Analisis Metode Analytic Hierarchy Process Dengan Pendekatan Logika Fuzzy

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan

yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan
menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi
suatu hirarki, menurut Saaty (2008), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi
dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana,
level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang
kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak
lebih terstruktur dan sistematis.
AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan
metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:
1.

Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada subkriteria yang paling dalam.


2.

Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

3.

Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.

Layaknya sebuah metode analisis, AHP juga memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam sistem analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah:
a.

Kesatuan (Unity)
AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu
model yang fleksibel dan mudah dipahami.

Universitas Sumatera Utara


21

b.

Kompleksitas (Complexity)
AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem
dan pengintegrasian secara deduktif.

c.

Saling ketergantungan (Inter Dependence)
AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan
tidak memerlukan hubungan linier.

d.

Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen
sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level.


e.

Pengukuran (Measurement)
AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan
prioritas.

f.

Konsistensi (Consistency)
AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan
untuk menentukan prioritas.

g.

Sintesis (Synthesis)
AHP

mengarah


pada

perkiraan

keseluruhan

mengenai

seberapa

diinginkannya masing-masing alternatif.
h.

Trade Off

AHP

mempertimbangkan

prioritas


relatif

faktor-faktor

pada sistem

sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan.
i.

Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)
AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil
penilaian yang berbeda.

j.

Pengulangan Proses (Process Repetition)
AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan
mengembangkan penilaian serta pengertian melalui proses pengulangan.


Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut:

21
Universitas Sumatera Utara

a.

Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa
persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang
ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan
penilaian yang keliru.

b.

Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik
sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.

c.

Tidak seimbang dalam skala penilaian perbandingan berpasangan. Skala

AHP yang berbentuk bilangan tegas (crisp) dianggap kurang mampu
menangani ketidakpastian (Anshori, 2012)

2.1.1 Prinsip Dasar Pada AHP
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan masalah
dengan menggunakan metode AHP, yaitu:
1.

Dekomposisi (Decomposition)
Setelah

mendefinisikan

permasalahan atau persoalan,

maka

perlu

dilakukan dekomposisi, yaitu: memecah persoalan yang utuh menjadi

unsur-unsurnya. Dilakukan hingga tidak memungkinkan pemecahan lebih
lanjut. Oleh karena itu, proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy).

Dalam penyusunan hirarki pada AHP tingkat teratas disebut dengan tujuan
atau fokus. Sementara itu, tingkat dibawahnya adalah kriteria. Apabila masih
dapat dipecahkan kembali maka tingkatan berikutnya disebut dengan sub
kriteria dan seterusnya sampai pada tingkat terakhir adalah alternatifalternatif yang akan dievaluasi atau dipilih. Contoh hirarki pada AHP
menurut dapat dilihat pada gambar 2.1.
Tujuan

C1

C2

Tujuan



C3


Cn

Kriteria

3
22
Universitas Sumatera Utara

A1

A2

A3



An

Alternatif


Gambar 2.1 Hirarki Analitic Hierarcy Process
Sumber : Saaty, 2008
2.

Penilaian Komparasi (Comparative Judgement).
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang relative dua elemen pada suatu
tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Hasil dari
penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks perbandingan
berpasangan (Pairwise Comparasion)

3.

Penentuan Prioritas (Synthesis of Priority).
Dari setiap matriks pairwise comparison akan didapatkan prioritas lokal.
Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk
menentukan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal.
Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hierarki.

2.1.2 Penentuan Prioritas
Setiap


elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu

sama lain. tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan dalam
permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki

atau

permasalahan

secara

keseluruhan.
Adapun langkah yang dapat dilakukan dalam menentukan kriteria adalah
sebagai berikut:
1.

Prioritas dari kriteria primer dengan melihat pada dampak lainnya dari
seluruh tujuan yang disebut dengan fokus hirarkis;

2.

Menetapkan pertanyaan untuk perbandingan pada setiap matriks. Konsentrasi
pada orientasi pada setiap pertanyaan;

3.

Memprioritaskan subkriteria terhadap kriteria;
23
Universitas Sumatera Utara

4.

Memasukkan perbandingan dua hal dan menetapkan antar hubungan satu
sama lain;

5.

Menghitung prioritas dengan menambahkan unsur-unsur pada setiap kolom
dan membagi pada setiap entry dari total kolom. Rata-rata setiap jumlah baris
menghasilkan matriks dan memliki vektor prioritas.

Nilai yang di berikan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala
perbandingan dari 1-9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada tabel 2.1

Tabel 2.1: Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 2008).
Bobot

Pasangan

1

Artinya

1

Sama pentingnya

3

Sedikit lebih penting

5

Lebih penting

7

Jauh lebih penting

9

Mutlak lebih penting

2,4,6,8

Nilai antara angka ganjil di atas

2.1.3 Matriks Keputusan
Peranan matriks dalam menentukan prioritas sangat tinggi, dimana elemen-elemen
yang ada pada matriks di dapat dengan menetapkan prioritas elemen dengan membuat
perbandingan berpasangan, dengan skala banding yang telah ditetapkan oleh Saaty
seperti pada tabel 2.1.
Manusia mempunyai kemampuan dalam mempersepsikan hubungan antara halhal yang mereka amati, membandingkan sepasang benda dengan kriteria tertentu dan

24
Universitas Sumatera Utara

juga menilai pebedaannya. Telebih lagi membandingkan dua hal yang homogen
dengan perbandingan yang sama, akan terasa lebih muda. Misalnya membandingkan
rasa asam nenas dengan buah-buahan yang lainnya. Untuk itu pada saat pembobotan
AHP menggunakan pairwise comparison yang membandingkan secara berpasangan suatu
hal yang bersifat homogen sehingga hal yang dibandingkan akan lebih mudah dan objektif.
Hasil dari penghitungan ini adalah suatu vektor yang menunjukkkan tingkat kepentingan
antara hal yang satu dengan lainnya, sehingga akan tercipta prioritas solusi yang sesuai
dengan penilayan. Perbandingan ini dilakukan dengan matriks. Misalkan untuk

menentukan kemungkinan orang memilih minumnan di Amerika Serikat matriks
perbandingan keputusan (pairwise comparison) dapat dilihat seperti pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Matriks perbandingan berpasangan (Saaty, 2008)

Kopi
Anggur
The
Bir
Soda
Susu
Air

Kopi
1
1/9
1/5
½
1
1
2

Anggur
9
1
2
9
9
9
9

The
5
1/3
1
3
4
3
9

Bir
3
1/9
1/3
1
2
1
3

Soda
1
1/9
¼
½
1
½
2

Susu
1
1/9
1/3
1
2
1
3

Air
½
1/9
1/9
1/3
½
1/3
1

2.1.4 Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil
perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan
ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Kordi, 1998):
1.

Hubungan kardinal : aij . ajk = aik

2.

Hubungan ordinal

: Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak

Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut:
25
Universitas Sumatera Utara

a. Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila apel lebih enak dua kali
dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pir maka apel lebih enak
empat kali dari pir.
b. Dengan melihat preferensi transitif, misalnya apel lebih enak dari mangga dan
mangga lebih enak dari pir maka apel lebih enak dari pir.

Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan
tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena
ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang.
Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian.
b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.
c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya
dijumlahkan.
d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.
e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1)
f. Rasio Konsistensi (CR) = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random
konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat
dibenarkan.

Daftar Indeks Random Konsistensi (IR) dengan ordo n x n menurut Saaty
dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Indeks Random (Saaty, 2008)
n

IR

N

IR

N

IR

1

0

6

1,24

11

1,51

2

0

7

1,32

12

1,48

3

0,58

8

1,41

13

1,56

4

0,90

9

1,45

14

1,57

5

0,12

10

1,49

15

1,59

26
Universitas Sumatera Utara

2.2 Fuzzy Logic
Logika fuzzy adalah peningkatan dari logika Boolean yang berhadapan dengan konsep
kebenaran sebagian. Di mana logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat
diekspresikan dalam istilah binary (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak), logika
fuzzy menggantikan kebenaran Boolean dengan tingkat kebenaran.

Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1, tingkat keabuan
dan juga hitam dan putih, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti
“sedikit”, “lumayan”, dan “sangat”. Dia berhubungan dengan set fuzzy dan teori
kemungkinan.
Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lotfi Zadeh seorang
kebangsaan Iran yang menjadi guru besar di University of California at Berkeley pada
tahun 1965 dalam papernya yang monumental. Dalam paper tersebut dipaparkan ide
dasar fuzzy set yang meliputi inclusion, union, intersection, complement, relation dan
convexity. Pelopor aplikasi fuzzy set dalam bidang kontrol, yang merupakan aplikasi

pertama dan utama dari fuzzy set adalah Prof. Ebrahim Mamdani dan kawan-kawan
dari Queen Mary College London. Penerapan kontrol fuzzy secara nyata di industri
banyak dipelopori para ahli dari Jepang, misalnya Prof. Sugeno dari Tokyo Institute
of Technology, Prof.Yamakawa dari Kyusu Institute of Technology , Togay dan
Watanabe dari Bell Telephone Labs.
Konsep-konsep dalam logika fuzzy adalah (Kumusamdewi 2006):
1.

Fungsi keanggotaan

2.

Operasi dasar dalam himpunan fuzzy

3.

Variabel Linguistik

4.

Aturan If-then fuzzy

5.

Fuzzifikasi

6.

Inferensi

7.

Komposisi

8.

Defuzzifikasi
27
Universitas Sumatera Utara

9.

Himpunan fuzzy

10. Semesta pembicaraan
11. Domain fuzzy set

2.2.1 Operasi Dasar dalam Himpunan Fuzzy
Terdapat 3 (tiga) operasi dasar dalam himpunan fuzzy, yaitu complement, irisan
(intersection) dan gabungan (Union) (Wang,1997). Fungsi keanggotaan himpunan
fuzzy baru yang dihsilkan dari operasi-operasi tersebut diberikan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4: Tabel operasi dasar dalam himpunan fuzzy (Wang, 1997)
Operasi
Complement
Intersection
Union
Di mana A dan B adalah himpunan Fuzzy,

Fungsi keanggotaan
µ Ā(x) = 1- µ A(x)

µ (A
µ (A

(x) = min [µ A (x), µ B (x)]
(x) = max [µ A (x), µ B (x)]

2.2.2 Himpunan Klasik
Pada

himpunan

tegas

(crisp),

nilai keanggotaan

suatu himpunan A, yang sering ditulis dengan

suatu

item

x

dalam

, memiliki 2 kemungkinan,

yaitu:
1.

Satu (1), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu
himpunan A, atau

2.

Nol (0), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu
himpunan A

Contoh :
Misalkan variabel umur dibagi menjadi 3 kategori (Kusumadewi, 2006)
yaitu:
MUDA

umur < 35 tahun

PAROBAYA

35 ≤ umur ≤ 55 tahun

TUA

umur > 55 tahun
28
Universitas Sumatera Utara

Nilai keanggotaan secara grafis, himpunan MUDA, PAROBAYA, dan TUA
dapat dilihat pada gambar 2.2.
Muda

Parobaya

1
(

Tua

1

1

(

0
Umur (thn)

(

55
Umur (thn)

Umur (thn)

Gambar 2.2 Himpunan Muda, Parobaya, Tua dalam himpunan klasik
Sumber : Kusumadewi, 2006

Keterangan gambar:
1.

Apabila seseorang berusia 34 tahun, maka ia dikatakan Muda (
)

2.

Apabila seseorang berusia 35 tahun, maka ia dikatakan Tidak Muda
(

3.

(

Apabila seseorang berusia 35 tahun, maka ia dikatakan Parobaya
(

4.

(

(

)

(

)

Apabila seseorang berusia 34 tahun, maka ia dikatakan Tidak Parobaya
(

2.2.3 Himpunan Fuzzy
Fungsi keanggotaan adalah kurva yang mendefinisikan bagaimana masing-masing
titik dalam ruang iput dipetakan ke dalam nilai keanggotaan (derajat keanggotaan)
antara 0 dan 1. Fungsi keanggotaan µ memetakan elemen χ dari himpunan semesta X,
ke sebuah bilangan µ(χ), yang menentukan derajat keanggotaan dari elemen dalam
himpunan fuzzy A:
A = {( , µ A( ))|

}

29
Universitas Sumatera Utara

Dimana
µ A( ) adalah fungsi keanggotaan himpunan fuzzy A. Fungsi keanggotaan
memetakan setiap

pada suatu nilai antara [0,1] yang disebut derajat

keanggotaan (membership grade atau membership value).

Menurut Kusumadewi (2006) kisaran nilai fungsi keanggotaan yang paling
umum digunakan adalah interval [0,1]. Dalam kasus ini, masing-masing fungsi
keanggotaan memetakan elemen-elemen dari himpunan semesta X yang diberikan,
yang selalu merupakan suatu himpunan crisp, ke dalam bilangan nyata dalam interval
[0,1].
Untuk membangun derajat keanggotaan dalam himpunan fuzzy dapat dilakukan
dengan langkah-langkah berikut ini:
1.

Fuzzifikasi

Berfungsi untuk mengubah masukan yang bersifat crisp (bukan fuzzy) ke
dalam himpunan fuzzy dengan menggunakan aturan fuzzifikasi.
2.

Defuzzifikasi

Berfungsi untuk mentransformasikan bilangan-bilangan fuzzy (fuzzy set) yang
bersifat fuzzy menjadi bentuk sebenarnya yang bersifat crisp dengan
menggunakan aturan defuzifikasi

Pendekatan triangular fuzzy number dalam metode AHP adalah pendekatan
yang digunakan untu meminimalisasi ketidakpastian dalam skala AHP yang berbentuk
bilangan crisp (Anshori, 2012). Cara pendekatan yang dilakukan adalah dengan
melakukan fuzzifikasi pada skala AHP sehingga diperoleh skala baru yang disebut
dengan skala fuzzy AHP.

2.2.4 Variabel linguistic
Menurut Wang (1997), suatu variabel linguistik adalah sebuah variabel yang memiliki
nilai berupa kata-kata dalam bahasa alamiah. Setiap variabel linguistik berkaitan

30
Universitas Sumatera Utara

dengan sebuah fungsi keanggotaan. Sebagai contoh predikat akademik dapat
dinyatakan sebagai variabel linguistik yang memiliki nilai-nilai lingusitik,
seperti sangat kurang, Kurang, cukup, Baik, Amat baik, dengan fungsi keanggotaan
untuk semua variabel diantara 10 dan 100 dapat digambarkan seperti gambar 2.3.

µ(x)
Sangat
Kurang

Kurang

Cukup

Baik

Amat Baik

1.0

0.0
0

20

50

60

70

90

100

x

Gambar 2.3 Fungsi keanggotaan untuk kelompok kekayaan
Sumber: Wang, 1997
Defenisi formal dari sebuah variable linguistik diberikan sebagai berikut (Wang,
1997): Sebuah variabel linguistik ditentukan oleh (X, T, U, M), di mana:
a.

X adalah nama dari variabel linguistik,

b.

T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat diambil oleh X,

c.

U adalah domain fisik aktual di mana variabel linguistik X mengambil nilainilai kwantitatifnya (crisp),

d.

M adalah suatu aturan semantic yang menghubungkan masing-masing nilai
linguistic dalam T dengan suatu himpunan Fuzzy dalam U.

Dari contoh gambar 2. 1 dapat diperoleh:
a.

X adalah predikat akademik

b.

T ={sangat kurang, kurang, cukup, baik, amat baik},

c.

U=[0,100]
31
Universitas Sumatera Utara

d.

M menghubungkan „sangat kurang‟, „kurang‟, „cukup‟, „baik‟, „amat baik‟,
dengan fungsi keanggotan seperti yang tertera pada gambar 2.2.

2.2.5 Fuzzifikasi.
Dalam fuzzifikasi, variabel input (crisp) dari sistem fuzzy ditransfer ke dalam
himpunan fuzzy

untuk dapat digunakan dalam perhitungan nilai kebenaran dari

premis pada setiap aturan dalam basis pengetahuan. Dengan demikian tahap ini
mengambil nilai-nilai crisp dan menentukan derajat dimana nilai-nilai tersebut
menjadi anggota dari setiap himpunan fuzzy yang sesuai. Setelah fungsi keanggotaan
dari nilai-nilai crisp ditentukan, selanjutnya nilai kebenaran dari premis dihitung.
Premis dari aturan dapat terdiri dari lebih dari satu proposisi yang dihubungkan
dengan operasi seperti konjungsi (AND) dan disjungsi (OR). Untuk menghitung nilai
kebenaran premis, operator fuzzy digunakan untuk memperoleh satu bilangan yang
merepresentasikan hasil dari premis. Jika sebuah premis dari suatu aturan memiliki
derajat kebenaran tidak 0 (nol) maka aturan dikatakan terpicu (fired).

2.2.6 Defuzzifikasi
Input dari proses defuzzifikasi adalah himpunan fuzzy (yang dihasikan dari proses
komposis) dan output adalah sebuah nilai (crisp). Untuk aturan if-then fuzzy dalam
persamaan (1), defuzzifier didefenisikan sebagai suatu pemetaan dari himpunan fuzzy
Bk dalam

(yang merupakan output dari inferensi fuzzy) ke titik crisp y*

(Wang, 1997).
Terdapat 3 (tiga) teknik yang paling umum digunakan yaitu center of gravity
(centriod) defuzzifier, center average defuzzifier, dan maximum defuzzifier. Dalam
center of gravity (centriod) defuzzifier, nilai crisp dari variabel ouput dihitung dengan

menemukan nilai variabel dari pusat gravitasi dari fungsi keanggotaan dari sebuah
himpunan fuzzy. Dalam maximum defuzzifier, salah satu dari nilai-nilai variabel di
mana subset fuzzy memiliki nilai kebenaran maksimum dipilih sebagai nilai crisp
untuk variabel output. Menurut (Wang 1997) center average defuzzifier adalah
metode yang umum digunakan dalam sistem fuzzy dan control fuzzy. metode center
32
Universitas Sumatera Utara

average defuzzifier menggunakan nilai pusat (center) dan tingginya (height) dari

himpunan fuzzy dalam menentukan nilai crisp hasil.
2.3 Teori Fuzzy AHP
Fuzzy AHP merupakan suatu metode yang dikembangkan

dan digunakan untuk

mengatasi keterbatasan yang ada pada metode Analytic Hierarchy Process (AHP)
yaitu ketidakmampuan dalam mempertimbangkan ketidakpastian yang muncul akibat
subjektivitas manusia. Banyak penelitian-penelitian yang telah mengembangkan
metode AHP dengan melakukan pendekatan fuzzy. Didalam penelitian ini dilakukan
pendekatan Triangular Fuzzy Number.

2.3.1 Triangular Fuzzy Number
Bilangan Triangular Fuzzy atau sering disebut dengan Triangular Fuzzy Number
(TFN) merupakan teori himpunan fuzzy membantu dalam pengukuran yang
berhubungan dengan penilaian subjektif manusia memakai bahasa atau linguistik.
Inti dari fuzzy AHP terletak pada perbandingan berpasangan yang digambarkan
dengan skala rasio yang berhubungan dengan skala fuzzy. Bilangan triangular
fuzzy disimbolkan ̃ . Pada metode fuzzy AHP penilaian diubah menjadi bilangan

triangular fuzzy number dalam bentuk (l, m, dan u ).

Ada beberapa aturan operasi aritmatika triangular fuzzy number yang umum
digunakan.

Contoh

(

dimisalkan

terdapat

(Dwianto, 2010)

2

TFN

yaitu

(

dan

=(

=(

=(
(

(

=(

)
)

33
Universitas Sumatera Utara

Pada model AHP orisinil, pairwise comparison menggunakan skala 1-9. Dengan
mentransformasikan triangular Fuzzy Number terhadap skala AHP maka skala yang
digunakan adalah seperti pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Fuzifikasi perbandingan kepentingan antara kriteria (Dwianto 2010)
Skala
AHP
1

Skala Fuzzy
̃ (
=
Jika diagonal

̃ (
=
Selainnya
3
5
7
9
2
4
6
8

Invers Skala
Fuzzy

Artinya
Sama penting

Jika diagonal

Jika selainnya

̃

(

Sedikit lebih penting

̃

(

Jauh lebih penting

(

Nilai antara angka ganjil di
atas

̃
̃
̃

̃

̃

̃

(

Lebih penting

(

Mutlak lebih penting

(

(

(

Representasi himpunan fuzzy dalam fuzzy AHP pada tabel 2.5 di atas dapat
digambarkan dengan kurva segitiga seperti pada gambar 2.5

34
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 Representasi himpunan fuzzy dalam fuzzy AHP dengan kurva
segitiga

2.3.2

Menghitung Nilai Fuzzy Synthetic Extent

Tujuan mendapatkan nilai

fuzzy synthetic extent

adalah menilai tujuan matriks

perbandingan dengan menilai bobot setiap kriteria terhadap tujuan utama dari hirarki.
Analisa fuzzy synthetic extent metode chang (1999) dengan menentukan nilai sintesis
fuzzy sehingga mendapatkan vektor bobot setiap elemen hirarki.

Jika C = {

} merupakan sekumpulan kriteria sebanyak n, dan
merupakan sekumpulan alternatif sebanyak m, maka untuk fuzzy

M. MCi1, MCi2 , …, MCim adalah nilai extent pada i-kriteria dan m-alternatif keputusan
dimana i= 1,2,…,m dan untuk semua MCij (j=1,2…,m) merupakan bilangan triangular
fuzzy.

2.4 Penelitian Terkait
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu membaca sumbersumber terkait yang membahas ataupun yang berhubungan dengan penelitian yang
akan dilakukan oleh penulis. Hal ini penulis lakukan sebagai bahan referensi yang
bisa digunakan untuk melakukan penelitian ini.
Menurut Aulia Vitari dan Muhammad Said Hasibuan (2010), dibutuhkan suatu
perangkat lunak yang handal untuk menyelesaikan penghitungan data untuk sistem
pendukung keputusan yang menggunakan metode AHP, sehingga data yang
dihasilkan akurat.
35
Universitas Sumatera Utara

Memurut Lia Rochmasari, Suprapedi, Hendro Subagyo (2010) “pada evaluasi
yang lebih kompleks sangat dimungkinkan akan timbul beberapa permasalahan
berkaitan dengan penggunaan AHP secara konvensional dalam melakukan proses
pemilihan alternatif. Dimana AHP memiliki keterbatasan dalam melakukan evaluasi,
dimana jika kriteria semakin banyak maka semakin sulit mengambil keputusan dalam
melakukan evaluasi perbandingan pasangan antar kriteria tersebut. Oleh karena itu
perlu di buat pengelompokan kriteria untuk membatasi kriteria yang banyak, sehingga
memudahkan membandingkan kriteria pasangan.”
Menurut Zainal Arifin (2010) “Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
banyak diterapkan pada kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penunjang
keputusan serta pengambilan keputusan, sehingga metode ini menjadi relevan
untuk penelitian yang lain yang berhubungan dengan sistem penunjang keputusan
sesuai dengan kebutuhan.”
Supriyono,

Wisnu Arya Wardhana, dan Sudaryo (2007), dalam jurnalnya

menulis “telah dapat dibangun suatu sistem pengambilan keputusan dengan
menggunakan metode AHP untuk menentukan urutan prioritas calon pejabat
struktural pada suatu Sekolah Tinggi. Simulasi ini juga dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan suatu persoalan yang lain”.
Menurut Apriansyah Putra dan Dinna Yunika Hardiyanti (2011), mengatakan
“Dibangunnya
penerima

sistem

beasiswa

pendukung

keputusan

dengan menggunakan

utuk

logika

membantu
fuzzy

menentukan

FMADM

dengan

menggunakan metode Simple Additive Weighting Method (SAW) yang dapat
mempercepat proses menentukan penerima beasiswa dengan perhitungan yang
akurat dalam memberikan rekomendasi penerima beasiswa.”
Dalam jurnalnya Eka Wahyu Ardhi, Ir. Heri Supomo, M.Scm, Firmanto Hadi,
ST, M.Sc menulis “Analisa pemilihan skim pembiayaan pembangunan kapal
dengan metode Fuzzy MCDM dapat digunakan untuk memecahkan persoalan
keputusan dalam struktur informasi yang tidak pasti (uncertainty) dan kabur
(fuzziness) berdasarkan pilihan alternatif dari kriteria yang ada”.

36
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan jurnal Fredy Purnomo, Billy Sarikho, Agus Sutanto, dan Yossy
dituliskan “Tingkat validitas dan reliabilitas aplikasi

dengan metode constrained

fuzzy AHP masih perlu dikaji lebih lanjut karena bobot kecerdasan setiap

peminatan

dinilai

belum

merepresentasikan

keseluruhan tingkat kebutuhan

kecerdasan pada peminatan.”
Menurut Jani Rahardjo, dan I Nyoman Sutapa “Untuk mengembangkan fuzzy
AHP dan perbandingan dengan AHP Konvensional perlu kajian khusus tentang fuzzy
AHP dengan mencoba pada beberapa kasus dimanadalam kasus tersebut terdapat
banyak sekali nilai subyektivitasnya.”
Heri Sulistiyo menulis dalam
dengan

penelitianya sistem pendukung

menggunakan metode Fuzzy

Multiple

Attribute

keputusan

Decision Making

(FMADM) dengan metode Simple Additive Weighting (SAW) untuk menentukan
penerima beasiswa di SMA Negeri 6 Pandeglang menyimpulakan “1. pengelolaan
bilangan fuzzy dibuat jadi lebih dinamis. 2. Kriteria beasiswa dibuat jadi lebih
dinamis. 3. Data yang dimasukan ke dalam program diharapkan menggunakan data
yang benar.”
Dalam tulisannya Redy Erdiyanto menyarankan “pembacaan matrik masih
tergolong statis, parameter kriteria dan alternative sudah ditentukan sebelumnya.
Untuk ke depannya diharapkan bisa lebih dinamis lagi, jadi aplikasi AHP tetap dapat
berjalan ketika parameter kriteria dan alternatif berubah.”
Menurut Sri Ani Lestari Idris mengatakan “Letak perbedaan antara metode
AHP dan SAW terdapat pada proses perhitungan nilai prioritas kriteria. Pada
AHP

penyelesaiannya

dilakukan perbandingan berpasangan antara kriteria satu

dengan kriteria yang lain serta subkriteria
Hasil perbandingan berpasangan

satu dan subkriteria yang dalam AHP.

dibagi dengan

jumlah

elemen

yang ada,

sehingga diperoleh nilai prioritas dari setiap kriteria dan subkriteria yang
dimaksud.

Nilai prioritas

dikalikan

dengan

nilai

keadaan

alternatif

untuk

mendapatkan nilai akhir, sedangkan pada SAW dilakukan penilaian secara
sederhana yaitu penilaian kriteria terhadap keadaan alternatif yang kemudian hasil

37
Universitas Sumatera Utara

penilaian tersebut dinormalisasikan dan hasil normalisasi dikalikan dengan bobot
kriteria atau prioritas kriteria yang ditentukan secara langsung oleh manajer.

38
Universitas Sumatera Utara