Gambaran Karakteristik Penderita Meningiits Tuberkulosis Yang dirawat Di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Haji Adam Malik periode 2011-2014

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Curriculum Vitae

Data Peribadi

Nama : Purushothaman Ramalingam

Tempat/Tanggal Lahir : Selangor / 8 Desember 1993

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jl Jamin Ginting, Gang Purba

No 488 Medan

Nomor Telpon : +62 87769042336

Orang Tua : Ramalingam/ Silvarani

Riwayat Pendidikan : 1. Fakultas Kedoktekran Universitas Sumatera Utara

2. Geomatika College International 3. SMK Jalan Reko Kajang

4. SRJK Tamil Kajang

Riwayat Organisasi : Ahli Persatuan Kebangsaan Pelajar - pelajar Malaysia Indonesia - Cawangan Medan (PKPMI-CM)


(2)

(3)

No Umur Jenis Kelamin

Sosioekonomi Orang Tua

Status

Imunisasi Skor Tb

Skor GCS

Tindakan

Lumbal Pungsi Mortalitas

1 1-5 TAHUN LELAKI

SANGAT

TINGGI POSITIF POSITIF RINGAN

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 2 1-5 TAHUN LELAKI TINGGI POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 3 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN PAPS 4

11-15TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 5 1-5 TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 6 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 7

16-18TAHUN LELAKI TINGGI POSITIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN DIPULANGKAN 8

11-15TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 9 6-10TAHUN PEREMPUAN

SANGAT

TINGGI POSITIF POSITIF RINGAN

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 10 6-10TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 11 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN DIPULANGKAN 12 1-5 TAHUN LELAKI SEDANG POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 13 1-5 TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 14 6-10TAHUN LELAKI RENDAH POSITIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 15

11-15TAHUN LELAKI

SANGAT

TINGGI POSITIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 16 6-10TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN DIPULANGKAN 17 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 18 6-10TAHUN PEREMPUAN SEDANG NEGATIF POSITIF RINGAN

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 19 1-5 TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 20 6-10TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN PAPS 21 1-5 TAHUN LELAKI

SANGAT

TINGGI POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 22 6-10TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 23

11-15TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN MENINGGAL 24 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH POSITIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 25 6-10TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN DIPULANGKAN 26


(4)

27 1-5 TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 28 6-10TAHUN PEREMPUAN TINGGI POSITIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN PAPS 29

11-15TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 30 1-5 TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 31 6-10TAHUN PEREMPUAN RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 32 11-15THUN LELAKI RENDAH POSITIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 33 1-5 TAHUN LELAKI SANGAT TINGGI POSITIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN PAPS 34 1-5 TAHUN PEREMPUAN SEDANG POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 35 6-10TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 36

16-18TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN PAPS 37 6-10TAHUN PEREMPUAN TINGGI POSITIF POSITIF RINGAN

TIDAK

DILAKUKAN DIPULANGKAN 38

16-18TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF BERAT DILAKUKAN MENINGGAL 39 1-5 TAHUN LELAKI SEDANG POSITIF POSITIF KOMA DILAKUKAN MENINGGAL 40

16-18TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG DILAKUKAN DIPULANGKAN 41

16-18TAHUN PEREMPUAN TINGGI POSITIF POSITIF BERAT DILAKUKAN PAPS 42

11-15TAHUN LELAKI RENDAH NEGATIF POSITIF SEDANG

TIDAK


(5)

FREQUENCIES

JENIS KELAMIN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid LELAKI 24 57.1 57.1 57.1

PEREMPUAN 18 42.9 42.9 100.0

Total 42 100.0 100.0

UMUR

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1-5 16 38.1 38.1 38.1

6-10 12 28.6 28.6 66.7

11-15 8 19.0 19.0 85.7

16-18 6 14.3 14.3 100.0

Total 42 100.0 100.0

SOSIOEKONOMI ORANG TUA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid RENDAH 27 64.3 64.3 64.3

SEDANG 4 9.5 9.5 73.8

TINGGI 6 14.3 14.3 88.1

SANGAT TINGGI

5 11.9 11.9 100.0


(6)

RIWAYAT IMUNISASI BCG

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid IMUNISASIKAN 18 42.9 42.9 42.9

TIDAK

IMUNISASIKAN

24 57.1 57.1 100.0

Total 42 100.0 100.0

SKOR TB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid >6 42 100.0 100.0 100.0

SKOR GCS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid RINGAN

14-15

4 9.5 9.5 9.5

SEDANG 9-13 16 38.1 38.1 47.6

BERAT 5-8 12 28.6 28.6 76.2

KOMA < 5 10 23.8 23.8 100.0

Total 42 100.0 100.0

TINDAKAN LUMBAL PUNGSI

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid DILAKUKAN 31 73.8 73.8 73.8

TIDAK DILAKUKAN

11 26.2 26.2 100.0


(7)

MORTALITAS

Frequency

Perce

nt Valid Percent

Cumulative Percent

Valid MENINGGAL 17 40.5 40.5 40.5

DIPULANGK AN

14 33.3 33.3 73.8

DIPAKSA PULANG

11 26.2 26.2 100.0

Total 42 100.0 100.0

CROSSTABS

RIWAYAT IMUNISASI BCG * SOSIOEKONOMI Crosstabulation

SOSIOEKONOMI

Total RENDAH SEDANG TINGGI

SANGAT TINGGI RIWAYAT

IMUNISASI BCG

IMUNISASIKAN Count 4 3 6 5 18 % within

SOSIOEKON OMI

14.8% 75.0% 100.0% 100.0% 42.9%

TIDAK

IMUNISASIKAN

Count 23 1 0 0 24

% within SOSIOEKON OMI

85.2% 25.0% .0% .0% 57.1%

Total Count 27 4 6 5 42

% within SOSIOEK ONOMI

100.0% 100.0% 100.0 %


(8)

Statistics UMUR JENIS KELAMIN SOSIO EKONOMI ORANG TUA STATUS IMUNISASI BCG SKOR TB SKOR GCS TINDAKAN LUMBAL

PUNGSI MORTALITAS

N Valid 42 42 42 42 42 42 42 42

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.10 1.43 1.74 1.57 2.00 2.67 1.26 1.86 Median 2.00 1.00 1.00 2.00 2.00 3.00 1.00 2.00

Mode 1 1 1 2 2 2 1 1

Std. Deviation 1.078 .501 1.106 .501 .000 .954 .445 .814 Variance 1.161 .251 1.222 .251 .000 .911 .198 .662

Range 3 1 3 1 0 3 1 2

Minimum 1 1 1 1 2 1 1 1

Maximum 4 2 4 2 2 4 2 3

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

UMUR 42 1 4 2.10 1.078

JENIS KELAMIN 42 1 2 1.43 .501

SOSIOEKONOMI ORANG TUA

42 1 4 1.74 1.106

STATUS IMUNISASI BCG 42 1 2 1.57 .501

SKOR TB 42 2 2 2.00 .000

SKOR GCS 42 1 4 2.67 .954

TINDAKAN LUMBAL PUNGSI 42 1 2 1.26 .445

MORTALITAS 42 1 3 1.86 .814


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, N.E., 2010. Neurological and systemic complications of tuberculous meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. Journal of Clinical Neuroscience, [Online]. 17, 1114-1118. Available at: http://www.jocn-journal.com/article/S0967-5868%2810%2900136-0/pdf [Accessed 30 April 2015].

Andersen, Peter, 2014. Novel Vaccination Strategies against Tuberculosis. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, [Online]. 4, 1-20. Available at:http://perspectivesinmedicine.cshlp.org/content/4/6/a018523.full.pdf [Accessed 20 May 2015].

Albert , Martin L., 2011. Clinical Neurology of Aging. 3rd ed. United States of America: Oxford University Press.

Anggraini, A., 2011. 293 Sari Pediatri, Vol. 13, No. 4, Desember 2011 Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-18 bulan yang Menderita Kejang Demam Pertama. Sari Pediatri, [Online]. 13 (4), 293-298. Available at: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-4-11.pdf [Accessed 23 November 2015].

Aktar, F, 2015. Clinical, radiological and laboratory findings in 185 children with tuberculous meningitis at a single centre and relationship with the stage of the disease. Italian Journal of Pediatrics, [Online]. 41 (75), 1-6. Available at: http://www.ijponline.net/content/pdf/s13052-015-0186-7.pdf [Accessed 17 November 2015].

Cavendish, Marshall, 2011. Diseases, Disorders and Injuries. 1st ed. Malaysia: Marshall Cavendih Reference.

Chan, Voon L., 2006. Baterial Genomes and Infectious Diseases. 1st ed. United States of America: Humana Press.


(10)

Caroline, B., 2009. Twenty years of pediatric tuberculos meningitis. Journal of American Academy of Pediatrics, [Online]. 123 (1), e1- e8. Available at: http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/123/1/e1.full.pdf [Accessed 05 November 2015

Daulay, Ridwan M., 2004. The relation of BCG vaccination and severe malnutrition with the occurrence of tuberculous meningitis. Paediatrica Indonesiana, [Online].44, 12-16. Available at:

http://paediatricaindonesiana.org/pdffile/44-1-2-3.pdf [Accessed 29 March 2015].

Drake, Richard L., 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill Livingstone Elsevier.

Dewi, Rismala, 2011. Perbandingan Full Outline of Unresponsiveness Score dengan Glasgow Coma Scale dalam Menentukan Prognostik Pasien Sakit Kritis. Sari Pediatri, [Online]. 13 (3), 215-220. Available at:

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-3-10.pdf [Accessed 18 November 2015].

Eisenhut, M., 2014. Effect of BCG vaccination against Mycobacterium tuberculosis infection in children. British Medical Journal, [Online]. 349, 1-11. Available at: http://www.bmj.com/content/bmj/349/bmj.g4643.full.pdf [Accessed 01 April 2015].

Fenichel , GM., 2005. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia: Elvesier saunders.

Frontera, Walter R., 2008. Essential of physical medicine. 2nd ed. Canada: Saunders Elsevier.


(11)

Farrar, Jeremy, 2014. Evaluation of GeneXpert MTB/RIF for Diagnosis of Tuberculous Meningitis. Journal of Clinical Microbiology ,

[Online]. 52 (1), 226-233. Available at:

http://jcm.asm.org/content/52/1/226.full.pdf/ [Accessed 07 May 2015]. Gwendolyn, Gilbert, 2013. Diagnosing tuberculous meningitis. Tropical Medicine

and International Health, [Online]. 18 (6) , 783-793. Available at:

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/tmi.12099/epdf [Accessed 06 May 2015].

Gleadle, Jonathan, 2007. History and Examination at a Glance. 1st ed. United States of America: Blackwell Science Limited.

Gabriela, Juganariu, 2015. Tuberculous Meningitis in Children. PLOS One, [Online]. 10 (7), 1-10. Available at:

http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0133477 [Accessed 15 November 2015].

Heemskerk, Dorothee, 2011. Intensified treatment with high dose Rifampicin and Levofloxacin compared to standard treatment for adult patients with Tuberculous Meningitis. Trials journal, [Online]. 12, 1-11. Available at: http://www.trialsjournal.com/content/12/1/25 [Accessed 28 April 2015]. Haldar, Sagarika, 2009. Efficient diagnosis of tuberculous meningitis by detection

of Mycobacterium tuberculosis DNA in cerebrospinal fluid filtrates using PCR. Journal of Medical Microbiology, [Online]. 58, 616-624. Available at: http://jmm.sgmjournals.org/content/58/5/616.full.pdf+html [Accessed 27 April 2015].


(12)

International Society of Pediatric Neurosurgery. 2015. Tuberculosis of the Central Nervous System in Children Homepage. [ONLINE] Available at: http://ispn.guide/book/ispn-guide-pediatric-neurosurgery/infections.

[Accessed 06 May 15].

Kahan, Scott, 2005. Neurology . 1st ed. United States of America: Blackwell publishing.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil kesehatan Indonesia . [ONLINE] Available at: [Accessed 30 March 15].

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf.

Kliegman, Robert M., 2011. Nelson Text Book of Pediatrics. 19th ed. United States of America: Elsevier Saunders.

Levin, Myron J., 2009. Current Diagnosis & Treatment. 19th ed. United States of America: Mc Graw Hill.

Lisa, 2013. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Tahun 2013. Pascasarjana. Indonesia: Universitas Udayana

Menkes, John H, 2006. Child Neurology. 7th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta .


(13)

Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Master. Medan: University of Sumatera Utara.

Naufal, Farisatrianto, 2015. Prevalensi overdiagnosis TB anak berdasarkan sistem skor TB anak dan faktor yang mempengaruhinya di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan . Degree. Jakarta: Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah.

Principi, Nicola , 2012. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Tuberculosis Journals, [Online]. 92 (5), 377-383. Available at: http://www.tuberculosisjournal.com/article/S1472-9792(12)00129-1/pdf [Accessed 01 May 2015].

Pusponegoro, Hardiono D. , 2009. Pelayanan Pelayanan Medis. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indoensia.

Ruslami, Rovina, 2013. Intensified regimen containing rifampicin and moxifloxacin for tuberculous meningitis: an open-label, randomised controlled phase 2 trial. Lancet Infectious Disease, [Online]. 13 (1), 27-35. Available at:

http://www.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473-3099(12)70264-5 .pdf [Accessed 01 May 2015].

Rahajoe , N., 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 1st ed. Jakarta: Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI.

Robert, J., 2015. Impact of the BCG vaccination policy on tuberculous meningitis in children under 6 years in metropolitan France between 2000 and 2011. Eurosurveillance, [Online]. 20 (11), 21-25. Available at:

http://www.eurosurveillance.org/images/dynamic/EE/V20N11/art21064.pdf [Accessed 12 November 2015].


(14)

Rehman, A., 2014. Age related clinical manifestations of acute bacterial meningitis in children . Journal of Pakistan Medical Association, [Online]. 64 (3), 296-299. Available at:

http://ecommons.aku.edu/pakistan_fhs_mc_emerg_med/41 [Accessed 10 November 2015].

Sarah, Kharisma, 2015. Gambaran Karakteristik tuberkulosis berdasarkan sistem skoring anak. Seminar Penelitian Sivitas Akademia Unisba (kesehatan), [Online]. 1 (2), 874-879. Available at:

http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/dokter/article/download/1490/pdf [Accessed 20 November 2015]

Schlossberg, David, 2011. Tuberculosis. 5th ed. United States of America: American Society of Microbilogy.

Scanlon, Valerie C., 2015. Essentials of Anatomy and Physiology. 7th ed. New York ,Unitd States of America: FA. Davids Company.

Schwartz, M. William, 2005. Clinical Handbook of Pediatrics. 1st ed. Unitd States of America: Williams & Wilkins.

Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. 7th ed. Jakarta: Dian Rakyat.

Saragih, Rosita, 2011. Tingkat pengetahuan Ibu pemberian tentang Imunisasi dasar pada bayi di Puskesmas Polonia . Master. Medan : Universitas Darma Agung.

Triasih, Rina, 2011. Limitations of the Indonesian Pediatric Tuberculosis Scoring System in the context of child contact investigation. Paediatrica Indonesiana, [Online]. 51(6), 332-7. Available at:

http://paediatricaindonesiana.org/pdffile/51-6-6.pdf [Accessed 13 April 2015].


(15)

Tai, M.L.S., 2013. Tuberculous Meningitis: Diagnostic and Radiological Features, Pathogenesis and Biomarkers. Neuroscience & Medicine, [Online]. 4, 101-107. Available at : http : //dx.doi.org/10.4236/nm.2013.42016 [Accessed 30 April 2015].

Thomas, SV., 2011. Central nervous system tuberculosis. African Health Sciences , [Online]. 11(1), 116 - 127. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3092316/pdf/AFHS1101-0116.pdf [Accessed 12 May 2015].

Warrell, David A., 2005. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. United States of America: Oxford University Press New York.

Wang, Chun, 2012. Immunogenicity and Protective Efficacy of a Novel Recombinant BCG Strain Overexpressing Antigens Ag85A and Ag85B. Journal of Immunology Research, [Online]. 2012, 1-9. Available at: http://dx.doi.org/10.1155/2012/563838 [Accessed 06 May 2015].

Whitley, Richard J., 2014. Infections of Central Nervous System . 4th ed. China: Lippincott Williams &Wilkins.

Widhiani, A., 2011. Koinfeksi tuberkulosis dan Hiv pada anak. Sari Pediatri, [Online]. 13 (1), 55-61. Available at:

http://www.saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-1-9.pdf [Accessed 03 November 2015].

World Health Organization. 2014. World Health Statistics 2012. [ONLINE] Availabel at:

http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2012/en/. [Accessed 03 May 15].


(16)

World Health Organization. 2015. World Tuberculosis Day. [ONLINE] Available at: http://www.who.int/campaigns/tb-day/2015/event/en/.


(17)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita meningitis tuberkulosis anak di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2011 - 2014.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak

3.2. Definisi Operasional

Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak.

- Umur

- Jenis Kelamin

- Sosio Ekonomi Orang Tua

- Skor TB

- Riwayat Imunisasi BCG - Skor Glasgow Coma Scale - Tindakan Lumbal Pungsi - Mortalitas


(18)

Definisi operasional sangat dibutuhkan untuk membatasi ruang atau pengetian variabel-variabel penelitian dan akan memudahkan untuk mengukurnya. Definisi operasional variabel adalah rumusan pengertian variabel-variabel yang diamati, diteliti dan berikan batasan.

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikutnya : a. Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak. BCG

adalah vaksinasi untuk mencegah infeksi tuberkulosis dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

b. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini mencakup, umur, jenis kelamin penderita, sosioekonomi orang tua, TB skor penderita dan riwayat imunisasi BCG penderita, skor GCS, tindakan lumbal pungsi dan mortalitas.

1. Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Umur penderita disesuaian dengan yang tercatat pada rekam medis dikelompokkan atas :

I. 0- 5 tahun

II. 6-10 tahun III. 11-14 tahun IV. 15-18 tahun

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Ordinal

2. Jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan, sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis.


(19)

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Nominal

3. Pendapatan yang diterima oleh orang tua penderita meningitis tuberkulosis anak sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas :

I. Sangat tinggi : > Rp.3500.000

II. Tinggi : Rp. 2.500.000 - Rp. 3.500.000 III. Sedang : Rp. 1.500.000 - Rp. 2.500.000 IV. Rendah : < Rp. 1.500.000

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Ordinal

4. Riwayat imunisasi BCG pada penderita meningitis tuberkulosis anak sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis.

I. Positf : Diimunisasikan

II. Negatif : Tidak diimunisasikan

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Nominal

5. Skor TB pada penderita meningitis tuberkulosis anak sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis.


(20)

I. Positif : Skor Tb ≥ 6.

II. Negatif : Skor adalah 5 dan ke bawah. Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Ordinal

6. Skor Glasgow Coma Scale pada penderita meningitis tuberkulosis sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, seperti berikut : I.Ringan : 14-15

II. Sedang : 9-13 III. Berat : 5-8

IV. Koma : < 5

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Nominal

7. Dilakukan atau tidak tindakan lumbal pungsi pada penderita meningitis tuberkulosis sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis.

I.Dilakukan lumbal pungsi

II. Tidak dilakukan lumbal pungsi

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Ordinal


(21)

yang tercatat pada rekam medis, seperti berikut : I.M eninggal

II. Dipulangkan III. Pulang paksa

Cara pengukuran : Mengumpul dan mencatat data

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase


(22)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional retrospektif. Deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau frekuensi serta distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu. Penelitian Cross sectional dilakukan dengan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat yang tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik penderita meningitis tuberkulosis yang dirawat di rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan karena rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik.

4.2.2 Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah berlangsung setelah pembuatan proposal yaitu dari bulan September 2015 hingga Nopember 2015.


(23)

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah penderita yang didiagnosa dengan meningitis tuberkulosis anak RSUP Haji Adam Malik Medan dari bulan Januari 2011 sehingga Desember 2014.

4.3.2 Sampel Penelitian a. Kriteria inklusi

Dari kriteria inklusi, yang diambil sebagai data adalah penderita yang sudah didiagnosis meningitis tuberkulosis anak pada rentang usia 0-18 tahun yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2011- 2014.

b. Kriteria Eksklusi

Dari kriteria ekslusi adalah penderita yang memenuhi kriteria inklusi namun memiliki data yang tidak lengkap dalam rakam medis yaitu data-data yang diperlukan untuk ditabulasi seperti jenis kelamin, umur, sosio ekonomi orang tua, riwayat imunisasi BCG dan Tb skor, skor GCS, tindakan lumbal pungsi, mortalitas.

4.3.3. Besar Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling.


(24)

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data mengenai penderita meningitis tuberkulosis dari Januari 2011 sampai Desember 2014 di RSUP Haji Adam Malik dikumpul dari data sekunder yaitu rekam medis. Setelah selesai, peneliti akan mendapatkan surat selesai penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan program komputer dan ditampilkan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi dan dilakukan pembahasan sesuai dengan pustaka yang ada.

4.6 Etika Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari Institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(25)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik perintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di pusat kota Medan Indonesia. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A. Berdasarkan SK MenKes RI No. HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal 17 Oktober 2014. Tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional, RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan salah satu rumah sakit di bagian Regional Barat yang merupakan Rumah Sakit Rujukan Nasional. Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan ini juga merupakan jenis Rumah Sakit Pendidikan, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dapat menggunakannya sebagai Pusat Pendidikan Klinik calon dokter dan pendidikan keahlian sehingga peneliti dapat melakukuan penelitian di bidang kesehatan di rumah sakit ini.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 42 penderita Meningitis Tuberkulosis Anak yang dirawat di RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2011-2014. Pada tahun 2011 didapati 10 orang menderita meningitis tuberculosis. Pada tahu 2012, didapati bilangan kasus terbanyak yaitu 13 penderita. Sedangkan, pada tahun 2013 didapati bilangan kasus paling rendah yaitu sebanyak 8 penderita selama periode 2011-2014. Pada tahun 2014, sebanyak 11 orang dilaporkan menderita meningitis tuberculosis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Karakteristik sampel pada penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :


(26)

5.1.2.1. Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan

Tabel 5.1. Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan

Karakteristik Jumlah ( n = 42 ) Jenis Kelamin Laki-laki 24 Perempuan 18 Kelompok Umur

1-5 tahun 16

6-10 tahun 12

11-15 tahun 8

16-18 tahun 6

Sosioekonomi Keluarga Rendah 27 Sedang 4 Tinggi 6

Sangat Tinggi 5

Riwayat imunisasi BCG

Imunisasikan 18

Tidak diimunisasikan 24

Skor TB

≥ ≥ - positif 42

Skor GCS

Ringan 14-15 4

Sedang 9-13 16

Berat 5-8

12

Koma < 5 10

Tindakan Lumbal Pungsi Dilakukan

31

Tidak dilakukan 11

Mortalitas Meninggal 17 Dipulangkan 14 Dipaksa pulang 11


(27)

5.1.2.2. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 24 57,1

Perempuan 18 42,9

Jumlah 42 100,0

Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita yang dirawat adalah pada laki-laki yaitu sebanyak 24 penderita (57,1%) sedangkan perempuan sebanyak 18 penderita (42,9%).

5.1.2.3. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 5.3. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Kelompok Umur

Umur (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)

1-5 tahun 16 38,1

6-10 tahun 12 28,6

11-15 tahun 8 19,0

16-18 tahun 6 14,3


(28)

Dari tabel 5.3 dapat diketahui bahwa frekuensi tertinggi penderita yang dirawat adalah pada kelompok umur 1-5 tahun yaitu sebanyak 16 penderita (38,1%) dan diikuti oleh kelompok umur 6-10 tahun yaitu sebanyak 12 penderita (28,6%). Pada kelompok umur 11-15 tahun didapati 8 penderita (19,0%) dan frekuensi terendah penderita yang dirawat adalah kelompok umur 16-18 tahun yaitu sebanyak 6 penderita (14,3%).

5.1.2.4. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Sosioekonomi Keluarga

Tabel 5.4. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Sosioekonomi Keluarga

Sosioekonomi Orang Tua Frekuensi (n) Persentase (%)

Rendah 27 64,3

Sedang 4 9,5

Tinggi 6 14,3

Sangat Tinggi 5 11,9

Jumlah 42 100,0

Dari tabel 5.4 frekuensi tertinggi didapati pada kelompok sosioekonomi orang tua yang rendah yaitu sebanyak 27 penderita (64,3%), diikuti oleh kelompok sosioekonomi tinggi yaitu 6 orang penderita (14.3%). Pada kelompok sosioekonomi sedang dan sangat tinggi didapati 4 penderita (9.5%) dan 5 penderita (11,9%) masing-masing.


(29)

5.1.2.5. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Riwayat Imunisasi BCG

Tabel 5.5. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Riwayat Imunisasi BCG

Riwayat Imunisasi BCG Frekuensi (n) Persentase (%)

Riwayat imunisasi positif 18 42,9

Riwayat imunisasi negatif 24 57,1

Jumlah 42 100,0

Dari tabel 5.5 didapati sebanyak 18 penderita (42.9%) telah mendapat imuisasi BCG sebelumnya dan 24 penderita (57.1%) tidak mendapat imunisasi BCG sebelumnya.


(30)

5.1.2.6. Distribusi Riwayat Imunsasi BCG Berdasarkan Sosioekonomi Orang Tua Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak

Tabel 5.6. Distribusi Riwayat Imunsasi BCG Berdasarkan Sosioekonomi Orang Tua Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak

Variabel

Sosioekonomi Orang Tua

Rendah n (%) Tinggi Sangat Tinggi

Jumlah

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Riwayat Imunisasi BCG Positif

4 (14,8) 5 (100,0) 6 (100,0) 5 (100,0) 18 (42,9)

Riwayat Imunisasi BCG Negatif

23 (85,2) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 24 (57,1)

Jumlah 27

(100,0)

4 (100,0) 6 (100,0) 5 (100,0) 42 (100,0)

Dari tabel 5.6 didapati sebanyak 23 penderita (85,2%) yang tidak imunisasi vaksin BCG yang mempunyai orang tua sosioekonomi yang rendah. Semua penderita yang mempunyai sosioekonomi orang tua yang sangat tinggi menerima imunisasi vaksin BCG yaitu sebanyak 5 penderita (100,0%).


(31)

5.1.2.7. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor TB

Tabel 5.7. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor TB

Skor TB Frekuensi (n) Persentase (%)

≥ 6 – Positif 42 100,0%

Jumlah 42 100,0

Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa semua penderita meningitis tuberkulosis yang dirawat yaitu 42 penderita (100%) mempunyai skor TB melebihi ≥ 6.

5.1.2.8. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor GCS

Tabel 5.8. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor GCS

Skor GCS Frekuensi (n) Persentase (%)

Ringan 14-15 4 9,5

Sedang 9-13 16 38,1

Berat 5-8 12 28,6

Koma <5 10 23,8


(32)

Dari tabel 5.8 didapati bahwa frekuensi tertinggi skor GCS sedang yaitu sebanyak 16 penderita (38,1%) dan dikuti oleh skor GCS berat yaitu sebanyak 12 penderita (28,6%). Frekuensi skor GCS koma adalah sebanyak 10 penderita (23,8%) manakala frekuensi skor GCS yang ringan adalah sebanyak 4 penderita (9,5%).

5.1.2.9. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Tindakan Lumbal Pungsi

Tabel 5.9. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Tindakan Lumbal Pungsi

Tindakan Lumbal Pungsi Frekuensi (n) Persentase (%)

Dilakukan 31 73,8

Tidak Dilakukan 11 26,2

Jumlah 42 100,0

Dari tabel 5.9 didapati sebanyak 31 penderita (73,8%) telah dilakukan tindakan lumbal pungsi manakala sebanyak 11 penderita (26,2%) tidak dilakukan tindakan lumbal pungsi.


(33)

5.1.2.10. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Mortalitas

Tabel 5.10. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Mortalitas

Mortalitas Frekuensi (n) Persentase (%)

Meninggal 17 40,5%

Dipulangkan 14 33,3%

Pulang Atas Permintaan Sendiri 11 26,2%

Jumlah 42 100,0

Berdasarkan tabel 5.10 dapat dilihat bahwa sebanyak 17 penderita (40,5%) telah meninggal dunia sedangkan sebanyak 14 penderita (33,3%) dipulangkan. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri mempunyai jumlah terendah yaitu 11 penderita (26,2%).


(34)

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP Haji Adam Malik, Medan dari tahun 2011-2014, diperoleh mengenai karakteristik penderita meningitis tuberkulosis anak. Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan dijabarkan sebagai berikut.

Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa penyakit meningitis tuberkulosis sering diderita oleh laki-laki yaitu sebanyak 24 penderita (57,1%), sedangkan bilangan perempuan adalah 18 penderita (42,9%). Hal yang sama dilaporkan oleh Gabriela (2015) dalam penelitiannya di mana daripada 100 anak yang menderita meningitis tuberkulosis, 47 (61,0%) adalah lelaki dan 30 (39,0%) merupakan perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma Sarah (2014) juga mengatakan bahwa laki-laki adalah paling ramai menderita penyakit ini yaitu sebanyak 39 (52,0%) manakala perempuan adalah 36 (48,0%). Selanjutnya dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa kebanyakan penderita penyakit ini adalah disebabkan oleh faktor kekurangan gizi.

Dalam hasil penelitian oleh Daulay (2002) juga menyatakan hal yang sama, dimana bilangan laki-laki adalah 10 penderita (62,5%) dan bilangan perempuan 6 penderita (37,5%). Penelitian ini juga menyatakan bahwa anak-anak yang menderita penyakit ini disebabkan oleh malnutrisi. Perubahan berat badan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak menderita penyakit meningitis tuberkulosis.

Dari tabel 5.3, didapati bahwa anak dalam kelompok umur 1-5 tahun adalah paling banyak menderita meningitis tuberkulosis. Hasil yang didapati dalam penelitian ini adalah sama dengan penelitian yang dilaporkan oleh Naufal (2003). Dalam penelitiannya, hasil sampel yang diambil adalah dari umur 0-18 tahun penderita dan paling banyak yang menderita adalah kelompok umur 0-5 tahun.


(35)

Dalam penelitian ini, angka penderita kelompok umur 16-18 tahun adalah yang paling kurang. Naufal (2003) mendapat hasil yang sama dalam penelitiannya dan menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh gizi mereka dalam tahap normal. Justru hal ini menjelaskan bahwa kecukupan gizi untuk individu akan mengurangkan resiko menderita penyakit meningitis tuberkulosis.

Dalam penelitian ini, untuk faktor sosioekonomi orang tua, frekuensi yang paling tinggi adalah pada kelompok pendapatan rendah yaitu sebanyak 27 (64,3%). Sedangkan untuk kelompok sosioekonomi orang tua yang sangat tinggi didapatkan sebanyak 5 penderita (11,9%).

Berdasarkan penelitian Lisa (2013), didapati hasil yang sama dimana kelompok orang tua yang menerima gaji rendah adalah paling banyak yaitu (53,0%) untuk penyakit meningitis tuberkulosis. Dalam penelitiannya dikatakan sosioekonomi keluarga juga mempengaruhi ketumbuhan dari segi fisik dan kesehatan seseorang anak. WHO (2012) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2012), kemiskinan diukur dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak- mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan lingkungan yang diukur dari sisi perbelanjaan. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata perbelanjaan per bulan di bawah garis kemiskinan.

Dari tabel 5.5 didapati sebanyak 18 penderita (42.9%) telah mendapat imunisasi BCG sebelumnya dan 24 penderita (57.1%) tidak mendapat imunisasi BCG sebelumnya. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Robert (2015), hasilnya didapati 70% penderita meningitis tuberkulosis anak-anak usia dibawah 18 tahun tidak diimunisasikan dengan vaksin BCG. Dalam penelitian tersebut dikatakan seseorang anak yang di vaksinasi imunisasi BCG memiliki resiko yang kurang untuk menderita meningitis tuberkulosis.


(36)

Dari tabel 5.6 didapati sebelumnya bahwa sebanyak 18 (42.9%) penderita telah menerima imunisasi BCG. Sebelumnya dalam penelitian ini dapati kebanyakan sosioekonomi orang tua penderita yang menerima imunisasi BCG adalah kelompok yang menerima gaji yang tinggi. Selain itu, sebanyak 24 (57.1%) penderita tidak menerima imunisasi BCG dan kebanyakkan adalah daripada kelompok miskin yang menerima gaji yang rendah.

Dari hasil penelitian ini, didapati sebanyak 42 penderita (100 %) mempunyai skor Tb yang ≥ 6. Semua penderita ini yang sudah didiagnosis dengan penyakit meningitis tuberkulosis telah menerima obat anti tuberkulosis. Hasil penelitian oleh Amar Whidiyani (2011) menyatakan 17 anak mempunyai nilai skor Tb yang ≥ 6 dan sebanyak 7 anak mempunyai skor Tb < 6 dengan keseluruhan sampel yang menderita meningitis tuberkulosis.

Penelitian yang dikendalikan oleh Rina Triasih (2011) dengan jumlah sampel sebanyak 146 anak. Didapati sebanyak 68 penderita (47,0%) mempunyai skor Tb ≥ 6 dan sebanyak 78 penderita (53,0%) mempunyai skor Tb< 6. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan pada jenis sampel dimana pada penelitian tersebut disertakan pasien rawat jalan yang gejala klinisnya masih belum menonjol jadi skor TB juga rendah. Dalam penelitian ini dikatakan salah satu faktor adalah kebanyakkan penderita adalah dari keluarga yang hidup dibawah garis miskin dan juga tidak menerima vaksinasi BCG.

Berdasarkan tabel 5.8 frekuensi tertinggi skor GCS adalah sedang (9-12) yaitu sebanyak 16 penderita (38,1%) dan didapati bilangan penderita skor GCS yang paling rendah adalah ringan yaitu 4 penderita (9,5%). Hasil yang sejajar dengan penelitian ini juga didapati oleh Caroline (2009) yaitu sebanyak 217 penderita (39,2%) mempunyai skor GCS sedang dan sebanyak 22 penderita (4,0%) mempunyai skor GCS ringan dimana jumlah sampel adalah 554 orang.

Penelitian oleh Rehman (2014), mendapat hasil yang berbeda dengan penelitian ini yaitu sebanyak 148 penderita (77,1%) mempunyai skor GCS sedang sementara skor GCS ringan hanya didapati pada 37 penderita (19,3%) dalam jumlah sampel sebanyak 192. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa sakit


(37)

kepala dan tanda-tanda meningeal iritasi merupakan gejala umum pada anak-anak usia melebihi 5 tahun.

Berdasarkan penelitian ini didapati sebanyak 31 penderita (73,8%) yang telah dilakukan tindakan lumbal pungsi dan sebanyak 11 penderita (26,2%) tidak dilakukan tindakan lumbal pungsi. Menurut penelitian Aktar (2015), hasilnya sejajar dengan penelitian ini yaitu sebanyak 108 penderita (60,0%) telah dilakukan tindakan lumbal pungsi sedangkan sebanyak 72 penderita (40,0%) tidak dilakukan. Dalam penelitian ini juga dikatakan penderita meningitis tuberkulosis mengalami kesulitan kewangan untuk melakukan pemeriksaan klinis pada tahap awal.

Penelitian Anggraini (2011), menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu sebanyak 72 penderita (51,4%) mengikuti tindakan lumbal pungsi dan sebanyak 68 penderita (48,6%) tidak dilakukan lumbal pungsi. Hal ini mungkin disebabkan karena lumbal pungsi adalah satu tindakan invasif dan kebanyakkan orang tua dan pasien juga sering tidak bersetuju untuk dilakukan pemeriksaan ini. Penelitian ini juga menekankan bahwa harus berhati-hati semasa melakukan tindakan ini pada anak- anak dibawah umur 5 tahun dan keterlambatan melakukan penegakkan diagnosis akan meningkatkan resiko kecacatan pada penderita.

Berdasarkan tabel 5.10 didapati sebanyak 17 penderita (40,5%) meninggal dunia di rumah sakit semasa penjalanan pengobatan sedangkan sebanyak 14 penderita (33,3% ) dipulangkan. Hasil yang sama juga didapati dalam penelitian Dewi (2011), bahwa sebanyak 16 penderita (53,3%) meninggal dunia semasa pengobatan dijalankan dan sebanyak 14 penderita (46,7%) dipulangkan untuk mengikuti rawat jalan. Penelitian tersebut mengatakan bahwa kebanyakkan penderita meninggal karena tidak berobat ke tenaga medis pada tahap awal tetapi hanya bertemu dokter setelah ada gejala yang berat.


(38)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan, yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan seperti berikut :

1. Berdasarkan jenis kelamin penderita meningitis tuberkulosis anak yang dirawat adalah laki-laki sebanyak 24 penderita (57,1%).

2. Penderita yang kelompok umur 1-5 tahun lebih banyak dirawat meningitis tuberkulosis yaitu sebanyak 16 penderita (3,1%).

3. Kebanyakan sosioekonomi orang tua penderita meningitis tuberkulosis dirawat adalah rendah dengan jumlah 27 penderita (64,3%).

4. Riwayat imunisasi BCG kebanyakkan penderita meningitis tuberkulosis tidak diimunisasikan dengan vaksin BCG yaitu sebanyak 24 penderita (57,1%).

5. Skor TB pada keseluruhan penderita meningitis tuberkulosis yang dirawat adalah dengan skor ≥ 6 yaitu sebanyak 42 penderita (100,0%). 6. Frekuensi tertinggi untuk skor GCS sedang (9-12) didapati pada 16

penderita (38,1%) untuk skor Glasgow Coma Scale sedang (9-13). 7. Mayoritas penderita meningitis TB dilakukan lumbal pungsi yaitu

sebanyak 31 penderita (73,8%).

8. Mortalitas penderita meningitis tuberkulosis adalah 17 penderita (40,5%).


(39)

6.2. Saran

1. Meningitis TB dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG.

2. Selain itu, masyarakat juga harus sadar mengenai bahayanya penyakit meningitis tuberkulosis anak dan mengenal faktor resikonya supaya pencegahan dapat dilakukan ditahap awal.

3. Penelitian selanjutnya mengenai meningitis tuberkulosis anak sebaiknya dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan mengambil data daripada beberapa rumah sakit di Medan untuk validitas hasil yang lebih baik.

4. Instalasi Rekam Medik RSUP Haji Adam Malik harus memastikan data yang diperlukan untuk penelitian harus tersedia dengan informasi yang telah dikemaskini.


(40)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis Tuberkulosis 2.1.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014). Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti (Chan, 2006).

2.1.2 Epidemiologi

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB (Gwendolyn, 2013). Dari


(41)

keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan penderita yang selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis substansial termasuk keterlambatan perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial (Ruslami, 2013).

Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual (Pusponegoro, 2009).

Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB (Principi, 2012). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan (Rahajoe, 2005).

Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa. Walaupun bukan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberkulosis (Fenichel, 2005).


(42)

2.1.3 Etiologi

Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).

Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi

Kategori Agen

Bakteri  Pneumococcus

M eningococcus Haemophilus influenza St aphylococcus

Escherichia coli Salmonella

M ycobacterium tuberculosis

Virus  Enterovirus

Jamur  Cryptococcus neoformans

Coccidioides immitris Sumber : Kahan, 2005

2.1.4 Faktor Risiko

Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah (Tai, 2013) : 1. Usia (anak-anak > dewasa )

2. Koinfeksi-HIV 3. Malnutrisi 4. Keganasan

5. Penggunaan agen imunosupresif 2.1.5 Klasifikasi

Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas :


(43)

Tabel. 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis

Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis. Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti kelumpuhan

saraf kranialis atau hemiparesis.

Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat Sumber : emedicine.medscpae.com

2.1.6 Patofisiologi

Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak

Sumber : Schuenke, M., et al. 2007. Atlas of Head and Neuroanatomy.

1st ed. United of States of America : Thieme. Lapisan Luar (Dura mater)


(44)

Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).

Lapisan Tengah (Araknoid)

Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus (Drake, 2015).

Lapisan Dalam (Pia mater)

Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan


(45)

membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. (Drake, 2015).

Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot (Scanlon, 2007).


(46)

Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer (Schlossberg, 2011) .

Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi (Schlossberg, 2011).

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2006).


(47)

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis :

1. Araknoiditis Proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008).

2. Vaskulitis

Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak


(48)

tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005). 3. Hidrosefalus

Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Albert, 2011).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003).

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan (Cavendish, 2011).


(49)

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010) :

1. Stadium I : Prodormal

Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

2. Stadium II : Transisi

Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.

3. Stadium III : Terminal

Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

2.1.8 Diagnosis

Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara : 2.1.8.1 Anamnesa

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu


(50)

makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa (Gleadle, 2007).

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009).

Yaitu sebagai berikut : 1. Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.

2. Kernig`s sign

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. 3. Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.


(51)

4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral.

5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.

6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.

7. Lasegue`s Sign

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

2.8.1.3 Pemeriksaan Penunjang Uji Mantuox/Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak


(52)

kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm (Kliegman, 2011).

Tabel 2.3. Hasil Uji Mantoux

1. Pembengkakan (Indurasi) 0-4mm,uji mantoux negatif.

Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.

2. Pembengkakan (Indurasi) 3-9mm,uji mantoux meragukan.

Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypical atau setelah vaksinasi BCG.

3. Pembengkakan (Indurasi) ≥ 10mm,uji mantoux positif.

Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Sumber : Levin, 2009

2.8.1.4 Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :

a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear dengan shift ke kiri.

b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.

c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan serebrospinal.

d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi.

e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis. 2. Lumbal Pungsi


(53)

Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil cairan serebrospinal (Haldar, 2009).

Tabel 2.4. Hasil Analisa Cairan Serebrospinal

Sumber : Haldar, 2009

2.1.8.5 Pemeriksaan Radiologis 1. Foto Toraks

Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto kepala, CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011).

Agent Opening Pressure (mm H2 O)

WBC count

(cells/µL) Glucose (mg/dL)

Protein (mg/dL)

Microbiology

Tuberculou s meningitis

180-300 100-500; Lymphocyte s Reduced, < 40 Elevated , >100 Acid-fast bacillus stain, culture, PCR

Normal values

80-200 0-5;

lymphocytes

50-75 15-40 Negative findings on workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.


(54)

2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011).

2.8.1.6 Pemeriksaan Gene Xpert

Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat mengetahui apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang yang memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin. Bertentangan dengan tes yang ada saat ini, ia bekerja pada tingkat molekuler untuk mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak menggunakan mikroskop tapi semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes ini juga disebut Xpert MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan rifampisin).

Gene Xpert adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dalam sampel dahak. Seseorang yang diduga menderita TB perlu memberikan contoh dahak, dalam tabung kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan ke dalam mesin, dan kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat apakah sampel mengandung bakteri TB. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA) spesifik untuk bakteri TB. Jika ada bakteri TB dalam sampel, mesin akan mendeteksi DNA mereka dan secara otomatis kalikan. Teknik ini disebut PCR (polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk juga melihat struktur gen.


(55)

Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan resistensi terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string panjang warna yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari perubahan warna jika ada mutasi pada DNA, maka bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB tertentu. Gene Xpert dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling umum, rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut telah dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat dan hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB lainnya (Farrar, 2014).


(56)

Tabel 2.5. Skoring TB Anak

GEJALA 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan

keluarga BTA (-) / tidak tahu

BTA (+)

Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10mm

atau ≥ 5mm pada

imunokompro-masis)

Berat Badan/

Keadaan Gizi -

BB/TB<90% atau

BB/U<80%

Gizi buruk -

Demam yang tidak

diketahui penyebabnya -

≥ 2 minggu - -

Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran kelenjar

aksila, inguinal -

≥ 1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri

- -

Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang

-

Bengkak - -

Foto toraks Normal Gambaran

Sugestif mendukung TB

- -

Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, 2008

Menurut awal skor tb, panas atau demam dan batuk tidak ada respon pengobatan standard. Foto toraks juga bukan merupakan alat diagnostik yang utama pada tb anak. Semua kejadian reaksi akselerasi BCG harus dilakukan


(57)

evaluasi dengan sistem skoring. Tb didiagnosis pada anak jika skornya ≥ 6. Bila skor 5 dan anakya dibawah 5 tahun harus rujuk ke rumah sakit (Triasih, 2011). 2.1.9 Penatalaksanaan

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :

1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. 2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan

rifampisin hingga 12 bulan.

Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa :

1. Rifampisin (R)

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).


(58)

2. Isoniazid ( H )

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).

3. Pirazinamid ( Z )

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).


(59)

4. Etambutol ( E )

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Heemskerk, 2011).

5. Streptomisin ( S )

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin


(60)

berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).

Tabel 2.7. Regimen : RHZE / RHZS Rifampisin

Isoniazid

10-20mg/kg/BB/hari 7-15mg/kg/BB/hari Pirazinamid

Etambutol

30-40 mg/kg/BB/hari 15-25mg/kg/BB/hari

Streptomisin 20 mg/kgBB/hari

Sumber : Pengendalian dan penyakit penyehatan lingkungan KKRI, 2013

Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan antara araknoid dan otak (Levin, 2009).

Steroid diberikan untuk:

- Menghambat reaksi inflamasi - Mencegah komplikasi infeksi - Menurunkan edema serebri - Mencegah perlekatan


(61)

- Mencegah arteritis/infark otak Indikasi Steroid :

- Kesadaran menurun - Defisit neurologist fokal Dosis steroid :

- Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan (Levin, 2009).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) : - Hidrosefalus

- Cairan subdural - Abses otak - Cedera kepala

- Gangguan pendengaran

- Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial ) - Kerusakan otak

- Kejang - Serangan otak - Araknoiditis

2.1.11 Pencegahan

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas


(1)

2.1.8. Diagnosis ... 11

2.1.8.1. Anamnesa ... 11

2.1.8.2. Pemeriksaan Fisik ... 11

2.1.8.3. Pemeriksaan Penunjang ... 12

2.1.8.4. Pemeriksaan Laboratorium ... 13

2.1.8.5. Pemeriksaan Radiologi ... 14

2.1.8.6. Pemeriksaan Gene Xpert ... 16

2.1.8.7. Sistem Skoring Tb Anak ... 16

2.1.9. Penatalaksanaan ... 17

2.1.10. Komplikasi ... 20

2.1.11. Pencegahaan ... 21

2.1.12. Prognosis ... 21

2.2. Imunisasi ... 22

2.2.1. Definisi Imunisasi ... 22

2.2.2. Tujuan Imunisasi ... 22

2.2.3. Manfaat Imunisasi ... 22

2.2.4. Imunisasi Bacilus Calmet-Guerin (BCG) ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep dan Kerangka Kerja ... 26

3.2. Definisi Operasional ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 29

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

4.2.1. Tempat Penelitian ... 29

4.2.2. Waktu Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel ... 29

4.3.1. Populasi Penelitian ... 29

4.3.2. Sampel Penelitian ... 29

4.3.3. Besar Sampel ... 30

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 30

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 30

4.6. Etika Penelitian... 30

BAB 5 METODE PENELITIAN 5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 31

5.1.2. Deskripsi Karakteritik Responden ... 31


(2)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 41 6.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi ... 5

Tabel 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis ... 6

Tabel 2.3. Hasil Uji Mantoux ... 13

Tabel 2.4. Hasil Analisa Cairan Serebrospinal ... 14

Tabel 2.5. Skoring Tb Anak ... 16

Tabel 2.6. Skoring Miningitis Tb ... 19

Tabel 2.7. Regimen : RHZE/RHZS ... 32

Tabel 5.1. Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan ... 33

Tabel 5.2. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Jenis Kelamin ... 34

Tabel 5.3. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Kelompok Umur ... 34

Tabel 5.4. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Sosioekonomi Keluarga ... 35

Tabel 5.5. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Riwayat Imunisasi BCG ... 35

Tabel 5.6. Distribusi Riwayat Imunisasi BCG Berdasarkan Sosioekonomi Orang Tua Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak ... 36

Tabel 5.7. Distribusi Riwayat Imunisasi Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor TB ... 36

Tabel 5.8. Distribusi Riwayat Imunisasi Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Skor GCS ... 37

Tabel 5.9. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Tindakan Lumbal Pungsi ... 37

Tabel 5.10. Distribusi Penderita Meningitis Tuberkulosis Anak Yang Dirawat Berdasarkan Mortalitas ... 38


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak ... 6 Gambar 2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi ... 26 Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Penderita Meningitis


(5)

DAFTAR SINGKATAN

TB : Tuberkulosis

WHO : World Health Organization BCG : Bacilius Calmet Guerin

HIV : Human Immunodeficiency Virus AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome VP : Ventriculoperitoneal

PPD : Purified Protein Derivative

CT : Computed Tomography

MRI : Magnetic Resonance Imaging DNA : Deoxyribonucleic Acid PCR : Polymerase Chain Reaction DPT : Difteri, Pertusis, Tetanus UCL : Universal Child Immunization SSP : Sistem Saraf Pusat


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Riwayat Hidup Lampiran 2 : Ethical Clearence Lampiran 3 : Data Induk Lampiran 4 : Hasil Output