Inflasi dan Pola Konsumsi Masyarakat

Inflasi dan Pola Konsumsi Masyarakat
Bu Annisa (42), warga Kampung Laksana Banda Aceh menarik nafas panjang.
Harga-harga kebutuhan pokok menjelang puasa telah jauh hari melonjak. Ibu rumah tangga
yang bersuami seorang PNS menengah ini terpaksa harus memutar otak untuk mencukupi
konsumsi rumah tangganya. Sementara kenaikan gaji suami tetap kalah dari lonjakan harga
kebutuhan pokok.
Apa yang dirasakan Bu Annisa juga dirasakan oleh jutaan ibu rumah tangga lainnya
di berbagai belahan dunia. Itulah sebabnya mengapa inflasi menjadi sasaran utama kebijakan
moneter yang diterapkan banyak negara di dunia. Kebijakan moneter pada dasarnya
merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal berupa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan dan
keseimbangan eksternal atau keseimbangan neraca pembayaran.
Guru Besar FE Unsyiah, Prof. Dr. Raja Masbar menambahkan bahwa kebijakan
moneter juga dapat berperan untuk menjaga stabilisasi ekonomi seperti stabilitas kesempatan
kerja, stabilitas harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.
Dalam konteks daerah, pengendalian inflasi daerah menjadi penting karena inflasi
yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan disamping kontribusinya yang relatif besar bagi inflasi nasional, yakni
sebesar 77,51%. Sumber-sumber tekanan inflasi di daerah sangat dipengaruhi oleh
karakteristik perekonomian antara satu daerah dengan daerah lain.
Pola Konsumsi Masyarakat

Umumnya, masyarakat akan bereaksi terhadap kenaikan harga-harga komoditas
penyumbang inflasi seperti beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam ras, dan daging
sapi. Reaksi itu bisa dengan mengurangi kualitas produknya atau mencari produk pengganti.
Hasil penelitian FE Unsyiah bersama Bank Indonesia Perwakilan Banda Aceh menemukan
bahwa dari 500 responden rumah tangga, terdapat 29 persen responden yang akan
menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi jika terjadi kenaikan harga. Untuk komoditas
daging ayam ras, 20,4 persen responden mengatakan akan menurunkan kualitas jika harga
naik. Sedangkan untuk komoditas daging sapi, bawang merah dan cabe merah, yang
menyatakan menurunkan kualitas ketika harga naik yaitu daging sapi (24,2 persen), bawang
merah (39,2 persen) dan cabe merah (33,4 persen).
1

Anggota tim peneliti Chenny Seftarita, SE, MSi, menambahkan bahwa selain
masyarakat miskin, kelompok yang paling menderita akibat kenaikan harga kebutuhan pokok
adalah mereka yang termasuk dalam kelompok berpendapatan tetap seperti pegawai rendah,
buruh, dan pekerja tidak tetap/serabutan. “Oleh karena itu, stabilitas harga sangat penting
untuk menjaga agar jangan sampai memperbesar kelompok miskin atau membuat kelompok
hampir miskin jatuh ke dalam kemiskinan”.
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 36 persen responden mengaku kondisi

ekonominya saat ini lebih baik dibandingkan dengan enam bulan yang lalu. Sementara, 51,8
persen responden menyatakan tidak ada perubahan (sama) saat ini dengan enam bulan yang
lalu. Sisanya 12,2 persen responden menyatakan kondisi ekonominya saat ini lebih buruk dari
enam bulan yang lalu. Sejalan dengan itu, 37,8 persen responden menyatakan bahwa
penghasilannya saat ini meningkat (naik) dibandingkan bulan lalu. 52,8 persen responden
menyatakan bahwa penghasilan mereka tetap (tidak ada perubahan) dan sebanyak 9,4 persen
menyatakan bahwa penghasilan saat ini mengalami penurunan dibandingkan bulan lalu.
Chenny menjelaskan lebih lanjut bahwa persentase kondisi ekonomi masyarakat
hampir sama dengan persentase mereka yang akan menurunkan kualitas konsumsinya. “Jelas
bahwa masyarakat yang kondisi ekonominya tetap dan bahkan menurun saat ini akan paling
merasakan dampak kenaikan harga sehingga akan menurunkan kualitas konsumsinya,”
jelasnya lebih lanjut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah sampel atau 67,2 persen
mengaku daya beli mereka menurun ketika menggunakan jumlah uang yang sama.
Sedangkan 32,8 persen merasa bahwa tidak ada penurunan daya beli mereka dengan jumlah
uang yang sama. Tingginya tekanan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi tetap
membuat responden optimis bahwa harga lima komoditas ke depan akan lebih baik (87,4
persen). Kemudian yang menjawab bahwa perkiraan harga terhadap lima komoditas di masa
depan sama sebanyak 8,8 persen dan menyatakan lebih buruk sebanyak 3,8 persen.


Elastisitas Beras dan Daging

2

Wakil peneliti utama Dr. Muhammad Nasir menyimpulkan bahwa komoditas beras
dan daging sapi bersifat inelastis, sedangkan daging ayam, bawang merah dan cabai merah
bersifat elastis. “Ini artinya bahwa rumah tangga akan tetap membeli beras dan daging sapi
dengan kualitas yang sama walaupun harganya meningkat,” katanya.
Lebih jauh Dr. Nasir menyimpulkan bahwa seluruh komoditas merupakan barang
necessity yang memang kebutuhan pokok rumah tangga. “Hanya saja, walaupun terjadi

kenaikan pengeluaran dan total pendapatan, kenaikan pendapatan lebih besar daripada
kenaikan permintaan terhadap kelompok komoditas tersebut (inelastis). Hal ini berarti alokasi
untuk kebutuhan barang lain diluar kelompok komoditas ini juga semakin besar,” paparnya.
Untuk mengantisipasi kondisi ini, tim peneliti menyarankan agar pemerintah dapat
mengendalikan aspek produksi dengan cara meningkatkan produksi padi di Aceh. Selain itu,
mengingat komoditas daging sapi lokal merupakan komoditas pangan yang permintaannya
sulit dikendalikan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi dengan target
swasembada sapi beberapa tahun ke depan. Demikian pula halnya dengan Cabai merah dan
bawang merah. “Jangan lagi terlalu tergantung pada impor barang dari daerah lain atau

negara lain dalam pemenuhan kebutuhan komoditas ini, misalnya, Medan,” tutup Nasir.
[Jeliteng Pribadi]
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Aceh Economic Review Edisi April – Juli 2015, terbitan Biro
Perekonomian Setda Aceh

3