Efektivitas Pemberian Temulawak Terhadap Dismenore pada Remaja di SMP Negeri 4 Tanjung Pura

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Secara etimiologi, remaja berarti tumbuh menjadi dewasa. Definisi remaja
(adolescence) menurut WHO (World Health Organization) adalah periode usia
antara 10 sampai 19 tahun, sedangkan menurut Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) menyebut kaum muda untuk usia antara 15 sampai 24 tahun. Sedangkan
menurut The Health Resources and Services Administrations Guidelines Amerika
Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahapan
yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja menengah (15-17 tahun) dan remaja
akhir (18-21 tahun) (Kusmiran, 2011).
2. Perubahan Remaja Secara Umum
2.1. Perubahan Fisik
2.1.1.Perubahan Ukuran Tubuh
Selama masa puber ukuran tubuh semakin tinggi. Penambahan berat badan
tidak hanya dalam lemak, tetapi juga pada tulang dan jaringan otot. Penambahan
berat badan paling banyak terjadi pada pubertas perempuan sesaat sebelum dan
sesudah haid. Bagi pria penambahan berat badan terjadi 1-2 tahun sebelum dan
sesudah masa pubertas (Pieter & Lubis, 2011).


6
Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2. Perubahan Proporsi Tubuh
Badan kelihatan kurus dan panjang, bagian daerah pinggul dan bahu akan
melebar. Lebar pinggul dan bahu dipengaruhi oleh kematangan organ seksual.
Bagi pubertas pria cepat matang akan mempunyai pinggul yang lebih besar.
Sementara ukuran pinggang tampak tinggi dikarenakan kaki menjadi lebih
panjang dari badan (Pieter & Lubis, 2011).
2.1.3. Perkembangan Seks
Pada pria, gonad atau testis terletak di scrotum (sac) dan matang pada usia
14 tahun. Sedangkan bagi wanita perubahan seks primer terlihat dengan
bertambahnya berat uterus (Pieter & Lubis, 2011). Pada anak perempuan,
perubahan yang pertama kali terjadi pada masa pubertas biasanya adalah
penonjolan payudara, yang segera diikuti dengan tumbuhnya rambut kemaluan
dan rambut ketiak. Jarak antara penonjolan payudara dengan siklus menstruasi
yang pertama biasanya sekitar 2 tahun. Selain itu dari vagina keluar cairan
yang jernih atau keputihan dan terjadi penambahan lebar tulang panggul.

Pertumbuhan badan relatif cepat pada awal masa pubertas (sebelum siklus
menstruasi dimulai). Pada anak laki-laki adalah sebaliknya, pertumbuhan badan
yang paling pesat terjadi pada usia 13-17 tahun dan terus berkembang sampai
awal 20 tahun (Dewi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

8

2.2.Perubahan Psikologis
Akibat dari perubahan fisik yang menyebabkan perubahan psikologis pada
masa remaja adalah perubahan sikap dan perilaku yaitu ingin menyendiri,
kebosanan,

inkoordinasi,

perubahan

emosi,


antagonis

social,

hilangnya

kepercayaan diri dan pola sikap sederhana (Pieter & Lubis, 2011).
3. Perubahan Remaja Perempuan
Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan fisiologis, dimana
mulai dari masa pubertas wanita telah memiliki kelenjar hipofisis yang masak dan
mengeluarkan hormon. Dampak perkembangan hormonal adalah ukuran anatomi
tubuh yang membesar, produksi sel telur sebagai tanda kemasakan, dan tandatanda seks sekunder seperti payudara. Pada awal masa pubertas, kadar hormon LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) akan terus
meningkat sehingga merangsang pembentukan hormon seksual. Peningkatan
kadar hormon menyebabkan pematangan payudara, ovarium, rahim dan vagina
serta dimulainya menstruasi (Pieter & Lubis, 2011). Menstruasi atau haid atau
datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara
berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Siklus menstruasi rata-rata
terjadi sekitar 28 hari, kadang-kadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari.
Biasanya, menstruasi rata-rata terjadi 5 hari, kadang-kadang menstruasi juga dapat

terjadi sekitar 2 hari sampai 7 hari. Pada setiap siklus haid FSH dikeluarkan oleh
lobus anterior hipofise yang menyebabkan satu atau dua folikel primer
berkembang menjadi folikel de Graff yang akan menghasilkan estrogen.

Universitas Sumatera Utara

9

Estrogen ini menekan FSH sehingga hipofise mengeluarkan hormon
berikutnya yaitu LH. Pengeluaran FSH dan LH dipengaruhi oleh RH (Realising
Hormone) yang disalurkan dari hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH ini
dipengaruhi oleh umpan balik negatif estrogen terhadap hipotalamus. Bila
penyaluran RH berjalan dengan baik sehingga folikel de Graff makin lama makin
matang dan makin banyak berisi liquor Folikuli yang mengandung estrogen yang
akan mempengaruhi endometrium untuk tumbuh dan berproliferasi. Waktu proses
proliferasi ini dinamakan fase proliferasi (Dewi, 2012).
Karena pengaruh LH folikel de Graff menjadi matang, mendekati permukaan
ovarium dan kemudian terjadi ovulasi (ovum dilepas oleh ovarium). Setelah
ovulasi terbentuklah korpus rubrum (berwarna merah) dan akan berubah menjadi
korpus luteum karena pengaruh LH dan LTH (Luteotrophic Hormone). Korpus

luteum menghasilkan hormon progesteron yang akan mempengaruhi endometrium
yang telah berproliferasi menjadi bersekresi dan kelenjarnya berlekuk-lekuk. Bila
tidak ada pembuahan maka produksi estrogen dan progesteron juga akan turun,
dan menimbulkan efek pada arteri yang berlekuk-lekuk di endometrium tampak
dilatasi dan hiperemis yang diikuti oleh spasme dan iskemik. Kemudian terjadi
degenerasi serta perdarahan dan pelepasan endometrium yang nekrotik disebut
menstruasi (Dewi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

10

B. Dismenore
1. Pengertian Dismenore
Istilah dismenore (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa Greek yaitu dys
(gangguan atau nyeri hebat/abnormalitas), meno (bulan) dan rrhea yang artinya
flow atau aliran (Proverawati & Misaroh, 2009). Dismenore adalah nyeri kram
perut atau ketidaknyamanan yang berhubungan dengan menstruasi (Lewis,
Dirksen, Heitkemper & Bucher, 2014). Dismenore didefinisikan sebagai keadaan
nyeri yang hebat dan dapat menganggu aktivitas sehari-hari. Dismenore

merupakan suatu fenomena simptomatik meliputi nyeri abdomen, kram, dan sakit
punggung (Kusmiran, 2011). Dismenore adalah nyeri sewaktu haid , terdiri dari
gejala yang kompleks berupa kram perut bagian bawah yang menjalar ke
punggung atau kaki dan biasanya disertai gejala gastrointestinal dan gejala
neurologis seperti kelemahan umum (Dewi, 2012).
2. Klasifikasi Dismenore
2.1. Dismenore Primer (idiopatik)
Dismenore primer adalah dismenore yang mulai terasa sejak menarche (haid
pertama) dan tidak ditemukan kelainan dari alat kandungan atau organ lainnya.
Sekitar 10% penderita dismenore primer tidak dapat mengikuti kegiatan seharihari. Gejalanya mulai terasa pada 1 atau 2 hari sebelum haid dan berakhir setelah
haid dimulai. Biasanya nyeri berakhir setelah diberi kompres panas atau diberi
analgesik (Dewi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

11

2.2. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder biasanya muncul kemudian, yaitu jika ada penyakit atau
kelainan yang menetap (Kusmiran, 2011).

3. Pembagian Klinis
3.1. Ringan yaitu berlangsung beberapa saat dan dapat melanjutkan kerja seharihari
3.2. Sedang yaitu diperlukan obat penghilang rasa nyeri, tanpa perlu
meninggalkan kerjanya
3.3. Berat yaitu perlu beristirahat beberapa hari dan dapat disertai sakit kepala,
pinggang, diare, dan rasa tertekan (Manuaba, 2001)
4. Etiologi Dismenore
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab dismenore primer yaitu
hiperaktivitas uterus, prostaglandin, dan vasopresin. Hiperaktivitas uterus
berhubungan dengan aliran darah uterus. Uterus yang berkontraksi menyebabkan
konstriksi sehingga terjadilah nyeri. Pada beberapa wanita, prostaglandin dapat
mengakibatkan otot polos dalam sistem gastrointestinal berkontraksi sehingga
menyebabkan mual, muntah dan diare. Vasopresin merupakan vasokonstriktor
yang menstimulasi miometrium (dinding otot uterus yang tebal) berkontraksi.
Pada hari pertama menstruasi, kadar vasopresin meningkat pada wanita
dengan dismenore (Dewi, 2012). Menurut Subagja (2014) rasa sakit karna kram
disebabkan oleh kontraksi pada rahim yang terlalu intens. Kondisi ini dapat
mendorong pembuluh darah sehingga pasokan oksigen ke jaringan otot rahim
terganggu.


Universitas Sumatera Utara

12

Dismenore sekunder disebabkan oleh penyakit atau kelainan yang menetap
seperti infeksi rahim, kista atau polip, tumor sekitar kandungan, serta kelainan
kedudukan rahim yang mengganggu organ dan jaringan di sekitarnya (Kusmiran,
2011). Menurut Morgan dan Hamilton (2009) dismenore sekunder mungkin
disebabkan karena endometriosis, polip atau fibroid uterus, penyakit radang
panggul (PRP), perdarahan uterus disfungsional, prolaps uterus, maladaptasi
pemakaian AKDR, produk kontrasepsi yang tertinggal setelah abortus spontan,
abortus terapeutik, atau melahirkan, dan kanker ovarium atau uterus.
5. Gejala Klinis
Dismenore primer mulai 12 sampai 24 jam sebelum menstruasi. Rasa sakit
yang paling parah hari pertama menstruasi dan jarang berlangsung lebih dari 2
hari. Karakteristik gejala meliputi nyeri perut bagian bawah, sering menjalar ke
punggung bawah dan paha atas. Nyeri perut sering disertai dengan mual, diare,
kelelahan, dan sakit kepala. Dismenore sekunder biasanya terjadi setelah wanita
itu telah mengalami masalah bebas periode menstruasi untuk beberapa waktu.
Rasa sakit, yang mungkin unilateral, umumnya lebih konstan dan terus lebih lama

dari dismenore primer.
Tergantung pada penyebabnya, gejala seperti dispareunia (hubungan seksual
yang menyakitkan), buang air besar yang menyakitkan, atau perdarahan yang
tidak teratur dapat terjadi pada waktu selain menstruasi (Lewis, Dirksen,
Heitkemper & Bucher, 2014). Umumnya ketidaknyamanan dimulai 1-2 hari
sebelum menstruasi, namun nyeri yang paling berat selama 24 jam pertama
menstruasi dan mereda pada hari kedua (Morgan & Hamilton, 2009).

Universitas Sumatera Utara

13

6. Karakteristik Dismenore
Dismenore primer terjadi pada 90% wanita setalah mereka menarche (haid
pertama) dan berlanjut hingga usia pertengahan 20-an atau hingga memiliki anak.
Dismenore sekunder dapat terjadi pada wanita usia tua maupun muda (Dewi,
2012). Dismenore umumnya diamati pada wanita muda, dengan perkiraan mulai
dari 67% sampai 90% bagi mereka yang berusia 17-24 tahun (Ju, Jones & Mishra,
2013). Dismenore primer umumnya dimulai 1-3 tahun setelah menstruasi
(Morgan & Hamilton, 2009).

7. Faktor Yang Mempengaruhi Dismenore
7.1.Umur
Salah satu faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah umur.
Umur yang berbeda akan mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri (Potter
& Perry, 2005)
7.2.Usia Menarche
Salah satu faktor resiko dismenore primer adalah menstruasi pertama
(menarche) pada usia amat dini (Harlow, 1996)
7.3.Suku
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaan
individu. Budaya mempengaruhi cara melaksanakan kesehatan pribadi. Setiap
orang mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri yang dialaminya, sesuai
dengan suku dan kultur dimana ia berasal, karena kultur akan mengajarkan orang
tersebut merespon nyeri (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

14

7.4.Faktor Konstitusi

Faktor ini erat hubungannya dengan faktor kejiwaan yang dapat juga
menurunkan ketahan terhadap nyeri yaitu anemia, penyakit menahun dan
sebagainya (Kusmiran, 2011). Remaja putri sering melewatkan dua kali waktu
makan dan lebih memilih kudapan. Makanan sampah (junk food) kini semakin
digemari oleh remaja. Disebut makan sampah karena sangat sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali mengandung kalsium, besi, asam folat, vitamin A dan C
sementara kandungan lemak jenuh, kolesterol dan natriumnya tinggi (Arisman,
2009). Prostaglandin adalah semua kelompok yang diturunkan dari asam lemak
20-karbon tak jenuh (Dorland, 2005).
7.5.Faktor Kejiwaan
Remaja perempuan secara emosional tidak stabil, ditambah jika mereka tidak
mendapat penerangan yang baik tentang proses menstruasi, maka mudah untuk
merasakan dismenore (Kusmiran, 2011).
8. Penatalaksanaan Dismenore
8.1.Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi obat utama adalah obat antiinflamasi nonsteroid yaitu Non Steroidal
Anti-Inflamation Drug (NSAID) seperti naproxen yang memiliki aktivitas anti
prostaglandin. NSAID harus dimulai pada tanda pertama menstruasi dan
dilanjutkan setiap 4-8 jam untuk mempertahankan efek yang cukup untuk
menghambat sintesis prostaglandin (Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher,
2014).

Universitas Sumatera Utara

15

Obat-obat yang lazim digunakan untuk meredakan nyeri menstruasi,
diantaranya: pereda nyeri (analgesik) golongan NSAID misalnya parasetamol atau
asetamonofen (Sumagesic, Panadol, dll), asam mefenamat (Ponstelax, Nichostan,
dll), ibuprofen (Ribunal, Ostarin, dll), metamizol atau metampiron (Pyronal,
Novalgin, dll), dan obat-obat pereda nyeri lainnya (Proverawati & Misaroh,
2009).
8.2.Penatalaksanaan Nonfarmakologis Dismenore
Penatalaksanaan nonfarmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan
nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif (Tamsuri, 2007).
Kompres panas dapat mengurangi nyeri (Dewi, 2012). Penggunaan panas selain
memberi efek mengilangkan nyeri juga memberikan reaksi fisiologis yaitu
meningkatkan aliran darah dalam jaringan (Tamsuri, 2007). Selanjutnya, relaksasi
otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan
otot yang mendukung rasa nyeri. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai
upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Relaksasi
memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh yaitu penurunan
ketegangan otot (Tamsuri, 2007).

Ambil posisi menungging sehingga rahim

tergantung ke bawah, ini bisa membantu relaksasi (Proverawati & Misaroh, 2009)

Universitas Sumatera Utara

16

Penelitian Suciani, Utami dan Dewi (2014) dengan judul “Efektivitas
Pemberian Rebusan Kunyit Asam terhadap Penurunan Dismenore” yang
dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Pekan Baru, didapatkan
hasil dari responden yang mengkonsumsi rebusan kunyit asam intensitas nyerinya
berkurang. Hal ini menunjukkan terdapat efektivitas pemberian rebusan kunyit
asam terhadap penurunan dismenore di SMA Negeri 9 Pekan Baru. Menurut
Gendrowati (2014) beberapa kegunaan temulawak adalah untuk meredakan nyeri,
sakit perut, nyeri sewaktu haid, dan menghilangkan bau amis ketika haid.
9. Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) juga dikenal dengan nama koneng
gede (Sunda), dan temu lobak (Madura). Tanaman ini berasal dari Jawa kemudian
menyebar ke beberapa tempat di kawasan Indo-Malaya (Rukmana, 2004).
Temulawak merupakan tumbuhan tahunan yang hidup berumpun dan berbatang
semu dan berupa gabungan beberapa pangkal daun yang terpadu (Agoes, 2011).
Sebagai ramuan obat tradisional, temulawak dapat digunakan sebagai bahan obat
utama (remedium cardinale), bahan obat penunjang (remedium adjuvans),
pemberi warna (corrigentia coloris) maupun sebagai penambah aroma
(corrigentia odoris).
9.1.Taksonomi Temulawak
Temulawak adalah tanaman obat yang tergolong dalam suku temu-temuan
(Zingiberaceae). Tanaman ini masih termasuk dalam famili temu-temuan lainnya,
seperti kunyit (Curcuma domestica Val.), kencur (Kaempferia galanga) dan jahe
(Zingiber officinale Rosc.) (Subagja, 2014).

Universitas Sumatera Utara

17

9.2.Kandungan Kimia Temulawak
Temulawak telah lama diketahui mengandung senyawa kimia yang
mempunyai

keaktifan

fisiologi,

yaitu

kurkuminoid

dan

minyak

atsiri.

Kurkuminoid terdiri atas senyawa berwarna kuning kurkumin dan turunannya
(Subagja, 2014). Kukuminoid mempunyai aroma yang khas, tidak toksik
(Dalimartha, 2000). Kandungan minyak atsiri pada temulawak tergolong tinggi
yaitu 3,81 %. Minyak atsiri tersebut terdiri dari d-kamfer, xanthorrizol,
zingiberen, zingeberol, germakron dan lain sebagainya. Selain itu temulawak juga
memiliki beragam kandungan fitokimia (segala jenis zat kimia yang diturunkan
dari sumber tumbuhan). Kandungan fitokimia temulawak adalah alkaloid,
flovanoid, fenolik, saponin dan triterpennoid. Contoh senyawa alkaloid adalah
morfin yang berfungsi sebagai analgesik (Subagja, 2014).
Penelitian Atalik, Okudan, Belviranli dan Oz (2014) dengan judul “The
comparison of Preemptive Analgesic Effects of Curcumin and Diclofenac”
pemberian kurkumin melalui formalin test dan pada tikus percobaan, tanggapan
yang diamati dibagi menjadi 2 fase yaitu fase 1 (0-10 menit) dan fase 2 (11-60
menit). Sedangkan melalui hot plate test waktu reaksi tercatat sebesar 0, 15, 30,
60 dan 90 menit setelah pemberian kurkumin. Bagian temulawak yang digunakan
adalah rimpangnya. Caranya, cuci rimpang temulawak dari kotoran yang melekat
sampai bersih, lalu kupas kulitnya dan iris tipis-tipis dengan ketebalan 7-8mm
(Dalimartha, 2000).

Universitas Sumatera Utara

18

9.3.Efek Farmakologi Temulawak
9.3.1. Efek Analgesik
Efek analgesik adalah efek yang bisa menghilangkan rasa sakit atau nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran orang yang menggunakannya. Dalam hal ini
temulawak diketahui memiliki kandungan metanol. Dalam sebuah percobaan,
ditemukan bahwa ekstrak metanol temulawak yang diberikan secara oral pada
tikus percobaan dinyatakan dapat menekan rasa sakit yang diakibatkan oleh
pemberian asam asetat. Selain itu germakron pada temulawak juga diketahui
sebagai zat aktif yang berfungsi untuk menekan rasa sakit tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa temulawak bisa dimanfaatkan sebagai
penghilang nyeri (Subagja, 2014).
9.3.2. Efek Antiinflamasi
Antiinflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang tidak
disebabkan oleh mikroorganisme tertentu atau bersifat non infeksi. Efek
farmakologi ini juga ditemukan pada temulawak. Pada awalnya, kandungan
minyak atsiri dari temulawak secara in vitro diketahui memiliki daya antiinflamasi
meskipun tergolong lemah. Kemudian, dari beberapa penelitian berikutnya,
diketahui bahwa ternyata efek antiinflamasi tersebut berasal dari kandungan
germakron pada rimpang temulawak (Subagja, 2014).

Universitas Sumatera Utara

19

9.4.Efek Samping, Kontra-indikasi, dan Interaksi Temulawak
9.4.1. Efek Samping
Tidak ada efek samping yang dilaporkan selama studi di mana 12
sukarelawan sehat mendapat 80 mg kurkumin (Rasyid et al, 2002 dalam Galen &
Kroes, 2014). Dalam fase I percobaan dengan 25 subjek, yang memiliki berbagai
risiko tinggi kondisi kanker, tidak ada reaksi toksik yang diamati. Subyek
menerima hingga 8 gr kurkumin sehari selama 3 bulan (Cheng et al, 2001 dalam
Galen & Kroes, 2014). Dalam sebuah studi klinis, 2 dari 19 pasien yang diobati
dengan 2.500 mg kurkumin per hari, mengeluhkan iritasi lambung. Tidak ada efek
samping lainnya dilaporkan (James, 1994 dalam calen & Kroes, 2014). Belum
pernah dilaporkan resiko terhadap kesehatan dan efek samping setelah
penggunaan dalam dosis yang tepat dari rimpang temulawak. Bila digunakan
secara berkepanjangan atau melebihi dosis, dapat menimbulkan gangguan
lambung. Bila timbul gangguan, segera hentikan penggunaan (BPOM, 2005).
9.4.2. Kontra-indikasi
Belum diketahui secara pasti adanya larangan penggunaan temulawak
(BPOM, 2005)
9.4.3. Interaksi
Belum diketahui adanya interaksi temulawak dengan obat-obatan atau
bahan-bahan lain (BPOM, 2005).

Universitas Sumatera Utara

20

10. Konsep Nyeri
Menurut Mc. Caffery (1979, dalam Tamsuri, 2007) nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang memengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya. Menurut Kozier dan Erb (1983, dalam Tamsuri,
2007) nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi
luka.
10.1.

Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang

dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai alat pengukur nyeri seperti Skala Visual Analog,
Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Deskriptif (Tamsuri, 2004). Menurut Perry &
Potter (2005) skala penilaian Skala Nyeri Numerik atau Numeric Rating Scale
(NRS) digunakan mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi
terapeutik.
Gambar 1. Skala Nyeri Numeric Rating Scale (NRS) menurut Smeltzer et al
(2010)

Universitas Sumatera Utara

21

Keterangan :
0

:

Tidak nyeri

1-3 (Nyeri ringan)

:

Hilang

tanpa

pengobatan,

tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari
4-6 (Nyeri sedang)

: Nyeri yang menyabar ke perut bagian
bawah, mengganggu aktivitas sehari-hari,
membutuhkan obat untuk mengurangi
nyerinya

7-9 (Nyeri berat)

: Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat,
muntah,

diare,

sangat

mengganggu

aktivitas sehari-hari
10 (Nyeri tidak tertahankan)

: Menangis, meringis, gelisah, menghindari
percakapan dan kontak social, sesak
nafas,

imobilisasi,

menggigit

bibir,

penurunan rentan kesadaran.
Setelah membaca dan memahami berbagai literatur, dijelaskan bahwa
temulawak berkhasiat dalam menurunkan nyeri saat menstruasi karena minyak
atsiri temulawak mengandung germakron yang berfungsi sebagai anti analgesik
yang dapat meredakan nyeri termasuk nyeri haid (dismenore) yang dirasakan
remaja. Pemberian temulawak per oral diminum 2 kali sehari, 1 gelas pada pagi
dan sore. Temulawak diminum saat hari pertama dan kedua sebelum menstruasi
sampai hari kedua menstruasi. Hasil yang diharapkan adalah temulawak dapat
meringankan dismenore.

Universitas Sumatera Utara