Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Manfaat Tanaman Andaliman

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempahrempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan
Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat
kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan
Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia,
tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada
temperatur 15-180 C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis. Di dunia,
tumbuhan ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar,
Thailand, dan Cina. Di Cina, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 2900 m dpl
(Wijaya, 1999).

Menurut Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya 1999) menyatakan bahwa
sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae


Divisio

: Spermatophyta

Klass

: Angiospermae

Sub klass

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rutales

Family

: Rutaceae


Genus

: Zanthoxylum

Spesies

: Zanthoxylum acanthopodium DC.

Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan
cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Buahnya bulat hijau kecil
dengan diameter ± 4 mm (Tensiska, 2001). Bila digigit, buah ini mengeluarkan aroma
yang wangi dan rasa tajam yang khas yang dapat merangsang produksi air liur. Hal ini
Universitas Sumatera Utara

karena andaliman memiliki sifat karminativum (Hasairin, 1994). Khusus yang di
Sumatera Utara mempunyai bunga lengkap dengan panjang ± 3 mm (Tensiska, 2001).

Famili jeruk-jerukan ini di habitatnya berupa tanaman semak dengan tinggi
sekitar 5 meter (Sortha et al., 2004). Daunnya majemuk menyirip, panjang 1-20 cm

dan lebar 3-15 cm, memiliki kelenjar minyak. Permukaan atas daun berwarna hijau
mengkilat dan permukaan bawahnya hijau muda atau pucat, sedangkan pada daun
muda permukaan bawahnya berwarna hijau kemerahan (Siregar, 2003; Wijaya, 1999).
Bunga aksilar, majemuk terbatas, anak payung menggarpu, berkelamin dua, dan
berwarna kuning pucat. Buah berbentuk kapsul, bulat hijau kecil, diameter 2-3 mm,
mirip lada, jika sudah tua berwarna merah. Tiap buah memiliki 1 biji dengan kulit biji
yang keras berwarna hitam berkilat (Sibuea, 2002). Tipe perkecambahan biji
andaliman ialah epigin yakni tipe perkecambahan di atas tanah yang terjadi karena
pembentangan ruas batang di bawah daun lembaga sehingga daun lembaganya
terangkat ke atas tanah (Siregar, 2003).

Daya kecambah andaliman rendah. Perkecambahannya yang rendah dan umur
berkecambah yang relatif lama disebabkan oleh struktur kulit biji yang keras. Struktur
ini dapat menghalangi imbibisi air dan pertukaran gas dalam proses perkecambahan.
Komponen volatil, berupa senyawa terpenoid yang terdapat pada andaliman (Wijaya
2001), diketahui merupakan senyawa penghambat perkecambahan. Tanaman yang
tumbuh alami berasal dari biji yang disebarkan oleh burung (setelah memakan buah
andaliman). Petani juga memperoleh bibit secara tidak sengaja dari lokasi bekas
pembakaran gulma di daerah tanaman yang sudah tua (Siregar, 2003).


Saat ini andaliman diperhitungkan menjadi senyawa aromatik dan minyak
esensial. Masyarakat Himalaya, Tibet dan sekitarnya menggunakan tanaman ini
sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut (Hasairin,
1994). Manfaat lain buah andaliman berdasarkan penelitian adalah sebagai insektisida
untuk menghambat pertumbuhan serangga Sytophilus zeamais. Efeknya berupa daya
tolak makan serangga atau mengurangi selera makan serangga. Selain itu andaliman
juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Andayanie, 2000). Sedangkan di
Jepang, daun andaliman digunakan untuk pemberi aroma dan untuk dekorasi
(Tensiska, 2001).
Universitas Sumatera Utara

Andaliman mengandung senyawa terpenoid yang mempunyai aktivitas
antioksidan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan,
perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Selain itu senyawa
terpenoid pada andaliman juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba. Hal ini
memberikan peluang bagi andaliman sebagai bahan baku senyawa antioksidan atau
antimikroba bagi industri pangan dan farmasi (Wijaya, 1999).

Hasil pengujian aktivitas antimikroba pada penelitian Andayanie (2000),

menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman bersifat bakterisidal terhadap bakteri
Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholera, dan
Salmonella thypimurium. Selain itu andaliman juga mampu menghambat Bacillus
cereus, Staphylococcus aureus, dan S. thyposa. Dengan diketahuinya aktivitas
antimikroba dari minyak atsiri andaliman serta komponen aktif penyusunnya, maka
pemanfaatan andaliman dapat ditingkatkan sebagai bahan obat-obatan (Butar Butar,
2002).

2.2 Teknik Kultur Jaringan

Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama. Berarti kultur jaringan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan,
1994). Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru
dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat
fisiologi dan morfologi sama persis dengan tanaman induknya (Hendaryono &
Wijayani, 1994).
Cara kerja kultur jaringan adalah berdasarkan prinsip “totipotensi”.

Berdasarkan prinsip ini sebuah sel atau jaringan tumbuhan yang diambil dari bagian
manapun akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan sempurna jika diletakkan pada media
yang cocok. Perbanyakan dengan sistem kultur jaringan harus dilakukan dalam
keadaan steril. Usaha pengembangan tanaman dengan kultur jaringan merupakan
Universitas Sumatera Utara

usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang dapat dikatakan masih baru. Namun saat
ini sudah banyak sekali penemuan-penemuan tentang ilmu pengetahuan kultur
jaringan dalam bidang pertanian, biologi, farmasi, kedokteran, dan sebagainya
(Hendaryono & Wijayani, 1994).

Menurut Katuuk (1989), kultur jaringan dapat membantu mengurangi
perubahan-perubahan faktor lingkungan juga pengaruh negatif yang disebabkan oleh
perubahan cahaya, suhu serta zat-zat hara dapat diatur. Selanjutnya kemampuan
multiplikasi yang sangat cepat dari metode kultur jaringan memberi peluang bagi para
pengusaha agar dapat menghemat waktu serta uang. Pengusaha yang memperbanyak
tanaman dengan jalan stek jelas memerlukan waktu yang panjang. Bagi kultur
jaringan hal ini tidaklah demikian.

2.3 Kultur Pucuk


Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam
dalam media yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu.
Eksplan ini menjadi bahan dasar bagi pembentukan kalus yaitu bentuk awal calon
tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan tanaman seperti daun, batang
dan akar. Agar pertumbuhan bibit secara kultur jaringan berlangsung mudah,
sebaiknya diambil sel yang berasal dari bagian yang meristem atau bagian tanaman
yang masih muda, misalnya daun muda, ujung akar, dan keping biji. Bagian meristem
dipilih karena bagian tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang lebih cepat
(Nusmawarhaeni et al., 2001).

Eksplan untuk kultur pucuk boleh berasal dari berbagai pucuk batang, baik
pucuk apikal, pucuk lateral, maupun pucuk aksilar. Keuntungan menggunakan eksplan
pucuk atau tunas aksilar adalah memungkinkan mengontrol tunas yang dihasilkan
bebas virus, tanaman yang dihasilkan secara genetik seragam dan pada banyak
tanaman laju perbanyakannya lebih tinggi (Katuuk, 1989).

Budidaya meristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari
eksplan yang ditanam. Kalus ini biasanya muncul dari bagian periderm, periblem, dan
plerom, sepanjang tulang daun atau di antara tulang daun. Kalus sebenarnya adalah

Universitas Sumatera Utara

proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada
seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan
semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk (Hendaryono & Wijayani,
1994).

Dalam budidaya in vitro atau budidaya kultur jaringan, menginduksi
terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah penting. Setelah itu diusahakan
rangsangan agar terjadi diferensiasi, terjadi akar dan tunas (Suryowinoto, 1996).
Sebagai contoh dalam rangka kegiatan produksi metabolit sekunder dengan teknik
kultur suspensi atau kalus maka sebagai langkah pertama untuk membuat inokulum
perlu dibuat kalus sebagai starting material. Membuat kalus berarti menginduksi dari
bagian tanaman tertentu. Biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon
yang banyak digunakan untuk induksi kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman
tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Menyangkut macam
eksplan, Santoso & Nursandi (1995) memperoleh hasil bahwa macam eksplan sangat
mempengaruhi kecepatan membentuk kalus. Eksplan daun mempunyai kemampuan
tumbuh lebih cepat dibandingkan eksplan batang utama, atau tangkai bunga (Santoso
& Nursandi, 1995).


2.4 Media Kultur Jaringan

Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan media tanam.
Dalam media tanam diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, vitamin
zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan perkembangan, dan
kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan
polifenol (warna coklat hitam) yang keluar akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis
tanaman tertentu. Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang
ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup secara autotrof melainkan secara heterotrof atau
mendapat suplai organik (Gunawan, 1995).

Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan.
Media tanam ini harus berisi semua zat yang dibutuhkan untuk menjamin
pertumbuhan eksplan. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan
oleh media tanam dan macam tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok
Universitas Sumatera Utara

untuk jenis-jenis tanaman (Rahardja, 1994). Komponen media kultur antara lain air,
hara makro dan mikro, gula, vitamin, asam amino, bahan organik lain, agar-agar

sebagai pemadat media serta zat pengatur tumbuh (Yusnita, 2003).

Jenis medium pada komposisi unsur kimia yang berbeda dapat digunakan
untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang berbeda. Untuk tanaman andaliman
ini menggunakan media MS (Murashige dan Skoog), dimana media ini digunakan
untuk hampir semua tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai
konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan
NH4+ (Hendaryono & Wijayani, 1994).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologis
tanaman (Hendaryono & Wijayani, 1994). Menurut Heddy (1983), zat pengatur
tumbuh mempunyai peranan yang penting terhadap pembelahan sel, dan diferensiasi
sel mulai perkembangan endosperm sampai perkecambahan biji pada fase vegetatif
dan reproduktif. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang sesuai
adalah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dengan harapan agar diperoleh hasil
yang lebih cepat dan mungkin lebih besar (Kusumo, 1990).


Hormon tanaman itu sendiri terbagi dalam beberapa kelompok diantaranya:
auksin, giberelin, sitokinin, etilen dan retardan (Tjionger, 2006). Pada kultur embrio,
keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh media dan zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperm
(Kosmiatin & Mariska, 2005).

Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat
penting yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan
keseimbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi
oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Faktor yang
Universitas Sumatera Utara

perlu diperhatikan dalam penggunaan zat pengatur tumbuh adalah jenis zat pengatur
tumbuh, konsentrasi, periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1995).

2.5.1 Auksin

Auksin adalah suatu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan
perkembangan suatu tanaman. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel
menunjukkan bahwa terdapat indikasi yaitu auksin dapat menaikkan tekanan osmotik,
meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada
dinding

sel,

meningkatkan

sintesa

protein,

meningkatkan

plastisitas

dan

pengembangan dinding sel (Abidin, 1983).

Irvine et al. (1983 dalam Katuuk 1989), melakukan percobaan kultur jaringan
pada tanaman tebu, menemukan bahwa 2,4-D paling banyak berpengaruh untuk
inisiasi kalus. Untuk induksi kalus tanaman berdaun lebar 2,4-D banyak digunakan
dengan konsentrasi 1-3 mg/l.

2.5.2 Sitokinin

Sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin ada yang alamiah dan
sintetis. Sitokinin yang pertama kali ditemukan adalah kinetin, yang diisolasi dari
DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam oleh Skoog di
Laboratorium Botany University of Wisconsin. Persenyawaan dari DNA tersebut
sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau dapat memacu pembelahan sel
atau sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi proses fisiologi dalam tanaman. Sitokinin
juga berpengaruh di dalam perkembangan embrio (Wattimena, 1988).

Menurut (Gunawan, 1995), menyatakan bahwa sitokinin yang biasa digunakan
dalam kultur jaringan adalah:
 Kinetin (6-furfuryl amino purine)
 Zeatin (4-hydroxil-3-methyl-trans-2-butenyl aminopurine)
 Zip (N6-2-isopentanyli adenine, atau 6-(t,t-dimetylallyi amino purine).
Universitas Sumatera Utara

 BAP/BA (6-benzyl amino purine/6-benzyl adenine)
 PBA
 ZCl-4
 2,6- Cl-4 PU ; N (2,6-dicloro-4 pyridyl)-N-phenylurea).
 Thidiazuron (N-phenyl-N-1,2,3-thiadiazol-5-tl-urea).

Menurut Wetter & Constabel (1991), sitokinin dibutuhkan bersama 2,4-D
untuk mendapatkan pembentukan kalus yang baik. Golongan sitokinin yang umumnya
digunakan adalah BAP karena telah diketahui lebih tahan terhadap kerusakan. BAP
dan Thidiazuron adalah golongan sitokinin yang aktif.

2.5.3 Zat pengatur tumbuh atonik

Atonik adalah suatu zat pengatur tumbuh

sintetik

berbentuk larutan dalam air,

berwarna cokelat dan berbau khas (Wuryaningsih, 1993). Atonik adalah gabungan
garam-garam natrium dari S-nitroquiocol dan garam natrium dari paranitrophenol
(Kusumo, 1990). Atonik mengandung zat aktif natrium orto nitrofenol, natrium
paranitrofenol, natrium 2,4 di nitrofenol, dan natrium 5 nitroguaiakol (Saptarini et al.,
2001).

Atonik bukan merupakan hormon tanaman (fitohormon) atau pestisida tetapi
suatu zat kimia yang dapat merangsang proses biokimia dan fisiologis tanaman,
sehingga atonik termasuk zat pengatur tumbuh (Kusumo, 1990). Atonik biasanya
digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman terhadap unsur hara,
meningkatkan daya serap daun, keluarnya bunga, pembentukan buah, meningkatkan
jumlah dan bobot buah (Saptarini et al., 2001)

2.6 Glutamin

Asam amino sebagai sumber nitrogen organil relatif jarang diperlukan, karena sumber
nitrogen utama dalam media biasanya NO3- dan NH4+. Namun, jika diperlukan
sebagai sumber nitrogen organik, asam amino yang sering digunakan adalah glutamin
Universitas Sumatera Utara

(Yusnita, 2003). Karena glutamin merupakan penyimpan nitrogen yang utama pada
tumbuhan dan juga mudah di sintesis oleh tumbuhan (Salisbury & Ross, 1991).

Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino karena dapat menjadi
pembawa amonia untuk sintesis asam-asam amino baru dalam jaringan (Hendaryono
& Wijayani, 1994).

Keberadaan asam amino dalam bentuk D-asam glutamat

mempunyai berbagai pengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tumbuhan.
(Robinson, 1991). Glutamin juga sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan
embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadi-nya komunikasi
di antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Salisbury & Ross, 1991).

2.7 Induksi Kalus

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan awal
yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus pada
umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme
seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda.
Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984).

Budidaya maristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari
eksplan yang ditanam. Kalus ini biasanya muncul dari bagian periderm, periblem dan
plerom, sepanjang tulang daun atau di antara tulang daun. Kalus sebenarnya adalah
proliferasi massa jaringan yang belum terdeferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada
seluruh permukaan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin
cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ dalam media
yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Bila eksplan yang
digunakan mengandung kambium, maka kalus dapat terbentuk tanpa perlakuan zat
pengatur tumbuh. Pembentukan kalus pada eksplan yang ada kambium ini serupa
dengan kejadian penyangkokan dan penyetekan (Gunawan, 1987).

2.8 Air Kelapa
Universitas Sumatera Utara

Menurut Yusnida (2006), air kelapa merupakan endosperm dalam bentuk cair yang
mengandung unsur hara dan zat pengatur tumbuh sehingga dapat menstimulasi
perkecambahan dan pertumbuhan. Air kelapa sudah sejak dahulu digunakan sebagai
campuran media. Ada yang melaporkan bahwa air kelapa muda lebih baik dari air
kelapa tua, namun ada yang membuktikan sebaliknya. Konsentrasi air kelapa yang
biasa digunakan adalah 7-15% (70-150 ml/l) (Katuuk, 1989), dapat juga sampai 200
ml/l (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Pada air kelapa selain mengandung bahan makanan seperti asam amino, asam
organik, gula dan vitamin juga terkandung sejumlah hormon tumbuh seperti sitokinin
5,8 mg/l, auksin 0,07 mg/l dan giberelin serta senyawa lain yang dapat memacu
proses perkecambahan biji (Yusnida, 2006) selanjutnya dapat dilihat di Lampiran G
halaman 41. Selain itu, air kelapa juga digunakan untuk merangsang pertumbuhan
tanaman karena mengandung sejumlah besar zat-zat biokimia yang berperan untuk
pertumbuhan tanaman, juga berfungsi sebagai suplemen karena dapat memacu
pertumbuhan sel, jaringan, maupun organ pada tanaman, seperti biji dan akar pada
teknik kultur jaringan (Katuuk, 1989).

Pada penelitian Ghautheret (1942 dalam Gunawan 1987), menemukan bahwa
air kelapa dapat digunakan untuk mempertahankan pertumbuhan jaringan yang
diisolasi dari sumber yang berlainan. Pada tahun 1949, Caplin & Steward memperoleh
pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media dengan 5% air kelapa dan casein
hydrolysate dari pada media dengan IAA. Penelitian yang lebih mendalam,
menemukan bahwa efek air kelapa pada pertumbuhan menjadi lebih baik, bila dalam
media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa, dapat bersifat sinergis.
Steward dan Caplin (1951) menemukan bahwa antara 2,4-D dan air kelapa terjadi
reaksi sinergistik yang memacu pertumbuhan kalus Daucus carota.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

2 13 57

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

2 11 57

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

0 0 13

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 1 13

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 5

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 1 10

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 4

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 9