Efektifitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam Untuk Mengurangi Dismenore Di Smk Nusa Penida Medan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Nyeri

1. Defenisi Nyeri

Defenisi nyeri menurut beberapa sumber :

a. Bare & Smeltzer (2002) mengatakan, bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (judha, 2012).

b. Artur C Curton (1983) menyatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Maryunani, 2010).

c. Menurut Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2006), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka.

2. Fisiologi Nyeri

Bare & Smeltzer (2002) mengatakan, bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (judha, 2012).

Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri, yaitu sel saraf aferen, serabut konektor dan sel saraf eferen. Sel saraf ini mempunyai


(2)

sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-resetor ini akan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor yang berespon terhadap stimulus atau rangsangan nyeri disebut dengan nosiseptor (Tamsuri, 2006).

Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf bebas yang dapat memberikan respon akbiat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamin, brakidini, prostaglandin, subtansi P, dan sebagainya. Zat kimiawi ini akan mengaktivasi nosiseptor menyebabkan munculnya nyeri spontan. Stimulus yang menimbulkan lesi pada jaringan akan mengaktivasi nosiseptor yang akan mengkonversi zat-zat kimia tadi menjadi suatu impuls listrik yang akan di transmisikan melalui serabut penghantar nyeri (serabut aferen, serabut konektor, dan serabut eferen) ke medulla spinalis dan seterusnya di projeksikan ke susunan saraf pusat untuk dipersepsikan menjadi nyeri (Maryunani, 2010).

Menurut Ardinata (2007) mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu:

a. Transduksi (Transduction)

Transduksi adalah proses dari stimuli nyeri yang diubah ke bentuk yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nosiseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi nosiseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan (Ardinata, 2007).


(3)

b. Transmisi (transmission)

Transmisi adalah serangkaian kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003 dalam Ardinata 2007). Kedua saraf ini akan memasuki dorsal horn dari sumsum tulang belakang lalu memasuki thalamus dan terakhir di korteks serebral (Ardinata, 2007)

c. Modulasi (Modulation)

Proses modulasi melibatkan sistem neural yang kompleks. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor (Turk & Flor, 1999 dalam Ardinata, 2007)

d. Persepsi

Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi pengenalan dan mengingat. Oleh sebab itu, Faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) akan muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang


(4)

3. Mekanisme Dismenore

Nyeri haid berpangkal pada mulainya proses menstruasi itu sendiri yang merangsang otot-otot rahim untuk berkontraksi. Kontraksi otot-otot rahim tersebut membuat aliran darah ke otot-otot rahim menjadi berkurang yang berakibat meningkatnya aktivitas rahim untuk memenuhi kebutuhannya akan aliran darah yang lancar, juga otot-otot rahim yang kekurangan darah akan merangsang ujung-ujung syaraf sehingga terasa nyeri. Peningatan kadar prostaglandin (PG) penting peranannya sebagai penyebab terjadinya dismenore. PG sangat tinggi dalam endometrium, miometrium dan darah haid wanita yang menderita dismenore primer. PG menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut syaraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar PG dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan infra uterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar itu disimpulkan bahwa PG yang dihasilkan uterus berperan dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Selanjutnya kontraksi miometrium yang disebabkan oleh PG akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika PG dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka selain dismenore timbul pula pengaruh umum lainnya seperti diare, mual, muntah (Genie, 2009).

4. Defenisi Dismenore

Defenisi dismenore menurut beberapa sumber:

a. Dismenore adalah adanya rasa sakit selama atau segera sebelum dimulainya periode menstruasi (Smith & Shimp, 2000)


(5)

b. Dismenore merupakan rasa nyeri saat menstruasi yang mengganggu kehidupan sehari-hari (Manuaba, 2009).

c. Dismenore merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan wanita-wanita muda pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan (Prawirohardjo, 2008).

d. Dismenore merupakan nyeri menstruasi yang memaksa wanita untuk istirahat atau berakibat pada menurunnya kinerja dan berkuragnya aktifitas sehari-hari (Proverawati & Misaroh, 2009).

5. Klasifikasi Dismenore

Judha, Sudarti dan Fauziah (2013) dismenore dapat digolongkan berasarkan jenis nyeri dan ada tidaknya kelainan atau sebab yang dapat diamati adalah:

a. Dismenore Spasmodik

Adalah nyeri yang dirasakan di bagian bawah perut dan terjadi sebelum atau segera setelah haid dimulai. Dismenore spasmodik ditandai dengan pingsan, mual dan muntah.

b. Dismenore Kongestif

Dismenore kongestif dapat diketahui beberapa hari sebelum haid datang, gejala yang ditimbulkan berlangsung 2 dan 3 hari sampai kurang dari 2 minggu. Pada saat haid datang tidak terlalu menibulkan nyeri. Bahkan setelah hari pertama haid, penderita dismenore kongestif akan merasa lebih baik.

Sedangkan berdasarkan ada tidaknya kelainan atau sebab yang dapat diamati adalah:


(6)

a. Dismenore Primer

Dismenore primer terjadi sesudah 12 bulan atau lebih paska menarke (menstruasi yang pertama kali). Hal itu karena siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarke biasanya bersifat anovulatoir yang tidak disertai nyeri. Rasa nyeri timbul sebelum atau bersama-sama dengan menstruasi dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sifat nyeri adalah kejang yang berjangkit, biasanya terbatas di perut bawah, tetapi dapat merambat ke daerah pinggang dan paha. Nyeri dapat disertai mual, muntah, sakit kepala, dan diare.

Faktor-faktor yang memegang peranan penting sebagai penyebab dismenore yaitu faktor kejiwaan, faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis servikalis dan faktor endokrin.

b. Dismenore Sekunder

Dismenore sekunder berhubungan dengan kelainan kongenital yang terjadi pada masa remaja. Rasa nyeri yang timbul biasanya disebabkan karena adanya kelainan pelvis. Dismenore yang tidak dapat dikaitkan dengan suatu gangguan tertentu biasanya dimulai sebelum usia 20 tahun.

6. Faktor Penyebab Dismenore

Penyebab pasti dismenore primer hingga kini belum diketahui secara pasti (idiopatik), namun beberapa faktor ditengarai sebagai pemicu terjadinya nyeri menstruasi, diantaranya: faktor psikis. Para gadis dan wanita dewasa yang emosinya tidak stabil lebih mudah mengalami nyeri menstruasi. Faktor prostaglandin, teori ini menyatakan bahwa nyeri menstruasi timbul karena


(7)

peningkatan produksi prostaglandin saat menstruasi (Proverawati & Misaroh, 2009).

Menurut Anurogo (2011), nyeri menstruasi muncul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai dari nyreiyang ringan sampai berat dibagian bawah, bokong dan nyeri spasmodik di sisi medial paha. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan dismenore, antara lain:

a. Faktor endokrin, rendahnya kadar progesteron pada akhir fase korpus luteum. Hormon progesteron menghambat atau mencegah kontraklititas uterus sedangkan hormon esterogen merangsang kontraktilitas uterus. b. Faktor kejiwaan dan gangguan psikis, seperti rasa bersalah ketakutan

seksual, takut hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik dengan masalah jenis kelaminnya, dan imaturitas.

c. Faktor alergi, penyebab alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada hubungan antara dismenore dengan biduran, migrain, dan asma.

7. Faktor Resiko Dismenore

Menurut Proverwati dan Misaroh (2009) beberapa faktor di bawah ini dianggap sebagai resiko timbulnya nyeri menstruasi, yakni:

a. Menstruasi pertama (menarche) di usia dini (kurang dari 12 tahun) b. Wanita yang belum pernah melahirkan anak hidup

c. Darah menstruasi berjumlah banyak atau masa menstruasi yang panjang d. Merokok

e. Adanya riwayat nyeri menstruasi pada keluarga. f. Obesitas alias kegemukan / kelebihan berat badan


(8)

8. Derajat Dismenore

Dismenore juga memiliki derajat, antara lain:

a. Dismenore ringan

Dismenore yang berlangsung beberapa saat dan dapat melanjutkan kerja sehari– hari.

b. Dismenore sedang

Pada dismenore sedang, ini penderita memerlukan obat penghilang rasa nyeri, tanpa perlu meninggalkan kerjanya.

c. Dismenore berat

Dismenore berat membutuhkan penderita untuk istirahat beberapa hari dan dapat disertai sakit kepala, kram pinggang, diare dan rasa tertekan.

9. Pengukuran Derajat Dismenore

Intensitas nyeri menunjukkan seberapa banyak nyeri yang dialami seseorang. Pasien biasanya mampu mendeskripsikan intensitas nyeri yang mereka rasakan dalam wakru yang relatif cepat. Intensitas nyeri sering diungkapkan dengan menggunakan kata-kata seperti ‘tidak ada nyeri’, ‘ringan’, ‘sedang’, ‘berat’ atau bisa juga menggunakan skoring untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Mengkaji nyeri tidak hanya sebatas menilai intensitas nyeri, kualitas nyeri, dan durasi nyeri, tetapi, mengkaji nyeri juga mempertimbangkan pengaruh dan respon nyeri tersebut terhadap orang yang mengalaminya (Harahap, 2007).

Ada 4 pengukuran intensitas nyeri yang sering digunakan yaitu, Verbal Rating Scale (VRS), Numeric Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS) dan Verbal Numeric Rating Scale (VNRS)


(9)

a. Verbal Rating Scale (VRS)

VRS adalah skala pengukuran nyeri yang menggunakan kata-kata sifat deskriptif untuk menggambarkan nyeri yang dirasakan.VRS biasanya disusun atas tingkatan intensitas nyeri. Intensitas nyeri yang diungkapkan dimulai dari “tidak ada nyeri” (no pain) sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan (Jensen & Karoly, 1992).

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri yang nyeri ringan sedang berat tak tertahankan

b. Numeric Rating Scale (NRS)

NRS adalah pengukuran nyeri yang sering digunakan dalam pengukuran nyeri dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner & Suddarth, 2002).


(10)

c. Visual Analogue Scale (VAS)

VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “tidak ada nyeri” dan ujung kanan diberi tanda “nyeri yang tidak tertahankan”. Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien (Jensen & Karoly, 1992).

Tidak ada Nyeri yang

nyeri tidak tertahankan

d. Verbal Numerical Rating Scale (VNRS)

Sama seperti VAS hanya diberi skor 0-10, dengan, 1-3 nyeri ringan, 4-7 nyeri sedang dan 8-10 merupakan nyeri paling buruk (Mc Kinney et al, 2000 dalam Septa, 2012)


(11)

1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu aktivitas sehari- hari.

4-7 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah, mengganggu aktivitas sehari- hari, membutuhkan obat untuk mengurangi nyerinya.

8-10 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah, diare, sangat mengganggu aktifitas sehari- hari, penurunan rentan kesadaran.

10. Penanganan Dismenore

a. Intervensi Farmakologis

The American Geriatrics Society (2009) menyebutkan ada empat jenis agen farmakologis yang digunakan untuk menangani nyeri yaitu : analgesik nonopioid dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik opioid, analgesik adjuvant (obat tambahan) dan jenis obat lainnya.

b. Intervensi Nonfarmakologis

Intervensi nonfarmakologis sering dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merupakan pendekatan kesehatan holistik dalam mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2005). Beberapa cara nonfarmakologis dalam penanganan nyeri yaitu :

1) Sentuhan teraupetik

Mackey (1995 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa sentuhan teraupetik merupakan pengembangan dari praktek kuno


(12)

menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara aliran energi di dalam tubuh dan di luar tubuh. Sentuhan teraupetik menggunakan tangan untuk pertukaran energi. Brunner dan Suddarth (2002) menjelaskan bahwa cara ini berhubungan dengan teori gate control yang menyatakan bahwa dengan adanya sentuhan di kulit akan membantu penutupan gerbang terhadap impuls nyeri. Masase merupakan tehnik sentuhan yang umum yang dapat membuat pasien lebih nyaman.

2) Terapi Dingin dan Panas

Merupakan metode yang menghasilkan panas dan dingin untuk penanganan akut atau kronik nyeri muskuloskletal (Dureja, 2006). Terapi es dapat menurunkan prostadglandin dan menghambat proses inflamasi dengan cara es diletakkan pada tempat cedera. Sedangkan terapi panas bertujuan untuk meningkatkan aliran darah ke tempat yang cedera sehingga mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002). Terapi panas untuk nyeri muskuloskletal dapat meningkatkan suhu pada kulit, meningkatkan aliran darah, mengurangi kaku sendi dan otot kejang (Dureja, 2006). 3) Distraksi

Pemfokusan perhatian pasien pada sesuatu yang lain selain nyeri yang dialaminya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan lebih toleransi terhadap nyeri yang dirasakannya (Brunner & Suddarth, 2002). Sistem aktivasi retikular menghambat stimulasi nyeri jika seseorang menerima masukan sensori dan akan merangsang tubuh meghasilkan


(13)

endorphin yang membuat seseorang kurang menyadari nyeri yang dialaminya (Potter & Perry, 2005)

4) Tehnik relaksasi a) Relaksasi otot

Relaksasi otot skletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Penelitian membuktikan relaksasi efektif pada penurunan nyeri pada nyeri punggung dan pascaoperasi.

b) Relaksasi Nafas Dalam

Tehnik relaksasi yang sederhana meliputi pernafasan perut dengan frekuensi lambat sambil menghitung dalam hati. Pasien juga dapat memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Metode relaksasi nafas efektif pada nyeri kronis dengan periode yang teratur (Brunner & Suddarth, 2002).

5) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang khusus untuk mencapai efek positif tertentu (Brunner & Suddarth, 2002). Pasien menciptakan sesuatu dalam pikiran dan berkonsentrasi pada hal tersebut sehingga secara bertahap nyeri berkurang. Perawat membimbing pasien untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang menyenangkan seperti pemandangan yang indah, pengalaman yang menarik sehingga dapat menurunkan nyeri. Apabila pasien merasa terganggu dan tidak nyaman, maka perawat harus menghentikan tindakan tersebut (Potter


(14)

B. Tehknik Relaksasi Nafas Dalam

1. Defenisi Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002). 2. Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah mengurangi stres baik fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Kusyati, 2006).

3. Tahap persiapan pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam ini adalah:

a. Persiapan lingkungan: lingkungan tenang, nyaman, kursi dan matras jika diperlukan.

b. Persiapan responden atau klien: klien relaks adapun prosedur pelaksanaannya antara lain:

1) Mengatur posisi klien agar rileks, tanpa beban fisik. Posisi dapat duduk atau berbaring telentang.

2) Menginstruksikan klien untuk menghirup nafas dalam sehingga rongga paru berisi udara yang bersih.

3) Menginstruksikan klien untuk menghembuskan udara dan membiarkannya keluar dari setiap bagian anggota tubuh. Bersamaan dengan itu, minta klien memusatkan perhatian “betapa nikmat rasanya”.


(15)

4) Menginstruksikan klien untuk bernafas dengan irama normal beberapa saat (sekitar 1-2 menit)

5) Menginstruksikan klien untuk bernafas dalam, kemudian menghembuskan perlahan-lahan, dan merasakan saat ini udara mengalir dari tangan, kaki, menuju ke paru, kemudian udara di buang keluar. Minta klien memusatkan perhatian pada kaki dan tangan , udara yang di keluarkan, dan merasakan kehangatannya.

6) Menginstruksikan klien mengulangi prosedur no.5 dengan memusatkan perhatian pada kaki-tangan, punggung, perut, bagian tubuh yang lain.

7) Setelah klien merasa rileks, minta klien secara perlahan menambah irama pernafasan. Gunakan pernafasan dada atau abdomen. Jika frekuensi nyeri bertambah, gunakan pernafasan dangkal dengan frekuensi yang lebih cepat

4. Fisiologis Teknik Ralaksasi Nafas Dalam terhadap penurunan Dismenore Relaksasi nafas dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme, yaitu dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah kedaerah yang mengalami spasme dan iskemik (Bare & Smeltzer, 2002).

Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi system saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal indvidu. Pada saat terjadi pelepasan mediator seperti bradikilin, prostagandin dan substansi


(16)

yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhiirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang

menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak akan dipersepsikan sebagai nyeri (Trisianah, 2011).

Berdasarkan gate control Theory yang dikemukan potter dan Perry (2005), teknik relaksasi nafas dalam bekerja pada proses transmisi, dimana impuls nyeri dari serabut aferen di transmisikan ke thalamus untuk

disampaikan ke korteks cerebral kemudian dipersepsikan sebagai nyeri. Aplikasi teknik relaksasi nafas dalam menghasilkan pesan yang dikirim lewat serabut saraf besar aferen, serabut aferen akan menutup “gerbang” sehingga korteks cerebral tidak menerima pesan karena nyeri sudah dihambat oleh pesan yang dihasilkan oleh teknik relaksasi nafas dalam tersebut.


(1)

1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu aktivitas sehari- hari.

4-7 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah, mengganggu aktivitas sehari- hari, membutuhkan obat untuk mengurangi nyerinya.

8-10 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah, diare, sangat mengganggu aktifitas sehari- hari, penurunan rentan kesadaran.

10. Penanganan Dismenore

a. Intervensi Farmakologis

The American Geriatrics Society (2009) menyebutkan ada empat jenis agen farmakologis yang digunakan untuk menangani nyeri yaitu : analgesik nonopioid dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik opioid, analgesik adjuvant (obat tambahan) dan jenis obat lainnya.

b. Intervensi Nonfarmakologis

Intervensi nonfarmakologis sering dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merupakan pendekatan kesehatan holistik dalam mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2005). Beberapa cara nonfarmakologis dalam penanganan nyeri yaitu :

1) Sentuhan teraupetik

Mackey (1995 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa sentuhan teraupetik merupakan pengembangan dari praktek kuno “meletakkan tangan” oleh Kunz dan Krieger. Pendekatan ini


(2)

menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara aliran energi di dalam tubuh dan di luar tubuh. Sentuhan teraupetik menggunakan tangan untuk pertukaran energi. Brunner dan Suddarth (2002) menjelaskan bahwa cara ini berhubungan dengan teori gate control yang menyatakan bahwa dengan adanya sentuhan di kulit akan membantu penutupan gerbang terhadap impuls nyeri. Masase merupakan tehnik sentuhan yang umum yang dapat membuat pasien lebih nyaman.

2) Terapi Dingin dan Panas

Merupakan metode yang menghasilkan panas dan dingin untuk penanganan akut atau kronik nyeri muskuloskletal (Dureja, 2006). Terapi es dapat menurunkan prostadglandin dan menghambat proses inflamasi dengan cara es diletakkan pada tempat cedera. Sedangkan terapi panas bertujuan untuk meningkatkan aliran darah ke tempat yang cedera sehingga mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002). Terapi panas untuk nyeri muskuloskletal dapat meningkatkan suhu pada kulit, meningkatkan aliran darah, mengurangi kaku sendi dan otot kejang (Dureja, 2006). 3) Distraksi

Pemfokusan perhatian pasien pada sesuatu yang lain selain nyeri yang dialaminya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan lebih toleransi terhadap nyeri yang dirasakannya (Brunner & Suddarth, 2002). Sistem aktivasi retikular menghambat stimulasi nyeri jika seseorang menerima masukan sensori dan akan merangsang tubuh meghasilkan


(3)

endorphin yang membuat seseorang kurang menyadari nyeri yang dialaminya (Potter & Perry, 2005)

4) Tehnik relaksasi a) Relaksasi otot

Relaksasi otot skletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Penelitian membuktikan relaksasi efektif pada penurunan nyeri pada nyeri punggung dan pascaoperasi.

b) Relaksasi Nafas Dalam

Tehnik relaksasi yang sederhana meliputi pernafasan perut dengan frekuensi lambat sambil menghitung dalam hati. Pasien juga dapat memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Metode relaksasi nafas efektif pada nyeri kronis dengan periode yang teratur (Brunner & Suddarth, 2002).

5) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang khusus untuk mencapai efek positif tertentu (Brunner & Suddarth, 2002). Pasien menciptakan sesuatu dalam pikiran dan berkonsentrasi pada hal tersebut sehingga secara bertahap nyeri berkurang. Perawat membimbing pasien untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang menyenangkan seperti pemandangan yang indah, pengalaman yang menarik sehingga dapat menurunkan nyeri. Apabila pasien merasa terganggu dan tidak nyaman, maka perawat harus menghentikan tindakan tersebut (Potter & Perry, 2005).


(4)

B. Tehknik Relaksasi Nafas Dalam

1. Defenisi Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002). 2. Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah mengurangi stres baik fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Kusyati, 2006).

3. Tahap persiapan pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam ini adalah:

a. Persiapan lingkungan: lingkungan tenang, nyaman, kursi dan matras jika diperlukan.

b. Persiapan responden atau klien: klien relaks adapun prosedur pelaksanaannya antara lain:

1) Mengatur posisi klien agar rileks, tanpa beban fisik. Posisi dapat duduk atau berbaring telentang.

2) Menginstruksikan klien untuk menghirup nafas dalam sehingga rongga paru berisi udara yang bersih.

3) Menginstruksikan klien untuk menghembuskan udara dan membiarkannya keluar dari setiap bagian anggota tubuh. Bersamaan dengan itu, minta klien memusatkan perhatian “betapa nikmat rasanya”.


(5)

4) Menginstruksikan klien untuk bernafas dengan irama normal beberapa saat (sekitar 1-2 menit)

5) Menginstruksikan klien untuk bernafas dalam, kemudian menghembuskan perlahan-lahan, dan merasakan saat ini udara mengalir dari tangan, kaki, menuju ke paru, kemudian udara di buang keluar. Minta klien memusatkan perhatian pada kaki dan tangan , udara yang di keluarkan, dan merasakan kehangatannya.

6) Menginstruksikan klien mengulangi prosedur no.5 dengan memusatkan perhatian pada kaki-tangan, punggung, perut, bagian tubuh yang lain.

7) Setelah klien merasa rileks, minta klien secara perlahan menambah irama pernafasan. Gunakan pernafasan dada atau abdomen. Jika frekuensi nyeri bertambah, gunakan pernafasan dangkal dengan frekuensi yang lebih cepat

4. Fisiologis Teknik Ralaksasi Nafas Dalam terhadap penurunan Dismenore Relaksasi nafas dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme, yaitu dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah kedaerah yang mengalami spasme dan iskemik (Bare & Smeltzer, 2002).

Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi system saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal indvidu. Pada saat terjadi pelepasan mediator seperti bradikilin, prostagandin dan substansi p, akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan vasokonstriksi


(6)

yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhiirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang

menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak akan dipersepsikan sebagai nyeri (Trisianah, 2011).

Berdasarkan gate control Theory yang dikemukan potter dan Perry (2005), teknik relaksasi nafas dalam bekerja pada proses transmisi, dimana impuls nyeri dari serabut aferen di transmisikan ke thalamus untuk

disampaikan ke korteks cerebral kemudian dipersepsikan sebagai nyeri. Aplikasi teknik relaksasi nafas dalam menghasilkan pesan yang dikirim lewat serabut saraf besar aferen, serabut aferen akan menutup “gerbang” sehingga korteks cerebral tidak menerima pesan karena nyeri sudah dihambat oleh pesan yang dihasilkan oleh teknik relaksasi nafas dalam tersebut.