Makalah Difteri dan Pertusis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari
Corynebacterium diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana
masa lalu telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerahdaerah dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini
menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung
dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka
terhadap penyakit ini (Wikipedia Ensiklopedia Bebas).
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphteriae (Nelson, 2000). Penyakit ini dominan menyerang
anak-anak dan ditandai dengan timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh
cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Difteri mempunyai gejala demam,
suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derajat Celcius, batuk dan pilek yang ringan.
Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan, mual, muntah, sakit kepala. Difteri
merupakan penyakit sangat menular, jumlah kasus dan kematian cenderung
meningkat. Cara penularan Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung
maupun tidak langsung (Guyton, 2003).
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough,
batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2004 frekuensi
kejadian luar biasa (KLB) difteri terjadi 34 kali dengan jumlah kasus 106 di
Indonesia. Tahun 2008 ada 77 kali KLB dengan 123 kasus, termasuk di Jawa
Timur dengan jumlah kasus 73. Tahun 2011, terjadi KLB di Jatim dengan 330
kasus, 11 orang meninggal awal Oktober 2011.
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum
ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis
cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang
penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah
penduduk total.Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi

1

maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.Pertusis sangat
infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan.Penyakit ini mudah menyebar
ketika si penderita batuk.Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut
kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang –
kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin pertusis
tidak dianjurkan bagi orang dewasa.Walaupun orang dewasa sering sebagai
penyebab pertusis pada anak – anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan

untuk masa depan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dari Difteri dan Pertusis?
2. Bagaimanakah etiologi dari Difteri dan Pertusis?
3. Bagaimanakah tanda & gejala dari Difteri dan Pertusis ?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari Difteri dan Pertusis ?
5. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik dari Difteri dan Pertusis ?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan dan terapi dari Difteri dan Pertusis ?
7. Bagaimanakah komplikasi dari Difteri dan Pertusis ?
8. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan Difteri dan Pertusis ?
C. Tujuan
a. Tujuan umum Setelah menyusun makalah ini diharapkan mahasiswa
mengetahui bagaimana gambaran umum tentang penyakit Difteri dan Pertusis
dan bagaimana proses asuhan keperawatannya.
b. Tujuan khusus Setelah menyusun makalah ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Difteri dan Pertusis.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi Difteri dan Pertusis.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda & gejala Difteri dan Pertusis.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi Difteri dan Pertusis.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari Difteri dan

Pertusis.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan dan terapi pada Difteri
dan Pertusis.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari Difteri dan Pertusis.
8. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
menderita Difteri dan Pertusis.

2

BAB II
TINJAUAN TEORI
A.

Difteri
1. Pengertian Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran
napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya
melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan

yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)

3

Biasanya pembagian dari infeksi difteri ini dibuat menurut tempat atau
lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya
penyakit ini juga diajukan oleh Beach dkk. (1950) sebagai berikut :
1. Infeksi Ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala
2.

hanya nyeri menelan.
Infeksi Sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan

3.

konservatif.
Infeksi Berat

Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trakeostomi. Juga gejala miokarditis, paralisis atau pun nefritis dapat
menyertaiya.
Berdasarkan tempat atau lokalisasi infeksi, penyakit ini dibagi menjadi 4

macam, dan masing-masing mempunyai gejala klinis yang berbeda-beda, yaitu :
a. Difteria Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Pada kasus
b.

berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi.
Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri
primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi,

stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Bila terjadi pelepasan

c.

membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga
merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit,
tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,

4

edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
2.

eksterna dan sekret purulen dan berbau.
Etiologi Difteri
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang


bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan
langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf
cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana. Pada membran
mukosa manusia, C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
a. Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
b.

menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan

c.


hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in

vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1.

Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih

2.

dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
Polymerase chain pig inoculation test (PCR)


5

3.

Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan

dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya
basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis.Pada pemeriksaan bakteriologik,
basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang
bentuknya

mirip

dengan

basil


difteri.

Misalnya

basil

Hoffman,

dan

Corynebacterium serosis.

3.

Tanda dan gejala (Manifestasi Klinis) Difteri
Onset difteri pernapasan adalah berbahaya dan dimulai setelah masa inkubasi

2-5 hari. Gejala awal penyakit termasuk sakit tenggorokan, kesulitan menelan,
malaise, dan demam ringan. Ciri difteri pernapasan adalah adanya eksudat yang
menyelenggarakan menjadi tangguh, putih keabu-abuan pseudomembran atas

tonsil, faring, laring. Pseudomembran ini sangat melekat pada jaringan di
bawahnya, dan upaya untuk mengusir biasanya mengakibatkan pendarahan.
Peradangan yang menyertainya dari kelenjar getah bening leher dan sekitarnya
pembengkakan jaringan lunak leher menimbulkan " bull - neck " penampilan dan
tanda-tanda dari penyakit sedang sampai berat . Membran dapat semakin meluas
ke laring dan trakea dan menyebabkan obstruksi jalan nafas, yang jika tidak
ditangani bisa berakibat fatal.
4. Patofisiologi Difteri
Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas
terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain.
Tetapi walaupun jarang, basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan
kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan

6

eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari
faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga
menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan
mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.Eksotoksin dapat mengenai
jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer
sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nekrosis lokal pada hati dan ginjal.Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.Pada serangan
difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan
bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abuabu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.
Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat
biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL
Depkes,2003).
Pathway Difteri
Faktor pencetus

Imunisasi tidak lengkap
Factor lingkungan
Daerah endemic bakteri
7

Eksotoksin Mengenai
DIFTERI

jantung

Corynebacterium diphteriae
inhalasi melewati hidung

Miokarditis Toksik
Melepas Eksotoksin

Terjadi masa inkubasi (2-5
hari) pada traktus

Membentuk

respiratorius atas

Pseudomembran

Pseuodomembran

DX 5: Tachicardi
berhubungan dengan

Mengenai saraf
perifer

Paralisis otot
pernafasan

penyebaran eksotoksin ke
Inflamasi

Nekrotik

Pembengkakan pada
faring/ laring

Dx 2: Gangguan
menelan bd dengan
perandangan pada
faring

Kekurangan nutrisi dan
cairan

daerah jantung
Dilepaskan secara
paksa

Lapisan mukosa/
lendir dibawah akan
berdarah

Dx1 : Ketidak
efektifan jalan nafas
berhubungan
dengan obstruksi
jalan nafas akibat
pembengkakan

Menyumbat saluran
udara

8

Tidak bisa menelan

Pasang NGT
Ketidaknyamanan
pemasangan NGT
Dx 3 :Resiko tinggi
cedera bd prosedur
pemasangan NGT
5.

DX 4: Ansietas bd
kesulitan menelan
karena pemasangan
NGT

Pemeriksaan Diagnostik Difteri
- Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
-

hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter
darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini
digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan
yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang
setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji
Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan

9

dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas
atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
(FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasuskasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan
sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri
disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan
toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45,
hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau
lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri
dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif
karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
Tes hapusan spesimen:
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna
untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba
sebagai medikasi.
6.
1.

Penatalaksanaan dan terapi dari Difteri
Dalam pengobatan penderita infeksi difteria terdiri dari :
Pengobatan Umum
- Tirah baring mutlak selama 10 –14 hari. Pada miokarditis, tirah baring
-

selama 4 – 6 minggu.
Diberi cukup cairan dan kalori.
Makanan lunak dan mudah dicerna.
Pada penderita gawat, mungkin perlu cairan per infus
Isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya
komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu.

10

2.

Pengobatan Khusus
a. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut.dengan
sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita sensitif
terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara
Besredka (secara bertahap).
Dalam literatur lain, dosis pemberian ADS ini dibedakan berdasarkan
tingkat infeksi :
- Difteri ringan (hidung, mata dan kulit) : 20.000 U secara IM
- Difteri sedang (tonsil, laring) : 40.000 U secara IV tetesan
- Difteri berat disertai penyulit : 100.000 U secara IV tetesan
b. Antimikroba
Penisilin prokain sebanyak 50.000 U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas
atau selama 10 hari.
Bila alergi terhadap penisilina : eritromisin 50 mg/kgBB/hari oral atau 500
mg per hari selama 5 – 10 hari.
Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
c. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu kemudian
diberhentikan secara bertahap. Pada penderita dengan penyulit jantung

perlu dipertimbangkan.
Komplikasi dari Difteri
Komplikasi penyakit difteria dapat terjadi dini maupun lambat, berupa :
1. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan
7.

atelektasis.
2. Kardiovaskular
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk oleh kuman penyakit ini.
3. Urogenital
Dapat terjadi nefritis atau gagal ginjal akut.
4. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai
sistem susunan saraf terutama sistem motorik.

B. Pertusis
11

1. Pengertian Pertusis
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh
berdetellah pertusis (Nelson, 2000 : 960). Definisi Pertusis lainnya adalah
penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan
ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan
paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit ini
adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
2. Etiologi Pertusis
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam
media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordetella pertusis,
Bordetella Parapertusis, Boredetella Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram
negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer,
2000).
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
a. Berbentuk batang (coccobacilus).
b. Tidak dapat bergerak.
c. Bersifat gram negatif.
d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.
e. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
f. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10ºC).
g. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
h. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
i.

terhdap penicillin.
Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :
1) Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).

12

2) Endotoksin (lipopolisakarida).
j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesin
yang dinamakan pertaktin.
k. Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :
1) Toksin Pertusis (PT).
2)
Filamentous hemagglutinin (FHA).
3)
Pertactine 69-kDa OMP
4) Aglutinogen fimbriae
5) Adenylcyclase
6)
Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)
7) Tracheal cytotoxin
3. Tanda dan gejala
Pertusis, Menurut Guinto-Ocampo H. (2006), periode inkubasi pertusis
berkisar antara 3-12 hari. Pertusis merupakan penyakit 6 minggu (a 6-week
disease) yang dibagi menjadi: stadium catarrhal, paroxysmal, dan convalescent.
a. Stadium 1
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga catarrhal phase,
stadium kataralis, stadium prodromal, stadium pre-paroksismal. Stadium ini
tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas dengan
common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin, dapat disertai dengan sedikit
demam (low-grade fever), tearing, dan conjunctival suffusion.Pada stadium ini,
pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis dapat tetap menular selama
tiga minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling mudah diisolasi juga
pada stadium ini.
Menurut Rampengan (2008), masa inkubasi pertusis 6-10 hari (rata-rata 7 hari),
perjalanan penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Adapun
manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya
rinore dengan lendir yang cair dan jernih.
2) Infeksi konjungtiva, lakrimasi.
3) Batuk dan panas yang ringan.
4) Kongesti nasalis.

13

5) Anoreksia.
Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi
semakin hebat. Sekret banyak, menjadi kental dan lengket.
b. Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga
paroxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal, stadium
spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang tiba-tiba dan
tak terkontrol (paroxysms of intense coughing) yang berlangsung selama
beberapa menit. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak disertai whoop
yang khas namun dapat disertai episode apnea (henti nafas sementara) dan
berisiko kelelahan (exhaustion).
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat
penderita menarik nafas di akhir serangan batuk.
2) Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas, dan di akhir
serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga
terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
3) Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau sianosis,
mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah. Juga tampak
pelebaran pembuluh darah yang jelas di kepala dan leher, petekie di wajah,
perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
4) Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lendir kental.
5) Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat.
c. Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium
konvalesens. Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Garna H., et.al. (2005),
pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk yang
terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung selama bermingguminggu. Dapat terjadi petekie pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dapat
terjadi ronki difus.
14

Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Whoop dan muntah berhenti.
2) Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3 minggu.
3) Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali
dengan whoop dan muntah-muntah. Episode ini terjadi berulang dalam
beberapa bulan bahkan hingga satu atau dua tahun, dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.
4. Patofisiologi Pertusis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd
berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan
whooping cough.Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin
sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian
menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.Toxin
mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis
dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula
darah.Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi

15

sekunder

(tersering

oleh

Streptococcus

pneumonia,

H.

influenzae

dan

Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat
terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf
pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia.Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.Cara
penularan pertusis, melalui:
-

Droplet infection
Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui

-

percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang
menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai
3 minggu setelah batuk dimulai.

Pathway Pertusis
Infeksi
Lewat udara dan droplet

Menghasilkan bahan aktif seperti Hemaglutinin flamentosa (HAF) dan pertakin
Nempel pada saluran nafas bagian bawah
Fungsi silia menurun
Nekrosis

16

Lesi pada epitel
Menghambat bersihan organisme
Peningkatan sputum sekret

Dx 1 : Bersihan jalan nafas tak
efektif b/d penumpukan sekret

Bersihan jalan nafas inefektif
Batuk rejan yang lama

Toksin menyebar ke saluran
pernafasan

Mual Muntah
Berlangsung lama

Infeksi dan terjadi penumpukan
mukus dan menimbulkan plug

DX 2 : Pola nafas tak efektif b/d
dispnea
DX 4 : Gangguan pemenuhan
Nutrisi b/d berhubungan
dengan muntah yang lebih dan
anoreksi

Penurunan nafsu makan dan
sering berkeringat serta
metabolisme terganggu

DX 4: Resiko kekurangan
volume cairan b/d intake klien
yang kurang

5. Pemeriksaan Diagnostik Pertusis
pemeriksaan diagnostiknya sebagai berikut :
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-

17

FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh
karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan
test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan
IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk
infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama
stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada
apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki

keuntungan

sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild
interstitialedema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi,
mildperibronchial cuffing, atau empiema.Konsolidasi (consolidation)
merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis
pneumonia (jarang).Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum, atau
udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.Radiographytidak diindikasikan
pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital signs) yang normal. Vital signs
ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate, respiration rate, dan suhu
tubuh.
6. Penatalaksanaan dan terapi dari Pertusis
a. Penilaian dan perawatan pendukung
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi
b.

dan istirahat.
Agen terapeutik, agen antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau diperkuat
karena kemungkinan manfaat klinis dan membatsi penyebaran infeksi.
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat

c.

selama 14 hari merupakan pengobatan baku.
Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan β2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada

18

trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat. Pengobatan
dengan aerosoldapat memicu paroksismal. Berguna dalam pengobatan
pertusis terutama pada bayi muda dengan seragan proksimal.
Salbutamol Efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja :
a) Beta 2 adrenergik stimulan
1. Mengurangi paroksimal khas
2. Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
3. Mengurangi frekuensi apneu
b) Terapi suportif
1. Lingkungan perawatan penderita yang tenang
2. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan,
sebaiknya makanan cair, bila muntah diberikan cairan dan

d.

elektrolit secara parenteral
3. Pembersihan jalan nafas
4. Oksigen
Kortikostreoid
Tidak ada trial khusu buta acak cukup besar yang telah dilakukan untuk
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertusis.
Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada
manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi

pernapasan pada manusia. Penggunaan klinisnya tidak dibenarkan.
1) Betametason oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
2) Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari kemudian
diturunkanperlahan dan dihentikan pada hari ke-8
3) Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari
e. Globulin Imun Pertusis
Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imonoglobuli
nstadium kataralis. Penggunaan preparat imunoglobulin jenis apapun tidak
dibenarkan kecuali kalau penelitian lebih lanjut memperkuat pengaruh
manfaat.
7. Komplikasi dari Pertusis
Komplikasi dari pertusis adalah sebagai berikut:
a. Sistem pernafasan
Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis yang
disebabkan

sumbatan

mukus,

emfisema,

bronkietaksis, dan

tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.
b. Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi
kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena
19

tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena tergosok
pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.
c. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak,
mungkin pula terjadi perdarahan otak.
d. Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan Difteri
20

Kasus :
Anak D usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari
pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil
EKG didapatkan tachicardi. Anak D

rewel dan tidak mau makan dan sulit

menelan, sputum meningkat , RR 33 x/menit, retraksi dinding dada sehingga
dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm,
Anamnesa:
1. Identitas pasien
a. Nama
:D
b. Usia
: 6 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang
NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy.
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat penyakit masa lalu
Pemeriksaan Fisik :
B1

: Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas), 33 permenit

B2

: Blood (Cardiovascular system)
tachicardi

B3

: Brain (Nervous system)
Normal

B4

: Bladder (Genitourinary system)
Normal/ berkemih atau tidak ada masalah

B5

: Bowel (Gastrointestinal System)
21

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
B6

: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit pucat, terkadang tampak sianosis

1.

Diagnosa keperawatan: Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan
Tujuan

: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal

Kriteria Hasil

:Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
Pernapasan tetap pada batas normal

Intervensi dan Rasional

:

1. Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul.
Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien.
2. Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi.
Untuk mepertahankan atau memperbaiki keadaan umum.
3. Pemberian SAD 40.000 KI secara IM atau IV.
Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan.
2. Diagnosa keperawatan: Gangguan menelan berhubungan dengan
peradangan pada faring
Tujuan
: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil
: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan
penambahan berat badan yang memuaskan.
Intervensi dan Rasional
a. Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT).
Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian

makanan

oral

memungkinkan.
b. Pantau masukan keluaran dan berat badan.
Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
3. Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan
prosedur pemasangan NGT.
Tujuan
: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil
: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena
pemasangan Naso Gastric Tube
22

Intervensi dan Rasional
a. Bersihkan kateter sesering mungkin.
Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh.
4. Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan,
ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
Tujuan

: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.

Kriteria Hasil

:

-

Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
Mulut tetap bersih dan lembab.
Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.

Intervensi dan Rasional
a. Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).
Untuk memudahkan perkembangan optimal

dan

meningkatkan

kenyamanan.
b. Beri perawatan mulut.
Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.
c. Dorong orangtua untuk berpartisipasi dalam perawatan anak.
Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
5. Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran
eksotoksin ke daerah jantung
Tujuan
: Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah
Kriteria hasil
:
- Bunyi jantung normal.
- Tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.
- Gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST.
Intervensi dan Rasional
a.
b.

Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV
Menetralisir Toksin.
Eradikasi Kuman
Menanggulangi infeksi sekunder
Pemberian obat sedative (diazepam/luminal)
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
c. Pantau terus hasil perekaman EKG
Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard

23

ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS
A. Pengkajian
1. Identitas ( Ngastiyah, 1997 ; 32 )
- Mengenai semua golongan umur, terbanyak mengenai anak umur 1-5th
- Lebih banyak anak laki –laki dari pada anak perempuan.
2. Keluhan Utama.
- Batuk disertai muntah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Batuk makin lama makin bertambah berat dan diikuti dengan muntah terjadi
siang dan malam. Awalnya batuk dengan lendir jernih dan cair disertai panas
ringan, lama–kelamaan batuk bertambah hebat (bunyi nyaring) dan sering,
maka tampak benjolan, lidah menjulur dan dapat terjadi pendarahan sub
conjungtiva.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
- Adanya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas.
- Batuk dan panas ringan, batuk mula-mula timbul pada malam hari,
kemudian siang hari dan menjadi hebat.
5. Riwayat Penyakit Keluarga.
Dalam keluarga atau lingkungan sekitarnya, biasanya didapatkan ada yang
menderita penyakit pertusis.
6. Riwayat Imunisasi
JENIS

UMUR

CARA

JUMLAH

BCG

0 – 2 bulan

1C

1x

24

DPT

2, 3, 4 bulan

1M

3x

Polio

1-5 bulan

Refisi

4x

Capak

9 bulan

5C

4x

Heportits

0, 1, 6 bulan

1M

3x

7. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Personal Sosial
Ibu pasien mengatakan kalau dirumah anaknya lincah, tidak mau diam.
b. Motorik Halus
Anak terbiasa melakukan gerakan seperti memasukkan benda kedalam
mulutnya, menangkap objek atau benda – benda, memegang kaki dan
memegang kaki dan mendorong kearah mulutnya.
c. Motorik Kasar
Anak dapat tengkurap dan berbalik sendiri, dapat merangkak mendekati
benda atau seseorang.
d. Kognitif
Anak berusaha memperluas lapangan pandangan, tertawa dan menjerit
karena gembira bila diajak bermain, mulai berbicara tapi belum jelas
bahasanya.
USIA

FISIK

Motorik Kasar

Motorik Halus

Sosial
Emosional

15 bln

Berjalan sendiri



Pegang cangkir



Memasukkan jari

Bermain
solitary
play

kelubang

18 bln



Lari jatuh



Menarik



Membuka kotak



Melempar benda



Menggunakan
sendok

25

mainan




Naik dengan

Buku

tangga bantuan 

24 bln  BB 4x
BB lhr
 TB bauik

 Berlari sudah
baik

Membuka hal.

Menyususn balok

 Membuka pintu
 Membuka kunci

 Naik tangga

 Menggunting

Sendiri

 Menggunakan
sendok dengan baik

8. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal
a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan
antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang
pernah diminum serat kebiasaan selama hamil.
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara
persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section secaria dan
gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan congenital.
Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak menangis spontan
atau tidak.
c. Postnatal
Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan
gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola
eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya
ashyksia, trauma dan infeksi.
9. Pemeriksaan fisik.

26

1) Keadaan umum : Saat batuk mata melotot, lidah menjulur, batuk
dalam waktu yang lama dan berkeringat.
Kesadaran
: Composmetis,
TTV
: Nadi meningkat(120-125x/mnt),respirasi
meningkat(30-35x/mnt)
2) Head to toe
Kepala
: Tidak ada bekas luka ataupun bengkak.
Rambut
: warna rambut hitam, lurus, distribusi merata, tidak
terdapat ketombe.
Wajah
: Simetris, bentuk bulat, tidak terdapat kelainan
kulit.
Mata
: Sklera berwarna putih,mata tampak menonjol.
Hidung
: Lubang hidung simetris, hidung berair, terdapat
pernafasan cuping hidung.
Mulut
: Mukosa lembab, lidah menjulur
Telinga
: Daun telinga simetris, membran timpani putih
mengkilat, tidak ada benda asing.
Leher
: Tidak terdapat pembesaran JVP, tidak ada tanda
tanda pembesaran kaku kuduk dan pembesaran
kelenjar tiroid.
Dada
Inspeksi

: Terdapat tarikan otot bantu pernafasan dengan
cepat
: Tidak ada krepitasi.
: Paru sonor, jantung dallnes
: Wheezing inspirasi

Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: Terdapat distensi abdomen
: Bising usus 9x/mnt
: Tidak terdapat pembesaran lien dan hepar, turgor
kulit bisa menurun bisa normal.
: Perut tidak kembung

Perkusi
Ekstremitas
Atas
: tidak ada odem, pada bagian kiri terpasang infus.
Bawah
: tidak ada odem, tidak ada bekas luka.

Genetalia : Bersih, tidak berbau tak sedap, tidak terdapat varises atau
odem.
Anus
Inspeksi : bersih, tidak terdapat hemoroid, tidak ada perdarahan.
Palpasi
: tidak ada benjolan, massa, ataupun tumor.
10. Pemeriksaan penunjang

27

1) Melakukan pemeriksan hapusan skret di nasofaring / lendir yang
dimuntahkan.
2) Pada hapusan darah tepi akan dijumpai (20.000 – 50.000 sel / mm3
darah) dengan limfositosis yang predominan ( 60 %).
3) Pemeriksaan serologis (imunofluorecent antibody) yaitu untuk
mengetahui ada tidaknya kuman.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
secret.
2) Pola napas tidak efektif b/d dispnea.
3) Resiko kekurangan volume cairan b/d intake klien yang kurang.
4) Ganggaun pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan muntah yang lebih dan anoreksi
C. Intervensi Keperawatan
- Dx Kep I
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, status
ventilasi saluran pernafasan baik
Kriteria Hasil :
1) Keluarga mampu mengetahui ttg sakit yang dialami anaknya.
2) Px mengungkapkan pernafasan menjadi mudah.
3) Px mampu melakukan batuk efektif.
4) Rata-rata pernafasan normal(16-24x/mnt).
Intervensi
:
1. Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada .
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal,dan gerakan dada tak simetriks
sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan/ cairan
paru
2. Auskultasi area paru.
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsulidasi dengan
cairan. Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat juga terjadi
pada area konsulodasi. Krekes,ronki,dan mengi terdengar pada inspirasi
dan/ ekspirasi pada respon terhadap pengumoulan cairan, secret .
3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/ bantu pasien melakukan
batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif.
Rasional : napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan
napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami,
membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan
menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan
upaya napas lebih dalam dan kuat.
28

4. Pengisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik
pada pasien yang tak mampu melakukan karena
5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan
air hangat daripada dingin.
Rasional : cairan (khususnya

yang

hangat)

memobilisasi

dan

mengeluarkan secret.
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
7. Rasional : untuk menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan
resiko keparahan.
Dx Kep II.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien
menunjukkan pola napas efektif.
Kriteria hasil
1.
2.
3.
4.

:

Keluarga mampu mengerti ttg sesak yg dialami anaknya.
Px mengungkapkan sesak berkurang.
Px mampu melakukan napas dalam.
Pengembangan dada normal antara inspirasi dan ekspirasi

Intervensi :
1. Kaji frekuensi,kedalaman pernafasan, ekspansi dada. Catat upaya
pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu.
Rasional : kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi peningkatan
kerja napas (pada awal /hanya tanda EP subakut). Kedalaman pernafasan
biasanya bervariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas
yang berhubungan dengan atelektasis dan/ nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas.
Rasional : bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi
sekunder terhadap perdarahan,bekuan atau kolaps jalan napas kecil
(atelaktasis). Ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan
pernafasan
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun
tempat tidur dan ambulasi sesegera mungkin.

29

Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan
pernafasan. Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan pengisian
udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas
4. Observasi pola batuk dan karakter secret
Rasional : kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering/iritasi. Sputu
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan (infark paru) atau
antikoagulan berlebihan.
5. Dorong/bantu pasien dalam napas dalam dan latihan batuk. Pengisapan
peroral atau naso trakeal bila diindikasikan.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan
ventilasi dan ditambah ketidak nyamanan upaya bernafas.
6. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan bila diindikasikan.
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
Dx Kep III
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,

kekurangan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1) Keluarga mengerti ttg penyebab kekurangan cairan.
2) Px mengungkapkan sudah tidak merasa dehidrasi.
3) Px sudah Nampak tidak lemah.
4) Turgor kulit membaik, membrane mukosa baik
Intervensi
1. Observasi turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir dan lidah).
R/ indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane
mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan
2. Pantau masukan dan haluaran,catat warna, karakter urine. Hitung
keseimbangan cairan.
R/ memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan penggantian.
3. Catat cairan Intake dan Output.
R/untuk mengetahui keseimbangan cairan.
4. Berikan dan anjurkan untuk memberikan minum sesering mungkin
R/ Mengurangi tingkat dehidrasi
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi cairan
R/ Untuk mengatasi rehidrasi yang dialami pasien.

30

Dx. Kep IV
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,

kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Keluarga mengerti ttg pentingnya nutrisi.
2) Px mengungkapkan nafsu makannya bertambah.
3) Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang dibutuhkan
/ diberikan.
4) BB meningkat, membrane mukosa lembab
Intervensi

:

1. Kaji keluhan muntah dan anoreksia yang dialami klien.
Rasional :Mengetahui / menetapkan cara menentukan tindakan perawatan dan
cara mengatasinya.
2. Berikan makanan yang tidak terlalu asin dan makanan yang tidak digoreng.
Rasional: Makanan yang asin dan digoreng dapat meerangsang batuk.
3. Berikan makanan / minuman setiap habis batuk dan muntah.
Rasional :Pemberian makanan dan minuman setelah batuk dan muntah
membantu memenuhi kebutuhan nutrisi.
4. Catat jumlah / porsi
makanan yang dihabiskan oleh klien.
Rasional :Mengetahui sejkauh mana pemenuhan nutrisi klien.
5. Timbang BB klien tiap hari.
Rasional : Mengetahui status gizi klien.
6. Hindarkan pemberian makanan yang sulit ditelan
Rasional : Makanan cair atau lunak menghindari adanya aspirasi.
Implementasi dan evaluasi disesuaikan dengan intervensi, tujuan, dan kriteria
hasil yang telah kita buat.

BAB IV
PENUTUP

31

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah
sebagai berikut :
 Difteri
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengankuman
penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a). Panas lebih dari 38 °C
b). Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c). Sakit waktu menelan
d). Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),

disebabkan

karenapembengkakan kelenjar leher.
 Pertusis
1.

Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Bordotella pertusis.

2.

Pertusis dapat mengenai semua golongan umur dan terbanyak mengenai
anak 1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis,
paroksimal dan konvelesensi.

3.

Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar adalah
menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis.

B. Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan
terhadap penderita pertusis dan diftei. Karena seringkali pada penderita pertusis
dan difteri disertai dengan komplikasi. Keadaan ini akan menyebabkan
penderitaan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, penyakit batuk rejan dan

32

difteri perlu dicegah. Cara yang paling mudah adalah dengan pemberian imunisasi
bersama vaksin lain yang biasa disebut DPT dan polio.
Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini
melakukan penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi dan imunisasi akan
berdaya guna jika dilakukan sesuai dengan program. Selain itu perawat harus
memberikan pengetahuan pada orang tua mengenai penyakit pertusis secara jelas
dan lengkap.Terutama mengenai tanda-tanda, penanganan dan pencegahannya.

33