Budaya Ceroke dan Perlawanan Kaum Peremp

Ceroke dan Perlawanan kaum Perempuan Indramayu

Dominasi laki-laki pada kebudayaan masyarakat Indramayu mendorong
perempuan berada pada titik dilematis. keinginan untuk menyetarakan diri
dengan kaum adam sangat sulit dilakukan lantaran budaya patriarki yang
sudah sangat lama mengakar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa peran
perempuan dalam kehidupan sosial sehari-hari yang cenderung
disubordinatkan. istilah perempuan “hanya dapur, sumur dan kasur”,
menjadi mindset yang cukup kuat dikalangan masyarakat. Ditambah peran
para orang tua yang lebih memberikan kesempatan kepada anak laki-laki
dalam hal mendapatkan akses pendidikan, karena jika perempuan sudah
dewasa hanya akan dijadikan TKW ke luar negeri. Anak perempuan bekerja
dan menjadi asset berharga bagi pemenuh kebutuhan keluarga.
Namun, ada yang menarik pada potret kehidupan sekelompok perempuan
yang biasa kita jumpai ketika kita naik bus jurusan Kuningan/Cirebon-Jakarta,
kita melihat banyak perempuan memberanikan diri untuk mencari nafkah
menjadi Ceroke singkatan dari Cewe Karoke, suatu istilah yang melekat pada
mereka yang menampilkan jenis hiburan yang ditawarkan kepada
penumpang bus di jalur pantura tersebut. Berbekal sebuah box tape yang
disambung dengan sound dan sebuah michrophone, mereka menunjukan
bakat alamiyahnya, menyanyi lagu-lagu khas pantura. Penumpang pun

terhibur, walau masih ada yang merasa risih dengan keberadaan mereka.
Ceroke mengais rejeki dari keikhlasan para penumpang bus. Salam khas dan
celoteh sapaan nakal yang keluar dari mulut mereka memecahkan
kepenatan para penumpang akibat cuaca terik dan seliweran para pedagang
bus. Tak jarang mereka meminta saweran (bayaran) yang besar kepada
penumpang. Jika ada penumpang yang merequest lagu, mereka meminta
sawaran yang lebih. Dua sampai tiga buah lagu mereka nyanyikan
menghibur penumpang bus dengan suara cantik mereka. Selesai menyanyi
mereka membuka sebuah tas atau plastik untuk meminta uang saweran dari
penumpang. Ada yang memberi, ada juga yang tidak memberi, bahkan ada
yang terpaksa memberi akibat dirayu oleh mereka.
Lepas dari apapun motif ceroke, tujuan mereka mulia, mempertahankan
hidup demi kelangsungan kehidupan pribadi dan keluarga, mereka tidak
mengemis, tapi menjual keahlian mereka. Dengan suara yang indah mereka
menawarkan lantunan indahnya kepada semua penumpang. Tidak ada
paksaan dalam meminta uang sawer, hanya keikhlasan penumpang yang
mereka harapkan. Hasilnya untuk anaknya di rumah yang masih sekolah,
dan membantu suami atau orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Keberadaan Ceroke pantura yang kian bertambah, di satu sisi menunjukan
betapa lemahnya pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi

masyarakatnya. Alih-alih mendapatkan pekerjaan yang mudah dan layak

mereka malah dihadapkan pada situasi dimana marak terjadi eksploitasi
wanita oleh beberapa oknum untuk dipekerjakan menjadi Wanita Tuna Susila
(WTS). Sebuah hal yang dilematis memang. Pada sisi lain, mereka yang
memiliki keahlian tidak difasilitasi untuk bekerja lebih professional.
Pemerintah seharusnya peka terhadap nasib para ceroke ini, karena mereka
tidak hanya mempertaruhkan harga diri, dimana tidak sedikit menjumpai
penumpang ataupun kondektur nakal, juga mereka mempertaruhkan nyawa.
Bagaimana tidak, yang mereka kejar adalah bus-bus pantura yang terkenal
kencang dalam melaju, sedikit lengah dan tidak konsentrasi dalam mengejar
bus, maka nyawa menjadi taruhannya.
Namun, ceroke tetap manusia. Mereka, juga kita semua dikaruniai tuhan
potensi
ilahiyah,
yang
tidak
mengenal
kata
menyerah

dalam
mempertahankan hidup. Mereka tidak mengeluh pada keadaan, apapun
dijalankan asal diperoleh dari jalan yang halal dan tidak merugikan orang
lain. Pengorbanan dan keberanian ceroke menunjukan bahwa perempuan
sekarang sudah tidak lagi menelan mentah-mentah adagium yang
mengatakan bahwa perempuan tugasnya hanya dapur, sumur dan kasur.
Tetapi merekapun bisa berdiri sendiri tanpa melemah, manja dan berpangku
tangan pada sesuatu yang ada di luar mereka, baik suami, orang tua
maupun pemerintah. Mereka sekali lagi membuktikan bahwa perempuan itu
sama di mata Tuhan, mereka berhak juga melakukan aktifitas hidup di ruang
publik layaknya seorang laki-laki.
Ceroke akan terus berada, ia tak akan hilang ditempa keadaan apapun.
Keberadaannya merupakan perlawan akan kemapanan budaya yang selalu
memojokan kaum perempuan. Laki-laki dan perempuan sama di mata Tuhan,
yang membedakannya adalah kualitas ketakwaannya, takwa yang dapat
diartikan beriman dan mengerjakan amal kebaikan, dan mencari nafkah
adalah amalan yang baik.
Semoga bermanfaat.

Gambar Ceroke


Data Penulis:
Khaerul Umam, MA
Dosen ISIF Cirebon
Alamat Rumah:
Blok. Pengodengan Desa Wirakanan Kec. Kandanghaur-Kab. Indramayu
45254
Hp. 085222258434