T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB II

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Dalam bab ini, konsep-konsep penting akan dibahas dan diulas secara berurutan,
yakni: (1) Konsep Kelembagaan; (2) Konsep Peran; (3) Konsep Peran Kelembagaan; (4)
Konsep Rekonsiliasi; (5) Hibua Lamo sebagai Katup Penyelamat (Savety Valve) dalam
Perspektif Teori Lewis Coser; (6) Hibua Lamo Sebagai Lembaga Adat Pemersatu
Masyarakat di Halmahera Utara.
2.1.

Konsep Kelembagaan.
Menurut Norman Uphoff (1986), kelembagaan adalah “suatu himpunan atau tatanan

norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk
melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama”.
Selain itu, istilah kelembagaan memberi tekanan pada lima hal, diantaranya; Pertama ,
kelembagaan berkenaan dengan seuatu yang permanen. Ia menjadi permanen, karena
dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan (Cooley dalam Soemardjan
dan Soemardi, 1964: 75). Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam
suatu kelembagaan. Sejalan dengan itu, Uphoff juga menyatakan bahwa kelembagaan
berkenaan dengan sesuatu yang telah berjalan lama. Namun, Uphoff tidak menyebut sesuatu

yang bersifat tetap tersebut adalah norma (norm) dan prosedur (procedurs), melainkan norma
(norm) dan perilaku (behavior ) (Uphoff, 1986: 9).
Kedua , kelembagaan berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan

perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan sesuatu yang kompleks. Hal yang abstrak
ini sama dengan apa yang disebut Cooley (1909) dengan “public mind”, atau oleh
Koentjaraningrat (1964) disebut sebagai “wujud ideel kebudayaan”, atau “cultural” menurut
Johnson (1960). Secara garis besar, hal yang dimaksud terdiri dari nilai, norma, hukum,
peraturan-peraturan, pengetahuan, ide-ide, bellief, dan moral. Kumpulan dari hal-hal yang
abstrak tersebut, terutama norma sosial, diciptakan untuk melaksanakan fungsi masyarakat
(Taneko, 1993). Ketiga , kelembagaan berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores
(tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan dimasyarakat (establish way
of behaving). Sebagaimana yang diartikan oleh Hebding et al. (1994), bahwa institusi sosial

merupakan sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk
mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika masyarakat
ingin survive, maka insitusi sosial harus ada.
7

Keempa t, kelembagaan juga menekankan kepada pola perilaku yang disetujui dan


memiliki sanksi. Kelima , kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecahkan
masalah. Hebding et al (1994: 407) menyatakan bahwa institusi sosial adalah nilai-nilai yang
melekat pada masyarakat yang menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang
berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku.
Dari kelima tekanan pengertian tersebut, terlihat bahwa „kelembagaan‟ memiliki
perhatian utama kepada seperangkat nilai dan norma yang terpola serta memiliki kemampuan
untuk mengatur pola perilaku masyarakat. Kelembagaan berpusat pada tujuan-tujuan, nilai
atau kebutuhan sosial utama.
Berdasarkan uraian dari pada konsep kelembagaan tersebut, maka alasan peneliti
memilih konsep kelembagaan adalah dengan maksud untuk mengaitkannya dengan
kelembagaan lokal masyarakat Halmahera Utara, yaitu Hibua Lamo. Hibua Lamo yang
diartikan sebagai “rumah besar” adalah payung adat yang mengatur tatanan kehidupan sosial
masyarakat di Halmahera Utara. Hibua Lamo dalam konteks ini tidak hanya dipandang
sebagai rumah atau bangunan fisik, namun merupakan suatu institusi sosial yang memuat
sederetan nilai hidup bersama serta terwariskan (mendarah daging) dalam diri setiap orang
Halmahera Utara. Seperti yang diungkapkan oleh Kuat (2009) bahwa falsafah hidup
masyarakat Hibua Lamo tertuang dalam nilai-nilai ideal, seperti; O Dora (saling mengasihi);
O Hayangi (saling menyayangi); O Baliara (sikap saling “memelihara” atau saling “peduli”);
O Adili (prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat); dan O Diai (menjunjung nilai


kebenaran). Kelima nilai Hibua Lamo ini telah terlembaga dalam perilaku hidup masyarakat
serta bertujuan untuk mengatur pola sikap dan relasi masyarakat di Halmahera Utara.
2.2.

Konsep Peran
Ahmadi (1982) mengemukakan bahwa peran adalah tindakan atau perilaku yang

dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosialnya. Thoha
(1997) mengungkapkan bahwa syarat-syarat peran mencakup tiga hal, yaitu: (1) Peran
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan; (2) Peran adalah suatu konsep
perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai
organisasi. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur

8

sosial masyarakat; (3) Peran adalah suatu pola rangkaian tindakan yang teratur yang
ditimbulkan karena suatu jabatan.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok.
Dalam kehidupan berkelompok akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu
dengan anggota masyarakat yang lainnya. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat itulah
muncul apa yang dinamakan peran (role). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan
suatu peranan.
Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksudkan dengan peran adalah setiap orang
ataupun kelompok yang hidup di Halmahera Utara melangsungkan kehidupannya senantiasa
didasarkan atas keyakinanannya terhadap nilai-nilai dari pada Hibua Lamo itu. Sebagai suatu
kearifan lokal (local wisdom), Hibua Lamo yang memuat sederetan nilai hidup bersama
dipandang memiliki posisi yang siginifikan dan strategis dalam perannya memulihkan
kondisi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.
2.3.

Konsep Peran Kelembagaan
Peran kelembagaan merupakan gabungan antara kata “peran” dan “kelembagaan”.

Kata kelembagaan (institution) dalam konteks ini ditekankan pada norma-norma, prilaku,
nilai budaya dan adat istiadat yang mengatur hubungan dalam bermasyarakat (Uphoff; 1986).
Sedangkan peran adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang yang menempati suatu posisi didalam status sosialnya (Ahmadi, 1982).
Kaitannya dengan penelitian ini, maka Hibua Lamo yang memuat sederetan nilai
hidup bersama, diantaranya O’Dora, O’Hayangi, O’Baliara, O’Adili, dan O’Diai merupakan
intitusi sosial budaya (adat) yang bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan setiap orang
atau setiap kelompok masyarakat di Halmahera Utara. Sehingga, dalam konteks penelitian
ini, peneliti hendak

menggunakan konsep Hibua Lamo dengan maksud untuk

menggambarkan peran kelembagaan lokal – yaitu peran nilai adat Hibua Lamo dalam
upayanya merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan
jemaat.
2.4.

Konsep Rekonsiliasi.
Secara etimologis, “rekonsiliasi” berasal dari bahasa latin, yaitu„concilium‟, jika di

terjemahkan dalam bahasa Indonesia mengandung arti “dewan”. Dalam pengertian ini,
9


rekonsiliasi mengandaikan suatu proses yang dimaksud dengan sengaja, dimana pihak-pihak
yang saling berseteru bertemu satu sama lain “dalam dewan” guna membahas pandangan
mereka yang berbeda dan mencapai kesepakatan bersama (Muller dan Fahrenholz : 2005).
Walaupun secara umum dipahami sebagai cara untuk mengakhiri konflik, rekonsiliasi
sebagai istilah dan konsep tidak diartikan secara sama oleh para ilmuwan dan praktisi.
Beberapa definisi, misalnya, mengartikan rekonsiliasi sebagai suatu peristiwa (event)
Sebagian lagi menyatakan rekonsilasi sebagai proses dan hasil sekaligus. Beberapa peneliti
lainnya beranggapan rekonsiliasi lebih tepat dipandang sebagai pemulihan hubungan (Hamdi:
2011).
Hamdi (2011) menyatakan bahwa rekonsiliasi merupakan salah satu bentuk dari
resolusi konflik (conflict resolution) yang dianggap sebagai suatu mekanisme yang cukup
berhasil dalam memulihkan kondisi pasca konflik. Hamdi menegaskan pula bahwa sebagai
bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, rekonsilasi diperlukan agar persoalanpersoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga disejajarkan pengertiannya
dengan upaya transformasi konflik, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi damai.
Ralf Dahrendrof sebagaimana dikutip dalam Bakri (2015) mengungkapkan bahwa
penyelesaian konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak
harus mengakui kenyataan dan situasi konflik diantara mereka. Kedua, kepentingan yang
diperjuangkan harus terorganisir sehingga masing-masing pihak memahami tuntutan pihak
lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dalam hubungan
interaksi diantara mereka.

Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah diulas secara teoritis diatas,
harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman
budaya. Setiap budaya memiliki kearifannya tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup
yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifankearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom)
(Konjtaraningrat 1993:31). Korten (1985:14) menambahkan bahwa cara penyelesaian konflik
lebih tepat jika menggunakan model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
serta budaya setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari
masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya
budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat.

10

Senada dengan pandangan Konjtaraningrat (1993) dan Korten (1985) tersebut, maka
Hibua Lamo (Rumah Besar) sebagai payung adat pemersatu masyarakat di Halmahera Utara

yang memuat sederetan nilai hidup bersama dipandang mampu dijadikan sebagai basis dalam
upaya merekonsiliasi masyarakat di Halmahera Utara terkhususnya masyarakat Desa Duma
dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.
Peran nilai adat Hibua Lamo dalam upaya merekonsiliasi masyarakat pasca
perpecahan jemaat bukanlah hal yang mustahil atau tidak bisa untuk dilakukan. Peneliti

berasumsi bahwa perpecahan jemaat yang terjadi di Desa Duma dan Desa Mamuya yang
memperlihatkan tindakan-tindakan kekerasan tersebut tidak hanya berakibat fatal pada ruang
lingkup internal gereja (jemaat) semata, tetapi keluar batas hingga melibas pada dimensi
hubungan sosial kemasyarakatan di Halmahera Utara. Oleh karena itu, nilai adat Hibua Lamo
sebagai institusi sosial yang terwariskan dalam diri setiap orang dan kehidupan sosialnya
dipandang memiliki posisi penting serta berperan secara strategis dalam upaya merekonsiliasi
masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat tersebut.
2.5.

Hibua Lamo Sebagai Katup Penyelamat (Savety Valve) dalam Perspektif Teori
Lewis Coser.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser dalam Ritzer (2014) lewat katup
penyelamat itu, permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi
penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu:
mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang
sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, membendung
kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
Katup Penyelamat (Savety Valve) adalah suatu mekanisme khusus yang dapat di pakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat

membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik
membantu membersihkan suasana. Coser (1956:41) melihat bahwa katup penyelamat
demikian berfungsi sebagai jalar keluar yang meredamkan permusuhan, yang tanpa
hubungan-hubungan diantara pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian
Katup penyelamat merupakan sebuah lembaga pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur.
Dalam konteks pasca perpecahan jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya,
pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang “kita semua bersaudara” hampir-hampir tidak
11

bermakna lagi. Hal ini dikarenakan berbagai penyelesaian masalah yang pernah dilakukan
belum benar-benar berjalan dengan baik, sehingga untuk menciptakan hubungan baik antar
pihak yang saling berkonflik ini masih sering mengalami kesulitan. Kekisruhan yang telah
terjadi, meninggalkan rasa ketakutan tersendiri dan biasanya orang akan melakukan segala
cara untuk mempertahankan dirinya agar berada diposisi aman. Peristiwa ini yang juga
dialami oleh warga jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, yakni bagaimana mereka terus
membela kelompoknya sendiri.
Kaitannya dengan penelitian ini, dengan berdasar pada kondisi masyarakat pasca
perpecahan jemaat maka rekonsiliasi sangatlah diperlukan. Dalam konteks masyarakat di
Halmahera Utara, ketika agama baik Kristen maupun Islam, langsung maupun tidak dianggap

terlibat dalam kerusuhan, maka nilai-nilai budaya kembali digali dan dicari sebagai wadah
dalam melakukan proses rekonsiliasi. Nilai-nilai budaya yang masih dipegang sebagai
falsafah hidup bersama dalam masyarakat di Halmahera Utara adalah Hibua Lamo. Demikian
pula dalam permasalahan hidup berjemaat (bergereja) ini, dimana Hibua Lamo yang
merupakan institusi lokal masyarakat di Halmahera Utara dengan muatan sistem nilai hidup
bersama dipandang berfungsi sebagai katup penyelamat.

2.6.

Hibua Lamo Sebagai Lembaga Adat Pemersatu Masyarakat Halmahera Utara.

Kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal merupakan bagian dari kebudayaan
nasional dan memiliki posisi yang sama antara daerah yang satu dengan yang lain di
Indonesia. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa kebudayaan nasional
merupakan puncak kebudayaan daerah. Oleh karena itu, kebudayaan daerah maupun
kebudayaan nasional harus memiliki daya perekat bagi anggota masyarakat dan bangsa,
memiliki kekuatan integrasi, mendorong kemajuan, dan mengembangkan kesetaraan antara
anggota masyarakat dan antarbangsa (Ajawaila, 2009).
Hibua Lamo yang adalah rumah adat masyarakat di Halmahera Utara memiliki empat


unsur warna dengan arti dan maknanya masing-masing. Ke-empat warna itu adalah merah,
kuning, hitam, dan putih. Warna merah mencerminkan semangat perjuangan masyarakat
Canga. Warna kuning berarti kecerdasan, kemegahan, dan kekayaan. Warna hitam
melambangkan solidaritas, sedangkan warna putih melambangkan kesucian. Adapun ciri
khas arsitektur Hibua Lamo adalah berbentuk delapan sudut dengan pintu masuk mengarah
ke empat arah mata angin. Dalam bahasa Tobelo mengistilahkan dengan wange mahiwara
(pintu bagian Timur), wange madamunu (pintu bagian Barat), koremie (pintu bagian Utara)
12

dan korehara (pintu bagian Selatan). Keempat pintu yang menghadap ke keempat arah mata
angin tersebut melambangkan keterbukaan kepada siapa saja yang datang (Namotemo, 2009).
Adapun fungsi dari pada Hibua Lamo adalah sebagai pusat O’Higaro (tempat
pertemuan) yang dipilah menjadi dua fungsi, yakni: (1) Sebagai tempat untuk mengatur
berbagai hal menyangkut kepentingan masyarakat adat, dan; (2) Sebagai tempat tinggal
sementara bagi siapa saja yang datang berkunjung dan ingin menetap1.
Sejalan dengan pandangan di atas, Hibua Lamo sebagai payung budaya daerah turut
menyumbang bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat di Halmahera Utara. Secara
fisik, Hibua Lamo dibangun sebagai tempat pertemuan masyarakat masa lalu dan menjadi
tempat tinggal bagi mereka yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat yang kampungnya
terletak jauh dari tempat Hibua Lamo tersebut. Seiring dengan perkembangan pemahaman
masyarakat, maka istilah Hibua Lamo juga mengalami perkembangan dan dipahami bukan
saja sebagai bangunan fisik tetapi dipahami sebagai masyarakat itu sendiri (Nanuru, 2011).
Sebelum ada sistem pemerintahan yang modern seperti sekarang ini, masyarakat
Halmahera Utara telah memiliki sistem adat yang mengatur hampir keseluruhan kehidupan
masyarakat. Semua masalah dan hal-hal yang dipikir penting akan dibicarakan di dalam
Hibua Lamo dan masyarakat taat terhadap putusan yang telah dibuat. Hibua Lamo penting

bagi masyarakat Halmahera Utara karena menyatukan masyarakat dalam satu kebudayaan,
dan berfungsi sebagai pelengkap komunitas serta berupaya untuk melestarikan adat yang
relevan dengan kondisi zaman. Selain itu, Hibua Lamo penting karena menampung
komunitas yang berbeda agama dalam satu lembaga yang diikat oleh ikatan kekeluargaan.
Secara sosiologis, kesatuan sosial yang mengakar tersebut telah menjadi semacam kontrak
sosial yang mengikat masyarakat Halmahera Utara. Sebagai suatu kontrak sosial, konsensus
bersama menjadi dasar berpijak untuk hidup bersama sebagai masyarakat Halmahera Utara
(Mesdila, 2005).
Berangkat dari pemahaman bahwa Hibua Lamo sebagai lembaga adat pemersatu
masyarakat yang mampu menyelesaikan berbagai macam konflik sosial yang terjadi di
Halmahera Utara, maka dalam konteks permasalahan ini, sederetan nilai adat Hibua Lamo
juga diandaikan mampu digunakan sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan
Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat GMIH.

Namotemo, (2009). “Memahami Eksistensi serta Mendalami Filosofi Kaum Hibua Lamo di Jazirah Hamahera
Utara ”. Pemda. Kab. Halut – Dinas Pariwisata.

1

13

2.7.

Penelitian Terdahulu
Anselmus Puasa (Agustus 2013) melakukan penelitian dan menerbitkan tulisannya

dalam Jurnal Universitas Halmahera (UNIERA) Volume 2 Nomor 2; tentang Jum’at Kelabu
Berlabuh di GMIH: Gereja terkadang kehilangan jati dirinya yang membuat ia terpuruk.

Keterpurukan gereja itu disebabkan oleh para pemimpin gereja yang telah kehilangan muka
atau telah kehilangan integritas dan komitmen pelayanannya. Kondisi seperti itulah yang
dialami oleh gereja di Halmahera saat ini. Dimana para petinggi gereja dianggap telah
menyelewengkan konstitusi (Tata Gereja) dan bahkan telah memanfaatkan jabatan dan posisi
kepemimpinan mereka demi mengeruk keuntungan mensejahterakan diri sendiri. Salah satu
cara yang paling vulgar yang kerap dipertontonkan adalah berselingkuh dengan partai politik.
Mencermati kondisi para pemimpin gereja seperti itu, membuat umat yang dipimpinnya
menjadi marah. Dan kemarahan itu diwujudkan dengan melakukan demonstrasi dan
pemalangan kantor sinode. Tentu saja dengan tindakan itu, diharapkan para pemimpin gereja
sadar dan berubah, agar „perahu‟ yang bernama GMIH itu tidak tenggelam. Akan tetapi yang
terjadi, justru para pemimpin gereja hanya berdalih dan mencari kambing hitam untuk
dipersalahkan”.
Engelbert K. Samloy (2014) melakukan penelitian dalam Skripsi Sosiologi;
Universitas Kristen Satya Wacana tentang “Reformasi Gereja: Studi Sosiologis Tentang
Konflik dan Perpecahan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera Versi Sidang Sinode
Istimewa GMIH di Tobelo 2013”. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mendiskripsikan alasanalasan yang melatar belakangi terbentuknya BPHS versi SSI di Tobelo 2013; (2)
Mendiskripsikan pola interaksi Jemaat Wari pendung BPHS baru dan Jemaat Wari
pendukung BPHS lama.
Markus, Dawa (2010) melakukan penelitian dengan judul Konflik Dalam Gereja Dari
Perspektif Teori-Teori Konflik. Konflik di dalam gereja atau di dalam lembaga-lembaga

pelayanan Kristen tidak terlepas dari struktur sosial yang di dalamnya anggota-anggota gereja
hidup dan bergerak. Singkatnya, konflik terjadi bukan melulu karena ada orang-orang yang
bermasalah atau orang-orang yang belum dewasa,tetapi juga karena ada struktur sosial gereja
atau struktur sosial lembaga Kristen yang memang bermasalah. Melalui uraian teori konflik
secara sosiologis, penulis hendak tunjukkan bahwa konflik dalam gereja dan lembagalembaga Kristen tidak bisa dipisahkan dari aspek-aspek sosiologis gereja dan lembaga
Kristen sebagai sebuah struktur sosial dalam masyarakat. Karena itu, resolusi konflik yang
sehat dan tepat harus pula memperhatikan dimensi-dimensi sosiologis konflik ini. Dimensi

14

sosiologis lebih memperhatikan struktur sosial dalam mana konflik terjadi dan pelaku konflik
sebagai aktor-aktor sosial yang berkepentingan.
Penelitian-penelitian sebelumnya belum menjelaskan secara spesifik dan substantif
tentang peraninstitusi adat, khususnya nilai-nilai adat Hibua Lamo dalam upaya
merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.
Dalam penelitian ini, peneliti memakai beberapa konsep-konsep kunci yang membedakannya
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yakni; Konsep Kelembagaan, Konsep Peran,
Konsep Peran Kelembagaan, Konsep Rekonsiliasi, Hibua Lamo sebagai katup penyelemat
(savety valve) dalam perspektif teori Lewis Coser, dan Hibua Lamo sebagai lembaga adat
pemersatu masyarakat di Halmahera Utara.
Uniknya dalam penelitian ini, peneliti mengambil dua lokasi (desa), yakni jemaat di
Desa Duma maupun di Desa Mamuya untuk menggambarkan variasi dari pada bentuk
perpecahan serta tindakan kekerasan yang terjadi antara sesama warga jemaat GMIH.
2.8.

Kerangka Pikir Penelitian
Bagan 2.8
Kerangka Pikir Penelitian
GEREJA MASEHI INJILI
DI HALMAHERA (GMIH)
PERPECAHAN GMIH

JEMAAT PRO
BPHS GMIH LAMA

JEMAAT PRO
BPHS GMIH BARU

PEMAHAMAN DAN PRAKTEK
NILAI HIBUA LAMO OLEH
MASYARAKAT SEBELUM
PERPECAHAN JEMAAT

POLA RELASI (INTERAKSI)
MASYARAKAT PASCA
PERPECAHAN JEMAAT

NILAI HIBUA LAMO
SEBAGAI BASIS
REKONSILIASI

Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diperhadapkan dengan dualisme
kepemimpinan serta perpecahan ditubuh Sinode GMIH yang ditandai dengan terbentuknya
dua Badan Pengurus Harian (BPHS) Sinode GMIH, yakni BPHS Sinode GMIH Lama
15

maupun BPHS Sinode GMIH Pembaharuan. Konflik dan perpecahan pada tingkatan elit
Sinode tersebut berimbas pula pada perpecahan ditingkatan warga jemaat. Hal ini juga
dirasakan oleh Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya. Bukan hanya perpecahan saja,
adapun tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik terjadi diantara
sesama warga jemaat GMIH. Akibatnya hubungan sosial antara jemaat (kelompok) tidak lagi
terjalin dengan baik. Terjadi pro-kontra, saling memprovokasi terus meningkat, memanas,
dan mengganas sehingga terjadilah kekerasan fisik serta kekisruhan yang berkepanjangan.
Adapun konflik kehidupan bergereja ini turut serta memporak-poranda relasi-relasi sosial
kekeluargaan diantara sesama masyarakat.
Berbagai upaya rekonsiliasi telah digiatkan oleh berbagai pihak, baik oleh Pemerintah
Daerah (Forkompimda) maupun Pemerintah Desa setempat, namun tidak menuai hasil yang
baik. Oleh karena itu, dalam konteks penelitian ini, „Hibua Lamo‟ (rumah bersama) sebagai
institusi lokal yang memuat sederetan nilai hidup bersama, yaitu: “O Dora (Kasih), O
Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara/Peduli), O Adili (keadilan), O Diai (Kebenaran)”

memiliki posisi dan peran yang strategis bagi masyarakat dalam upayanya memulihkan
(rekonsiliasi) relasi-relasi sosial masyarakat yang tidak lagi harmonis tersebut.
Dengan berdasar pada permasalahan yang terjadi, maka peneliti memfokuskan tujuan
dilakukannya penelitian ini, dengan; mendeskripsikan pemahaman dan praktek nilai-nilai
Hibua Lamo oleh masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya dalam kehidupan sehar-hari,

mendeskripsikan pola relasi (interaksi) masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca
perpecahan, serta menjelaskan nilai-nilai Hibua Lamo yang diandaikan mampu dijadikan
sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan
jemaat.

16

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24