Pedoman and Panduan Penyelesaian Kredit

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH
DALAM PRINSIP SYARIAH
A. PERJANJIAN KREDIT DALAM PERBANKAN DAN HUKUM PERDATA
Dalam Pasal 8 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut
dengan “UU Perbankan”) secara tegas menerangkan bahwa Bank umum wajib memiliki
dan menerapkan Pedoman Perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan kemudian dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan tersebut dimana:
a) Pemberian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
b) Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utang-utangnya;
c) Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah;
d) Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
e) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitor atau pihak terafiliasi; dan
f) Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.
Sehingga bila mengacu kepada pengertian tersebut di atas, maka Kredit perbankan
merupakan suatu bentuk perikatan yang muncul dari suatu perjanjian antara Bank sebagai
Kreditor dengan Nasabah selaku Debitor. Perjanjian diatur dalam koridor hukum perdata

dalam Pasal 1313 KUHPerdata dimana perjanjian atau suatu persetujuan diartikan sebagai
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. Dengan demikian oleh karena lahirnya perikatan tersebut, maka pihak yang
satu berhak menuntut (kreditor) sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain (debitor)
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
1

Bahwa perjanjian kredit wajib dituangkan ke dalam perjanjian tertulis, maka asas
kebebasan berkontrak memungkinkan kebebasan seluas-luasnya yang diberikan Undangundang kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum.
Hal tersebut timbul dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
B. WANPRESTASI SEBAGAI PENYEBAB KREDIT BERMASALAH
Bahwa perlu diketahui terdapat 3 (tiga) golongan wanprestasi diantaranya adalah
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Wanprestasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata:
Seorang debitur yang dianggap lalai dengan dibuktikan oleh surat terguran atau surat
perintah atau surat sejenis lainnya dimana debitor dianggap tidak melaksanakan
kewajibannya dengan jangka waktu yang ditentukan. Debitor yang dianggap lalai

berdasarkan KUHPerdata tersebut adalah:
a)
b)
c)
d)
e)

Tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan;
Melaksanakan sebagian dari apa yang telah diperjanjikan;
Terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan;
Keliru melakukan kewajiban yang telah diperjanjikan; dan
Melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian.

2. Wanprestasi menurut peraturan perbankan:
Yang disebut sebagai wanprestasi dalam perbankan adalah suatu kredit yang tergolong
macet berdasarkan SK Direktur BI Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998
dimana atas wanprestasi tersebut bank memiliki hak tagih terhadap debitornya yang
telah menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga melebihi 270 (dua
ratus tujuh puluh) hari.
3. Wanprestasi menurut Perjanjian Kredit:

2

Bahwa oleh karena pemberian kredit merupakan suatu perjanjian pinjam-meminjam
dimana pengembalian kredit oleh debitor adalah suatu pemenuhan prestasi, maka
apabila debitur tidak dapat melakukan pembayaran cicilan kredit setelah jangka waktu
yang telah ditentukan maka perbuatan tersebut disebut perbuatan wanprestasi.
Bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak antara kreditor dan debitor dapat bebas
menentukan pengaturan jangka waktu dan bentuk wanprestasi dalam perjanjian kredit,
bisa saja para pihak menentukan di dalam perjanjian kredit tersebut apabila debitor 1
(satu) kali terlambat atau tidak membayar cicilan kredit sebelum jangka waktu
perjanjian berakhir dapat diberlakukan suatu percepatan pembayaran seketika
oleh karena dianggap telah melakukan wanprestasi.
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka menimbulkan hak kepada kreditor untuk
meminta pelunasan hutang yang diikuti dengan jaminan umum oleh Bank selaku
Kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.
Dalam pasal 1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik
yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak bergerak,
merupakan jaminan pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal 1132
KUHPerdata menyebutkan, harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersamasama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.
C. PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DARI DEBITOR WANPRESTASI

YANG DIBENARKAN OLEH HUKUM
Cara penyelesaian atau penagihan hutang piutang dari debitor wanprestasi yang
dibenarkan menurut hukum:
a. Melakukan surat somasi atau surat teguran atau mendatangi atau mengundang
debitor wanprestasi dengan jalur hukum yang baik tanpa mengesampingkan
unsur kepatutan dan kewajaran;

3

Bahwa kreditor berdasarkan perjanjian kredit memiliki hak untuk melakukan
penagihan kepada debitor melalui surat somasi atau surat teguran atau mendatangai
atau mengundang debitor yang telah dianggap melakukan wanprestasi atas perjanjian
kredit yang disepakati, dengan cara yang diperbolehkan oleh hukum dengan nilai
kepatutan dan kewajaran misalnya dengan melakukan somasi atau teguran atau
undangan atau mendatangi tempat debitor tersebut.
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, apabila upaya kreditor tersebut dianggap telah
melanggar hak keperdataan dari debitor, maka seorang debitor juga dimungkinkan
oleh hukum untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan rasio legis ketentuan Pasal
163 HIR melalui gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) pada
Pengadilan atau laporan tindak pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan dan/atau

Ancaman Dengan Kekerasan (Pasal 335 Jo. 368 KUHPidana) pada Kepolisian.
Namun apabila hal tersebut terjadi, tidak perlu dikhawatirkan oleh kreditor karena
kreditor yang memiliki hak tagih terhadap debitor berdasarkan perjanjian kredit yang
sah dapat melakukan pembuktian negative dimana kreditor diberikan hak yang sama
oleh Pasal 163 HIR untuk menjawab dan membuktikan tidak adanya unsur-unsur
perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dimaksud.
b. Melakukan Eksekusi Penjualan Jaminan Kebendaan atas Perjanjian Kredit
melalui Pelelangan Umum atau penjualan langsung di bawah tangan tanpa
melalui Pengadilan:
Bahwa alasan terlebih dahulu melakukan penjualan hak jaminan pelelangan umum
atau melalui penjualan langsung di bawah tangan tanpa melalui Pengadilan (dengan
syarat adanya kesepakatan antara kreditor dan debitor) ini dikarenakan dipandang
lebih efisien dari faktor biaya dan kepastian pengembalian utang yang masih tersisa
apabila penjualan objek jaminan tersebut tidak menutup seluruh jumlah hutang yang
ada dan sisa hutang tersebut selanjutnya dapat dimintakan pengembaliannya
dihadapan Pengadilan.
4

Kreditor berdasarkan hak jaminan yang bertitel eksekutorial dapat melakukan
Eksekusi langsung berdasarkan jaminan yang menggunakan irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama
dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan
titel eksekutorial dan berarti akta tersebut dapat langsung dieksekusi tanpa harus
melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan fiat eksekusi
adalah eksekusi atas sebuah sertifikat jaminan seperti mengeksekusi suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara meminta fiat dari ketua
pengadilan dengan cara memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan
eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara yang berlaku.
Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang
diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 6 jo. Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang
memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan secara
menjual sendiri jika debitur cidera janji (wanprestasi).
Eksekusi atas kekuasaan sendiri ini harus diperjanjikan dalam perjanjian
sebelumnya. Menurut Pasal 20 ayat (1) huruf (a) jo. Pasal 6 UU Hak Tanggungan,
apabila debitur wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu.

5

Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur dalam Pasal 20
(2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Inti dasar dari pasal ini adalah adanya
kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di
bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang akan
menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan
setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemegang hak
tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitdikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah yang bersangkutan
serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk
mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
Jaminan Fidusia ini wajib didaftarkan pada lembaga fidusia agar kreditor
memperoleh sertifikat jaminan fidusia dan memiliki kekuatan hak eksekutorial
langsung apabila debitor cidera janji atau wanprestasi.

Eksekusi jaminan fidusia ini dapat dilakukan dengan cara atau melalui pelelangan
umum (parate eksekusi) pada lembaga pelelangan umum (kantor lelang), di mana
hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran tagihan penerima
fidusia. Parate eksekusi lewat pelelangan urnum ini dapat dilakukan tanpa
melibatkan Pengadilan sebagaimana diatur pasal 29 ayat (1) huruf b Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Bahwa selain itu, Eksekusi atas jaminan fidusia juga dapat dilakukan melalui
penjualan di bawah tangan asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Adapun
syarat-syarat tersebut adalah:
6

a) Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi fidusia (debitor) dengan
penerima fidusia (kreditor);
b) Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak;
c) Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan;
d) Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah tersebut;
dan
e) Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.

c. Gugatan/Permohonan Melalui Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama atau
Pengadilan Niaga (Tergantung Kepada Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam
Perjanjian Kredit).
Bahwa alasan diajukannya gugatan/permohonan pada badan Peradilan ini dapat
dilakukan apabila hasil penjualan objek jaminan yang telah diuraikan di atas tidak
dapat menutup seluruh hutang yang ada dan sisa hutang yang masih ada tersebut
dapat dimintakan pengembaliannya melalui badan Peradilan ini.
a) Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Arbitrase Syariah
Bahwa Bank yang menjalankan prinsip syariah yang menyelesaikan perselisihan
kredit pada lembaga Arbitrase syariah, kewenangan Arbitrase menyelesaikan
perbankan syariah dapat didasarkan atas kesepakatan ketika membuat perjanjian
pactum de compromittendo atau dibuat ketika terjadi sengketa akta kompromis.
Dalam alternatif pilihan penyelesaian sengketa pada lembaga ini yakni Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Domisili hukum Basyarnas adalah berada
di Jakarta sehingga Permohonan Arbitrase Syariah ini dapat dilakukan dalam
wilayah hukum di Jakarta.
7

Dalam upaya hukum melalui Basyarnas ini kreditor tidak mengajukan istital
“gugatan” selayaknya dalam peradilan umum melainkan mengajukan upaya

hukum dengan istilah “Permohonan” dan produk putusan pada Basyarnas
tersebut bukan berupa “Putusan” melainkan “Penetapan”.
Penetapan Badan Arbitrase Syariah tidak bisa dilaksanakan begitu saja, SEMA
No. 8 Tahun 2008 menentukan syarat-syarat tertentu. Pertama, dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal Penetapan Badan Arbitrase diucapkan,
lembar asli atau salinan otentik Penetapan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter
atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Agama. Kedua, penyerahan dan pendaftaran
dilakukan dengan mencatat dan menandatangani pada bagian pinggir atau akhir
penetapan. Ketiga, arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan penetapan dan
lembar asli pengangkatan sebagai arbiter kepada Panitera Pengadilan Agama.
Prosedur tersebut harus dilaksanakan. Jika tidak, bisa berakibat putusan arbitrase
tidak dapat dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta
pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Bahwa oleh karena putusan Arbitrase ini bersifat final and binding yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht
van geweisd), maka logika hukumnya upaya hukum yang dapat dilakukan atas
ditolaknya gugatan ini adalah melalui Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah
Agung RI.
Mengenai alur proses pemeriksaan perkara pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional ini dapat dilihat sebagai berikut :

a. Pendaftaran dan Penyampaian Permohonan
Pendaftaran diikuti dengan pembayaran biaya pendaftaran, registrasi dan
penomoran perkara dan penunjukan Arbiter serta Sekretaris (Panitera).
b. Mediasi
8

Mediasi dilakukan paling lama selama 40 hari kecuali para pihak
menyepakati lain, artinya jika para pihak yang bersengketa menyepakati
untuk mediasi dilakukan kurang dari 40 hari diperbolehkan. Jika mediasi
berhasil maka dibuatkan akta perdamaian.
c. Pemeriksaan Permohonan
Jika mediasi gagal maka pemeriksaan dilanjutkan dengan agenda jawaban
termohon dimana termohon wajib menyampaikan jawaban dalam jangka
waktu 30 hari dan dapat diperpanjang 1 kali selama 15 hari.
d. Replik Pemohon
Pemohon wajib menyampaikan Replik dalam jangka waktu 30 hari sejak
diterimanya jawaban dari termohon.
e. Duplik Termohon
Termohon wajib menyampaikan Duplik dalam jangka waktu 30 hari sejak
diterimanya Replik dari Pemohon.
f. Pemeriksaan bukti-bukti Pemohon dan Termohon
Pada tahap ini Majelis Arbiter memeriksa bukti-bukti Pemohon dan
Termohon yang ada relevansinya dengan perkara. Alat bukti tersebut dapat
berupa pengakuan, saksi, saksi ahli dan dokumen yang dianggap ada
relevansinya dengan perkara.
g. Penyampaian kesimpulan
Pemohon dan Termohon menyampaikan kesimpulan dan Majelis Arbitrase
menetapkan tanggal pembacaan putusan
h. Pembacaan Putusan
Majelis Arbitrase membacakan putusan sesuai dengan agenda tanggal
pembacaan putusan.
i. Pelaksanaan Putusan
Putusan dapat dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, namun jika
putusan tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak maka langkah
yang harus dilaksanakan adalah Salinan Putusan Arbitrase Syariah
didaftarkan

ke

Pengadilan

Negeri

untuk

memaksa

para

pihak

melaksanakan putusan Arbitrase dan agar Putusan Arbitrase memiliki
kekuatan ekskutorial.

9

b) Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pengadilan Agama
Sejak tahun 2006 penyelesaian sengketa perbankan syariah beralih menjadi
kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
Eksekusi putusan Pengadilan Agama didasarkan oleh Permohonan eksekusi dari
Penggugat/Kreditor dengan terlebih dahulu mengabulkan sita eksekusi dan
kemudian Ketua Pengadilan memerintahkan atau mengeluarkan penerapan kepada
kantor lelang untuk dapat melaksanakan penjualan jaminan kredit dimuka umum
untuk melunasi utang debitor kepada kreditor. Proses pemeriksaan perkara dalam
Pengadilan Agama ini sama dengan proses pemeriksaan perkara pada Pengadilan
Umum biasa.
Bahwa apabila gugatan melalui Pengadilan Agama ini ditolah, maka upaya hukum
lanjutan yang dapat dilakukan adalah upaya hukum Banding pada Pengadilan
Tinggi, Kasasi pada Mahkamah Agung RI, sampai dengan Peninjauan Kembali
(PK) pada Mahkamah Agung RI.
Mengenai alur proses pemeriksaan perkara pada Pengadilan Agama ini adalah
sebagai berikut :
a. Pendaftaran Gugatan
Gugatan didaftar melalui Kepaniteraan Pengadilan Agama dengan
membayar panjar biaya perkara yang ditentukan oleh Kepaniteraan
Pengadilan Agama. Juru Sita Pengganti memberitahukan kepada Pihak
mengenai Jadwal sidang surat panggilan sidang. Saat ini untuk jadwal

10

sidang dan perkembangan perkara di Pengadilan Agama dapat diakses
secara online melalui situs resmi Pengadilan Agama.
b. Sidang pertama
Dalam sidang pertama ini hakim mencocokkan identitas para pihak yang
berperkara dan menunjuk mediator.
c. Mediasi
Mediasi dilakukan dengan jangka waktu 40 hari, kecuali disepakati lain
oleh para pihak yang bersengketa. Mediasi dipimpin oleh seorang mediator
yang ditunjuk dalam sidang pertama. Apabila terjadi kesepakatan
perdamaian maka dibuatkan akta perdamaian oleh Majelis Hakim.
d. Sidang kedua
Ketika perdamaian tidak tercapai maka sidang dilanjutkan dengan agenda
pembacaan gugatan dari Penggugat.
e. Sidang ketiga
Agenda sidang ini adalah pembacaan Jawaban dari Tergugat.
f. Sidang Keempat
Penggugat menanggapi Jawaban Tergugat dengan mengajukan Replik.
Penggugat dapat memilih untuk mengajukan Replik atau untuk tidak
mengajukan Replik.
g. Sidang Kelima
Tergugat menanggapi Replik Penggugat dengan mengajukan Duplik.
Duplik merupakan hak, oleh karenanya Tergugat boleh memilih untuk
mengajukan Duplik atau untuk tidak mengajukan Duplik
h. Sidang Keenam
Pemeriksaan Bukti-bukti Penggugat dan Tergugat. Alat bukti yang dapat
diajukan adalah :
- Alat bukti surat
- Alat bukti Keterangan 2 orang saksi
- Alat Bukti Persangkaan
- Alat Bukti Pengakuan
- Alat bukti sumpah
i. Sidang Ketujuh
Penyampaian kesimpulan Penggugat dan Tergugat
j. Sidang Kedelapan
Pembacaan putusan Majelis Hakim
c) Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pengadilan Niaga.
11

Permohonan melalui Pengadilan Niaga ini dapat dilakukan dengan tidak
mengesampingkan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU (“UUK”) dimana debitor wajib memiliki utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih oleh 2 (dua) atau lebih kreditornya. Dalam hal ini
kreditor pemegang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia ini digolongkan sebagai
Kreditor Separatis.
Bahwa sejak diperolehnya putusan pailit dari Pengadilan Niaga, berdasarkan Pasal
55 ayat (1) UUK, kreditor separatis tidak perlu khawatir bilamana debitornya
dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan
hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Bahwa hal tersebut juga telah diatur ke dalam ketentuan Pasal 21 jo Pasal 6 UU
Hak Tanggungan yang pada pokoknya menerangkan apabila debitor wanprestasi,
maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu serta Pasal 15 ayat 3 jo.
Pasal 29 ayat 1 UU Fidusia yang pada pokoknya menerangkan Apabila debitor
cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri dan Apabila debitor atau Pemberi
Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
dapat dilakukan dengan cara (1) Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; (2) penjualan benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan; (3) Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
12

Bahwa apabila ditolaknya permohonan pernyataan pailit dalam perkara ini oleh
Pengadilan Niaga, maka upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Pemohon
Pailit adalah melalui upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
d. Choice of Forum Penyelesaian Perkara Perbankan Syariah Terkait Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Yang Membatalkan Penjelasan
Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
MK membatalkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang mengatur tentang pilihan sengketa antara nasabah dan pihak
bank. Alasannya, adanya dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam
ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga penyelesaian sengketa
perbankan syariah sesuai akad yang tidak bertentangan prinsip syariah.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi Pasal 55 ayat (2) yang
dibatalkan oleh MK adalah sebagai berikut :
“Penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan
dilakukan melalui pengadilan di Pengadilan Agama. Disamping itu, dibuka pula
kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan,
lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.”
Mahkamah menilai pilihan forum hukum seperti diatur Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkrit memunculkan ketidakpastian
hukum yang dapat menyebabkan kerugian bagi nasabah dan Unit Usaha Syariah.
Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) perbankan syariah itu pada
akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili,
karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah.
13

Sedangkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara
tegas dinyatakan peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah termasuk sengketa ekonomi syariah. Praktik penyelesaian
sengketa ekonomi syariah hukum harus memberikan kepastian bagi nasabah dan unit
usaha syariah dalam penyelesaian perbankan syariah.
Karena itu, menurut MK Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah telah
menimbulkan ketidakpastian hukum. Termasuk juga hilangnya hak konstitusional
nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah. Jadi dengan adanya putusan ini kedepannya sengketa yang
menyangkut perbankan syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama.
Pengujian Pasal 55 ayat (2), UU Perbankan Syariah ini diajukan seorang nasabah
Bank Muamalat, Dadang Achmad. Ia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)-nya
dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam
praktik perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama.
Sementara ayat (2) membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih
peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Hal ini dinilai MK
menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya
Pasal 55 ayat (2) harus dinyatakan batal.
Pemohon sendiri mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui
akad pembiayaan sebagaimana tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli
2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu,
disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor.

14

Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Yang
Membatalkan Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a. Penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut
(mutlak) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagaimana
yang diamanahkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
b. Pihak-pihak yang melakukan akad dalam aktifitas perbankan syariah yakni
Bank Syariah dan nasabah dapat membuat pilihan forum hukum (choice of
forum) jika para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketanya
melaui Pengadilan Agama, namun hal tersebut harus termuat secara jelas
dalam akad (perjanjian), para pihak harus secara jelas menyebutkan forum
hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Jadi pencantuman forum
hukum yang dipilih oleh para pihak dalam akad (perjanjian) menjadi suatu
keharusan.
c. Walaupun para pihak dalam membuat akad (perjanjian) mempunyai asas
kebebasan berkontrak (freedom of making contract) dan menjadi UndangUndang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda), namun
suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang telah
menetapkan adanya kekuasaan (kewenangan) mutlak (absolut) bagi suatu
badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, karena undang-undang itu
sendiri mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.
d. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah secara litigasi menjadi
kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan
Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan (kewenangan)
mutlak (absolut) bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa
15

namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan
forum penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk
menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
yang putusannya bersifat final dan binding.
e. Para pihak tidak lagi terpaku dalam menyelesaikan sengketanya secara non
litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat
juga menempuh proses non-litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi
(perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau
penilaian ahli.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah, Kompas Gramedia, Jakarta, 2015
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja
PressindoYogyakarta, 2013.
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta,
2010.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.
16

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, 2001.
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008.
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakartam 2010.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.
Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Herziene Indonesich Reglement (HIR).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
10 Tahun 1998.
UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

17

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22