Khilafah dan Absurditas Negara Agama

Khilafah dan Absurditas Negara Agama
FAJAR KURNIANTO
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak penerapan sistem khilafah di
Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan
mendekonstruksi negara. Politik transnasional khilafah tidak cocok diterapkan di Indonesia
karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik
di Indonesia. Di negara-negara Timur Tengah sendiri ide pembentukan pemerintahan tunggal
Islam ditolak. Negara-negara tersebut tetap menggunakan sistem pemerintahan berbentuk
kerajaan, republik Islam, atau emirat.
Khilafah
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang dianggap oleh pengusungnya sesuai dengan
aturan Tuhan, karena didasarkan pada aturan/hukum Alquran dan hadis Rasulullah, Muhammad.
Dalil yang diusung selalu saja ayat Alquran yang dipahami secara serampangan dan ditempatkan
pada konteks yang keliru pula, yakni: pertama, “Siapa yang tidak berhukum dengan yang
diturunkan oleh Allah maka mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kafir.” (QS
Al-Ma’idah: 44). Kedua, “Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah
maka mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zalim.” (QS Al-Ma’idah: 45).
Ketiga, “Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang fasik.” (QS Al-Ma’idah: 47).
Pendek kata, sistem khilafah secara tegas oleh pengusungnya dianggap sistem politik
murni Islam. Sementara, sistem-sistem yang lain adalah di luar Islam yang artinya harus ditolak.

Kaum muslim yang tidak memperjuangkan khilafah oleh pengusungnya dianggap tidak
mengusung syariat Islam. Dengan kata lain, kaum muslim yang demikian telah melanggar
perintah Tuhan. Dan, kaum yang melanggar perintah Tuhan disebut kafir, zalim, dan fasik.
Sebuah klaim yang ahistoris dan tidak kontekstual, hanya berdasar pada teks-teks literer agama.
Sangat berbahaya jika ini diadopsi oleh, khususnya umat Islam Indonesia yang sepanjang sejarah
sudah mengakui sistem demokrasi sebagai sistem yang kompatibel saat ini.

Sistem khilafah mencoba mengubah sistem suatu negara yang sudah mapan dan
konstitusional dengan sistem Islam yang belum jelas model Islam yang bagaimana bentuk dan
mekanismenya. Tampak jelas, model Islam yang diusung adalah Islam yang monolitik. Padahal,
dalam kenyataan sejarah, model Islam sangat heterogen dan tidak mungkin disatukan dalam satu
mainstream atau pemahaman (mazhab) tertentu. Kata Gus Dur, Islam itu seperti hutan rimba
yang tampak hijau menyatu padu dari jauh. Tetapi, jika dilihat lebih dekat, pohon-pohon yang
dari jauh tampak satu ternyata berbeda-beda. Itulah keindahan Islam.
Selain mengubah sistem negara, sistem khilafah mencoba menyatukan dunia Islam dalam
satu pemimpin. Ide sama yang gagal diwujudkan oleh pemikir jenius Jamaluddin al-Afghani
melalui konsep pan-Islamisme justru pada saat kolonialisme merajalela di negeri-negeri
mayoritas muslim. Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana masing-masing negara sudah
berdaulat penuh lengkap dengan sistem terbaiknya yang dimiliki. Maknanya, ide penyatuan itu
terasa absurd dan membuang-buang tenaga. Akan lebih baik jika para pengusung khilafah ikut

aktif memperbaiki kondisi yang ada tanpa perlu mengubahnya ke sistem baru. Bukankah dalam
Islam ada prinsip amar makruf nahi munkar dengan cara-cara yang bijaksana?
Lagi pula, jika anggapan bahwa sistem khilafah adalah murni dari Islam, kenapa
Rasulullah di dalam salah satu hadisnya justru mengatakan bahwa: “Khilafah setelah saya pada
umatku hanya selama tiga puluh tahun. Setelah itu, adalah kerajaan-kerajaan (muluk).” (HR
Tirmidzi). Artinya, biar pun setelah tiga puluh tahun itu para penguasa menyebut-nyebut dirinya
sebagai khalifah, dalam kenyataan mereka adalah para raja yang mewariskan kekuasaan secara
turun-temurun plus otoriter pula.
Jika yang para pengusung khilafah saat ini merujuk pada empat khalifah setelah
Rasulullah, sistem pemilihan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang kita sebut saat ini dengan
sistem demokrasi. Abu Bakar, misalnya, dipilih melalui jajak pendapat dari seluruh penduduk
Madinah. Kemudian, Umar bin Khattab juga dipilih melalui jalur yang tidak lebih sama. Hanya,
lebih dipersempit melalui perwakilan para sahabat yang tergabung dalam satu tim khusus.
Kemudian, Usman dan Ali juga melalui prosedur yang demokratis. Maka, sungguh aneh jika
para pengusung ide khilafah saat ini menyebut sistem demokrasi Indonesia tidak sesuai dengan
yang mereka sebut sebagai aturan Tuhan. Mereka mengklaim sistem khilafah ala mereka
merujuk pada khilafah yang empat. Sementara Rasulullah mengatakan bahwa setelah khilafah
tiga puluh tahun, yang ada adalah sistem kerajaan.

Absurditas negara agama

Sistem khilafah yang digembar-gemborkan saat ini jelas ahistoris dan absurd diwujudkan.
Jika alasan bahwa sistem khilafah bisa menjamin rakyat hidup sejahtera dan taraf hidupnya
meningkat, hingga saat ini belum ada satu pun bukti otentik yang menggambarkan hal demikian.
Jika alasan bahwa krisis yang tengah melanda negeri ini disebabkan oleh murka Tuhan karena
kita tidak mempraktikkan aturan khilafah, tidak ada satu pun orang yang bisa memastikan
validitas kebenaran bahwa Tuhan betul-betul memurkai kita karena itu. Dan, lagi, Tuhan tidak
pernah mengklaim sistem khilafah adalah tuntutan-Nya kepada kaum muslim. Yang ada adalah
mengoptimalkan prinsip syura (musyawarah).
Para pengusung khilafah mencoba menegakkan negara agama dalam konteks masyarakat
yang sudah mempraktikkan agama dalam kehidupan sehari-hari tanpa mempermasalahkan
sistem yang sudah ada. Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin. Tentu ajaran ini bukan bermakna
bahwa negara-negara Islam bersatu dalam satu pimpinan (transnasional). Hal absurd dan
irrasional terwujud. Alangkah baiknya jika para pengusung ini ikut membantu memberikan
sumbangsih pemikiran dan saran sebagaimana warga yang diberi hak bersuara di negeri
demokratis. Toh, komitmen ke-Islam-an seseorang tidak luntur, bahkan di negara-negara yang
sekuler dan penguasanya menindas kaum muslim. Wallahu a’lam.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Rabu 19 September 2007