Gambaran Karakteristik Penderita Meningiits Tuberkulosis Yang dirawat Di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Haji Adam Malik periode 2011-2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Meningitis Tuberkulosis

2.1.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intraselular

patogen


pada

hewan dan

manusia.

Selain Mycobacterium

tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti
(Chan, 2006).

2.1.2 Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB
menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk
tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak,
persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB (Gwendolyn, 2013). Dari


keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan
penderita yang selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis substansial
termasuk keterlambatan perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan
kelumpuhan saraf kranial (Ruslami, 2013).
Meningitis

tuberkulosis

menyerang

0,3%

anak

yang

menderita

tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis

berkisar antara 10-20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien
yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual (Pusponegoro, 2009).

Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada
orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB (Principi, 2012). Di Indonesia,
meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis
pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi
dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian
tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang
ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada
umur dibawah 3 bulan (Rahajoe, 2005).
Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi
yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis
tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam
kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
jumlah pasien


tuberkulosis

dewasa.

Walaupun

bukan

negara

endemis

tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberkulosis
(Fenichel, 2005).

2.1.3 Etiologi
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis
merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis.
Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak

(Kahan, 2005).
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi
Kategori










Bakteri

Virus





Jamur

Agen
Pneumococcus
M eningococcus
Haemophilus influenza
St aphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
M ycobacterium tuberculosis

Enterovirus
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris

Sumber : Kahan, 2005
2.1.4 Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah (Tai, 2013) :
1.


Usia (anak-anak > dewasa )

2.

Koinfeksi-HIV

3.

Malnutrisi

4.

Keganasan

5.

Penggunaan agen imunosupresif

2.1.5 Klasifikasi

Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat
diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas :

Tabel. 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis
Stage I
Stage II
Stage III

Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis.
Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti kelumpuhan
saraf kranialis atau hemiparesis.
Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat

Sumber : emedicine.medscpae.com
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).


Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak
Sumber : Schuenke, M., et al. 2007. Atlas of Head and
Neuroanatomy.
1st ed. United of States of America : Thieme.
Lapisan Luar (Dura mater)

Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit,
ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim
(Drake, 2015).

Lapisan Tengah (Araknoid)
Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan
dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan
piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi
cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini

membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang
subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan
ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng
seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya,
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid
menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus
venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke
dalam darah dari sinus venosus (Drake, 2015).

Lapisan Dalam (Pia mater)
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan

membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng

yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.
(Drake, 2015).
Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal
Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga
dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh
epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel
pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh
ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang
perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid.
Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan
proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua sampai
lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari
sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama
untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses
absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel
menimbulkan

keadaan

yang

disebut

hidrosefalus,

yang

mengakibatkan

pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan
kelemahan otot (Scanlon, 2007).

Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis
Meningitis

tuberkulosis

terjadi akibat penyebaran infeksi secara

hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2
tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran
basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen
dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus
kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung
masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer (Schlossberg, 2011) .
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk
kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid
parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan
dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan
dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt,
dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan
meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen,
kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir
dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi (Schlossberg,
2011).
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater
dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2006).

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberculosis :
1.

Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai
dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma
dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami
kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI,
kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan
strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya
permanen (Frontera, 2008).

2.

Vaskulitis
Vaskulitis

dengan

trombosis

dan

infark

pembuluh

darah

kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di
dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna,
maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa
pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak

tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang
sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya
flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005).
3.

Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Albert, 2011).

2.1.7

Manifestasi Klinis
Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.

Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis
TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003).
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan (Cavendish, 2011).

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium
(Anderson, 2010) :
1.

Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut,
sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.

2.

Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.

3.

Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma.
Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga
minggu.

2.1.8

Diagnosis
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :

2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu

makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran
adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa (Gleadle, 2007).
2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009).
Yaitu sebagai berikut :
1.

Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda

kaku kuduk positif (+) bila didapatkan

kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.
2.

Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

3.

Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa
yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga
dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan fleksi
kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua
tungkai secara reflektorik.

4.

Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada
sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski
II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter
padasendi panggul dan lutut kontralateral.

5.

Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III
positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.

6.

Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari
tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila
terjadi flexi involunter extremitas inferior.

7.

Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam
keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan
sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada
lansia.

2.8.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis
yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak

kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes
Mantoux dinyatakan positif

apabila diameter indurasi > 10 mm (Kliegman,

2011).
Tabel 2.3. Hasil Uji Mantoux
1.

Pembengkakan (Indurasi)

0-4mm,uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosis.

2.

Pembengkakan (Indurasi)

3-9mm,uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypical atau
setelah vaksinasi BCG.

3.

Pembengkakan (Indurasi)

≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.

Sumber : Levin, 2009

2.8.1.4 Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1.

Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.

2.

Lumbal Pungsi

Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah
tindakan memasukkan jarum lumbal pungsi ke dalam kandung dura
lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil cairan
serebrospinal (Haldar, 2009).
Tabel 2.4. Hasil Analisa Cairan Serebrospinal
Agent

Opening
Pressure
(mm H2 O)

Tuberculou 180-300
s meningitis

Normal
values

80-200

WBC count
(cells/µL)

Glucose
(mg/dL)

Protein
(mg/dL)

100-500;

Reduced,
< 40

Elevated Acid-fast bacillus
, >100
stain, culture, PCR

50-75

15-40

Lymphocyte
s
0-5;
lymphocytes

Microbiology

Negative findings on
workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =
polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Sumber : Haldar, 2009
2.1.8.5 Pemeriksaan Radiologis
1.

Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi
sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena kemungkinan
adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada penderita
dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran
tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadangkadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran
rontgen toraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa
meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011).

2.

Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya
dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya
hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala
pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal
penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit, gambaran yang sering
ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda dema otak atau
iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan
tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus (kliegman, 2011).

2.8.1.6 Pemeriksaan Gene Xpert
Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat mengetahui
apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang yang
memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin. Bertentangan
dengan tes yang ada saat ini, ia bekerja pada tingkat molekuler untuk
mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak
menggunakan mikroskop tapi semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes
ini juga disebut Xpert MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan rifampisin).
Gene Xpert adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis dalam sampel dahak. Seseorang yang diduga menderita TB perlu
memberikan contoh dahak, dalam tabung kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan
ke dalam mesin, dan kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat apakah
sampel mengandung bakteri TB. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA)
spesifik untuk bakteri TB. Jika ada bakteri TB dalam sampel, mesin akan
mendeteksi DNA mereka dan secara otomatis kalikan. Teknik ini disebut PCR
(polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk juga melihat struktur gen.

Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan resistensi
terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string panjang
warna yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari perubahan warna jika ada
mutasi pada DNA, maka bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB tertentu.
Gene Xpert dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling
umum, rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal yaitu,
apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut telah dapat
diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat dan hanya membutuhkan waktu
sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB lainnya (Farrar, 2014).
2.8.1.7 Sistem Skoring TB Anak

Tabel 2.5. Skoring TB Anak
GEJALA
Kontak TB

0
Tidak jelas

1
-

2
Laporan
keluarga

3
BTA (+)

BTA (-) /
tidak tahu
Uji Tuberkulin

Negatif

Berat Badan/
Keadaan Gizi

-

Positif (≥ 10mm
atau ≥ 5mm
pada
imunokompromasis)

-

-

BB/TB