Peranan Penambahan Nanopartikel Batu Kapur Terhadap Sifat Mekanis Dan Ketahanan Termal Komposit Polietilen Densitas Tinggi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Kapur

Batu kapur ialah jenis batuan sedimen yang mengandung senyawa karbonat. Pada
umumnya batu kapur yang banyak terdapat adalah batu kapur yang mengandung
kalsit. Batu kapur memiliki warna putih, putih kekuningan, abu–abu hingga hitam.
Pembentukan warna ini tergantung dari campuran yang ada dalam batu kapur
tersebut, misalnya : lempung, kwarts, oksida besi, mangan dan unsur organik.
Batu kapur terbentuk dari sisa–sisa kerang di laut maupun dari proses presipitasi
kimia. Berat jenis batu kapur berkisar 2,6 - 2,8 gr/cm3, dalam keadaan murni
dengan bentuk kristal kalsit (CaCO3), sedangkan berat volumenya berkisar 1,7 –
2,6 gr/cm3. Jenis batuan karbonat dapat dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu batu
kapur (limestone) dan dolomit (dolostone) (Boggs, 1987).

Di Indonesia terdapat beberapa batuan yang mengandung senyawa
karbonat, antara lain ialah batu kapur, batu kapur kerang dan batu kapur
magnesium. Batu kapur merupakan salah satu bahan galian industri yang
potensinya sangat besar dengan cadangan di perkirakan lebih dari 28 milyar ton

yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Menurut Data dan Informasi
Pertambangan Propinsi bali Tahun 2001, Propinsi Bali sendiri memiliki potensi
batu kapur dan masih tersisa sekitar 11.220.945.960 m3 dengan luar areal 25.559
Ha pada akhir tahun 2000. Produksi batu kapur di Bali sebagian besar
dipergunakan untuk bahan bangunan, biasanya digunakan untuk pondasi gedung
maupun jalan raya (Salain, 2009).

Batu kapur murni digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kaca,
kalsinasi dan beberapa kapur digunakan dalam pengolahan dari campuran
struktural semen. Batu kapur digunakan dalam pembuatan dari bubuk pemucat

dimana digunakan dalam bidang tekstil dan kertas gulung. Kini batu kapur banyak
digunakan sebagai bahan baku semen Portland (Zubkov, 1967). Komposisi dari
batu kapur yang dianalisa dengan pengujian XRF dapat ditunjukan pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Batu Kapur Hasil Pengujian dengan XRF (X Ray
Flourescence)
No

Komposisi Kimia


% Wt

1

Ca

92,1

2

Fe

2,38

3

Mg

0,9


4

Si

3,0

5

In

1,4

6

Ti

0,14

7


Mn

0,03

8

Lu

0,14
(Arifin, 2010)

2.2 Bahan Pengisi

Bahan pengisi adalah bahan yang banyak digunakan untuk ditambahkan pada
bahan polimer yang dapat meningkatkan sifat-sifatnya dan kemampuan
pemprosesan atau untuk mengurangi ongkos. Bahan pengisi dapat digunakan
sebagai penguat, perbaikan temperatur deformasi termal, pelindung, ketahanan
cuaca dan perbaikan sifat pencetakan (Surdia, 1995).


Telah dibuat yang mencakup penggabungan dari antioksidan dan UV
stabilisasi dalam komposisi plastik. Disini ada contoh yang penting dalam cabang
teknologi plastik, menggunakan zat tambahan untuk memodifikasi kekuatan dari
suatu material. Beberapa zat tambahan sengaja dibuat untuk konsentrasi yang
rendah antara 0.1 – 1%.

Zat tambahan digunakan dalam konsentrasi yang rendah meliputi
antioksidan, UV stabilisasi, minyak pelumas (untuk proses fasilitas dan

anti

bloking (untuk modifikasi permukaan film) dan pigmen warna. Zat tambahan
diciptakan pada dasarnya untuk menambah sifat mekanik atau ekonomis dari
penggunaan zat pengisi (Arthur, 1986).

Penggunaan bahan pengisi secara luas dapat menghasilkan perubahan
berikut dalam sifat – sifat termoplastik suatu matrik polimer yaitu :
-

Bertambahnya densitas


-

Bertambahnya modulus elastisitas, pemadatan dan pengerasan bahan

-

Peningkatan kekuatan kualitas permukaan

-

Berkurangnya pernyusutan bahan (Schlumpf, 1990).

Penggunaan dari zat pengisi mineral telah digunakan, pada umumnya
banyak yang menggunakan kalsium karbonat sebagai zat pengisi. Keuntungan
dari penggunaan kalsium karbonat ini adalah untuk meningkatkan kekakuan dan
meningkatkan jumlah hasil produksi. Hasil dari temperatur yang rendah dan
konduktivitas termal yang tinggi dan lain sebagainya merupakan semua
keuntungan dalam pemakaian kalsium karbonat (Gachter, 1990).


Kalsium karbonat merupakan suatu bahan pengisi anorganik yang terkenal
dalam industri plastik hal ini dikarenakan CaCO3 terdapat dalam berbagai
kombinasi baik dalam ukuran dan jenis kristal partikel, harganya relatif murah dan
kemurniannya yang tinggi serta dapat digunakan dalam kuantitas yang besar
(Washabaugh, 1998).

2.3 Kegunaan dari Kalsium Karbonat di Dalam Termoplastik

Pada dasarnya kalsium karbonat ialah zat pengisi yang penting digunakan pada
plastik. Kalsium karbonat merupakan bahan filler anorganik dalam plastik yang
banyak digunakan pada beberapa polimer karena mudah terurai dan berwarna
putih disamping banyak tersedia dialam dan harga tidak mahal (Seymor, 1985).

Berikut adalah keuntungan kalsium karbonat sebagai zat pengisi yaitu :
a. Kemurnian kimia yang tinggi, tidak memiliki ion logam berat yang dapat
mengkatalisasi proses penyimpanan pada polimer.
b. Tidak ada tendensitas untuk membentuk penggumpalan.
c. Non-abrasif, lembut digunakan pada bagian mesin.
d. Meningkatkan daya kekakuan dan modulus elastisitas.
e. Mengurangi penyusutan, meningkatkan warna.

f. Meningkatkan kualitas permukaan pada penyelesaian produk.
g. Meningkatkan daya tumbukan, dalam hal ini untuk meningkatkan daya lapis.
h. Meningkatkan stabilitas dan daya tahan pemeraman terutama ketika
digunakan sebagai pelapis.
i. Tidak beracun, tidak berbau dan tahan panas sampai 600oC.
j. Biaya yang rendah, dikarenakan dapat meningkatkan keuntungan di bagian
berat dan volume (Gachter, 1990).

2.4 Plastik

Plastik dibagi menjadi dua klasifikasi utama berdasarkan pertimbangan ekonomis
serta kegunaannya yaitu plastik komoditi dan plastik teknik. Plastik-plastik
komoditi dicirikan oleh volumenya yang tinggi dan harga yang murah. Plastik ini
sering dipakai dalam bentuk barang yang bersifat pakai-buang (disposable) seperti
lapisan pengemas, namun ditemukan juga pemakaiannya dalam barang-barang
yang tahan lama. Plastik teknik lebih mahal harganya dan volumenya lebih
rendah, tetapi memiliki sifat mekanik yang unggul dan daya tahan yang lebih
baik. Plastik ini mampu bersaing dengan logam, keramik dan gelas dalam
berbagai aplikasi lainnya. Pada tabel 2.2 menjelaskan jenis – jenis plastik
komoditi.


Tabel 2.2 Plastik-Plastik Komoditi
Jenis Plastik Komoditi Sifat Plastik Komoditi
Polietilena massa jenis Lapisan pengemas, isolasi kawat, dan kabel,
rendah (LDPE)
barang mainan, botol fleksibel, perabotan, bahan
pelapis
Polietilen massa jenis Botol, drum, pipa, saluran, lembaran, film,
tinggi (HDPE)
anyaman, karet dan kabel
Polipropilena (PP)
Bagian-bagian mobil dan perkakas, tali,
anyaman, karet, film
Polivinilklorida (PVC) Bahan bangunan, pipa tegar, bahan untuk lantai,
isolasi kawat dan kabel, film, dan lembaran
Polistirena (PS)
Bahan pengemas (busa dan film), isolasi busa,
perkakas, perabotan, perabotan rumah, barang
mainan
(Steven, 2007)


2.5 Polietilena

Polietilena adalah bahan termoplastik yang digunakan secara luas oleh konsumen
sebagai produk kantung plastik. Polietilena adalah polimer yang terdiri dari rantai
panjang monomer. Di industri polietilena disingkat dengan PE dimana molekul
etana C2H4 adalah CH2 = CH2. Dua grup CH2 bersatu dengan ikatan ganda.
Polietilena dibentuk melalui proses polimerisasi dari etena. Bisa
diproduksi melalui proses polimerisasi radikal, adisi ionik, adisi anionik, adisi
kationik dan ion koordinasi seperti gambar 2.1

Gambar 2.1 Struktur Etilen dan Polietilen (Bandrup, 1989).

2.5.1 Sifat – Sifat HDPE

High density polyethylene (HDPE) merupakan polietilen (PE) yang linier dengan
berat jenis 0.94 – 0.97 g/cm3, dengan berat molekul 50.000 – 250.000 dan
memiliki sifat kekristalan yang tinggi. HDPE ini terbentuk oleh polimerisasi
sejenis dan tidak sejenis pada fase cairan atau gas pada tekanan dan temperatur
yang relatif rendah. HDPE memiliki kekerasan yang baik dalam temperatur

rendah, tahan terhadap zat kimia dan memiliki sifat dielektrik yang baik
(Zebarjad, 2006).

Sifat dari HDPE meliputi titik lebur kristalin yang lebih rendah
dibandingkan pada PP yaitu 120 – 135oC dengan sedikit sekali proses
pendinginan dan laju kristalisasi yang cepat. Kekakuan HDPE sebanding dengan
polipropilen tetapi tidak mudah rusak dan tahan terhadap goresan. Nilai viskositas
rendah akan membuat rapuh jika konsentrasi tegangan diberikan, tetapi berat
molekul yang besar akan membuat jadi keras meskipun pada temperatur rendah.
Polimer dengan berat molekul rendah mungkin akan tertarik hingga robek jika
diisi dengan bahan kimia. Densitasnya ialah 4% - 6% lebih besar dibandingkan
dengan PP.

Sifat HDPE mudah terbakar meskipun sudah menggunakan anti terbakar
ataupun meningkatkan sifat karakteristik dari polietilen berdensitas tinggi ini
(Arthur, 1986).

2.6 Maleat Anhidrida
Maleat anhidrida (C4H2O3) larut dalam aseton dan air, tidak berwarna atau
berwarna putih padat dalam keadaan murni dengan abu yang sangat tajam,
memiliki massa molar 98.06 g/mol, berwarna kristal putih dan memiliki densitas
1.314 g/cm3. Maleat anhidrat adalah senyawa vinil tidak jenuh yang merupakan
bahan mentah dalam sintesa resin polyester, pelapisan permukaan karet seterjen,

bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer, kopolimer dan ikatan ini berperan
dalam reaksi adisi (Parker, 1984). Adapun struktur bangun dari maleat anhidrida
ditunjukkan pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Struktur Maleat Anhidrida

2.7 Grafting Maleat Anhidrat Pada Polietilena

Proses grafting maleat anhidrat (MA) pada plastik polietilena juga merupakan
suatu jalur untuk membuat plastik yang mampu didegradasi oleh mikroba dalam
tanah yang kemudian dikenal dengan plastik ramah lingkungan. Salah satu cara
yang telah ditempuh pada proses grafting adalah dengan proses dalam larutan
pada suhu tinggi. Proses ini terasa kurang praktis karena melibatkan banyak
langkah dalam mengerjakannya. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan dengan
cara proses dalam lelehan dengan cara memblending antara polietilena, maleat
anhidrat (MA) dan inisiator benzoil peroksida (BPO) dalam fase cair. Karena pada
proses lelehan, reaksi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh diffussion control
daripada chemical control. Dengan demikian, faktor yang mempengaruh pada
keberhasilan proses kopolimerisasi tempel ini antara lain adalah suhu proses
blending, kecepatan putaran blending, konsentrasi MA dan konsentrasi BPO
(Muin, 2005). Mekanisme tahap proses grafting maleat anhidrida terhadap
polietilena adalah sebagai berikut:
1. Tahap dekomposisi peroksida
tahap ini terjadi penguraian benzoil peroksida akibat adanya pemanasan
sehingga menyebabkan terbentuknya benzoil peroksida radikal
2. Tahap inisisasi
3. Pada tahap ini terjadi proses pembentukan bahan polimer radikal yang
disebabkan inisiator radikal
4. Tahap propagasi

Tahap pencangkokan monomer terhadap bahan polimer radikal. Dimana
akan menghasilkan bahan polimer yang tercangkok monomer yang
berbentuk radikal

5. Tahap transfer rantai
Pada tahap ini bahan polimer yang tercangkok monomer dalam bentuk
radikal akan berikatan dengan bahan polimer yang lain sehingga
membentuk rantai polimer panjang
6. Tahap terminasi

Dekomposisi Peroksida
O

O

O

0

T= 145 C
C

O

O

C

2

C

Benzoil peroksida

O'

BPO radikal

Inisiasi
H
C

O +

H

H

O
C

H

C

C

H

H

BPO radikal

*

C

C

+
n

H

n

O

OH

HDPE radikal

As. Benzoat

HDPE
Propagasi
H

C

*

+

C

H

H

H

H

n

C

O

C

C

C

H

O

O
C

HDPE radikal

Maleat anhidrat

O

HDPE-g-MA

n

C
O

O

Terminasi
H

H
C

H

H

C

C *C

+

C

H

H

n

*

O

H

H

+

C C

H

H
O

O

H

H

C

O

n

O

n

O

disproporsinasi

H

H
H

H

+

CH3 C*

H

H

H
C

C

C

C

C

*C

H

*

n

H

H
O

O

H

H

O

O

O

O
Ikat Silang (croslinking)

Gambar 2.3 Mekanisme Reaksi Grafting Polietilena (Mousa, G. 2002)

2.8

Benzoil Peroksida

Benzoil peroksida merupakan senyawa peroksida yang berfungsi sebagai inisiator
dalam proses polimerasi dan bahan pembentukan ikatan silang dari berbagai
polimer dan material polimer. Senyawa peroksida ini dapat digunakan sebagai
pembentuk radikal bebas. Benzoil peroksida mempunyai waktu paruh yang
dipengaruhi tekanan dan temperatur, waktu paruh relatif kecil 0,37 jam pada
temperatur 100 0C.

Benzoil peroksida

Gambar 2.4 Penguraian Benzoil Peroksida

BPO radikal

Karbon
dioksida

Radikal
bebas

2.9 Komposit

Komposit polimer merupakan perpaduan antara dua atau lebih bahan yang
mempunyai jenis dan mempunyai sifat yang berbeda serta sifat akhir komposit
yang berbeda dengan sifat polimer penyusunnya. Komposit yang tersusun dari
bahan polimer sebagai matrik dan bahan anorganik sebagai pengisi atau filler
yang dicampurkan kedalam matrik, akan menghasilkan komposit dengan sifat
akhir yang sangat tergantung pada karakterisktik polimer dan pengisi serta sifat
adhesi antar muka matrik pengisi yang menentukan kompatibilitas komposit serta
distribusi zat pengisi dalam matrik. Sejauh ini telah dilakukan penelitian bahan
komposit dan polipaduan yang mengkaji sifat mekanik, kompatibilitas, sifat
termal untuk berbagai keperluan aplikasi (Ari, 2007).

Pencampuran dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan
dengan berbagai variasi seperti komposisi bahan, temperatur pencampuran dan
lainnya. Ada tiga jenis poliblen polimer komersil yaitu polimer sintetik dengan
polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer alam dan polimer alam dengan
polimer alam.

Proses pencampuran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni:
a.

Blending kimia yaitu menghasilkan suatu kopolimer yang ditandai dengan
terjadinya ikatan-ikatan kovalen antar polimer-polimer penyusunnya.

b.

Blending fisik yaitu blending atas dua jenis polimer atau lebih yang
strukturnya berbeda yang menghasilkan suatu poliblen. Dengan demikian
dalam poliblen ini tidak terjadi ikatan kovalen antar komponenkomponennya. Interaksi yang terjadi dalam sistem ini dapat berupa ikatan
hidrogen, interaksi dipol-dipol dan ikatan Van der Walls (Bandrup, 1989).

2.9.1 Nanokomposit

Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur
fungsional maupun piranti alam skala nanometer. Sifat dari nanokomposit telah

dipelajari dengan menggunakan dua zat pengisi anorganik yang berbeda yaitu
koloidal dan nano partikel silika. Tidak telalu kelihatan perubahan dari sifat
mekanis ketika serbuk silika ditambahkan pada polimer yang murni. Sebaliknya,
kehadiran dari silika-sol nanopartikel dalam matrik polimer dapat meningkatkan
dua hal yaitu modulus Young dan kekuatan tubrukan (Gracia, 2004).

Material nano partikel adalah material-material berskala kecil yaitu
nanometer, termasuk didalamnya adalah nanowire dan karbon nanotube.
Disamping itu material dengan ukuran nanometer memiliki sifat yang luas karena
menghasilkan sifat yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar (Astuti, 2008).

2.10 Pembuatan Komposit Polimer

Pencampuran merupakan suatu metode yang sering digunakan dalam proses
perpaduan antara dua jenis ataupun lebih matrik polimer, dalam proses blending
ada ketentuan–ketentuan yang harus dilakukan yang antara lain menghomogenkan
campuran yang dibentuk sehingga dalam pemeriksaan parameter–parameter
penentu sifat dari matrik polimer dapat dilakukan dengan baik sehingga akan
didapatkan hasil yang maksimal.
Dalam melakukan proses blending sering mengalami kesulitan terutama
dalam hal pemilihan alat blending, sering kali didapati hasil dari blending dengan
menggunakan alat konvensional tidak seperti yang diharapkan seperti hasil
matriks polimer yang terdegradasi pada saat proses pencampuran polimer
meskipun telah digunakan bahan tambahan sebagai penyetabil sehingga perlu
digunakan suatu metode yang baru dalam membantu proses blending yang
nantinya dapat meningkatkan hasil secara kualitatif (Hartomo, 1983).

2.11 Kompatibilitas Bahan Polimer

Kompatibilitas dapat didefenisikan sebagai suatu besaran untuk menjelaskan hasil
pencampuran antara matrik polimer dengan matrik polimer lainnya atau antara
matrik polimer dengan bahan pengisi. Bila hasil pencampuran antara matrik

tersebut tercampur secara sempurna maka matrik polimer terebut mempunyai
kompatibilitas yang tinggi (Wirjosentono, 1995).

2.12 Karakterisasi Polimer

Mengkarakterisasi polimer jauh lebih rumit daripada mengkarakterisasi senyawasenyawa dengan berat molekul rendah. Fokus utama yang dilakukan kimiawan
untuk mengkarakterisasi senyawa polimer ditempatkan ke metode-metode
spektroskopi dan termal karena paling sering dipakai oleh ilmuwan polimer.
Disini juga akan menyinggung analisis permukaan maupun pengujian mekanik
dan elektrik.

Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa
campuran polimer. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah
menggunakan Uji Tarik dan Kemuluran, FT-IR (Faurier Transform Infrared
Spectroscopy), DSC (Differential Scanning Calorimetry) dan SEM (Scanning
Electron Microscopy).

2.12.1 Fourier transform infrared spectroscopy

Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali
dilengkapi dengan cara penghitungan “Fourier transform” dan pengolahan data
untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi. Teknik ini dilakukan
dengan penambahan peralatan interferometer yang telah lama ditemukan oleh
Michelson pada akhir abad 19. Michelson telah mendapat informasi spektrum dari
suatu berkas radiasi dengan mengamati interferogram yang diperoleh dari
interfemeter tersebut. Fellet (1970) juga telah menggunakan perhitungan Faurier
transform pada spektrofotometer dalam bidang astronomi.

Dua variasi instrumental dari spektroskopi inframerah (IR) yaitu metode
dispertif yang memiliki prisma atau kisi untuk mendispersikan radiasi IR dan
metode Fourier transform (FT) yang menggunakan prinsip interferometri.

Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil,
perkembangan spektrum yang cepat. Karena instrument ini memiliki komputer
yang terdedikasi maka memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi
spektrum.
FT-IR bermanfaat dalam meneliti paduan-paduan polimer. Sementara
paduan yang tidak dapat bercampur memperlihatkan suatu spektrum IR yang
merupakan super posisi dari spektrum homopolimer, spektrum paduan yang dapat
bercampur adalah super posisi dari tiga komponen, dua spektrum homopolimer
dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara
homopolimer (Steven, 2007).

Sampel yang digunakan untuk analisa dapat berupa padat cair dan gas.
Metode penyiapan untuk polimer antara lain melarutkan polimer ke dalam suatu
pelarut seperti karbon bisulfida, karbon tetra klorida atau kloroform, pembuatan
film transparan dan metode pellet Kbr.
Hubungan kuantitatif antara konsentrasi (C) dan adsorbansi (A) pada
spektroskopy infra merah diberikan oleh persamaan Lambert – Beer :
A=εCL

(2.1)

Keterangan:
ε = Absorbsifitas molar
L = Tebal sampel (jarak yang ditempuh sinar IR yang menembus sampel)

Hubungan intensitas radiasi, absorbansi (A) didefenisikan sebagai :
A = log lo/l

(2.2)

Dimana:
lo = Intensitas radiasi sebelum melewati sampel
l = Intensitas radiasi setelah melewati sampel

Untuk mengukur serapan gugus dari serapan spectrum infra merah
digunakan cara dasar tangen. Seperti terlihat pada gambar 2.5 dengan
menggunakan metode garis AC, maka harga lo adalah panjang BE dan I = DE,
sehingga harga absorbansi adalah :

BE

A = log

(2.3)
DE

Hal ini dilakukan mengingat transmisi 100% tidak pernah dicapai karena adanya
serapan dari medium (serapan latar belakang).

100

Transmitans (%)

A

B

Serapan
Latar

C

belakang
0
D
E
Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 2.5 Pengukuran absorbansi dan transmitasi dan spektrum IR

2.12.2 Uji Kekuatan Tarik
Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengatami sifat kekuatan tarik σ
menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan
diberikan tegangan secara praktris kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya
beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan
dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pegaruh tegangan,
spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula Ao.
σt =

Keterangan :
σt

: Kekuatan tarik bahan (Kgf/mm2)

(2.4)

Fmaks

: Tegangan Maksimum (Kgf)

Ao

: Luas Permukaan Mula – mula (mm2)

Selama deformasi dapat diasumsikan bahwa volume spesimen tidak
berubah sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang
setiap saat

=

dengan l dan lo masing-masing adalah panjang spesimen akhir

dan semula. Bila didefenisikan besaran kemuluran sebagai nisbah pertambahan
panjang terhadap spesimen semula ε=∆l/l o, maka diperoleh hubungan :

(2.5) (Wirjosentono, 1995)

A=

Korelasi Kekuatan tarik dan kemuluran pada uji mekanik pada suatu bahan
polimer dapat dilihat pada gambar 2.6
Tegangan putus

Tegangan

Perpanjangan Lumer

Kuat tarik

Tegangan lumer

Regangan

Gambar 2.6 Kurva tegangan regangan bahan polimer

Tabel 2.3 Kekuatan Tarik, Tekan dan Lentur Bahan Polimer
Polietilena

Kekuatan
Tarik
(MPa)

Perpanjangan Modulus
(%)
Elastisitas
(MPa)

Kekuatan
Tekan
(MPa)

Kekuatan
Lentur
(MPa)

HDPE

21 -38

15 – 100

4 – 10

22

7

LDPE

7 – 14

90 – 650

1.4 – 2.4

-

(Dieter, 1986)

Tujuan pengujian kekuatan sifat mekanik ini ialah untuk mengatahui
ketahanan suatu bahan terhadap pembebanan pada titik lentur dan juga untuk
mengetahui keelastisan suatu bahan (Surdia, 1995).

2.12.3 Diffrential Scanning Calorimetry

Sejumlah sifat – sifat termal polimer dibahas termasuk titik lebur kristal, suhu
transisi gelas, nyala dan stabilitas panas. Suhu transisi gelas paling umum diukur
dengan kalorimetri scanning diferensial (DSC), analisis termal diferensial (DTA)
atau analisis termomekanik (TMA)

Diffrential Scanning Calorimetry merupakan model yang lebih akhir dan
telah menjadi metodi pilihan untuk penelitian – penelitian kuantitatif terhadap
transisi termal dalam polimer.Dalam metode DSC dan DTA suatu sampel polimer
dan referensi inert dipanaskan biasanya dalam atmosfer nitrogen dan kemudian
transisi – transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Pemegang
sampel yang paling umum dipakai adalah cawan aluminium sangat kecil dan
referensinya berupa cawan kosong atau cawan yang mengandung bahan inert
dalam daerah termperatur yang diinginkan misalnya alumina bebas air. Ukuran
sampel bervariasi dari sekitar 0,5 sampai sekitar 10 mg. meskipun kedua metode
memberikan tipe informasi yang sama dan dicatat perbedaan temperatur (ΔT)
Antara keduanya. Ketika terjadi suatu transisi dalam sampel tersebut, misalnya
reaksi transisi gelas atau reaksi ikat silang, temperature sampel akan tertinggal
dibelakang temperatur referensi

jika transmisi tersebut endotermik dan akan

mendahului jika transmisi tersebut eksotermik. Dengan DSC sampel dan referensi
diberikan dengan pemanasnya sendiri–sendiri dan energi diberikan untuk menjaga
suhu–suhu sampel dan referensi tetap konstan.

Keuntungan utama DSC ialah bahwa luas area–area peak termogram
berkaitan langusng dengan perubahan entalphi dalam sampel, oleh karenanya bisa
dipakai untuk pengukuran – pengukuran kapasitas panas, panas fusi, entalphi
reaksi dan sejenisnya (Steven, 2007).

Eksoterm

Oksidasi

∆T

Kristalisasi

Endoterm

Leleh
Transisi Gelas
Dekomposisi

Temperatur

Gambar 2.7 Pola Umum Kurva DSC

Fenomena-fenomena yang digambarkan oleh kurva diatas yaitu transisi
orde pertama memberikan puncak yang sempit. Transisi ini diakibatkan oleh
konfigurasi struktur. Transisi orde kedua atau transisi gelas menggambarkan
perubahan yang curam dan kurva transisi ini memperlihatkan perubahan yang
curam dan kurva transisi ini memperlihatkan perubahan sifat fisika polimer dari
kaca menjadi kenyal. Reaksi kimia seperti polimerisasi, oksidasi dan ikatan silang
menghasilkan puncak yang lebar.

2.12.4 Thermogravimetri Analysis

Pengujian kestabilan bahan polimer dengan menggunakan Thermogravimetri
Analysis (TGA) merupakan suatu teknik mengukur perubahan jumlah dan laju
berat dari material sebagai fungsi dari temperatur atau waktu dalam atmosfer yang
terkontrol. Pengukuran digunakan untuk menentukan komposisi material dan
memprediksikan stabilitas termalnya pada temperatur mencapai 1000 0C. Teknik
ini dapat mengkarakterisasi material yang menunjukkan kehilangan atau
pertambahan berat akibat dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi.

Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari
suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa
rekaman diagram yang kontinyu. Sampel yang digunakan, dengan berat beberapa
milligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1-20

0

C/menit,

mempertahankan berat awalnya (Wi) sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti.
Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range
suhu tertentu.

2.12.5 Scanning Electron Microscopy

Scanning electron mikroscopy merupakan suatu alat yang dapat menggambarkan
bentuk suatu bayangan pada permukaan suatu benda, struktur permukaan dari
pada benda yang diuji dengan SEM berfungsi untuk mempelajari struktur
pemukaan itu secara langsung.

Pada dasarnya alat ini berkerja dengan menggunakan sinyal yang
dihasilkan dari elektron yang untuk dipantulkan atau dengan kata lain berkas sinar
elektron sekunder. SEM menggunakan prinsip scanning dengan prinsip utamanya
ialah suatu berkas elektron diarahkan dari satu titik ke titik yang lain pada
permukaan suatu spesimen.

Jika seberkas elektron ditembakan pada suatu permukaan spesimen maka
sebagian dari pada elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian yang
lainnya akan diteruskan. Jika permukaan spesimen ditembakkan tidak rata,
banyak lekukan, lipatan ataupun lubang – lubang maka tiap bagian permukaan itu
akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda dan jika
ditangkap oleh detektor akan diteruskan ke layar dan akan diperoleh gambaran
yang jelas dari permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi (Nur, 1997).