Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 Diabetes

Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya (Perkeni, 2011).
Diabetes adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan kadar gula
darah tinggi. Pada penderita DM, tubuh tidak mampu memproduksi insulin dalam
jumlah cukup atau insulin dalam tubuh tidak bekerja dengan baik . Jika gula darah
menumpuk dalam tubuh dan tingkat yang tidak terkontrol, dapat menyebabkan
komplikasi kesehatan yang serius, seperti penyakit jantung, stroke, penyakit
ginjal, kebutaan, amputas, dan kematian (CDC, 2015).
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja

insulin,


atau

kedua-duanya

(Purnamasari,

2009).

Hiperglikemia

didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL.
Riyadi dan Sukarmin (2008) menyebutkan rentang glukosa darah non puasa
sekitar 140-160/ dL darah.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kalenjar pankreas. Secara fisiologis, regulasi glukosa
darah yang baik diatur bersana dengan hormon glukagon yang disekresikan oleh
sel alfa kelenjar pankreas (Manaf, 2009).

8


Universitas Sumatera Utara

9

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai
anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk
kemudian di dalam sel glukosa di metabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin
tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke sel beta dengan akibat glukosa akan
tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah akan
meningkat (Suyono, 2007).
2.2

Klasifikasi Diabetes Mellitus

2.2.1

Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi akibat penghancuran autoimun dari sel β


penghasil insulin di pulau Langerhans pada pankreas (Bilous dan Donelly, 2014).
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala- gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap
perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin (Price dan Wilson,
2015).
Kondisi ini biasanya timbul pada anak atau remaja, pria maupun wanita.
Gejalanya timbul mendadak dan bisa langsung berat, bahkan sampai koma apabila
tidak segera dapat suntikan insulin. Penderita DM tipe 1 perlu suntikan insulin
secara teratur (Tandra, 2014).
2.2.2

Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit dengan keadaan bervariasi ,

mulai dari dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan sekresi insulin disertai resistensi insulin (Perkeni, 2011). Pada DM tipe 2
keparahan penyakit disebabkan multifaktor. Banyak hal yang menjadi faktor

Universitas Sumatera Utara


10

risiko penderita diantaranya adalah interaksi antara gaya hidup, lingkungan,
genetik, dan imunitas tubuh terkait insulin (Hillson, 2015). Diabetes tipe 2
merupakan bentuk tersering dan biasanya berkaitan dengan obesitas (Barrett
et.all, 2015).

2.3

Gejala Diabetes Mellitus
Penderita DM biasanya tidak menyadari sudah menderita DM karena

gejala – gejala berbeda setiap individu (IDF, 2014). Namun ada tanda-tanda
umum untuk acuan diagnosa penyakit DM, diantaranya adalah:
1. Sering buang air kecil (poliuria)
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu
penderita, terutama pada malam hari (Subekti, 2009)
2. Sering merasa haus (polidipsi)
3. Sering merasa lapar (polipaghia)

4. Penurunan berat badan secara cepat
5. Mudah lelah
6. Kesemutan pada ujung syaraf di telapak tangan dan kaki
7. Penglihatan kabur
8. Luka sulit sembuh
Keluhan ini merupakan penyulit yang disebabkan menurunnya pertahanan
tubuh. Apabila penderita terserang infeksi,

kuman-kuman akan berkembang

pesat. Penderita juga mengalami gangguan saraf tepi sehingga lebih mudah
menderita luka. Hal ini terjadi karena berkurangnya mekanisme pertahanan tubuh

Universitas Sumatera Utara

11

dan deteksi dini, yaitu rasa sakit. Karena itu, kadang-kadang penderita tidak
menyadari timbulnya luka (Irianto, 2014). Hal lain yang menyebabkan infeksi dan
luka sulit sembuh dikarenakan penurunan fungsi leukosit. Kerentanan semakin

meningkat karena kadar glukosa darah penderita DM dapat naik turun (Guntur,
2008).
2.4

Diagnosa Diabetes Mellitus
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa

darah. Untuk memastikan diagnosa DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya (Purnamasari, 2007). Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2011).
Diagnosis dapat ditegakkan melalui tiga cara . Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM.
Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini

dianjurkan untuk diagnosis DM.
Ketiga dengan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO
dengan beban 75 gr glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan

Universitas Sumatera Utara

12

pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktik sangat jarang
dilakukan. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
atau GDPT (Gula Darah Puasa Terganggu) tergantung dari hasil yang diperoleh.
Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma setelah diberikan beban glukosa 75 gr adalah antara 140-199
mg/dL. Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (Perkeni, 2011).
TTGO dilakukan untuk mendiagnosis diabetes mellitus pada seseorang
yang memiliki kadar gula darah dalam batas normal-tinggi atau sedikit meningkat.
Uji ini dapat diindikasikan jika terdapat riwayat diabetes dalam keluarga dan

memiliki masalah kegemukan (Kee, 2008).
Seseorang dapat dikatakan DM bila didiagnosis dengan kriteria diagnostik
DM dan gangguan toleransi glukosa yaitu kadar glukosa darah sewaktu (plasma
vena) ≥ 200 mg/dl, kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, kadar
glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada Test
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) (Perkeni, 2011).

Universitas Sumatera Utara

13

2.5

Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.5.1

Distribusi dan Frekuensi

a.


Menurut Orang
Saat ini diperkirakan lebih dari 9% penduduk dunia umur dewasa diatas 18

tahun memiliki penyakit DM ( WHO, 2015). Lebih dari 44,9 % kematian akibat
DM terjadi pada usia dibawah usia 60 tahun. Sebanyak 320,5 juta jiwa penduduk
umur produktif (20-64 tahun) menderita diabetes dan 94, 2 juta jiwa berusia 65-79
tahun. Penderita DM berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2015 lebih tinggi
paada laki- laki. Sebanyak 215, 2 juta jiwa laki-laki menderita DM dan 199, 5 juta
jiwa pada perempuan. Pada tahun 2040 diproyeksikan 313, 3 juta jiwa penderita
DM berjenis kelamin perempuan dan 328,3 juta jiwa penderita DM laki-laki
(IDF, 2015).
Angka kematian akibat DM di Indonesia pada tahun 2012 adalah 61,7 %
pada perempuan dan pada laki-laki 71,9 % (WHO, 2014). Proporsi penderita DM
berdasarkan Riskesdas (2013) meningkat seiring meningkatnya umur. Proporsi
tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun (13,30%), jenis kelamin perempuan
7,7% dan laki-laki 5,6% (Kemenkes, 2014).
Hasil penelitian Riris (2015) di Rumah Sakit Martha Friska menunjukkan
proporsi penderita DM dengan komplikasi tertinggi pada kelompok umur 61-70
tahun (35,7%), jenis kelamin perempuan (57,4%).

b. Menurut Tempat
Peningkatan angka kejadian diabetes di dunia merupakan trend pada
populasi seiring perpindahan (urbanisasi) populasi dari pedesaan ke perkotaan.

Universitas Sumatera Utara

14

Penderita DM berdasarkan tempat tinggal menurut data Diabetes Atlas
menunjukkan angka lebih tinggi di daerah perkotaan (269, 7 jiwa) dibandingkan
di daerah pedesaan (145, 1 jiwa). Negara- negara dengan pendapatan menengah
kebawah menggambarkan angka kejadian penyakit diabetes di daerah pedesaan
adalah 126,7 juta jiwa sedangkan di daerah perkotaan adalah 186,2 juta jiwa.
Peningkatan jumlah penderita DM akan diproyeksikan menjadi 477,9 juta di
daerah perkotaan dan 163, 9 juta di daerah pedesaan tahun 2040 (IDF, 2015).
c. Menurut Waktu
Menurut WHO (2014) lebih dari 350 juta penduduk dunia menderita DM
pada tahun 2012. Penyakit ini menjadi penyebab langsung kematian 1,5 juta
penduduk, dengan lebih dari 80% diantaranya terjadi di negara berkembang.
Berdasarkan hasil penelitian Diabetes Atlas 2015 perkiraan


jumlah

penduduk dewasa diseluruh dunia yang menderita diabetes tahun 2015 terdata
415 juta penduduk di seluruh dunia yang menderita penyakit diabetes mellitus.
Jumlah ini akan mengalami peningkatan pada tahun 2040 menjadi 642 juta
penduduk (IDF, 2015).
2.5.2

Determinan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2

a. Genetik
Hasil penelitian menunjukkan penderita DM yang diketahui saat remaja
memiliki setidaknya ada satu orang tua yang menderita DM atau riwayat penyakit
DM dalam keluaga yang diturunkan 45-80% kepada anaknya. Penyakit DM yang
diturunkan pada anak penderita DM 74-100% merupakan DM tipe 2 (Ali, 2015).

Universitas Sumatera Utara

15

b. Umur
Manusia umumnya mengalami penurunan fisiologis yang menurun sangat
cepat setelah umur 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko untuk penurunan
fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi hormon insulin. Diabetes sering
muncul setelah seseorang memasuki umur 45 tahun terlebih pada orang dengan
kelebihan berat badan (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
c. Gaya Hidup dan Pola Makan
Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang
mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke baratbaratan, dengan protein, lemak, gula, garam, dan mengandung sedikit serat.
Komposisi makanan seperti terutama terdapat pada makanan siap santa yang
akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda (Suyono ,2009).
Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperan
pada ketidakstabilan kerja pankreas. Pola makan yang menyebabkan kurang gizi
atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan risiko terkena diabetes.
Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan gangguan
kerja atau resistensi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Disamping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi
sampai sore hari bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang
meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi dan olahraga . pola
hidup berisiko seperti inilah yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit
diabetes (Suyono, 2009).

Universitas Sumatera Utara

16

d. Obesitas
Diabetes mellitus sangat berkaitan dengan obesitas. Sebagian besar pasein
DM tipe 2 adalah obes, dan obesitas itu menyebabkan resistensi insulin. Obesitas
mengakibatkan sel-sel

beta pankreas

mengalami

hipertropi

yang akan

berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Obesitas menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin sehingga menyebabkan
resistensi insulin ( Guntur, 2008).
Obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan
metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan
protein serta kerusakan berbagai jaringan tubuh (Manaf, 2009). Cara menentukan
derajat obesitas ada;ah dengan menggunakan ukuran Body Mass Index atau BMI.
Kita menyebutnya IMT (Indeks Massa Tubuh) (Tandra, 2014). Cara menghitung
IMT adalah:

Seseorang dapat dikatakan obesitas apabila IMT 25-30 kg/m2 dan berat
badan lebih dengan IMT 23-24,9 kg/ m2. Obesitas dapat disebabkan oleh banyak
hal. Berat badan dipengaruhi lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya aktivitas
fisik, dan kemiskinan. Obesitas pada perempuan berakar pada obesitas masa kecil
dan pada laki-laki setelah umur 30 tahun (Sugondo, 2009).
Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih banyak. Insulin mempunyai peran
penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak dan sintesis lemak
dalam jaringan adiposa. Insulin merangsang lipogenesis pada jaringan arterial dan
jaringan adiposa melalui peningkatan produksi acetyl- CoA,

meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

17

asupan trigliserida dan glukosa. Resistensi insulin dapat menyebabkan
terganggunya proses penyimpanan lemak maupun sintesis lmak (Sugondo, 2009).
Tahun 2010 proporsi penduduk orang dewasa AS (19,9% ) memiliki
kecenderungan diabetes dengan faktor resiko obesitas 84,7%, dan 36,1%
dilaporkan tidak aktif secara fisik. Pada tahun 2009 proporsi penduduk 57,1%
orang dewasa AS dengan diabetes dilaporkan memiliki hipertensi,

merokok

sebesar 56,9%, dan 58,4% melaporkan bahwa kolesterol mereka tinggi (CDC,
2009). Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi obesitas penduduk > 18
tahun di Indonesia sebesar 11,7%, sebesar 7,8% pada laki-laki dan 15,5% pada
perempuan (Depkes, 2008).
Prinsip penatalaksanaan DM dengan obesitas adalah menurunkan berat
badan dengan diet DM. Pilihan obat untuk penderita DM dengan obesitas tidak
dengan insulin karena selain mempunyai efek menaikkan berat badan dapat
menyebabkan hiperinsulinme. Sebaiknya digunakan obat hipoglikemi oral
(Guntur, 2008).
Diet menjadi kunci utama penurunan berat badan. Para ahli mengakui
bahwa dengan diet yang benar Anda dapat mengurangi kandungan lemak dalam
tubuh. Diet rendah kalori dan tinggi serat perlu dilakukan bersamaan dengan
olahraga setiap hari, sehingga tercapai keseimbangan negatif, dimana pembakaran
kalori lebih banyak daripada pemasukan. Aktivitas fisik penting sekali untuk
kesehatan jantung dan pembuluh darah, terutama pada obesitas yang disertai
komplikasi. Bagi pasien diabetes, olahraga akan menghilangkan timbunan lemak
di perut dan memperbaiki kontrol gula darah (Tandra, 2014).

Universitas Sumatera Utara

18

2.6

Komplikasi Diabetes Mellitus

Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi
yang paling utama (Price dan Wilson, 2015).
2.6.1

Komplikasi Akut
Komplikasi akut timbul mendadak dan bersifat darurat dan fatal apabila

tidak segera ditangani (Tandra, 2014).
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan penurunan kadar glukosa darah dengan
gejala berupa gelisah, tekanan darah menurun, lapar, mual, lemah, lesu, keringat
dingin, gangguan menghitung sederhana, bibir dan tangan gemetar, sampai terjadi
koma (Irianto, 2014).
Pada hipoglikemia sering kali berupa komplikasi akibat kelebihan dosis
penyuntikan insulin (Tamher dan Heryati, 2008). Hampir setiap pasien yang
mendapat terapi insulin, dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfoniluera,
pernah mengalami keadaan dimana kadar insulin di sirkulasi darah tetap tinggi
sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Kejadian hipoglikemia
berat juga meningkat dengan penggunaan insulin yang makin lama. Banyak faktor
predisposisi yang memperberat hipoglikemia seperti kadar insulin berlebihan,
peningkatan sensivitas insulin, asupan karbohidrat berkurang dan lain-lain
(Soemadji, 2009).

Universitas Sumatera Utara

19

b. Hiperglikemia
Keadaan ini berlawanan dengan hipoglikemia. Keadaan kelebihan gula
darah yang biasanya disebabkan oleh makan secara berlebihan, stress emosional,
dan penghentian obat DM secara mendadak. Gejalanya berupa penurunan
kesadran serta kekurangan cairan (Irianto, 2014).
Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi
insulin, tetapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh
terhadap insulin yang menyebabkan resisten insulin (Manaf, 2009).
c. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi ini adalah peningkatan senyawa keton yang bersifat asam
dalam darah yang berasal dari asam lemak bebas hasil pemecahan sel-sel lemak
jaringan. Gejala dan tandanya dapat berupa nafsu makan turun, merasa haus,
banyak minum, banyak kencing, mual dan muntah, nyeri perut, pernapasan cepat
dan dalam, napas berbau khas (keton), hipotensi, penurunan kesadaran sampai
koma (Irianto, 2014). KAD adalah komplikasi akut DM yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat , karena dapat mengalami dehidrasi
berat sampai menyebabkan syok (Soewondo, 2009).
Kematian usia muda akibat KAD dapat dihindari dengan diagnosis cepat,
pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar
patofisiologisnya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya. Sekitar 80% pasien KAD adalah
pasien DM dan dijumpai pernapasan cepat dan dalam, berbagai derajat dehidrasi,

Universitas Sumatera Utara

20

kadang-kadang sampai syok. Infeksi adalah faktor pencetus yang paling sering
ditemukan pada pasien DM dan KAD (Soewondo , 2009).
Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada
penderita DM, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat
terjadinya dekompensasi KAD. Dengan demikian pasien dalam keadaan ini
mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika (Price dan Wilson, 2015).
d. Koma Hipersmolar Hiperglikemik Nonketotik (HHNK)
Penyakit ini adalah komplikasi akut /emergensi DM. Koma Hipersmolar
Hiperglikemik Nonketotik

(HHNK) ditandai oleh hiperglikemia, hipersmolar

tanpa adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia
berat dan sering kali disertai gangguan neurologis (Soewondo, 2009).
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosaria.
Glukosaria

mengakibatkan

kegagalan

pada

kemampuan

ginjal

dalam

mengonsentrasikan urine, yang akan semakin memeperberat derajat keehilangan
air. Pasien dengan HHNK umumnya berusia lanjut, pasien DM tipe 2 yang
mendapat pengaturan diet, atau obat hipoglikemia oral (Soewondo, 2009).
HHNK menyerupai KAD namun dengan hiperglikemia, penurunan
volume, dan penurunan air bebas yang lebih berat. Tidak terdapat ketosis.
Pengobatan HHNK terdiri dari rehidrasi, penggantian elektrolit, dan pemberian
insulin secara teratur (Price dan Wilson, 2015).
2.6.2

Komplikasi Kronik
Jika penyakit DM dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, maka akan

menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati

Universitas Sumatera Utara

21

maupun makroangiopati. Adanya pertmbuhan sel dan juga kematian sel tidak
normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes mellitus
(Waspadji, 2009).
a. Komplikasi Mikroangipati
a.1 Retinopati Diabetik
Kerusakan pada pembuluh daarah mata dapat menyebabkan gangguan
penglihatan akibat kerusakan retina mata (Pudiastuti, 2013). Tanda perubahan
retina paling dini adalah peningkatan permeabilitas kapiler mata yang
menyebabkan terjadinya penurunan kapiler retina mata yang diikuti oleh
perdarahan berbentuk titik dan noda-noda berbentuk perahu mendadak meningkat
akibat perdarahan preretina .
Penderita DM berusia diatas 40 tahun di Amerika pada tahun 2005-2008
yang memiliki komplikasi retinopati diabetik memiliki proporsi 28,5 % dari
keseluruhan penderita DM . komplikasi ini merusak pembuluh darah pada bagian
retina mata dan dampat berdampak pada kebutaan (CDC, 2014).
Retinopati diabetik adalah salah satu penyebab utama kebutaan, akibat
terjadi kerusakan pembuluh darah kecil pada retina mata. Komplikasi retinopati
diabetik terbanyak di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011 adalah
33,40% (Kemenkes, 2014).
Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat bermanfaat untuk
mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemungkinan akan mengancam
mata. Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah virektomi dengan berbagai
cara. Tindakan operasi juga untuk mencegah kerusakan fungsi mata (Waspadji,

Universitas Sumatera Utara

22

2009). Bagi penderita katarak, glukoma dan penyakit mata lain yang menderita
DM diharapkan untuk memeriksakan kesehartan mata secara rutin (ADA, 2014).
Sebagian besar penderita DM akan memperburuk penyakit mata dan
menyebabkan kebutaan. Kadar glukosa darah yang tinngi, kolesterol tinggi dan
tekanan darah tinggi merupakan penyebab utama retinopati (IDF, 2015).
a.2 Nefropati Diabetik
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyamdang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminaria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis,
berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glumerular dan berakhir dengan
keadaan ginjal yang memerlukan pengelolaan (Waspadji, 2009).
Nefropati diabetik disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil di
ginjsl yang menyebabkan kerja ginjal menjadi kurang efisien atau bahkan rusak
dan menjadi gagal ginjal (IDF, 2015). Kelainan fungi ginjal dapat menyebabkan
gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci darah (dialisa) (Pudiastuti,
2013).
Penyakit ginjal lebih sering terjadi pada penderita DM dibanding orang
tanpa diabetes. Mempertahankan kadar gula darah dan tekanan darah dalam
keadaaan normal adalah salah satu cara untuk mengurangi risiko penyakit ginjal
(IDF, 2015).
Nefropati diabetk dapat melibatkan saraf-saraf perifer kranial , atau sistem
saraf otonom dan merupakan suatu komplikasi yang lazim terjadi pada penderita
diabetes tipe 1 maupun tipe 2 (Price dan Wilson, 2015).

Universitas Sumatera Utara

23

a.3 Neuropati Diabetik
Neuropati

diabetik

(penyakit

saraf)

pada

penderita

DM

dapat

menyebabkan kerusakan saraf di seluruh tubuh saat glukosa darah maupun
tekanan darah meningkat. Hal ini dapat menimbulkan masalah pencernaan,
disfungsi ereksi dan banyak fungsi lainnya. Bagian tubuh yang paling rentan
terkena neuropati diabetik adalah bagian ekstremitas khususnya kaki. Kerusakan
saraf di bagian kaki menyebabkan rasa nyeri, kesemutan, dan hilang rasa. Hilang
rasa pada penderita DM sangat berkaitan dengan luka dan infeksi yang sering
tidak disadari, bahkan berisiko untuk diamputasi (IDF, 2015). Kerusakan pada
saraf menyebabkan kulit lebih sering cedera, kesemutan, nyeri, dan rasa lemah
(Pudiastuti, 2013).
Sebanyak 60-70 % penderita DM mengalami kerusakan sistem saraf.
Kerusakan yang dialami seperti kesemutan atau nyeri pada tangan dan kaki,
proses pencernaan terhambat, disfungsi ereksi, dan masalah saraf

lainnya.

Hampir 30% dari penderita diabetes berusia 40 tahun atau lebih tua mengalami
gangguan di kaki yang berisiko untuk amputasi tungkai (CDC, 2011).
a.4 Ulkus Diabetik
Penderita DM dengan komplikasi pada umumnya tidak dapat merasakan
perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga dapat
menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka berjalan lambat.
Terapi DM dengan komplikasi ulkus adalah insulin, karena insulin bersifat baik
untuk pembentukan jaringan, apabila jika disertai underweight (Guntur, 2008).

Universitas Sumatera Utara

24

a.5 Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit
paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
b. Komplikasi Makroangiopati
Komplikasi ini mengenai pembuluh besar, pembuluh darah jantung,
pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklorosis. Pada akhirnya, mmskroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan
penyumbatan vaskular (Price dan Willson, 2015).
Penyakit makroangiopati seperti stroke, penyakit arteri perifer dan
penyakit jantung koroner dapat terjadi tiga hingga lima kali lipat pada pasien
diabetes (Bilous, 2014).
b.1 Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering
pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk
penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: pusing,
hemiplegia, afasia sensorik dan motorik dan keadaan pseudo-dementia (Permana,
2009).

Universitas Sumatera Utara

25

b.2 Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor
risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.
Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris
(nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang
bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras
atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan
lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala dapat
tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti
(Permana, 2009).
b.3 Penyakit Pembuluh Darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis,
yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh
darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokard, dan pada
akhirnya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada
diabetes dibanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila
terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu
bila sudah mencapai fase IV. Faktor faktor neuropati, makroangiopati dan

Universitas Sumatera Utara

26

mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses
gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangren dapat mengalami amputasi,
sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, atau pun kematian (Permana, 2009).
2.7

Pencegahan

2.7.1

Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi

sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat.
Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya petugas
kesehatan tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Penyuluhan tentang
makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola
makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan sudah harus ditanamkan pada
anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Selain makanan juga cara hidup
berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk dengan
olahraga teratur dengan menganjurkan olahraga kepada kelompok berisiko tinggi,
misalnya anak-anak pasien diabetes (Suyono, 2009).
Edukasi, perencanaan makan, dan latihan jasmani adalah cara pencegahan
primer yang wajib dilakukan untuk mencegah DM (Guntur, 2008).
2.7.2

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan suatu upaya untuk mencegah dan

menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaaan skrining. Hanya saja
pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Pengobatan penyakit

Universitas Sumatera Utara

27

sejak awal harus segera di dilakukan untuk mencegah kemungkinan penyakit
menahun (Shadine, 2010).
2.7.3

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berupaya mencegah komplikasi lanjut dan kecacatan

yang dilibatkannya (Suyono, 2009). Jika penyakit DM terjadi, maka para ahli
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi penderita
sedini mungkin sebelum penderita mengalami kecacatan yang menetap.
Contohnya acetol dosis rendah (80-325 mg) dapat diberikan secara rutin bagi
pasien DM yang memiliki komplikasi penyakit makroangiopati (pembuluh darah
jantung, pembuluh darah otak, pembuluh darah kapiler retina mata, pembuluh
darah kapiler ginjal). Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi
antardisplin sangat diperlukan (Shadine, 2010).
2.8

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2
Penatalaksanaan seperti penatalaksanaan medis dan non medis seperti

gaya hidup, pola makan dan asupan gizi mempengaruhi keparahan komplikasi
DM tipe 2.
2.8.1

Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,

Universitas Sumatera Utara

28

tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus. Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu
selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian
yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik (Perkeni, 2011). Edukasi
mengenai DM dan pengelolaannya, akan memengaruhi peningkatan kebutuhan
pasien untuk berobat (Shadine, 2010).
2.8.2

Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
hipoglikemik oral atau insulin.
2.8.3

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-haridan latihan jasmani secara teratur (34 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

Universitas Sumatera Utara

29

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas malasan (Perkeni, 2011).
2.8.4

Intervensi farmakologis

a.

Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan (PERKENI,

2011):
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPPIV-inhibitor
Obat hipoglikemik diberikan secara oral dan cara pemberian OHO
(Soegondo, 2009) adalah :
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal.
2. Harus diketahui bagaimana cara kerja, lama kerja, dan efek samping obatobatan jenis OHO ini.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan adanya kemungkinan interaksi obat.

Universitas Sumatera Utara

30

4. Usahakan agar obat terjangkau oleh pasien.
5. Bila penggunaan obat gagal, usahakan beralih ke golongan OHO lain, baru
beralih ke pengobatan menggunakan insulin.
b.

Suntikan Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,

dihasilkan oleh sel beta kalenjar pankreas. Secara fisiologis, regulasi glukosa
darah yang baik diatur secara bersama dengan hormon glukagon yang
disekresikan oleh sel alfa kalenjar pankreas (Manaf, 2009). Insulin diperlukan
untuk permeabilitas membran sel terhadap glukosa dan untuk transportasi glukosa
ke dalam sel. Tanpa insulin, glukosa tidak dapat memasuki sel (Kee, 2008).
Pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol gula darah yang tidak baik
dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk
penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin
tunggal. Pada awalnya pemberian insulin ditujukan untuk pasien DM tipe 1. Pada
kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh penderita DM tipe 2 karena
prevalensi DM tipe 2 jauh lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Insulin pada
pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi
oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c>7,5% atau kadar glukosa
darah puasa> 250 mg/dL ), riwayat pankreaktektomi, atau disfungsi pankreas,
riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat
penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun
(Perkeni, 2011).

Universitas Sumatera Utara

31

Insulin diperlukan pada keadaan (Perkeni, 2011):
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, stroke)
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Universitas Sumatera Utara

32

2.9

Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
dengan Komplikasi
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
2. Keluhan Utama
3. Jenis Komplikasi
4. Pengobatan
5. Sumber Biaya
6. Lama Rawatan Rata- Rata
7. Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara