MEMAHAMI BAHASA AGAMA SEBUAH KAJIAN HERM

MEMAHAMI BAHASA AGAMA;
SEBUAH KAJIAN HERMENEUTIKA
(Memahami Ta’wil dan Hermeneutika dalam
Penafsiran secara Komprehensif)
Mukhamad Saifunnuha (21514014)
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
IAIN SALATIGA
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Hermeneutika
Dosen pengampu: Widyanto, Dr. Phil., M.A.
Pendahuluan
Perkembangan kelimuan yang ada tidak pernah berhenti. Iptek,
sosiologi, sains, dan ilmu-ilmu lainnya tidak berhenti dalam suatu
masa.

Melainkan

terus

berkembang

dengan


pengetahuan-

pengetahuan baru. Hal itu tidak lain juga merupakan dampak
daripada kemajuan zaman yang menuntut manusia untuk berpikir
lebih daripada sebelumnya.
Begitu juga dengan khazanah keilmuan dalam Islam. Salah satu
yang

merupakan

Mendapatkan

unsur

perhatian

utama
yang


dalam

lebih

Islam,

daripada

yaitu

al-Qur’an.

banyak

kalangan

masyarakat, khususnya para mufassir, cendekiawan dan para pemikir
muslim. Al-Qur’an yang dipandang sebagai suatu kitab rujukan bagi
manusia dituntut untuk bisa menjawab dan memberikan solusi atas
problematika yang ada dalam masyarakat. Begitu pula para orientalis

dan pemikir-pemikir barat turut menyumbangkan argumen-argumen
mereka terkait hal itu.
Menafsirkan sangat dibutuhkan dalam memahami isi al-Qur’an.
Tentunya tujuan daripada menafsirkan tersebut adalah sebagai jalan
untuk menjawab seluruh pertanyaan manusia dan sebagai solusi atas
problematika yang ada, sekaligus bukti bahwasanya al-Qur’an itu

“salihun likulli zaman wa makan”. Namun kita tidak akan bisa
membuktikan dan merealisasikan konsep tersebut, yaitu bahwa al-

1

Qur’an itu berlaku dimanapun dan kapanpun dia berada; apabila kita
hanya melihat makna lahirnya saja. Karena berdasarkan fakta
sejarah, al-Qur’an diturunkan beratus-ratus abad yang lalu, sesuai
dengan kultur budaya yang melingkupinya.
Ta’wil merupakan sebuah jawaban atas hal itu. Bukan seperti
tafsir yang lebih cenderung kepada makna lahir, ta’wil lebih
menekankan kepada makna batin (inner interpretation). Mengenai
definisi ta’wil, Al-Alusi berpendapat dalam pendahuluan kitabnya Ruh


Al-Ma’ani “... Ta’wil merupakan sinyal suci, pengetahuan ketuhanan
yang

tersingkap

dari

pernyataan-pernyataan

orang-orang

yang

berjalan menuju Allah (salikin) dan mengalir dari awan kegaiban
kepada hati mereka yang ma’rifat”.1
Ta’wil, yang dalam hal ini disebut juga sebagai Hermeneutika
merupakan sebuah seni memahami. Yang kemudian dalam khazanah
ke-Islaman dipahami sebagai suatu model penafsiran. Menafsirkan
merupakan jalan satu-satunya untuk memahami dan menyingkap

makna yang ada didalam al-Qur’an. Maka hermeneutik hadir sebagai
salah satu cara

untuk

menggali kandungan makna

al-Qur’an

tersebut.
Kehadiran hermeneutik dalam penafsiran pun diwarnai dengan
pro dan kontra. Yang mengatakan bahwa hermeneutik itu merupakan
produk barat sehingga tidak bisa di terima dalam khazanah keilmuan
Islam. Juga dengan alasan-alasan yang lain mereka menentangnya.
Namun juga ada yang menganggap bahwasanya hermeneutik
hanyalah identik dengan ta’wil. Sehingga sah-sah saja menggunakan
hermeneutik sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an, seperti yang
kita tahu banyak kitab tafsir yang bercorak sufistik, yang pada
umumnya
disepakati


menggunakan
bahwa

kaidah

sebelum

ta’wil.

memberikan

Namun

kiranya

respon,

bisa


seseorang

1 Sahiron Syamsuddin dkk., PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI ISLAM:
READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011)

2

seharusnya mengenal terlebih dahulu hal-hal yang ada didalam
hermeneutika (barat) tersebut.2
Para ulama serta pemikir-pemikir barat pun tak kalah andil
dalam menanggapi hal tersebut. satu diantara nya adalah Martin
Heidegger dengan karya besarnya Sein and Zeit. Yang didalamnya
dia melakukan pemahaman menyingkap makna ‘ada’ untuk ‘mengada’. Yang
selanjutnya, melalui teorinya tersebut akan mengantarkan kita kepada sebuah topik,
yaitu bahasa. Dimana bahasa merupakan salah satu properti dalam memahami sebuah
teks, dimana teks tidak mungkin ada tanpa bahasa. Sehingga dalam memahami sebuah
teks, kita tidak akan lepas daripada bahasa yang ada dalam teks itu sendiri.
Selanjutnya, meskipun belum bisa dikatakan sebuah ringkasan, tetapi paling
tidak makalah ini banyak merujuk buku milik Komarudin Hidayat, yang berjudul
Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika, dan didukung dengan bukubuku lain yang relevan dengan tema diatas. Dari tema tersebutlah nantinya akan kita

bahas mengenai bahasa agama dalam kaitannya dengan kajian hermeneutika.
Untuk lebih memahami bagaimana bentuk dan rupa bahasa agama, ta’wil,
maupun hermeneutika, maka penulis batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Bahasa Agama?
2. Bagaimanakah peran penting hermeneutika dalam interpretasi?
3. Apakah persamaan dan perbedaan antara Ta’wil dan Hermeneutika?
Pembahasan
1. Definisi ‘Bahasa Agama’
Al-Qur’an merupakan kalam ilahi. Kalam berarti ‘bahasa tuhan’,
yang tertulis dan terdokumentasi dalam sebuah kitab. Kitab itulah
yang selanjutnya disebut sebagai kitab suci ( sacred) karena berasal
dari tuhan. Maka dengan bahasa yang tertulis didalamnya lah tuhan
menyapa dan menemui makhluknya, yaitu manusia. 3 Bukan lain juga
2 Sahiron Syamsuddin dkk., PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI BARAT:
READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011)
3 Termuat dalam buku milik Ata’ al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan: Kaum Beriman
Menalar al-Qur’an Masa Nabi, Klasik, dan Modern, Alih Bahasa Ilham B. Senong,

3


karena agama berisi ajaran-ajaran yang harus dipenuhi bagi setiap
pemeluknya, maka kitab suci lah yang menjadi wadah semua ajaran
itu.
Bahasa itu pula yang menjadi salah satu unsur penting dalam
memahami sebuah teks. Karena bahasa tidak mungkin dipisahkan
antara subjek (penafsir) dan objek (teks) dalam berinteraksi satu
sama lain. Lebih jauh, teks, dengan bahasanya telah memainkan
peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan
dan manusia dan antar sesama manusia sendiri.
Heidegger4 mengungkapkan hal yang serupa dengan itu.
Dimana dia memahami bahwa bahasa merupakan sebagai rumah
‘ada’. Dalam pembahasan itu dia mengungkapkan secara rinci akan
pentingnya bahasa. Dimulai dari interaksi antar sesama manusia
sendiri yang memerlukan bahasa. Bahasa juga menjadi sarana dalam
penamaan (becomes the naming or labeling). Namun di sisi lain bahasa bisa juga
dilihat sebagai medium dalam pengertian kita tidak saja berbuat sesuatu dengan bahasa
(with language), melainkan kita beraktifitas dalam bahasa (within languange).5
Dalam teorinya Heidegger juga mengatakan bahwa manusia tak
bisa dipisahkan dari bahasa. Bahasa adalah rumah mengada bagi
manusia. Berangkat dari proses mempertanyakan, berfikir dan

menginterpretasi. Heidegger kemudian membahas bahasa sebagai
satu

yang

amat

signifikan

dalam

bangunan

filsafatnya.

Dia

berpendapat, bahasa lah yang membuat manusia menjadi manusia.
(Jakarta: Mizan Publika, 2004). Yang disampaikan oleh Alfi Qanita dalam makalahnya
yang berjudul HERMENEUTIKA EKSISTENSIAL; Kajian Pemikiran Martin Heidegger

dan Atha’ As-Shid.
4 Martin Heidegger merupakan seorang filususf kelahiran Messkirch Jerman. Terlahir
dari keluarga katolik yang taat, sehingga mempunyai hubungan erat dengan gereja.
Dari gereja pula dia dapat menempuh pendidikan tinggi. Sampai akhirnya conrad
grober, seorang pastur paroki kontanz memberinya sebuah buku yang berjudul
Franz Bentano von der Mannigfachen bedeutung des seinden nach aristoteles
(tentang berbagai makna ‘ada’ menurut Aristoteles). Yang pada ahirnya buku itu
merupakan awal dari semua pemikirannya tentang hermeneutik, terlepas dari
konsentrasinya pada schhliermacher dan Dilthey.
5 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Bandung:Mizan, 2011), hlm 65

4

Pertanyaan tentang hakikat manusia, pertama-tama seharusnya
adalah pertanyaan tentang hakikat bahasa. Sebab bahasa lah yang
memberi kemungkinan kepada manusia untuk menjadi manusia.
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya
berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan
artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa bukan alat, melainkan ia adalah sarana bagi
pengungkapan Ada kepada manusia. Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins),
dan manusia bermukim di dalam bahasa.6
Al-Qur’an merupakan rekaman peritiwa eksistensial dalam sejarah yang dalam
hal ini tersimpan dalam bahasa. Maka Bahasa dan realitas merupakan suatu hubungan
timbal balik yang saling mendukung. Di mana ada bahasa maka realitas pun akan hadir.7
Pengertian bahasa, sebagaimana kita diskusikan dimuka, memiliki cakupan
makna dan telah melahirkan multiteori. Bahasa bukan saja sekedar ucapan (parole),
tetapi di dalamnya terkandung perasaan, emosi, tata pikir, bahkan juga muatan adatistiadat. Khazanah nilai-nilai kemanusiaan tersimpan dalam bahasa dan, melalui bahasa
pula, kita mengekspresikan serta mendepositkan prestasi dan nilai-nilai kemanusiaan
untuk disampaikan kepada masyarakat dan generasi mendatang.8
Sedangkan pengertian agama, didasarkan dari kata dalam bahasa inggris, yaitu
religion. Tercakup di dalamnya semua sistem nilai yang dijadikan pegangan atau
pandangan hidup oleh suatu kelompok masyarakat.9 Jadi, dalam tradisi filsafat dan
antropologi, pengertian “agama” tidak mesti memiliki kitab suci dan rasul seperti halnya
dalam kelompok agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions).
Mengenai definisi Bahasa Agama, Komarudin menggunakan dua pendekatan
yang menonjol dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan, yaitu: theo oriented
dan antropo-oriented. Mengenai yang pertama, apa yang disebut bahasa agama adalah
kalam Ilahi yang kemudian terabadikan kedalam kitab suci. Disini, Tuhan dan kalam6 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein
und Zeit, (Jakarta: KPG), hlm. 40.
7 Lihat. Muhammad Ata’ al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan: Kaum Beriman Menalar alQur’an Masa Nabi, Klasik, dan Modern, Alih Bahasa Ilham B. Senong, (Jakarta: Mizan
Publika, 2004), hlm.38.
8 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama..... hlm. 147.
9 Ibid,. h. 148.

5

Nya lebih ditekankan sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah
bahasa kitab suci. Yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku
keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial.10
Dari dua objek diatas, yaitu Theo-oriented dan antropo-oriented kemudian
diperluas cakupannya menjadi tiga pembahasan, yaitu:
Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran
metafsis, terutama tentang Tuhan; kedua, bahasa kitab suci, terutama bahasa al-Qur’an;
dan ketiga, bahasa ritual keagamaan. 11
Berkaitan mengenai objek yang pertama, yaitu bahasa metafsis, yang menjadi
dasar dari kajian ini adalah dimulai dari sebuah pertanyaan, mampukah akal dan bahasa
manusia membuat deskripsi dan atribusi yang tepat mengenai Tuhan dan persoalanpersoalan metafisika?. Sebagian menjawab pertanyaan itu dengan mengungkapkan
bahwa apa yang diungkapkan oleh kitab suci tentang Tuhan hanya mampu dipahami
oleh manusia sebagai ungkapan-ungkapan analogis dengan alam pikiran dan dunia
empiris manusia. Yaitu dalam memikirkan, membahasakan, dan mengekspresikan
pikiran tentang Tuhan dan objek abstrak, manusia tetap menggunakan ungkapan yang
familiar dengan dunia indrawi. Hanya saja ia kemudian diberi muatan yang melewati
realitas indrawi. Jadi bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia,
tetapi secara teologis didalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau
metahistoris.12
Kemudian Bahasa Agama; yaitu bahasa kitab suci. Adalah bagaimana manusia
memahami bahasa Tuhan yang di transformasikan kedalam bahasa manusia yang
tertuang dalam kitab suci. Dalam hal ini menurut komarudin, dalam memahami kitab
suci terdapat tiga tingkatan pemahaman. Ada yang berpikir dalam lingkup kapasitas dan
pengalaman sehari-hari, namun diarahkan untuk objek yang diimani yang berada diluar
jangkauan nalar dan inderanya. Ada lagi yang berangkat dari sikap iman, lalu mencari
dukungan dari pemikirannya. Ada yang memahami secara literal, verbal, menurut bunyi
lahiriah ayat al-Qur’an, namun ada pula yang memahaminya dari sudut pandang spirit
dan makna batin ayat.13
10
11
12
13

Ibid,. h. 149.
Ibid,. h. 67.
Ibid., h. 157.
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama..... hlm. 68

6

Yang menjadi dasar adanya tingkat pemahaman diatas, ialah tidak lain berkaitan dengan
bagaimana seorang individu mengapresiasi makna dan gaya bahasa kitab suci. Umat
Islam Indonesia yang tidak paham bahasa arab, intensitas pemahamannya pasti berbeda
dari masyarakat Arab dan para Sahabat Nabi Muhammad yang hidup sezaman dan
paham bahasanya. Persoalan ini juga menimpa pemeluk agama lain. Bagi orang
beriman, jarak pemahaman ini lalu dijembatani oleh iman, terjemahan kitab suci, dan
penjelasan historis. Tetapi, begitu kitab suci diterjemahkan dan di tafsirkan, dua
kemungkinan segera muncul. Positifnya, posisi dan dan pesan sebuah kitab suci menjadi
terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal dimana ia diturunkan. Al-Qur’an
misalnya, tidak lagi secara eksklusif hanya bisa dipahami oleh mereka yang ahli dalam
bahasa Arab. Bertemunya teks dan terjemahan al-Qur’an dengan pembacanya diluar
tradisi Arab akan memungkinkan proses pengayaan wawasan al-Qur’an sendiri. Tetapi
negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu diikuti bahaya distorsi, deviasi,
dan pengkhianatan pesan.14
Manusia selaku penafsir, dalam mengungkap makna al-Qur’an tidaklah
menghasilkan suatu hasil final. Terbukti dari dinamika perjalanan zaman, setiap penafsir
mempunyai penafsiran yang berbeda satu sama lain. Itu karena al-Qur’an merupakan
dari Tuhan yang Maha Ghaib yang tidak bisa terjangkau oleh akal pikiran manusia. Dan
lagipula dalam al-Qur’an adalah sifatnya dzu wujuh, yaitu yang mempunyai banyak
aspek. Dan dari situlah salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan
penafsiran diantara para penafsir.
Jika memang pada kenyataannya harus begitu, maka apakah yang menjadi
standar dalam meraih kesepakatan makna dari kitab suci? Komarudin berpendapat
bahwa, cara termudah tentu saja dengan jalan mengkaji secara objektif terhadap teks
atau firman yang tertulis itu sendiri, sekalipun faktor konteks harus pula
dipertimbangkan.15
Lalu bagaimana halnya dengan bahasa ritual?. Bahasa sebagai medium tidak
selalu berupa ucapan, tetapi bisa juga gerakan tubuh (body language) yang bersifat
isyarat atau sikap tubuh (performative language). Jadi, bahasa agama mencakup
14 Ibid,. h. 151.
15 Ibid., h. 71.

7

ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun
ungkapannya menggunakan bahasa ibu.16
Setiap gerakan sholat adalah bahasa ritual, sejak dari mengangkat tangan,
membungkukkan badan, sampai menundukkan kepala sampai ke tanah. Semuanya itu
kalo saja dihayati dengan mendalam, jauh lebih ekspresif ketimbang ucapan seribu kata.
Ketika seorang muslim bersujud dengan khusuk menundukkan kepala dan
menempelkan dahinya ke tanah, maka rangkaian kata-kata tidak cukup untuk
mengungkapkan perasaan hatinya ketika bersimpuh menghadap Tuhan. Bisa jadi, hati
seseorang dipenuhi gejolak rindu dan rasa syukur kepada Tuhannya, atau bisa juga
penuh malu dan rasa takut. Begitu pun ketika memulai shalat dengan mengangkat
tangan dan dibarengi ucapan takbir, untaian kata-kata tidak mampu mewakili peristiwa
hati seseorang. Dengan demikian, bahasa agama tidak sekedar berhenti sebagai medium
dan alat komunikasi, tetapi memiliki dimensi ontologis dan eskatologis.17
2. Peran Penting Hermeneutika dalam Penafsiran
Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan
manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan
selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan
manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan, sebab manusia memahami
dalam bahasa.18 Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna,
selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas. Pemberian penanda
itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Masalah pemahaman adalah masalah
tekstualitas, artinya begitu kita mau memahami realitas, ia sebenarnya sedang
menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri seluas realitas. Bahkan Derrida secara
radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is nothing beyond the text”.19
Hermeneutika adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Jika “mengerti”
selalu dikaitkan dengan bahasa, dengan berbagai kompleksitasnya, maka bahasa juga
membatasi dirinya sendiri. Namun semua buah pikiran orang harus diungkapkan dengan
bahasa yang ada sesuai dengan tata bahasa yang berlaku. Maka jika pengalaman
manusia yang diungkapkan dalam bentuk bahasa tersebut tampak asing bagi pembaca
16 Ibid,. h. 150.
17 Ibid., h. 73.
18 Lihat. Heidegger: Language Is The House Of Being
19 Edi Mulyono, dkk., BELAJAR HERMENEUTIKA; Dari Konfigurasi Filosofis Menuju
Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), hlm. 18.

8

(audience), maka perlu untuk ditafsirkan secara benar. Disinilah hermeneutika memiliki
peran yang sangat besar.20
Hermeneutika dalam pengertiannya adalah pemahaman atau pemberian
pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunah)
sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna lahiriah dari katakata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna batin” (inward meaning).21
Salah satu pokok perselisihan dikalangan umat Islam yang terkait erat dengan
hermeneutika ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur’an yang “bermakna jelas atau pasti”
(muhkamat) dan “yang bermakna samar atau tidak pasti” (mutasyabihat, yakni
interpretable).22
Masalah hermeneutika mengenai muhkamat dan mutasyabihat ini setidaknya
menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan:
Pertama¸ perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan
mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang
bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat¸ namun bagi kelompok lain bersifat
mutasyabihat.
Kedua, adanya juga perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan
hermeneutika terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam
membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu harus
dilakukan hermeneutika dibalik ungkapan-ungkapan lahiriahnya; sebagian yang tidak
membolehkannya, berpendapat bahwa dalam memahami ayat-ayat itu kita harus
berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan oleh ungkapan-ungkapan lahiriah
lafal dan kalimatnya.
Ketiga, bagi mereka yang membolehkan hermeneutika, masih terdapat perselisihan
tentang siapa yang harus melakukan hermeneutika itu. Karena melakukan pekerjaan
hermeneutika itu bukanlah pekerjaan gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak
untuk melakukannya harus dibatasi hanya kepada lingkungan yang memenuhi syarat,
antara lain syarat pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam.23
Disamping persoalan muhakamat dan mutasyabihat, yang menjadikan kehadiran
hermeneutika menjadi sangat penting adalah karena terdapat jarak (distance) antara
sabda Tuhan dan kehadiran kitab suci dihadapan manusia sebagai ‘teks’, maka terbentuk
20 Ibid., h. 19.
21 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama..... hlm. 36
22 Adanya kedua jenis itu disebutkan dalam kitab suci sendiri, yaitu dalam Q.S. Ali
Imran ayat 7
23 Ibid., h. 37-40.

9

sebuah ‘ruang interpretasi’ dimana sabda Tuhan itu harus di interpretasikan kedalam
bahasa-bahasa manusia, dalam konteks kehidupan sehari-hari manusia itu sendiri.
Hal selanjutnya yang menjadi dasar keharusan adanya hermeneutika adalah
banyaknya penggunaan metafor dalam kitab suci itu sendiri. Istilah “metafor” berasal
dari bahasa yunani: “Meta” berarti berada di seberang atau dibalik, dan “pherein”
artinya “jembatan” atau “penyebrangan”. Dengan demikian, ketika kita menemui
ungkapan metaforis, kiasan dan narasi kitab suci dalam bentuk cerita, kita diajak untuk
menyebrang, melampaui ungkapan skripturalnya untuk menangkap pesan yang
tersembunyi.24
Komarudin menegaskan dalam bukunya, bahwa proses pemahaman dan
interpretasi tidak terlepas daripada tiga subjek yang saling terlibat, yaitu: dunia
pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca. Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu,
tempat, dan kebudayaan antara pembaca dan dua yang lain, yaitu pengarang dan teks,
demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di Timur Tengah,
ketika hadir ditengah masyarakat Indonesia kontemporer tentu saja merupakan sesuatu
yang asing. Persoalan keterasingan inilah yang menjadi persoalan hermeneutika sebagai
sebuah teori interpretasi. Jadi, peran hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah
teks klasik atau teks yang asing sama sekali agar menjadi milik kita yang hidup di
zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. 25
Memahami sebuah teks asing sama halnya dengan melakukan “interogasi”
terhadap orang asing yang tidak kita kenal. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan
rekonstruksi makna se-objektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang.
Sebagaimana metodologi ilmiah pada umumnya, hermeneutika berusaha menemukan
gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar terjadi dalam sejarah yang
dihadirkan kepada kita oleh teks.26
Berdasarkan proses penafsiran yang menjelaskan berdasarkan asumsi, maka prakonsepsi pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran penting
yang besar dalam membangun makna. Maka hermeneutika sebagai sebuah metodologi
penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap “curiga” kepada setiap
teks dari faktor-faktor subjektif, baik pembaca maupun pengarang. Subjektifitas tersebut
mestinya bisa ditekan sekuat-kuatnya, sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran
objektif bisa muncul ke permukaan. Hanya saja, karena pengarang, teks, dan pembaca
24 Ibid., h. 154.
25 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama..... hlm. 82.
26 Ibid., h. 83.

10

ketiganya tidak berada dalam ruang kosong, tetapi terpengaruh oleh konteks sosial
psikologis, maka tidak mudah untuk memperoleh kebenaran mutlak dan objektif.27
3. Ta’wil dan Hermeneutika
Dalam lintasan sejarah islam, muncul segolongan umat Islam
yang disebut dengan istilah “orang sufi” yang mengembangkan
ajaran tasawuf. Mereka menjadi golongan tersendiri yang tidak
terpisahkan dalam dunia Islam. Mereka yang mengamalkan ajaran
tasawuf biasanya menawarkan suatu pola ta’abudiyah, perilaku dan
pola pikir yang unik yang berbeda dengan yang lainnya. Karakternya
yang khas membuat tasawuf menjadi salah satu formula yang
terbentuk didalam umat Islam.
Pola yang demikian pada akhirnya berdampak sistematik pada
pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tidak sedikit dari
para sufi telah memberikan pemaknaan terhadap ayat suci al-Qur’an,
baik yang terformulasikan dalam kitab tafsir tersendiri atau hanya
disampaikan melalui majlis-majlis pengajian.28
Dalam perjalanannya, para sufi dalam memaknai al-Qur’an
adalah dengan menggunakan ta’wil sebagai alatnya, dengan maksud
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang simbolik dan mengandung kias
(ayat-ayat mutasyabihat), sehingga diperoleh pemahaman yang
mendalam. Misalnya seperti terlihat pada ikhitar Sahl al-Tustari,
seorang sufi Persia yang hidup pada akhir abad ke-10 dan merupakan
salah seorang pengasas kaidah ta’wil. Baginya ta’wil tidak lain adalah
kaidah penafsiran secara spiritual untuk menangkap pesan-pesan
moral yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu al-Qur’an. 29
Secara bahasa, Ta’wil berasal dari kata awwal, pertama atau
yang pertama, sebutan yang juga diberikan kepada sang pencipta.
Sebagai yang pertama, Tuhan merupakan tempat kembalinya segala
ciptaan. Berdasarkan hal ini lantas perkataan ta’wil diberi arti
‘Kembali atau menyebabkan kita kembali (kepada yang pertama atau
27 Ibid., h. 87.
28 Kurdi, dkk., HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN HADIS (Yogyakarta: Elsaq Press,
2010), hlm. 36.
29 Abdul Hadi W.M., HERMENEUTIKA, ESTETIKA, DAN RELIGIUSITAS; Esai-esai Sastra
Sufistik dan Seni Rupa (Yogyakarta: MAHATARI, 2004), hlm. 64.

11

yang asal) serta menemukan sesuatu yang tidak dapat diragukan
lagi, yaitu sang makna atau hakikat yang terakhir.

30

Sebagaimana ahli hermeneutika secara umnum, ahli ta’wil meyakini bahwa bahasa
sebagai sarana komunikasi dan ekspresi manusia merupakan ‘wadah makna-makna’
(the locus of meaning), sekaligus sistem penandaaan (dilal) dan pelambangan atau
simbolisasi (mitsal). Berdasarkan penekanannya pada simbol atau unsur-unsur simbolik
dari rasa’il atau wacana, maka ta’wil sering diartikan sebagai tafsir atau pemahaman
simbolik. Dilihat dari arti khususnya ini ta’wil dapat diartikan sebagai perjalanan jiwa
dalam memahami teks melalui cara-cara seperti mentransformasikan ungkapanungkapan zahir tertentu dalam teks menjadi kias, tamsil atau mitsal. Dengan cara
demikian maka dunia makna yang dikandung teks menjadi lebih luas
dan kaya.31
Lebih jauh, Ibnu Arabi menamakan ta’wil sebagai kaidah
penafsiran teks dengan cara mencipta kemiripan makna baru secara
terus menerus (tajdid al-mutsul) atau mencipta sesuatu yang baru
melalui kegiatan menafsir (tajdid al-khalq). Tujuan ta’wil ialah
membina

kesadaran

rohani,

pengetahuan

dan

gagasan

yang

bermakna tentang hidup, serta kesadaran diri yang membuat
pemahaman terhadap teks menjadi hidup, baik secara spiritual
maupun secara rasional, secara estetis maupun intelektual.
Mengenai

hermeneutika

sendiri,

telah

32

dijelaskan

dalam

pembahasan yang kedua diatas, yaitu mengenai peran hermeneutika
dalam penafsiran. Meskipun penjelasannya relatif singkat, namun
saya kira sudah bisa mewakili mengenai apa pengertian dan objek
kajiannya.
Sehingga dari pemaparan mengenai Ta’wil dan hermeneutika
diatas, dapat disimpulkan ada beberapa persamaan dan perbedaan
diantara keduanya.
30 Ibid., h. 71.
31 Ibid., h. 72.
32 Ibid., h. 76.

12

Persamaan:
a. Ta’wil maupun hermeneutika sama dalam hal mencipta
makna yang ingin dicapai, dalam hubungannya dengan teks.
Yaitu ingin melampaui skriptualitas dan makna dzahir nya
menuju makna tersembunyi yang lebih luas dan mapan guna
menghasilkan makna yang baru secara terus menerus. Ini
didasarkan pada pandangan ahli hermeneutika terkemuka
seperti Paul Ricour , Hans Goerge Gadamer, dsb. Yaitu bahwa
bahasa pertama adalah the locus of meanings (wadah
makna-makna), dan setiap makna yang terdapat dalam
wacana tertulis mempunyai kaitan atau konteks dengan
kehidupan diluar bahasa.33
b. Ta’wil dalam perkembangaanya tidak hanya digunakan untuk
memahami dan menafsirkan ayat mutasyabihat al-Qur’an,
tetapi juga ungkapan puisi-puisi keagamaan dan sufistik.
Misalnya dalam karya-karya Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi,
dsb.34
Begitu juga hermeneutika selain sebagai metode dalam
menafsirkan

kitab

suci,

secara

nyata

hermeneutika

merupakan sebuah seni memahami. Yang juga bukan hanya
sekedar memahami teks suci, melainkan teks-teks lainnya
termasuk sastra.
c. Ta’wil maupun hermenutika sama-sama berangkat dari
konsep yang sama yaitu bahwasanya al-Qur’an mengandung
makna zahir dan makna batin. Sebagaimana seorang sufi alKasyani menghubungkan ta’wil dengan sabda Nabi yang
bermaksud “Tidak ada ayat yang al-Qur’an yang tidak
mempunyai makna zahir dan sekaligus makna batin, batasan
(hadd) dan sekaligus tempat ke mana kita melakukan
pendakian”.35
d. Menurut ahli ta’wil adanya teks tidak lah berangkat dari
ruang hampa. Tetapi, kelahiran sebuah teks bisa terjadi
33 Ibid., h. 89.
34 Ibid., h. 65.
35 Ibid., h. 71.

13

setelah melalui sebuah proses kejiwaan dan pengalaman
batin yang rumit.
Ini senada dengan apa yang dikatakan ahli hermeneutika
terkenal yaitu schliermacher dan ahli hemeneutika lainnya,
bahwa makna batin dari teks berkaitan dengan gambaran
dunia dan keadan jiwa penulis pada waktu melahirkan
karyanya.36
Perbedaan:
a. Seorang pena’wil, bukan hanya menggunakan akal atau
rasio untuk mengungkap makna ayat, melainkan harus
menggunakan intuisi dan imajinasi kreatifnya. Juga dalam
tingkatan keilmuan, orang yang bisa melakukan ta’wil
adalah orang yang dikarunai daya khayal/burhani, dimana
daya ruhani bisa melampaui indera dan akal (rasio).
Sedangkan hermeneutika tidak membutuhkan hal itu,
namun

lebih

membutuhkan

metodologi

dalam

menerapkan hermeneutika tersebut, khususnya dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an.
b. Objek kajian ta’wil atas al-Qur’an adalah ayat-ayat yang

mutasyabihat,

kemutasyabihatan

yang

itu

menurut

pena’wil itu sendiri. Dikarenakan antara satu yang lainnya
menganggap beda antara mana yang muhkam dan

mutasyabihat.
Sedangkan objek hermeneutika adalah selain dari ayat
yang mutasyabihat adalah juga dari ayat-ayat yang

muhakam

sekalipun,

apabila

yang

muhkam

itu

bertubrukan dengan problematika sosial.
Namun demikian, menurut ahli hermeneutika, ayat yang
dianggap

muhkam

bisa

mutasyabihat, dan sebaliknya.

36 Ibid., h. 78.

14

jadi

menurut

mereka

Kesimpulan
Teks dan bahasa merupakan dua yang tidak bisa dipisahkan.
Sehingga dalam memahami sebuah teks, kita juga tidak terlepas dari
bahasa teks itu sendiri. Terlebih lagi adalah bahasa agama. Yang
bukan hanya mencakup teks kitab suci, melainkan juga bahasa
mancakup ungkapan dan ekspresi keagamaan, yang dalam hal ini
merupakan bahasa agama dilihat dalam ritual keagamaan.
Dalam kaitanya dengan interpretasi, kita tidak terlepas dari tiga
bagian, yaitu pengarang, pembaca, dan teks itu sendiri. Yang menjadi
masalah adalah jarak(distance) antara ketiganya sehingga sulit untuk
memahami hanya dari skriptual teks nya saaja. Melainkan harus
memahami makna batin nya juga, apa pesan moral nya, dsb.
Sehingga disitulah hermeneutika berperan.
Dalam sejarah Islam, kita telah mengenal ta’wil, yang pada
umumnya diterapkan oleh para sufi dalam memahami ayat-ayat alQur’an yang mutasyabihat. Pada prinsipnya, hermeneutika sama saja
dengan ta’wil, hanya saja hermeneutika lebih menyajikan konsep dan
metodologi

yang

sedemikian

rupa

sehingga

lebih

mudah

menerapkannya. Berbeda dengan ta’wil yang menggunakan ilmu
burhani, intuitif, dan pengalaman ruhani, sehingga orang yang bisa
melakukan ta’wil hanya lah orang-orang yang dikarunai pengetahuan
yang mendalam oleh sang pencipta. Namun terlepas dari itu, antara
ta’wil dan hermeneutika pada dasarnya mempunyai keserupaan juga
perbedaan yang tentunya masih bisa dikompromikan satu sama lain.

15

Daftar Pustaka
Hadi, Abdul W.M., 2004. HERMENEUTIKA, ESTETIKA, DAN RELIGIUSITAS; Esaiesai Sastra Sufistik dan Seni Rupa (Yogyakarta: MAHATARI)
Hardiman, F. Budi,. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein
und Zeit, (Jakarta: KPG)
Hidayat, Komaruddin, 2011. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Bandung:Mizan)
Kurdi, dkk., 2010. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN HADIS (Yogyakarta: Elsaq
Press)
Mulyono, Edi, dkk., 2013. BELAJAR HERMENEUTIKA; Dari Konfigurasi Filosofis
Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD)
Syamsuddin, Sahiron dkk., 2011. PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI
ISLAM: READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Syamsuddin, Sahiron dkk., 2011. PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI
BARAT: READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)

16