhana, yaitu suatu keadaan tidak mampu


17

Dwi Sariningsih et all, Analisis Kinerja Keuangan DiTinjau Dari Rasio Likuiditas, Solvabilitas dan
Rasio Profitablitas Pada CV Lembu Mada Nusantara Di Samarinda, Hasil penelitian pada
Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, yang diunduh dari http://download.portalgaruda.org.

18

Hadi Subhan, M, Insolvency Test: Melindungi Perusahaan Solven Yang Beritikad Baik dari
Penyalahgunaan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 3, 2014, halaman 16.
19

Black’s Law Dictionary, halaman 799.

Halaman



10

membayar20. Apabila merujuk pada Pasal 178 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004,
keadaan insolvensi demi hukum terjadi jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak
diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kondisi tidak mampu membayar tersebut dalam penjelasan Pasal 57 ayat
(1) UU No. 37 Tahun 2004 tidak hanya berlaku untuk debitur yang memang tidak
mampu karena memiliki solvabilitas yang buruk, namun juga berlaku untuk
debitur yang sebenarnya mampu (solvent) tetapi tidak mau membayar utangutangnya (the presumption of insolvency).

Dengan kata lain, UU No.37 Tahun 2004 dapat digunakan sebagai “alat
pemaksa” oleh kreditur terhadap debitur yang masih solvent namun tidak mau
membayar utangnya. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi debitur yang masih
solvent tetapi tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangutangnya seharusnya tidak dinyatakan pailit tetapi ditempatkan dalam kondisi
PKPU sehingga dapat dilakukan restrukturisasi utang.

Likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang
harus segera diselesaikan, atau kemampuan yang membayar utang jangka
pendek pada saat jatuh tempo dan dapat ditagih. Secara ukuran, likuiditas adalah
rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
keuangan jangka pendek21. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menyinggung sedikit
pun mengenai rasio likuiditas suatu perusahaan atau debitur, karena UU No. 37
Tahun 2004 menggunakan prinsip persangkaan insolvensi (the presumption of
insolvency).



20

Vide Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.



21

Sugiyarso dan Winarwi, Op. Cit., halaman 114.


Halaman



11

V.

Metode dan Konsep Restrukturisasi Utang

Di atas telah dibahas bahwa selama masa PKPU, debitur diberi
kesempatan untuk melakukan restrukturisasi dan memperbaiki posisi keuangan
sehingga dapat membayar seluruh utang-utangnya. Dalam hal ini UU No. 37
Tahun 2004 memberikan waktu yang terbatas namun wajar bagi debitur untuk
dapat mengajukan rencana restrukturisasi kepada kreditur, namun demikian UU
No. 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai metode dan pola restrukturisasi
yang dapat dilakukan oleh debitur pada masa PKPU.

Secara sederhana, restrukturisasi utang adalah upaya debitur untuk
menata kembali struktur utangnya dalam rangka pemenuhan kewajiban
keuangannya. Dilihat dari posisi keuangan, restrukturisasi merupakan proses
untuk merestruktur utang bermasalah dengan tujuan untuk memperbaiki posisi
keuangan debitur22.

Metode dan cara restrukturisasi yang lazim digunakan di dunia usaha
adalah23:
1.

Rescheduling adalah metode untuk memperpanjang jangka waktu
pengembalian utang atau penjadwalan kembali terhadap utang debitur.
Rescheduling dilakukan dengan cara mengubah jangka waktu pelunasan
yang diatur dalam perjanjian utang-piutang.

2.

Hair cut, adalah pemberian potongan atau pengurangan atas pembayaran
bunga dan atau utang. Metode ini dilakukan untuk mengantisipasi kerugian
yang lebih besar jika debitur tidak dapat membayar utangnya.

3.

Debt to asset swap merupakan pengalihan aset milik debitur dengan
tujuan untuk dikuasai oleh kreditur. Penguasaan atas aset ini bersifat



22

Tjiptono Darmaji, Restrukturisasi: Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi Nasional,
Grasindo, Jakarta, 2001, halaman 69.
23

Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, Jakarta:
Salemba Empat, 2001, halaman 60-61.

Halaman



12

sementara waktu, yaitu sampai nanti betul-betul terjual dan dapat dipakai
untuk melunasi hutang debitur.
4.

Debt to equity swap dilakukan dengan cara mengubah utang menjadi
penyertaan, hal ini dapat dilakukan apabila kreditur melihat debitur
(perusahaan) memiliki nilai dan prospek bisnis yang baik.

Restrukturisasi dalam praktek perbankan terhadap bank umum telah diatur
oleh Bank Indonesia, yaitu dalam rangka mengelola risiko kredit dengan menjaga
kualitas aset dan tetap melakukan penyisihan penghapusan aset, yaitu dilakukan
antara lain melalui24:
1.

penurunan suku bunga kredit;

2.

perpanjangan jangka waktu kredit;

3.

pengurangan tunggakan bunga kredit;

4.

pengurangan tunggakan pokok kredit;

5.

penambahan fasilitas kredit; dan/atau

6.

konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum juga mengatur mengenai kriteria debitur yang bisa
dilakukan restrukturisasi, yaitu25:
1.

debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga
kredit;

2.

debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah kredit direstrukturisasi;

Komponen yang dinilai terkait prospek usaha adalah26:
1.

potensi pertumbuhan usaha;

2.

kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;



24

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum,
Pasal 1 angka 26.
25

Ibid, Pasal 52.

26

Ibid. Pasal 11 ayat (1).
Halaman



13

3.

kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;

4.

dukungan dari grup atau afiliasi; dan

5.

upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.

Sedikit berbeda dengan bank umum, dalam bidang usaha perbankan
syariah, metode dan pola restrukturisasi pembiayaan telah dituangkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah Di Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008, yaitu
dilakukan dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah, namun secara garis
besar adalah sebagai berikut27:
1.

rescheduling atau penjadwalan kembali;

2.

reconditioning, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan
pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran,
jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah
sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan; dan/atau

3.

restructuring, yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang tidak
terbatas pada rescheduling atau reconditioning, yang antara lain meliputi:
a. penambahan dana fasilitas pembiayaan;
b. konversi akad pembiayaan;
c. konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu
menengah;
d. konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada
perusahaan nasabah.

Analisa terhadap pembiayaan yang akan direstrukturisasi dilakukan
berdasarkan:
1.

prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai proyeksi
arus kas untuk nasabah pembiayaan usaha produktif; atau

2.

kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah
pembiayaan non produktif.



27

Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Di
Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008.
Halaman



14

Sedangkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional akibat krisis
moneter pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melalui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan menetapkan Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian
Pinjaman Bagi Debitur di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 28 .
Kebijakan tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi BPPN dalam melakukan
restrukturisasi utang perusahaan, terutama bagi upaya penyelesaian pinjaman
dana negara oleh debitur yang ditangani BPPN.

Dalam

melakukan

restrukturisasi,

BPPN

berpedoman

pada

asas

komersial, yaitu memaksimalkan tingkat pengembalian atas pinjaman yang
diberikan. Dari sisi debitur, faktor utama yang dipertimbangkan untuk dilakukan
restrukturisasi adalah prospek usaha yang baik, apabila debitur tidak memiliki
prospek usaha yang baik akan ditempuh proses penyelesaian utang.

Terkait dengan hal tersebut di atas, BPPN mengembangkan metode dan
pola restrukturisasi yang pada dasarnya sudah lazim di dunia usaha, dapat terdiri
atas satu atau kombinasi atas metode restrukturisasi, yaitu:
1.

penjadwalan ulang, baik jumlah pembayaran maupun jangka waktu;

2.

perhitungan ulang atas bunga dan denda yang tertunggak;

3.

konversi utang menjadi kuasi modal atau modal;

4.

pengurangan jumlah utang;

5.

penghapusbukuan.

Proses restrukturisasi terhadap debitur diterapkan dengan terlebih dahulu
melakukan uji tuntas (due diligence) yang mencakup aspek keuangan, aspek
komersial dan aspek hukum. Untuk memenuhi aspek kehati-hatian, dalam
penerapan pola restrukturisasi dengan cara konversi utang menjadi kuasi modal
atau modal, pengurangan jumlah utang dan penghapusan utang, BPPN


28

Keputusan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (EKUIN)
Selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan Selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor
Keuangan No. KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan
Restrukturisasi Dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN).
Halaman



15

melibatkan penilai independen untuk melakukan penilaian terlebih dahulu atas
aset maupun perusahaan debitur29.

Secara umum, sistematika proses restrukturisasi yang diterapkan oleh
BPPN terhadap debitur kooperatif yang masih memiliki prospek usaha yang baik
adalah sebagai berikut30:

1.

Berdasarkan hasil uji tuntas dan penilaian, BPPN dapat mengetahui dan
memperkirakan hal-hal:
a. tingkat arus kas yang tersedia untuk membayar utang;
b. aset yang tidak mempunyai peran penting dalam mendukung
operasional debitur;
c. nilai aset perusahaan (debitur) dan nilai perusahaan itu sendiri harus
digunakan untuk mengurangi jumlah utang.

2.

Dari hasil uji tuntas, BPPN dapat mengembangkan pola restrukturiasi
dengan menggunakan prinsip-prinsip:
a. Menentukan tingkat utang yang dapat ditanggung oleh debitur
berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan arus kas;
b. Aset yang tidak mempunyai peran penting dalam mendukung
operasional debitur harus digunakan untuk mengurangi jumlah utang.

3.

Bila masih terdapat sisa utang, BPPN menggunakan prinsip-prinsip
tambahan, yaitu:
a. Pemegang saham diberi kesempatan untuk menambah modal;
b. Mengoptimalkan aset yang dapat dikontribusikan oleh pemberi
jaminan;
c. Mengonversikan jumlah utang tersisa menjadi kuasi modal atau modal
setelah mempertimbangkan exit strategy yang baik.



29

Ibid. Dalam kondisi khusus, yaitu apabila utang yang direstrukturisasi berjumlah sangat besar,
merupakan proyek strategis serta mempunyai dampak yang signifikan bagi kepentingan nasional,
maka proses restrukturisasi yang dilakukan oleh BPPN harus mengutamakan penyelamatan agar
debitur masih dapat beroperasi dengan baik dan menghasilkan cash flow melalui proses
restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan, antara lain dengan pengambilalihan
manajemen dan pengawasan secara penuh terhadap perusahaan tersebut.

30

Ibid.
Halaman



16

Sebagai upaya terakhir, apabila langkah-langkah tersebut di atas tidak
dapat menyelesaikan jumlah utang yang harus dibayar oleh debitur, dapat
dilakukan pengurangan jumlah utang tersisa, dengan pengurangan terlebih
dahulu terhadap bunga dan denda, dan bila perlu terhadap pokok utang.

Per 4 Januari 2002, restrukturisasi terhadap kredit bermasalah yang
dialihkan oleh bank-bank kepada BPPN menghasilkan resolusi sebesar Rp
111,62 triliun dari principal sebesar Rp 99,40 triliun31.

Dalam rangka penyehatan perbankan dan atau pengelolaan kekayaan
yang berbentuk portofolio kredit, BPPN dapat melakukan penyertaan modal
sementara pada bank dalam penyehatan, debitur, dan atau badan hukum
lainnya. Penyertaan modal sementara oleh BPPN dapat dilakukan secara
langsung atau melalui konversi tagihan BPPN menjadi penyertaan modal32.

Sedangkan restrukturisasi terhadap bank, dalam hal Bank Umum Milik
Negara, pelaksanaan restrukturisasi oleh pemerintah pada pokoknya mencakup
pengurus, keuangan, ruang lingkup usaha, sumber daya manusia, organisasi,
dan kantor-kantor yang dilakukan sesuai dengan tujuan, prinsip-prinsip dasar,
dan strategi menyeluruh dari Program Rekapitalisasi33.

Lain halnya dengan restrukturisasi terhadap bank yang dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS menggunakan metode yang berbeda
antara bank gagal yang berdampak sistemik dan bank gagal yang tidak
berdampak sistemik. Penanganan (restrukturisasi) bank gagal yang tidak
berdampak

sistemik

dilakukan

oleh

LPS

dengan

sekurang-kurangnya

menghitung pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak


31

A. Deni Daruri dan Djony Edward, Op. Cit., halaman 69.

32

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional.
33

Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia
Nomor: 389/KMK.017/1999 dan No. 1/10/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi
Bank Umum Milik Negara.
Halaman



17

menyelamatkan bank gagal dimaksud. Metode yang digunakan adalah metode
lower cost test. Bank gagal akan diselamatkan apabila perkiraan biaya
penyelamatan

paling

tinggi

sebesar

60%

dari

perkiraan

biaya

tidak

menyelamatkan34.

Yang menarik adalah, dalam hal akan dilakukannya penyelamatan atau
restrukturisasi

oleh

LPS,

selain

lower

cost

test,

LPS

tidak

akan

mempertimbangkan apakah bank gagal dimaksud masih memiliki prospek usaha
yang baik, melainkan apabila setelah diselamatkan, apakah bank gagal dimaksud
menunjukkan prospek usaha yang baik35.

Dibidang pasar modal, apabila debitur adalah perusahaan publik, salah
satu

pola

restrukturisasi

utang

yang

lazim

dilakukan

adalah

dengan

menggunakan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu
(Penambahan Modal tanpa HMETD)36. Restrukturisasi ini pada dasarnya adalah
debt to equity swap atau konversi utang menjadi saham. Alasan utama dilakukan
restrukturisasi dengan penambahan modal tanpa HMETD di antaranya adalah:
1.

mempertahankan kelangsungan usaha;

2.

memperbaiki struktur permodalan dengan meningkatkan ekuitas yang
akan meningkatkan solvabilitas;

3.

memperluas kesempatan memperoleh pinjaman, dikarenakan ekuitas
positif dan solvabilitas yang baik.



34

5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan, LPS,
2011, halaman 58.
35

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 24 ayat
(1) huruf b.
36

Diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.04/2014 tentang
Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu. Selain itu debitur yang merupakan perusahaan publik juga wajib memperhatikan
peraturan lainnya dibidang pasar modal, seperti diantaranya: Peraturan X.K.1 Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-86/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan
Informasi Yang Harus Diumumkan Kepada Publik, Peraturan IX.E.2 Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam No. Kep-614/BL/2011 tanggal 28 November 2011 tentang Transaksi Material Dan
Perubahan Kegiatan Usaha Utama dan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep00001/BEI/01-2014 tanggal 30 Januari 2014 perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang
Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan
Tercatat.
Halaman



18

Krisis keuangan pada tahun 1998 memberikan banyak pengalaman dan
pelajaran, tidak hanya terutama bagi pemerintah, akademisi dan praktisi, namun
juga bagi dunia perbankan dan para pelaku bisnis. Dampak yang menyakitkan
bagi pelaku usaha adalah beban masalah keuangan sehingga mereka tidak bisa
membayar kewajiban keuangannya.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas dan berdasarkan
pengalaman yang terjadi pada krisis keuangan di tahun 1998,

dunia usaha

mendapatkan berbagai metode dan pola upaya restrukturisasi terhadap debitur
yang sudah teruji pada masa krisis 1998, yaitu antara lain:
1.

rescheduling atau penjadwalan kembali;

2.

reconditioning atau melakukan pengaturan persyaratan kembali;

3.

haircut atau pemotongan utang;

4.

melakukan perubahan tingkat suku bunga;

5.

pengurangan jumlah bunga, denda dan/atau pokok utang;

6.

melakukan konversi utang menjadi surat utang sehingga mudah dialihkan;

7.

debt to equity swap;

8.

debt to asset swap;

9.

memberikan utang baru;

10.

melakukan merger dan konsolidasi;

11.

pengalihan dan penjualan aset yang tidak produktif atau tidak mendukung
kegiatan operasional debitur;

12.

pengambilalihan

piutang,

sehingga

terjadi

penggantian

kedudukan

kreditur;
13.

pengambilalihan utang, sehingga terjadi penggantian kedudukan debitur;

14.

memasukkan modal baru oleh pemegang saham lama.

Saat ini pola restrukturisasi yang banyak mengalami perkembangan
adalah konsep restrukturisasi pada perbankan. Hal ini wajar saja, mengingat
bank adalah institusi keuangan dan hanya Bank Indonesia atau sekarang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan satu-satunya pihak yang

Halaman



19

berwenang dalam mengajukan permohonan pailit terhadap bank 37 . Namun
demikian, hampir tidak mungkin bagi OJK untuk mengajukan permohonan pailit
terhadap suatu bank, mengingat rezim undang-undang terkait perbankan, OJK
dan LPS saat ini lebih memilih likuidasi atau penyelamatan bagi suatu bank
gagal,

sehingga

apabila

terjadi

penyelamatan,

yang

dilakukan

adalah

restrukturisasi terhadap bank gagal.
Salah satu konsep yang tengah dikaji dan dikembangkan antara lain
adalah Purchase and Assumption atau P&A, yaitu pola restrukturisasi atau
resolusi dengan cara melakukan pengalihan operasinal suatu bank gagal kepada
bank yang sehat. Segala bentuk simpanan/dana pihak ketiga dan aset bagus
dialihkan ke bank sehat dimaksud, sedangkan aset bermasalah ditangani oleh
otoritas khusus38.

VI.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Restrukturisasi

Walaupun terdapat banyak metode dan pola restrukturisasi terhadap
debitur, upaya restrukturisasi dapat saja berakhir dengan kegagalan, terutama
apabila terjadi hal-hal sebagai berikut39:
1.

direksi perseroan tidak melakukan salah satu kewajiban atau melanggar
larangan yang ditentukan dalam Rencana Restrukturisasi dan Perjanjian
Restrukturisasi;

2.

pada akhir tahapan atau jadwal yang telah ditentukan, perseroan tidak
berhasil mencapai sasaran yang ditentukan untuk tahapan atau jadwal
tersebut sebagaimana diatur dalam Rencana Restrukturisasi, sedangkan



37

Satu-satunya bank yang pernah diajukan permohonan pailit adalah PT Bank Global
International, Tbk (Dalam Likuidasi), namun permohonan pailit tersebut tidak berhasil hingga
Mahkamah Agung, baca: Putusan Mahkamah Agung Nomor 029K/N/2006 Tahun 2006, Lina
Sugiharto Otto vs. PT Bank Global Internasional Tbk.



38

Claire L. McGuire, Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks, The World Bank,
halaman 7.
39

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Analisis
dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang Pada Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, 2000, halaman 28.
Halaman



20

Komite Kreditur tidak dapat menerima alasan direksi perseroan mengenai
terjadinya ketidakberhasilan tersebut;
3.

direksi

perseroan

tidak

membuat

dan

menyampaikan

laporan

implementasi restrukturisasi;
4.

selama implementasi restrukturisasi, aktiva debitur telah mengalami
penurunan nilai sampai melebihi 25% dari nilai semula dan Komite Kreditur
berpendapat bahwa penurunan nilai itu merugikan kepentingan kreditur;

5.

selama pelaksanaan restrukturisasi, perseroan mengalami kerugian yang
besarnya menggerus modal perseroan hingga berkurang 50% dan Komite
Kreditur berpendapat bahwa jumlah tersebut merugikan para kreditur;

6.

direksi perseroan selama dilakukannya restrukturisasi bertindak dengan
itikad buruk dalam melakukan kegiatan usahanya atau dalam melakukan
pengurusan aktivanya;

7.

direksi perseroan dengan sengaja mencoba merugikan seorang atau lebih
krediturnya.

Pada prakteknya, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jalannya restrukturisasi terhadap debitur sehingga restrukturisasi menemui
banyak kendala dan dapat berakhir tidak sesuai harapan:
Faktor
Internal Debitur
Kemampuan
manajerial
dari
perseroan lemah

direksi

Direksi perseroan tidak konsisten
Direksi perseroan tidak terbuka
Terjadi
conflict
of
interest
antara
kepentingan perseroan dan kepentingan
direksi
Dalam hal PKPU, direksi dan pengurus
yang ditunjuk pengadilan tidak dapat
bekerja sama
Keterbatasan dana tunai yang dimiliki
untuk mendukung proses restrukturisasi
Tidak didukung oleh pemegang saham
perseroan

Eksternal Debitur
Keadaan ekonomi dan dunia bisnis yang
tidak mendukung sehingga mempengaruhi
prospek usaha perseroan (debitur) dan
mempengaruhi cash flow debitur.
Toleransi dan empati yang rendah dari
kreditur
Waktu yang diberikan kepada debitur untuk
melakukan restrukturisasi tidak cukup
Daya serap pasar terhadap penjualan aset
debitur rendah
Dalam hal PKPU, fungsi pengawasan dan
fungsi intermediasi yang lemah dari hakim
pengawas
Kurangnya
dukungan
dari
institusi
keuangan
untuk
dapat
memberikan
talangan atau pembiayaan
Dalam hal debitur adalah perusahaan
publik, menurunnya kepercayaan publik
atau
investor,
sehingga
dapat
Halaman



21

Terjadi resistensi dari karyawan, terutama
jika terjadi PHK karyawan
Rendahnya nilai mayoritas aset yang
dimiliki debitur

VII.

mempengaruhi harga saham debitur di
bursa saham
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan
untuk mendukung proses restrukturisasi
Belum tersedianya suatu institusi dari
pemerintah yang secara khusus dapat
membantu atau menangani restrukturisasi
debitur dalam PKPU

Penutup, kesimpulan dan rekomendasi

Sebagai penutup, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat
dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:

1.

Pada perjalanannya, dengan belajar dari berbagai pengalaman, terutama
pengalaman pada krisis ekonomi tahun 1998, undang-undang yang
mengatur mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang telah berkembang sesuai kebutuhan zaman. Apabila terjadi
kesulitan keuangan sehingga mengganggu hubungan antara kreditur dan
debitur, kepailitan bukanlah satu-satunya solusi.

2.

Konsep

yang

kelangsungan

ideal

bagi

usaha

hukum

yang

kepailitan

seharusnya

adalah

diartikan

adanya
juga

asas

sebagai

penyelamatan usaha guna menghindari likuidasi. Oleh karenanya, patut
dipertimbangkan juga penggunaan asas solvabilitas terkait hukum
kepailitan dan PKPU.

3.

Begitu pula dengan metode dan pola restrukturisasi terhadap debitur, turut
berkembang

mengikuti

kebutuhan

dan

perkembangan

zaman.

Kelangsungan usaha menjadi prioritas, mengingat kebutuhan ekonomi
masyarakat juga meningkat. Segala bentuk usaha yang merupakan bagian
dari roda ekonomi harus terus berputar, sehingga apabila terjadi kesulitan
keuangan, PKPU merupakan alternatif solusi yang dapat ditempuh oleh
debitur maupun oleh kreditur.

Halaman



22

4.

Asas kelangsungan usaha merupakan fondasi yang penting dalam PKPU,
terutama untuk mempertahankan keberadaan dan kegiatan usaha debitur
agar tetap menghasilkan dalam bagian roda ekonomi. Asas kelangsungan
usaha dalam PKPU merupakan bentuk kepedulian, empati dan toleransi
dari kreditur terhadap debitur. Asas kelangsungan usaha akan membawa
dampak positif bagi nilai ekonomi, tidak hanya bagi perusahaan debitur
dan kreditur itu sendiri, namun juga bagi dunia usaha di mana dapat
meningkatkan kepercayaan investor terhadap iklim bisnis di Indonesia.

5.

Untuk menyelesaikan PKPU, terkait dengan kebutuhan ekonomi dan
dengan mengutamakan faktor kelangsungan usaha, kreditur dan debitur
membutuhkan metode, pola dan konsep restrukturisasi yang:

6.

a.

efektif dan efisien;

b.

dapat menyelesaikan utang/kewajiban debitur;

c.

dapat melepaskan debitur dari kepailitan atau likuidasi; dan

d.

dapat melindungi serta memberikan kepastian bagi kreditur.

Dengan asas kelangsungan usaha sebagai landasan, diperlukan suatu
parameter dan pedoman yang jelas mengenai prospek usaha yang baik
bagi debitur. Diharapkan dalam PKPU, restrukturisasi tidak hanya
mempertimbangkan

prospek

usaha

yang

baik,

tetapi

dengan

restrukturisasi akan meningkatkan prospek dan kinerja usaha debitur
menjadi lebih baik.

7.

Berbagai macam metode, pola dan konsep, bahkan kombinasi dari seluruh
metode, pola dan konsep restrukturisasi dapat dilakukan terhadap debitur
apa pun dalam PKPU, namun belum tentu berakhir dengan kesuksesan
dan sesuai harapan. Empati dan toleransi para kreditur sangat diperlukan,
terutama dalam rencana perdamaian dan proses dilaksanakannya
restrukturisasi. Selain itu, kerja sama yang baik antara debitur dan
pengurus, peran aktif hakim pengawas juga sangat diperlukan.

Halaman



23

8.

Bagi debitur yang menjalani proses restrukturisasi dalam masa PKPU,
sebaiknya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan
alternatif pembiayaan (refinancing), untuk itu diperlukan peran aktif, selain
dari manajemen debitur, pengurus, hakim pengawas, kreditur dan juga
pemerintah.

Perlu

dipertimbangkan

juga

oleh

pemerintah

dalam

menyiapkan institusi keuangan yang mau dan secara khusus memberikan
uluran pembiayaan atau metode lain guna mendukung jalannya proses
restrukturisasi terhadap debitur dalam PKPU.

9.

Di bidang pasar modal, bagi debitur yang merupakan perusahaan publik,
patut dipertimbangkan juga peran aktif dari OJK dan Bursa, terutama untuk
implementasi

asas

kelangsungan

usaha

bagi

debitur,

melindungi

kepentingan investor atau bahkan pemegang saham minoritas di bursa.
Diharapkan OJK dapat berperan lebih dalam mendukung proses
restrukturisasi dalam PKPU.

Halaman



24

Daftar Pustaka
Buku:

Ary Suta, I Putu Gede dan Soebowo Musa. 2003. Membedah Krisis Perbankan.
Jakarta: Yayasan Satria Bhakti,.

Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan dalam Hukum Perjanjian Indonesia.
Bandung: Citra Aditya.

Darmaji,

Tjiptono.

2001.

Restrukturisasi:Memulihkan

dan

Mengakselerasi

Ekonomi Nasional. Jakarta : Grasindo.

Daruri, A Deni dan Djony Edward. 2004. BPPN Garbage in Garbage out. Jakarta:
Centre For Banking Crisis.

Djiwandono, J Soedrajat. 2001. Bergulat Dengan Krisis & Pemulihan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Fuady, Munir. 2005. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik, Edisi Revisi
(Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004). Bandung: Citra Aditya
Bakti.

Fuady, Munir. 1999. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik. Bandung: Citra Aditya
Bakti.

____________. 2002. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk
Indonesia. Bandung: Citra Aditya.

Gunadi. 2001. Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk dan
Pemajakannya. Jakarta: Salemba Empat.

Halaman



25

Lembaga Penjamin Simpanan. 2011. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah
dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan.

McGuire, Claire L. Simple Tools to Assist in The Resolution of Troubled Banks.
The World Bank.

Meliala, Djaja S. 1987. Masalah Itikad Baik Dalam KUHPerdata. Bandung: PT
Binacipta.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Munawir. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.

_________________________________. 2003. Perikatan Pada Umumnya,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Projodikoro, Wiryono. 2000. Aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,
cet. VIII.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.

Sariningsih, Dwi. et all. Analisis Kinerja Keuangan ditinjau Dari Rasio Likuiditas,
Solvabilitas dan Rasio Profitablitas. Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman. (diunduh dari https://download.portalgaruda.org)

Satrio, J. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan
Buku 1, Bandung: Citra Aditya Bakti.

________. 1999. Hukum Perikatan dan Perikatan Pada Umumnya, Bandung:
Alumni, cet. 3.

Halaman



26

Sjahdeini, Sutan Remy. 2010. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, cet. 4.

Sugiyarso, G. Dan F. Winarwi. 2005. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Media
Pressindo.

Sutrisno. 2009. Manajemen Keuangan, Teori, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:
Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi, edisi Pertama.

Watt, Robert. 1995. Concise Legal Research. Sidney: The Federation Press.

Weng, Lee A. 2001. Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillissements-Verordening)
S.1905 No. R271 jo S. 1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan
Undang-Undang No.4 tahun 1998. Medan.

Widjaja, Gunawan. 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Jakarta:
Forum Sahabat.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan.
Jakarta: Rajawali Press.

Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian

Abdullah. 2012. Penafsiran Hakim Tentang Perbedaan Antara Perkara
Wanprestasi Dengan Penipuan. Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum
dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2000. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Restrukturisasi Utang pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Jakarta : Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Halaman



27

Hadiwidjojo, Kukuh K. 2012. Rescue of a Failing Bank : Restructuring and Shares
Disposal

Under

Law

No.24

Year

2004.

(diunduh

dari

https://ui.academia.edu/KukuhHadiwidjojo).

Iriantoro,

Catur.

2014.

Penyelesaian

Penerapan

Perkara

Asas

Kepailitan

Kelangsungan
Dan

Usaha

Penundaan

Dalam

Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU), Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.

Prabowo, Reza dan Wibowo. 2015. Analisis Perbandingan Model Altman ZScore, Zmijewski, dan Springate dalam Memprediksi Kebangkrutan
Perusahaan Delisting di BEI Periode 2008 – 2013. Jurnal Akuntansi,
Keuangan dan Perbankan, Account Vol. 1 No. 3 Juni 2015.

Rumadan, Ismail, Johanes Brata Wijaya dan Auto. 2013. Interpretasi Tentang
Makna “Utang Jatuh Tempo” Dalam Perkara Kepailitan (Kajian Terhadap
Putusan Mahkamah Agung 2009 – 2013). Laporan Penelitian, Puslitbang
Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.

Sitanggang, Andrew. PKPU Pada Perusahaan Publik dan Dampaknya Bagi
Investor. Paper pada Seminar HKHPM 26 Oktober 2015.

Sudewi, Ifa. 2014. Penerapan Asas Solvabilitas Dalam Penyelesaian Perkara
Kepailitan, Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.

Sjahdeini, Sutan Remy. Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kedudukan Yang
Seimbang Dari Kreditur dan Debitur. Makalah. Surabaya: 25-27 April
2000.

Subhan, M. Hadi. 2014. Insolvency Test: Melindungi Perusahaan Solven Yang
Beritikad Baik dari Penyalahgunaan Kepailitan. Jurnal Hukum Bisnis, vol.
3.
Halaman



28

Undang-U