Paper Prospek dan Pengembangan Bisnis Ta

TUGAS TERSTRUKTUR
PAPER TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN OBAT DAN AROMATIK
“Prospek dan Pengembangan Bisnis Tanaman Obat di Indonesia”

Disusun oleh
Fidya Asrini

115040100111111
Kelas E

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

Prospek dan pengembangan bisnis tanaman obat di
Indonesia

Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap bahan baku dan
obat konvensional impor senilai 160 juta USD/tahun, sehingga perlu disubstitusi

oleh produk dalam negeri. Sementara itu, Trend global ”back tanaman obat
nature” yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman menunjukkan
pertumbuhan pesat, termasuk juga di Indonesia. Sehingga “jamu” sebagai produk
tanaman obat (tanaman obat) khas Indonesia memiliki arti strategis di bidang
kesehatan, juga dalam “Program Revitalisasi Pertanian” yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pengembangan obat bahan alam khas Indonesia yang dikenal sebagai
“jamu”, dimana tanaman obat menjadi komponen utamanya, memiliki arti
strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan
kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Dalam konteks demikian,
pengembangan tanaman obat juga menjadi penting dalam program “Revitalisasi
Pertanian” yang dicanangkan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi.
Dewasa ini peran tanaman obat khususnya, dan obat bahan alam umumnya,
dalam pelayanan kesehatan formal di Indonesia sekaligus sebagai sumber devisa
maupun PDB di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan karena (1) belum
ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan tanaman obat
obat resmi dan salah satu sumber kesejahteraan rakyat; (2) belum ada program
menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan dan
pemanfaatan tanaman obat nasional ; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi

program antar instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang
ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; (4) Undangundang kesehatan yang ada belum kondusif bagi pemanfatan tanaman obat dalam
pelayanan kesehatan formal.
Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional
(IOT), jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend

investasi ke depan, lima komoditas tanaman obat yang potensial untuk
dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Keempat
jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut paling banyak digunakan dalam
produk jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit (degeneratif,
penurunan imunitas, penurunan vitalitas). Purwoceng sangat potensial sebagai
komplemen dan substitusi ginseng impor dalam rangka menghemat devisa negara.
Produk setengah jadi dari tanaman temulawak, kunyit, kencur dan jahe
adalah

simplisia,

pati,

minyak,


ekstrak.

Produk

industrinya

adalah

makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul. Produk
setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak, produk industri dalam
bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul.
Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi
terhadap PDB nasional, masyarakat petani dan industri. Setiap tahun, masingmasing komoditas ini mengalami peningkatan produktivitas untuk temulawak
11%, kunyit 28%, kencur 52% dan jahe 2,3%. Pengolahan dan diversifikasi
produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia) memiliki nilai
tambah sebesar 7 – 15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi ekstrak sebesar 80 –
280 kali. Potensi purwoceng sebagai afrodisiak tercermin dari begitu maraknya
bisnis produk sejenis dewasa ini.
Pasar yang menyerap produk agribisnis hulu dan hilir tanaman obat adalah

1.023 perusahaan industri obat tradisional (IOT) yang terdiri dari 118 IOT (aset >
Rp. 600 juta) dan 905 IKOT (industri kecil obat tradisional, aset < Rp. 600 juta) .
Daya serap IKOT/IOT dan industri farmasi rata-rata sebesar 63%, ekspor 14%,
dan konsumsi rumah tangga 23%. Laju pertumbuhan IOT 6,40%/tahun sedangkan
IKOT (1,8%/tahun).
Dalam waktu enam tahun (2005-2010) diperkirakan akan terjadi kekurangan
suplai bahan baku dari keempat komoditas tersebut, terutama jahe, sehingga
terbuka peluang untuk intensifikasi dan/atau ekstensifikasi seluas 10 – 15% dari
areal lokasi dimana industri obat tradisional berkembang. Seperti di Pulau Jawa
yang memiliki target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, 1.527 ha kunyit, 3.270
ha kencur, 7.124 ha jahe dan 154 ha purwoceng. Dengan asumsi produktivitas per

tahun rata-rata 7–8 ton/ha, maka target produksi temulawak sampai tahun 2010
diperkirakan mencapai 14.020 ton, kunyit 15.426 ton, kencur 26.290 ton, jahe
63.967 ton, dan purwoceng 850 ton. Kecuali ada permintaan khusus, setelah 2010
areal pengembangan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat
diperluas ke luar Pulau Jawa yang ketersediaan lahan lebih luas.
Teknologi budidaya dan pascapanen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan
purwoceng, telah tersedia. Namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi
oleh petani, mengingat proses didalam pengalihan teknologi kepada petani

memerlukan investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani
belum mampu mengadopsi teknologi tersebut.
Kebutuhan investasi usaha agribisnis mencakup usaha agribisnis hulu,
pertanian primer, agribisnis hilir dan pemerintah tahun 2005-2010 untuk
temulawak mencapai Rp. 1.652,470 miliar, kunyit Rp. 1.373,944 miliar, kencur
Rp. 6.287,586 miliar, jahe Rp. 12.004,040 miliar, dan purwoceng Rp. 34,700
miliar. Total investasi gabungan dari usaha agribisnis dan pemerintah untuk lima
komoditas tanaman obat beserta produk turunannya adalah Rp. 21.744,92 miliar.
Investasi yang dibutuhkan untuk sekitar anaman obatr hulu meliputi
perbenihan, penyediaan lahan dan budidaya. Kebutuhan benih (per hektar per
tahun) untuk temulawak Rp. 20,95 juta (B/C rasio 3,34), kencur Rp. 26,40 juta
(B/C rasio 4,24), kunyit Rp. 22,26 juta (B/C rasio 2,70), jahe Rp. 31,13 juta (B/C
rasio 2,89) dan purwoceng Rp. 94,00 (B/C rasio 3,09). Kebutuhan investasi
agribisnis hilir (pembuatan simplisia) untuk temulawak mencapai Rp. 178,92
milyar, kunyit Rp. 151,098 milyar, kencur Rp. 721,975 milyar, jahe Rp. 1.119
milyar dan purwoceng Rp. 35,366 milyar. Nilai investasi untuk produksi ekstrak
temulawak mencapai Rp. 345,857 milyar, kunyit Rp. 448,436 milyar, kencur Rp.
1.364,72 milyar, jahe Rp. 10.091,18 milyar serta purwoceng Rp. 194,277 milyar.
Nilai investasi produk turunan temulawak tahun 2005-2010, mencapai Rp.
380,902 milyar, kunyit Rp. 657,282 milyar, kencur Rp. 2.791,11 milyar, jahe Rp.

913,868 milyar dan purwoceng Rp. 108,532.
Pengembangan agribisnis hilir komoditas tanaman obat diarahkan untuk
pengembangan produk turunan berupa produk jadi, pengembangan industri hilir

temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng yang dilakukan dengan
diversifikasi produk dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu simplisia atau
ekstrak.
Program yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman obat unggulan
tersebut adalah: (1) Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan potensi,
kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar;
(2) Peningkatan produksi, mutu dan daya saing melalui: (a) penggunaan varietas
unggul yang ditanam di tempat yang sesuai dengan penerapan praktek pertanian
yang baik (GAP, Good Agricultural Practices) yang didasarkan atas SOP
(Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas, (b) Panen
dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices); (3)
Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia melalui: (a) pendidikan dan
pelatihan SDM yang terlibat dalam penyediaan bahan baku obat dan sistem
pelayanan kesehatan, (b) demplot teknologi produksi bahan tanaman; (4)
Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: (a) pembangunan sarana
dan prasarana penunjang transportasi, telekomunikasi ke daerah sentra produksi

tanaman obat, (b) pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan
pemerintah; (5) Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran
melalui: (a) pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum
terkait, (b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar; (6)
Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub
sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat
melalui: (a) deregulasi peraturan yang tidak sesuai, (b) menciptakan lingkungan
usaha agribisnis dan agroindustri yang kondusif; (7) Pembentukan data base
tanaman obat yang valid sebagai acuan dalam perencanaan program nasional
pengembangan tanaman obat.
Dukungan kebijakan yang dibutuhkan untuk pengembangan obat bahan
alami antara lain: 1) keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan
obat bahan alami yang bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian
dari pelayanan kesehatan formal; 2) amandemen serta revisi undang-undang dan
Peraturan Pemerintah yang belum sejalan dengan keputusan politik sebagaimana
tersebut pada butir 1; 3) penyusunan program nasional pengembangan obat bahan

alam berbasis tanaman obat asli Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan
purwoceng) secara terpadu, yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai
hilir; 4) mendirikan badan atau institusi khusus yang memiliki otoritas memadai

yang akan merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan program
nasional sebagaimana tersebut pada butir 3; 5) membangun dan melengkapi
sarana dan prasarana pendukung : a) universitas yang akan mendidik tenaga medis
untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, b) rumah sakit dan apotek
yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, c) jalan, transportasi dan
telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman obat, d) bantuan modal
untuk petani dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri
berbasis tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di
hulu maupun di hilir; dan 6) fasilitasi munculnya iklim usaha dan kemitraanyang
sinergis dengan prinsip win-win diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri
berbasis obat bahan alam di Indonesia.
Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang
kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
rakyat Indonesia perlu disusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan
Alam, yang ditindaklanjuti oleh seluruh pihak terkait. Target program tersebut
adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri
obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun
2020.
Untuk mencapai target yang telah ditetapkan tersebut maka perlu disusun
Grand Strategy Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian

dari Program Nasional tersebut, yang meliputi: 1) penetapan komoditas tanaman
obat unggulan, 2) penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, 3)
peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan, 4)
peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, 5) pengembangan infrastruktur dan
kelembagaan, 6) peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, dan
7) penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub
sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustriberbasis tanaman obat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymousa. 2010. Prospek Bisnis Tanaman Obat di Indonesia.
http://www.smallcrab.com/kesehatan/424-prospek-bisnis-tanaman-obat-diindonesia, diakses tanggal 26 Februari 2013
Anonymousb. 2009. Tanaman Obat Indonesia Capai 7500 Spesies.
http://setkab.go.id/berita-6052-tanaman-obat-indonesia-capai-7500spesies.html, diakses tanggal 26 Februari 2013
Ahmad, Surapurna. 2012. Prospek Bisnis Tanaman Obat Tanaman Hias Di
Yogyakarta.
http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/view/8756/7229, diakses
tanggal 26 Februari 2013
Suryana, Achmad. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tanaman
obat.

http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/files/00TANOBAT.pdf, diakses tanggal 26 Februari 2013
Suryana, Achmad. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tanaman
obat.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/files/0105TANOBAT.pdf, diakses tanggal 26 Februari 2013
Suryana, Achmad. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tanaman obat
edisi
kedua.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/doc_perkebunan/tanaman
obat/tan-obat-bagian-a.pdf, diakses tanggal 26 Februari 2013
Suryana, Achmad. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tanaman obat
edisi
kedua.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/doc_perkebunan/tanaman
obat/tan-obat-bagian-b.pdf, diakses tanggal 26 Februari 2013
Widodo, Anggito. 2012. Tanaman Obat Tawarka Potensi Keuntungan.
http://usahapedesaan.blogspot.com/2012/10/tanaman-obat-tawarkanpotensi-keuntungan.html, diakses tanggal 26 Februari 2013