Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi dan Taksonomi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut Murakami,et
al. (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Ordo


: Rodentia

famili

: Muridae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus argentiventer (Robb and Kloss).
Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat

badan 100-230 gram, panjang kepala-badan antara 70-208 mm, panjang tungkai
belakang 32-39 mm dan panjang telinga 20-22 mm (Murakami, et al. 1992). Ekor
biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal berwarna
coklat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan

seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal, dan inguinal berwarna
putih, dan sisa bagian bawahnya dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan
atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna badan
dan banyak yang berwana coklat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor
berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Aplin et al, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Biologi dan Ekologi Tikus Sawah
Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah dua belas buah. Ukuran
dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan
testisnya. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5-9
minggu (Sudarmaji, et al. 2007). Tikus betina bunting selama 21 hari, tikus
mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin
lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Sudarmaji, 2004).

Gambar 1. Siklus hidup tikus sawah (Rattus argentiventer)
Sumber : B2PTP, 2011
Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut

dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang
ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah,
3pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan
denganfase

pertumbuhan

2011).Rattusargentiventermencapai

tanaman
umur

padi
dewasa

(B2PTP,
sangat

cepat,


masakebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang

Universitas Sumatera Utara

banyak pada setiap kebuntingan. Masa umur R.argentiventerpada saatdewasa
adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari.
Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada
setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio
setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh
induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting sampai
pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio 12,83 ± 0,8
embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio dan pada
kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmajiet al.,2007).
Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya
dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai
akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat
berkembangbiak dengan baik (Singleton et al., 2003). Tikus sawah termasuk
binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari tikus berlindung
didalam sarang dengan membuat liang didalam tanah atau disemak-semak. Pada
siang hari tikus lebih banyak berada diluar daerah pertanaman padi yaitu

ditanggul irigasi dan daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini, 2002).
Hadi (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal didaerah
pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif ditengah pertanaman padi.
(Brown et al., 2001) juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah
tikus sawah dihabitatnya antara tikus jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah
tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha.
Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat berdaptasi
dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah

Universitas Sumatera Utara

tadah hujan/lahan kering, maupun lahan rawa (Begon, 2003). Tikus memilih
sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari
gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air. Sarang tikus
berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan untuk menimbun
pakan.Murakami et al. (1992) setelah pertumbuhan tanaman padi mencapai
stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi lebih dalam, panjang dan
bercabang-cabang seta mempunyai pintu keluar lebih dari satu pintu. Pada kondisi
tersebut tikus mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anaknya.
Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus

sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak. Habitat tanggul
irigasi dipilih tikus sawah karena apabila terjadi banjir, sarang tikus pada tanggul
irigasi tersebut tidak terendam air. Pada umumnya pada umumnya tanggul irigasi
dibangun dari tanah berukuran lebar 1-2 meter dengan tinggi lebih dari satu meter
(Sudarmaji, et al. 2007).
Gejala Serangan
Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau
keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang
aktif, dan gejala serangan.Kehilangan hasil produksi akibat serangan tikus cukup
besar, karena menyerang tanaman sejak di persemaian hingga menjelang panen.
Potensi perkembangbiakan tikus sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas
makanan yang tersedia (Manurung dan Ismunadji, 1998).
Sudarmajiet al. (2007) menambahkan bahwa penanganan tikus sebaiknya
dilakukan sejak dini, sebelum berkembangbiak, karena pada fase generatif pemicu
perkembangan tikus adalah padi bunting. Saat padi bunting, tikus memakan dan

Universitas Sumatera Utara

merusak titik tumbuh atau memotong pangkal batang serta memakan bulir gabah.
Pada kategori serangan berat semua rumpun padi bisa habis dikonsumsi. Hal ini

disebabkan pada fase padi bunting, tanaman padi mengeluarkan aroma dan bulir
padi belum mengalami proses pengerasan kulit (proses pengerasan fisik) sehingga
lebih mudah untuk dikonsumsi, selain itu kandungan karbohidrat yang ada pada
padi sedang mengalami fase transisi dari substansi cairan ke bentuk padat, kondisi
ini yang paling disukai oleh tikus.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi
mulai dari persemaian hingga padi menjelang panen. Pada persemaian padi
berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam
satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata
79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi
bermalai 12 batang per malam (Rochman, 1992). Tikus sawah diketahui lebih
suka menyerang tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya
padi stadium bunting akan mengalami kerusakan yang paling besar. Kebutuhan
pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya,
sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot
malai padi yang dikonsumsi (Sudarmaji dan Anggara, 2006).
Persentase kerusakan tanaman padi tertinggi ditemui pada saat umur padi
telah siap untuk di panen, pada saat ini tikus cenderung lebih menyukai padi dari
pada umpan yang ada di dalam perangkap. Rasio tikus yang banyak terperangkap
adalah tikus yang berkelamin jantan (Rusdy dan Irvandra, 2008).


Universitas Sumatera Utara

Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss)
Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani
seperti kultur teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis. Namun teknikteknik pengendalian tersebut tidak selalu memberikan pengaruh yang besar
terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan
pengendalian kimiawi yang menggunakan bahan-bahan kimia baik berupa umpan
beracun, bahan fumigan, penolak dan penarik maupun pemandul (Pakki et al.,
2009).
Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan
sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan
tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu dan
gulma pada sekitar pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah,
karena tikus tidak akan nyaman pada kondisi yang bersih. Tikus sawah pada
umumnya menyukai habitat pematang dan tanggul sawah yang tinggi dan lebar,
maka dari itu pematang sawah dianjurkan dibuat rendah dengan tinggi kurang dari
30cm (Sudarmaji, 2004).
Pengendalian dengan fisik mekanis dilakukan apabila tindakan yang telah
dilakukan tidak mendapat hasil yang optimal. Pengendalian secara mekanis yaitu

membongkar liang, mengguyur liang dengan air, membunuh dengan gropyokan,
pengemposan dengan asap blerang dan membuat tanaman perangkap/TBS.
Pengemposan lubang tikus yang aktif dianjurkan untuk dilakukan selama masa
reproduksi pada tanaman, yaitu pada saat umpan beracun menjadi tidak efektif.
Pengemposan dihentikan apabila tikus tidak lagi hidup di lubang yakni pada saat
tanaman mulai menyediakan tempat berlindung yang memadai bagi tikus.

Universitas Sumatera Utara

Pengemposan sarang tikus hanya berpengaruh sebagian saja karena hanya tikus
yang masih tinggal disarangnya saja yang mati. Pengemposan tidak hanya akan
membunuh tikus dewasa tetapi juga anak-anak tikus (Baco, 2011).
Penggunaan perangkap merupakan metode pengendalian fisik mekanis
terhadap tikus yang paling tua digunakan. Dalam aplikasinya, metode ini
merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat
digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat
mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Perangkap dapat dikelompokkan menjadi
empat jenis yaitu live-trap (perangkap hidup), snap-trap (perangkap yang dapat
membunuh tikus), sticky board-trap (perangkap berperekat), dan pit fall-trap
(perangkap jatuhan) (Mutiarani, 2009).

Pengendalian secara biologis yaitu pengendalian dengan memanfaatkan
musuh alami tikus. Musuh alami tikus yang paling dikenal adalah kucing, anjing,
ular, dan burung hantu. Predator ini sangat membantu usaha menjaga tetap
rendahnya tingkat populasi tikus. Sayangnya predator berkembang biak jauh lebih
lambat dibandingkan tikus. Oleh karena itu predator tidak dapat mengurangi
populasi tikus yang tinggi dalam jumlah besar. Predator akan membantu petani
menjaga populasi tikus agar tetap rendah. Predator juga mungkin memakan tikus
yang keracunan, oleh karena itu diperlukan perhatian besar untuk memusnahkan
bangkai tikus dari sawah sesudah pengumpanan guna menghindari keracunan
pada predator dan hewan pemakan bangkai (Syamsuddin, 2007).
Pengendalian dengan rodentisida merupakan tindakan akhir yang
dilakukan apabila semua pengendalian tidak mendapatkan hasil yang optimal.
Rodentisida merupakan bahan kimia yang apabila masuk ke dalam tubuh tikus

Universitas Sumatera Utara

akan mengganggu metabolisme tikus sehingga menyebabkan tikus keracunan dan
mati. Rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida kronis dan akut.
Rodentisida kronis atau antikoagulan merupakan racun yang bekerja lambat,
gejala keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang cukup lama

yaitu 24 jam atau lebih. Rodentisida akut merupakan racun yang bekerja dengan
cepat dan dapat menyebabkan kematian tikus lebih cepat dibandingkan
rodentisida kronis. Gejala keracunan hewan sasaran akan terlihat dalam
waktuyang relatif singkat yaitu kurang dari 24 jam bahkan dalam waktu beberapa
jam saja (Syamsuddin, 2007).
Alternatif pengendalian
Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi
untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian
yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang tidak disukai oleh tikus atau
penggunaan bahan-bahan yang bersifat toksik bagi tubuh racunmerupakan salah
satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman.
Penggunaan bahan-bahan nabati yang bersifat ramah lingkungan sudah
sangat berkembang menjadi alternatif pengendalian hama. Pestisida nabati adalah
pestisida yang berasal dari tumbuhan, Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi
di alamsehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Dengan
pemanfaatan pestisida nabati, para petani diharapkandapat memenuhi kebutuhan
bahan pengendali OPT dengan memanfaatkansumberdaya alam yang ada di
sekitar mereka, sehingga pada akhirnya diharapkan petani mampu berswasembada
pestisida(PUSLITBANGBUN, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan
dasar rodentisida seperti serai (Cymbopogon nardus), cengkeh (Syzygium
aromaticum), akar tuba (Deris eliptica), gadung (Dioscorea hispida), tembakau
(Nicotiana tabacum), Sirsak (Annona muricata), jengkol (Archidendron
pauciflorum), mengkudu (Morinda citrifolia), biji jarak (Jathropha curcas),
babadotan (Ageratum conyzoides) dan lainnya (PUSLITBANGBUN, 2012).
Umbi Gadung (Dioscorea hispida L.)
Gadung (Dioscorea hispida) merupakan tumbuhan perambat, berumur
menahun (perenial), panjang bisa mencapai 10 m. Batang berkayu, silindris,
membelit, warna hijau, bagian dalam solid, permukaan halus, berduri. Daun
majemuk, bertangkai, beranak daun tiga (trifoliolatus), warna hijau, panjang 20 –
25cm, lebar 1 - 12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing
(acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, pertulangan melengkung
(dichotomous), permukaan kasap (scaber). Bunga majemuk, bentuk bulir
(spica),muncul dari ketiak daun (axillaris). Buah lonjong, panjang kira-kira 1 cm.
Akar serabut.
Kardinan (2005) melaporkan bahwa umbi gadung dapat juga dipakai
sebagai rodentisida dengan mencampur dalam umpan yang berupa pakan untuk
tikus. Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid yang bersifat racun dan
diosgenin yang tidak beracun, juga saponin berupa dioscin yang bersifat racun
yang dapat mematikan tikus dengan beberapa gejala tertentu, selain itu juga
mengandung senyawa sianida yang beracun. Dari umbi gadung segar bisa
menghasilkan sekitar 400 mg sianida per kilogram (Koswara, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Umbi gadung mengandung bahan yang mempunyai efek penekan
kelahiran (aborsi atau kontrasepsi) yang mengandung steroid dan efek penekan
populasi yang mengandung alkaloid. Posmaningsih, et al (2014) mendapatkan
hasil bahwa rodentisida kadar 30 % adalah yang paling efektif. Selain itu umbi
gadung bersifat antifeedant sehingga menurunkan nafsu makan tikus dan
membuat tikus tidak dapat bergerak lincah.
Dengan penggunaan umpan gadung dengan dosis yang kurang atau kebal
dosis (sub-lethal) meskipun tidak sampai membunuh tetapi dapat menyebabkan
kemandulan, sehingga secara tidak langsung dapat menekan populasi tikus.
Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan,
aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus, namun
memiliki kelemahan juga yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis serta tidak
tahan simpan. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus
dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati ditempat. Bahan tambahan
yang digunakan pada umpan dapat berasal dari olahan hewan atau tumbuhan.
Bahan baku penyedap atau penarik pada umpan harus mudah didapat dan mudah
dibuat. Bahan penyedap dalam umpan dapat meningkatkan kesempatan tikus
menemukan umpan dan makan banyak (Posmaningsihet al., 2014).

Gambar 2.Tanaman umbi gadung (Dioscorea hispida L.)
(sumber : Sari,2015)

Universitas Sumatera Utara

Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tembakau

merupakan

tanaman

semusim

yang berbentuk

perdu,

merupakan anggota dari famili Solanaceae. Tingginya dapat mencapai 2 m.
Batangnya berkayu, bulat berbulu dengan diameter sekitar 2 cm dan berwarna
hijau. Daunnya tunggal, berbulu, bulat telur, tepinya rata, ujung runcing,
pangkalnya tumpul. Panjang daun antara 20-50 cm dan lebarnya 5-30 cm.
Bunganya majemuk dan tumbuh di ujung batang. Kelopak bunga berbulu, pangkal
berlekatan dan ujungnya terbagi lima. Buah bulat telur, bewarna hijau ketika
masih muda dan bewarna coklat dan memiliki akar tunggang. Bagian tumbuhan
yang digunakan adalah daun dan batangnya. Batang dan sisa-sisa daun yang tidak
terpakai mengandung bahan aktif yangsangat tinggi, yaitu nikotin senyawa
organik yang sangat spesifik(PUSLITBANGBUN, 2012).
Nikotin pada tembakau dapat bersifat repelent (penolak serangga),
fungisida, akarisida, dan rodentisida(PUSLITBANGBUN, 2012).Bagian tanaman
pada tembakau yang dapat digunakan yaitu bunga, buah, biji, kulit batang, daun
dan akar (Rachmawati, 2013). Mekanisme kerja pestisida dengan bahan aktif
tembakau antara lain sebagai repellent, sebagai antifeedant, dapat mengganggu
proses pencernaan dan mengakibatkan kemandulan(Indrarosa, 2013).
Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan karena
kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya yaitu nikotin (Rudiyanti,
2010). Dalam kadar rendah tembakau bersifat membius, namun dalam kadar yang
tinggi yaitu >30 mg dapat mematikan. Kemampuan nikotin dalam membunuh
hama disebabkan karena nikotin merupakan racun saraf yang dapat bereaksi

Universitas Sumatera Utara

sangat cepat. Alkaloid nikotin, sulfat nikotin dan kandungan nikotin lainnya dapat
digunakan sebagai racun kontak, fumigan dan racun perut (Hasanah, et al, 2012).
Kardinan (2012) menambahkan bahwa nikotin bekerja sebagai fumigan
yang akan menguap dan menembus secara langsung ke integumen. Secara umum
gejala-gejala keracunan nikotin yaitu rangsangan, kejang-kejang, cacat dan
kematian (Matsumura, 1975). Filtrat daun tembakau mengandung senyawa aktif
seperti terpenoid yang bersifat antifeedantyang dapat menghambat aktivitas
makan serta bersifat sebagai repellent (Anggriani, et al (2013) ; Mayanti, et al
(2006). Senyawa ini berperan sebagai racun saraf dan racun perut yang dapat
mematikan jika masuk ke dalam saluran pencernaan melalui makanan yang
mereka makan, kemudian diserap oleh saluran pencernaan tengah (Junar, 2000);
Endah dan Heri (2000).
Pestisida nabati yang dihasilkan dari tanaman tembakau dilaporkan yang
paling toksik dibanding dari jenis tanaman lainnya dan memiliki nilai LD50antara 50 dan 60 ppm. Pestisida nabati ini merupakan racun saraf yang bekerja
cepat dan bekerja secara kontak.

Gambar 3. Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
(sumber : Nuryanti, 2015

Universitas Sumatera Utara

Biji jarak (Jathropha curcas)
Jarak pagar termasuk kedalam famili Euphorbiaceae, satu famili dengan
karet dan ubi kayu, sehingga tanaman ini dapat setinggi ubi kayu (+ 2 m). Batang
berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah, percabangan tidak teratur.
Daunnya tunggal berlekuk bersudut 3-5, tulang menjari dengan 5-7 tulang utama.
Permukaan daun bagian atas dan bawah bewarna hijau, tapi bagian bawah lebih
pucat. Bunga tersusun dalam rangkaian (influorescen), biasanya terdiri atas 100
bunga atau lebih. Buah sedikit berdaging bewarna hijau muda, kemudian kuning
lalu mengering dan pecah (PUSLITBANGBUN, 2012).
Selain daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tikus sawah
memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat, sehingga
populasi tikus sawah dapat meningkat dengan cepat Untuk mengatasi hal ini,
diperlukan suatu teknik pengendalian, dengan mempengaruhi tingkat fertilitasnya.
Biji jarak (Jathropha curcasL.) diduga mempunyai efek antifertilitas yang
diharapkan dapat mengurangi jumlah populasi tikus sawah.
Di alam terdapat banyak sumber nabati yang bersifat antifertilitas, di
antaranya adalah biji jarak (Jathropha curcasL.), yang mengandung bahan aktif
ricin. Menurut Yong (2000) ricin mempunyai aktifitas 6000 kali lebih beracun
daripada sianida dan 12.000 kali lebih beracun daripada bisa ular rattlesnake.
Menurut Sandhyakumari et al (2003),J. curcasdapat menyebabkan penurunan
jumlah spermatozoa tikus, kelainan gerakan dan morfologi spermatozoa serta
penurunan hormon testosteron. Dengan demikian dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangkan untuk pengendalian populasinya.

Universitas Sumatera Utara

Biji jarak mengandung senyawa yang bersifat racun. Pengaruh racun
tersebut perlu diuji untuk rnengetahui daya bunuh dan antifertilitas terhadap tikus
sawah. Menurut Yong (2000), senyawa ricin yang dicampur dalam umpan
terbukti untuk menanggulangi hama tikus. Berdasarkan hal tersebut dan dari hasil
penelitian Istriyati dan Febri (2008), maka diuji efek biji jarak terhadap struktur
histologis testis tikus.
Biji jarak mengandung 40-50% minyak jarak dan juga mengandung
alkaloida risinin sementara daunnya mengandung saponin dan senyawa-senyawa
flavonoida. Keracunan ricin dapat melalui pernapasan, pencernaan dan injeksi.
Risin merupakan suatu protein enzim yang memiliki 2 rantai yaitu rantai A dan
rantai B. Rantai

A yang bersifat toksik akan menginaktivasi ribosom yang

mengakibatkan kematian pada sel (Hadi, 2006).
Biji jarak memiliki mekanisme kerja sebagai racun perut

pada tikus

melalui proses memakan hingga masuk kedalam organ pencernaan hingga
disebarkan oleh tubuh tikus ataupun serangga ke sistem saraf ( Djojosumarto,
2008). Sedangkan Lisdianita (2010) menyatakan bahwa Ekstrak biji dan daun
jarak efektif mengendalikan tikus.

Gambar 4. Tanaman jarak (Jathropha curcas)
(sumber :Sitorus, 2011)

Universitas Sumatera Utara

Babadotan (Ageratum conyzoidesL.)
Ageratum conyzoides (babadotan) adalah sejenistanaman perdu yang
tumbuh di daerah basah danberawa. Tanaman ini termasuk ke dalam famili
Asteraceae dan banyak dijumpai tumbuh di berbagaidaerah di Indonesia. Secara
umum tanaman inimemiliki rasa yang pahit dan mengeluarkan aromayang kurang
sedap sehingga kurang diminati olehternak sebagai pakan hijauan .
Sekelompok tikusWistar diberi diet yang mengandung tanamanbabadotan
sebesar 10-30% setiap hari secara laboratorikmenunjukkan perubahan pada
jaringan hatinya secara konsisten (Sani andStoltz, 1993). Perubahanhistopatologis
umumnya terlihat berupa anisokariosissel hati, megalositosis dan proliferasi sel
saluranempedu. Analisis yang dilakukan Sani et al., (1998) mencoba untuk
mengidentifikasisenyawa toksik daun babadotan secara kimiawi danmelaporkan,
bahwa tanaman tersebut mengandungsenyawa pirolizidin alkaloida dengan
struktur kimiaberupa lycopsamin dan echinatin.
Semua kegunaan atau khasiat dari babadotan dikarenakan kandungan
senyawa aktif yang terdapat dibagian tubuhnya. A. conyzoides mengandung
banyak komposisi senyawa aktif diantaranya flavonoid, fenolik, alkaloid,
kumarin, minyak esensial krom, benzofuran, saponin, steroid, terpenoid dan tanin
(Roder and Wiedenfeld, 1991).

Gambar 5. Babadotan (Ageratum conyzoidesL.)
(sumber :Hafsah, 2013)

Universitas Sumatera Utara