Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Polri (studi Putusan No.80 Pid.B 2010 PN.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi berbagai macam tindak pidana
baik itu golongan masyarakat atas, menengah, maupun sampai pada masyarakat
golongan bawah. Tindak pidana merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi
tatanan kehidupan, sebab tindak pidana tersebut dapat mengacaukan ketenangan
masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Tindak pidana ini
merupakan suatu penyakit yang sewaktu-waktu dapat dialami oleh setiap individu
ataupun kelompok masyarakat, dimana pelaku dari tindak pidana tersebut banyak
berasal dari kalangan masyarakat ekonomi rendah dan dengan status sosial yang
rendah.
Salah satu jenis tindak pidana yang sering terjadi dalam masyarakat adalah
tindak pidana pemerasan. Berbagai macam cara dilakukan oleh pelaku untuk
melancarkan tindak pidana pemerasan yang dilakukannya sehingga membuat
korbannya lengah dan menuruti perintah dari si pelaku, salah satu dari cara
terebut adalah dapat berupa ancaman atau intimidasi. Adapun cara yang dipakai
oleh sipelaku untuk mengkelabui korbannya sangat dipengaruhi oleh latar
belakang si pelaku sehingga ia mudah menjalankan aksinya. Salah satu latar


Universitas Sumatera Utara

belakang si pelaku yang paling dominan dipergunakan

untuk mengkelabui

korbannya adalah karena si pelaku sebagai salah satu aparat penegak hukum yaitu
Polri. Kepolisian Republik Indonesia atau Polri merupakan alat negara sebagai
aparat penegak hukum yang bertugas memelihara keamanan yang memberikan
perlindungan, menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat dalam negara,
menjaga keamanan dan ketertiban, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan bagi masyarakat.
Namun yang menjadi kenyataan di masayarakat adalah ketika seorang
oknum Polri yang diadili dalam kasus tindak pidana pemerasan yang
dilakukannya dijatuhi hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Sesunggguhnya suatu hal yang tidak memenuhi rasa keadilan yang dituntut dalam
Negara Indonesia sebagai Negara Hukum. Hal inilah yang menjadi permasalahan
yang berkembang belakangan ini sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi
masyarakat “ mengapa aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana
dijatuhi hukuman yang berbeda dan bahkan tidak sesuai dengan peraturan hukum

yang mengaturnya? “.
Kita telah mengetahui bahwa Polri memiliki fungsi dan tugas yang mulia
sebagai aparat penegak hukum. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan

Negara

dibidang

pemeliharaan

keamanan

dan

ketertiban

masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

Universitas Sumatera Utara


kepada masyarakat. Sedangkan yang menjadi tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat
Pengaturan lebih rinci mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Pasal 13 diatas, dalam Pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2002,
dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan Pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang – undangan
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum


Universitas Sumatera Utara

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk – bentuk
pengamanan swakarsa
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang –
undangan lainnya
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikoligi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolingan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instantsi dan/atau pihak berwenang
k. Memberikan


pelayanan

kepada

masyarakat

sesuai

dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang –
undangan
Selain dari fungsi, dan tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang telah diuraikan di atas, Kepolisian juga memiliki Kode Etik Kepolisian

Universitas Sumatera Utara

sebagai norma atau aturan bagi anggota Polri dalam berbuat sesuai dengan tugas
dan fungsinya serta sekaligus menjamin mutu moral profesi Kepolisian diminta

masyarakat. Kode etik ini merupakan pedoman yang bersifat khusus, karena
mengandung makna dan filosofi yang sangat mendalam bagi kepolisian itu
sendiri, namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri masih banyak anggota
kepolisian yang menjalankan tugasnya justru tidak mematuhi pedoaman tersebut.2
Pelanggaran ataupun perbuatan pidana anggota Kepolisian yang tidak sesuai
dengan kode etik Kepolisian tentunya akan berakibat hukum.
Ketentuan mengenai Kode Etik Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan
Kapolri No 14 Tahun 2011 sebagai pembaharuan dari Peraturan Kapolri No. 7
tahun 2006 dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2006 Tentang organisasi dan tata
Kerja Komisi Kode Etik Polri, merupakan kaidah moral dengan harapan
tumbuhnya komitmen yang tinggi bagi seluruh anggota Polri agar menaati dan
melaksanakan (mengamalkan) Kode Etik Profesi Polri dalam segala kehidupan
sehari-hari dan dalam pengabdian masyarakat, bangsa, dan Negara. Kode etik
bagi profesi Kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan professional,
tetapi juga telah diatur secara normatif dalam undang-undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Polri yang ditindaklanjuti dengan peraturan Kapolri, dalam Pasal 4
Undang-undang No. 2 tahun 2002 menjelaskan bahwa Kepolisian Negara
2

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika : Palu,


2006, hal 140.

Universitas Sumatera Utara

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, sehingga Kode Etik profesi Polri mengikat seluruh anggota
Polri.
Jika melihat keseluruhan uraian fungsi dan tugas serta Kode Etik
Kepolisian tersebut, seharusnya Polri adalah aparat penegak hukum yang dapat
memberikan rasa aman bagi masyarakat, namun kenyataan yang sering terjadi
adalah Polri sering sekali melakukan tindakan yang bertentangan dengan fungsi,
tugas, dan wewenang serta Kode etik Profesi yang dimilikinya. Masyarakat juga
memiliki harapan-harapan yang sangat besar terhadap polisi sebagai aparat
penegak hukum yaitu harapan untuk bisa “Bekerja sama”, “Kembali ke Fitrah”
yaitu mengharapkan peranan polisi lebih besar lagi dalam memberikan
ketenangan, dan ketentraman sebagai wujud pengayom masyarakat, “Lindungi

Kami” merupakan harapan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan yang
layak terlebih terhadapa masyarakat golongan bawah, dan “Harapkan Keamanan”
merupakan harapan masyarakat terhadap polisi untuk mewujudkan keamanan
baik ditingkat perkotaan maupun pedesaan.3

3

Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap POLRI, Cipta Manunggal : Jakarta, 1995, hal 76-77.

Universitas Sumatera Utara

Kasus tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum Polri semakin
banyak terjadi dikalangan masyarakat, seperti contoh di Jakarta seorang polisi
berpangkat Aiptu melakukan pemerasan terhadap tersangka narkoba sebanyak Rp
40 Juta. Aiptu BGS melakukan pemerasan terhadap keluarga tersangka narkoba di
Surabaya, Jawa Timur dengan meminta uang sebanyak Rp 40 Juta, dan Aiptu
BGS hanya dikenakan hukuman penjara 12 hari, teguran, dan penundaan
pendidikan selama satu tahun serta dimutasi ke unit Sabhara oleh Polri.4 Selain
itu, hal yang sama juga terjadi di Medan yaitu dua polisi terlibat perampokan dan
pemerasan terhadap korban yang merupakan Bandar shabu-shabu. Empat

tersangka yang diantaranya terdapat dua oknum polisi yaitu Brigadir Charlie dan
Brigadir Tien Pardede melakukan perampokan terhadap Susyanto warga jalan
Gaperta Ujung yang merupakan bandar shabu-shabu, dan melakukan pemerasan
serta menyekap istri dan anaknya. Korban mengalami luka tembakkan di bagian
kiri pahanya sebanyak dua kali. 5 Hal serupa juga terjadi di Jakarta, AKBP PN
selaku anggota Direktorak Tindak Pidana Narkotika Badan Reserse Kriminal
melakukan pemerasan terhadap bandar narkoba6
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menelusuri lebih dalam
mengenai tindak pidana turut serta melakukan pemerasan yang dilakukan oleh

4

Yova Adhiansyah, Polisi Peras Tersangka Narkoba , Jakarta, 2015, Sindo News,
http://daerah.sindonews.com/read/1065929/23/ diakses tanggal 1 februari 2016 Pukul 17.30.
5
Herdiansyah Talib, Dua Polisi Terlibat Perampokan dan Pemerasan, Medan, 2015, Medan
Satu, http://medansatu.com/berita/551/ diakses tanggal 1 februari 2016 pukul 17.36.
6
Sabrina Asril, Kasus Pemerasan Oleh AKBP PN, Jakarta, 2015, Kompas Nasional,
http://nasional.kompas.com/read/2015/06/18/15212041/ diakses tanggal 1 Januari 2016 pukul 17.48.


Universitas Sumatera Utara

oknum Polri secara bersama-sama dengan pelaku lainnya (berkas terpisah) yang
telah

diputus

oleh

Pengadilan

Negeri

Medan

dengan

Putusan


No.

80/Pid.B/2010/PN-MDN. Pengadilan negeri yang mengadili perkara tersebut
telah menjatuhi hukuman kepada terdakwa Ferdian Purwo Setio selama 3 bulan
penjara.
Dalam perkara tersebut terdakwa dituntut oleh penuntut umum selama 6
(enam) bulan penjara, dari tuntutan tersebut sebenarnya sudah dilihat begitu
ringannya tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hal ini sangatlah
tidak sesuai dengan Kitab Undang–undang Hukum Pidana yang mengatur tindak
pidana pemerasan tersebut. Dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP tindakan tersebut
diancam hukuman selama 9 (sembilan) tahun penjara. Begitu juga dengan Majelis
Hakim yang memutus perkara tersebut sehingga hanya memutuskan vonis 3 (tiga)
bulan penjara tanpa mempertimbangkan latar belakang tuntutan Jaksa Penuntut
Umum selama 6 (enam) bulan penjara yang jelas-jelas sangat menyimpang dari
ancaman yang tertulis di Pasal 368 KUHP. Selain itu, penulis juga akan
membahas mengenai penerapan hukuman yang diterapkankan terhadap terdakwa.
Berdasarkan

masalah di atas, maka penulis mengambil judul yaitu

Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana
Pemerasan

Yang

Dilakukan

Oleh

Oknum

Polri

(studi

Putusan

No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan untuk menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap oknum Polri yang melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Medan No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap turut serta melakukan
tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum Polri berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Medan No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada oknum Polri yang melakukan tindak pidana turut serta melakukan
pemerasan

berdasarkan

Putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap
oknum Polri yang melakukan tindak pidana turut serta melakukan pemerasan
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

Universitas Sumatera Utara

Adapun manfaat yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan untuk
menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum umumnya dan
bidang hukum pidana khususnya.
b. Untuk memberikan masukan bagi Universitas Sumatera Utara dalam
memperkaya bahan bacaan diperpustakaan, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bacaan untuk melakukan penelitian.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta kajian
pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten,

baik kalangan akademisi

maupun penegak hukum, untuk menambah wawasan di bidang hukum khususnya
yang berkaitan dengan bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan
oleh oknum Polri dan bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap
perkara turut serta melakukan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh
oknum Polri tersebut.

Universitas Sumatera Utara

D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan
Mengenai masalah deelneming atau keturutsertaan diatur dalam Pasal 55
dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 55 KUHP
berbunyi :7
a. Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, turut
melakukan perbuatan itu.
2. Orang yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan
menyalahgunakan kekuasaan, dengan kekerasan, ancaman, atau
dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan
kesempatan, sarana-sarana, atau keterangan-keterangan, dengan
sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana.
b. Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub ke 2 itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan
sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain,
beserta akibatnya

7

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Sinar Grafika : Jakarta, 2014,

hal. 595.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam Pasal 56 KUHP berbunyi, “Dihukum sebagai orang
yang membantu melakukan kejahatan” yaitu :8
a. Mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan dalam melakukan
kejahatan tersebut.
b. Mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana-sarana,
atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dapat kita jumpai beberapa
perkataan seperti pelaku (dader), melakukan (plegen), menyuruh melakukan
(doen plegen), turut melakukan (doen plegen), dan lain sebagainya.

Bentuk-bentuk deelneming atau keturut sertaan yang ada menurut Pasal 55
dan Pasal 56 KUHP adalah :9
1. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau orang yang di dalam

doktrin sering disebut sebagai middellijk daderschap
Di dalam suatu doen plegen jelas terdapat seseorang yang menyuruh
orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh
melakukan tindak pidana. Dalam hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain
melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai middellijke dader yaitu seseorang
yang tidak langsung, sebab ia tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana

8
9

Ibid.
Ibid, hal 613.

Universitas Sumatera Utara

tersebut, melainkan melalui perantara orang lain. Sedangkan orang lain yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai materrieele dader. 10
Syarat-syarat dalam menyuruh melakukan yaitu :
a. Ada yang berkehendak melakukan tindak pidana
b. Tidak melaksanakan sendiri tindak pidana tersebut
c. Menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana
d. Orang-orang yang disuruh adalah orang-orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana (Pasal 44 KUHP)
2. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang juga sering

disebut sebagai mededaderschap
Dalam turut serta melakukan atau medeplegen terdapat seorang pelaku
(dader) dan sesorang atau lebih pelaku yang turut serta melakukan tindak pidana,

oleh

karena

itu

bentuk

deelneming

ini

juga

sering

disebut

dengan

mededaderschap. Menurut Simons, daders dapat dibagi menjadi alleen daders

yakni pelaku-pelaku yang dengan sendiri melakukan tindak pidana, kemudian
middellijk daders yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak

pidananya melainkan menyuruh orang lain melakukannya, yang akhirnya
mededaders memiliki arti yaitu pelaku-pelaku yang turut serta melakukan suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang lain.11

10
11

Ibid, hal 622.
Ibid, hal 628.

Universitas Sumatera Utara

3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain

Van Hamel merumuskan uitlokking sebagai suatu deelneming atau
keturutsertaan berupa kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak
pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang
karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan
tindak pidana yang bersangkutan. 12 Untuk adanya suatu uitlokking haruslah
dipenuhi dua syarat objektif yaitu :13


Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh
orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu
delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbare poging atau
suatu percobaan yang dapat dihukum



Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu
disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu
uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan

salah satu cara yang telah disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1)
angka (2) KUHP.

12
13

Ibid, hal 648.
Ibid, hal 652.

Universitas Sumatera Utara

Undang-undang memberikan batasan atau syarat yang harus dipenuhi
orang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana
yaitu :
a. Pemberian, yang dimaksud pemberian adalah pemberian sesuatu
dari uitlokker kepada orang yang digerakkan .
b. Janji, meliputi segala sesuatu yang menimbulkan kepercayaan
kepada orang yang digerakkan dan akan memberikan keuntungan
kepadanya. Janji tu bukan hanya berupa memberikan hadiah uang
atau benda-benda lain tetapi juga segala macam kemurahan yang
dijanjikan akan diberikan kepada orang yang digerakkan sebagai
tanda jasa atas perbuatannya.
c. Penyalahgunaan kekuasaan, menunjuk pada arrest Hoge Raad
tanggal 10 oktober 1940 nomor 815 yang mengatakan, disitu tidak
terdapat

suatu

uitlooking

dengan

cara

menyalahgunakan

kekuasaan, apabila perbuatan material itu telah dilakukan orang
lain, yaitu pada waktu hubungan kerja itu sudah tidak ada lagi.
Kekuasaan yang disalahgunakan dapat berupa kekuasaan menurut
jabatan

ataupun

kekuasaan

seorang

majikan

terhadap

pembantunya.14

14

Ibid, hal 656.

Universitas Sumatera Utara

d. Kekerasan, penggunaan kekarasan atau ancaman dengan kekerasan
itu sifatnya tidaklah boleh sedemikian rupa sehingga orang yang
telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di
dalam

overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan

untuk melakukan tindak pidana itu berada dalam keadaan
demikian, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi dihadapkan
dengan suatu uitlokking melainkan doen plegen. 15
e. Tipu daya, yaitu dengan rangkaian kata-kata bohong untuk

menimbulkan sesuatu di dalam jiwa yang digerakkan untuk
melakukan apa yang dikehendaki uitlokker.
f. Memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan, yaitu
dikenal sebagai cara-cara membantu (Pasal 56 ayat 2e KUHP).
Apabila

keterangan-keterangan

yang

bersangkutan

telah

menimbulkan kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana,
maka terdapat pembujukan melakukan. Akan tetapi, apabila
keterangan-keterangan itu tidak menimbulkan suatu tindak pidana
melainkan hanya bersifat memudahkan atau melancarkan suatu
tindak pidana, maka terdapat suatu membantu melakukan.
Mereka yang disebut sebagai uitlokking harus memenuhi syarat
berikut yaitu :
1. Ada orang yang berkeinginan untuk melakukan tindak pidana
15

Ibid, hal 656.

Universitas Sumatera Utara

2. Tidak melaksanakan sendiri niatnya
3. Menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
4. Telah ditentukan secara limitatif oleh undang-undang
5. Orang yang digerakkan adalah orang-orang yang dapat
dipertanggungjawabkan
6. Pertanggungjawaban orang

yang menggerakkan bersifat

terbatas

4. Medeplichtigheid atau membantu melakukan

Menurut

Simons,

medeplichtigheid

merupakan

on-zelfstandige

deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendri. Itu berarti, seorang
medeplichtige itu dapat dihukum atau tidak, bergantung pada kenyataan yaitu

apakah pelakunya sendiri telah melakukan tindak pidana atau tidak. 16 Bentuk
medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan membantu melakukan suatu

kejahataan, maka setiap tindakan yang telah dilakukan oleh orang dengan maksud
membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat membuat orang
tersebut dituntut atau dihukum karena dengan sengaja telah membantu orang lain,
pada waktu orang tersebut sedang melakukan kejahatan.17 Bantuan tersebut dapat
berupa material maupun moral yang bersifat intelektual. Bentuk medeplichtigheid
yang kedua adalah kesengajaan memberikan bantuan kepada orang lain untuk
16
17

Ibid, hal 660-661.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

mempermudah orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan. Bantuan tersebut
dapat berupa material yaitu senjata atau alat-alat, dan dapat berupa intelektual
yaitu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan pencurian
terhadap barang-barang yang barada di dalam pengawasannya.18

2. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan
Sebelum menguraikan mengenai pengertian tindak pidana pemerasan,
terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian tentang tindak pidana.
Pembentuk undang – undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk
menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “ tindak pidana“ di dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit
tersebut.19
Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “ sebagian
dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedang strafbaar
berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat
diterjemahkan lagi sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,
yang sudah barang tentu tidak tepat karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

18
19

Ibid.
Ibid, hal 179.

Universitas Sumatera Utara

dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.20
Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang
pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam
berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah staraafbaarfeit, yaitu
sebagai berikut:21
1. Tindak Pidana , dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undangundang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun
2001.
2. Peristiwa Pidana , digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” H. J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam
UUD’S 1950 [baca pasal 14 ayat (1)];

20
21

Ibid.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , Raja Grafindo: Jakarta, 2002, hal 67-

68.

Universitas Sumatera Utara

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,

misalnya E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain
yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);
4. Pelanggaran Pidana , dapat dijumpai dalam buku M.H Tirtaadmidjaja
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni
dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga
Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana
Indonesia”;
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-

Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);
7. Perbuatan Pidana , digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.
Bahasa Belanda mengartikan pemerasan dengan afpersing, yaitu
barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara tidak sah, memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan
supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja
adalah kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat utang atau
menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana telah diatur dalam hukum pidana Indonesia yang dikualifikasikan
sebagai pemerasan.22
Tindak pidana pemerasan adalah tindak pidana yang dilakukan
seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan supaya orang itu memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau
sebahagian kepunyaan orang itu sendiri ataupun kepunyaan orang lain atau
supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang.23
Adapun yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pemerasan terdiri
dari :24
a. Unsur objektif, yaitu terdiri atas
1. Memaksa orang lain
2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Agar orang itu ; memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau
sebahagian milik orang itu atau orang lain
4. Membuat hutang
5. Meniadakan/menghapus piutang

22

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia , Refika Aditama :
Bandung, 2003, hal 27.
23
Moch.Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni : Bandung, 1982,
hal 31.
24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

b. Unsur subjektif, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum
Unsur memaksa orang lain atau dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan agar orang itu menyerahkan barang yaitu, seseorang melakukan
penyerahan barang, penyerahan barang tersebut merupakan akibat dipaksa dengan
kekerasan, dapat diperkirakan bahwa seseorang dipaksa untuk menyerahkan
sesuatu barang, tidak akan memenuhinya tanpa dipergunakannya alat-alat paksa.
Dengan demikian hubungan kausal antara penyerahan barang dan kekerasan
dinyatakan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, dan alat paksa tersebut
adalah kekerasan atau ancaman kekerasan.25
Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, bahwa tujuan yang hendak diperoleh adalah penyerahan barang. Juga tidak
perlu apa yang dikehendaki itu benar-benar melawan hukum, cukup bahwa
tujuannya dapat memberikan keuntungan baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain.
Unsur maksud ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, apabila dua orang melakukan perbuatan paksaan secara bersama, kejahatan
itu berlaku terhadap kedua orang itu, meskipun yang satu mempunyai maksud

25

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

untuk menguntungkan diri sendiri dan yang lain dengan maksud untuk
menguntungkan orang lain.26
Unsur membuat hutang, yaitu si pemeras memaksa orang yang diperas
untuk membuat suatu perikatan, sehingga timbul suatu kewajiban yang harus
dibayar atau dipenuhi oleh orang yang diperas kepada pemeras maupun orang lain
sesuai yang dikehendaki pemeras terhadap orang yang diperas.
Unsur menghapus atau meniadakan piutang, yaitu si pemeras dipaksa
untuk menghapuskan atau meniadakan perikatan atau hutang yang sudah ada dari
orang yang diperas kepada pemeras atau orang lain sesuai yang dikehendaki oleh
pemeras.
Adapun pengaturan tindak pidana pemerasan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut :
1. Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melwan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama
sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau
orang lain atau supaya orang lain itu membuat hutang atau
menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman
penjara selama-lamanya Sembilan tahun.
2. Ketentuan dalam ayat kedua,ketiga atau keempat, dari Pasal 365
berlaku bagi kejahatan itu (K.U.H.P. 35, 89, 335, 370 s, 486).

26

Ibid, hal 32.

Universitas Sumatera Utara

3.

Pengertian Pertimbangan Hakim
Dalam membuat putusan mengenai suatu perkara pidana tertentu,

tentunya Hakim memiliki pertimbangan- pertimbangan tertentu, yang mendukung
putusan yang akan dibuat, yaitu hal- hal mengenai pemikiran dan pendapat Hakim
tentang perkara yang bersangkutan didukung dengan fakta yang terungkap di
persidangan, meliputi aspek- aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis,
sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan
dalam putusan Hakim, dengan berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral,
dan keadilan masyarakat.

27

Pertimbangan Hakim meliputi pertimbangan-

pertimbangan dari beberapa aspek sebagai berikut : aspek yuridis, filosofis, dan
sosiologis. Aspek yuridis merupakan aspek pertimbangan Hakim yang pertama
dan utama dan berpatokan kepada Undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai
aplikator Undang-Undang harus memahami Undang-Undang dengan mencari
Undang-Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim
harus menilai apakah Undang-Undang tersebut adil, kemanfaatannya, atau
memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu
unsurnya adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis, merupakan
aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis,
mempertimbangkan

tata

nilai

budaya

yang

hidup

dalam

masyarakat.

Pertimbangan filosofis dan sosiologis sangat memerlukan pengalaman dan

27

Ahmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika : Jakarta, 2011, hal 126.

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai- nilai
dalam masyarakat yang terabaikan.28
Menurut Lilik Mulyadi hakikat pada pertimbangan yuridis hakim
merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat
menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak
pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut
relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim.29
Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat
(1) d KUHP yang berbunyi :
“Pertimbangan disusun secara ringkasmengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang
yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”
Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHP yang menyatakan
bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkanpidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
danbahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan
kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil
penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

28

Ibid.
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana; Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan,dan Permasalahannya , Citra Aditya Bakti : Bandung, 2007, hal 193.
29

Universitas Sumatera Utara

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur
tercapainya suatu kepastian hukum.
4. Pengertian Penerapan Hukum
Penerapan Hukum terdiri dari kata hukum dan penerapan. Dua kata
tersebut mengandung makna yang berbeda. Dari segi pengertian hukum, kita
ketahui bahwa sulit untuk mengetahui definisi hukum. Hampir semua sarjana
hukum memberikan pembatasan mengenai hukum yang berlainan.Hal ini
disebabkan karena hukum banyak segi dan demikian luas, sehingga tidak
mungkin orang menyatukannya dalam suatu rumus secara memuaskan.30 Hukum
adalah peraturan berupa kaidah-kaidah atau norma-norma dan sanksi yang dibuat
dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga keadilan dan
ketertiban, serta mencegah terjadinya kekacauan dalam kehidupan manusia.
Berikut pengertian hukum menurut beberapa ahli yaitu:31
a. Pengertian

menurut

Utrecht

mengartikan

hukum

adalah

sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan untuk
menertibkan kehidupan bermasyarakat dan mesti ditaati oleh
seluruh

anggota

masyarakat

karena

dengan

melakukan

30

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,Terjemahan Oetarid Sadino,PT Pradnya Paramita :
Jakarta, 2004, hal 1.
31
Pengertian Hukum dan Tujuan Hukum, http://informasiana.com/pengertian-hukumdantujuan-hukum diakses tanggal 06 Maret 2016 pukul 10.58 Wib.

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran maka bisa menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah.
b. Pengertian hukum menurut Immanuel Kaant adalah keseluruhan
syarat yang memiliki kehendak bebas dari orang yang satu bisa
menyesuaikan diri dengan kehendak bebas yang dimiliki oleh
orang lain, sehingga tercipta kemerdekaan dengan menuruti
peraturan hukum.
c. Pengertian hukum menurut Mochtar Kusmaatmadja adalah
sekumpulan kaidah dan asas yang mengontrol pergaulan hidup
yang ada di masyarakat dimana bertujuan untuk menjaga
ketertiban serta mencakup lembaga-lembaga dan proses yang
berguna untuk mewujudkan berlakunya kaidah sebagai sebuah
kenyataan dalam bermasyarakat.
d. Pengertian hukum menurut J. Van Apeldoorn adalah untuk
mengatur pergaulan hidup dengan damai
e. Pengertian hukum menurut P. Borst adalah sekumpulan aturan
hidup yang memiliki sifat memaksa untuk menjaga dan
melindungi kepentingan manusia dalam bermasyarakat.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum adalah aturan-aturan tentang perilaku dan tingkah laku manusia yang
memiliki sanksi yang bersifat memaksa yang bertujuan untuk menjaga ketertiban
dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
proses, cara, perbuatan menerapkan.

32

Sedangkan menurut beberapa ahli

berpendapat bahwa, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu
teori, metode dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu
kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah
terencana dan tersusun sebelumnya.33
Penerapan hukum pada dasarnya melibatkan proses argumentasi yang
ketat yang mendekati deduksi yang dilakukan oleh seorang ahli matematik.
Pendapat itu dipertahankan oleh suatu sisi para ahli yang beranggapan, bahwa
hukum itu adalah ilmu mantik yang menonjol. Pada sisi lain terdapat para ahli
yang berpendapat, bahwa metode mantik hanyalah menempati kedudukan yang
kedua saja, oleh karena hukum itu berkepentingan dengan pembuatan keputusan
yang adil dan dikehendaki oleh masyarakat, bukannya pengolahan dengan
ketajaman logika.34 Penalaran silogistis dalam hukum adalah suatu tipe penalaran
dengan cara memasukkan suatu kejadian nyata ke dalam suatu peraturan yang
umum atau suatu prinsip, untuk kemudian dinilai apakah penempatan kejadian
tersebut ke dalam jangkauan peraturan tersebut bisa diterima ataukah tidak.35
Jadi, penerapan hukum adalah suatu perbuatan untuk menerapkan atau
mempraktekkan hukum yang telah dibuat dan disusun sebelumnya kedalam
32

Arti Dari Penerapan, http://kamus.cektkp.com/penerapan/, diakses tanggal 06Maret 2016
pukul 11.16 Wib.
33
Pengertian Penerapan, http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.co.id/2010/07 diakses
tanggal 06 Maret 2016 pukul 11.20 Wib.
34
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2000, Hal 310.
35
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kehidupan nyata masyarakat. Penerapan hukum dilakukan untuk mewujudkan
adanya suatu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum di dalam kehidupan
masyarakat, sehingga orang-orang yang melanggar aturan-aturan hukum
mendapatkan sanksi yang tegas dari pemerintah selaku penyelenggara hukum.
Dalam penelitian ini, membahas mengenai hukum pidana, sehingga yang
ditujukan adalah penerapan hukum pidana kedalam masyarakat yang melakukan
tindak pidana maupun pelanggaran-pelanggaran, sehingga adanya kepastian
hukum yang tercipta serta keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya
penerapan hukum, maka hukum memiliki fungsi. Dalam hukum pidana, ada dua
fungsi hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto yaitu:36
a. Fungsi yang umum
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh
karena itu fungsi hukum pidana juda sama dengan fungsi
hukum

pada

umumnya,

yaitu

untuk

mengatur

hidup

kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam
masyarakat.
b. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan

hukum

terhadap

perbuatan

yang

hendak

memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi berupa

36

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press : Medan, 2013, hal 12-13.

Universitas Sumatera Utara

pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan dengan sanksi
yang terdapat pada cabang hukum lainnya.

E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran Kepustakaan (library research)
khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terhadap judul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Pemerasan Yang
Dilakukan

Oleh

Oknum

POLRI

(Studi

Kasus

Putusan

No.

80/Pid.B/2010/PN.Mdn.)” ini, belum pernah ada judul dan permasalahan yang
sama. Dengan demikian, penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Sepanjang penelurusan penulis, judul tersebut ada yang mirip dengan
skripsi pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Pemerasan dengan Mengatasnamakan Ikatan Mahasiswa (Studi Putusan
Pengadilan Negeri No. 2972/Pid.B/2008 PN. Mdn)”.

F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan suatu kebenaran dengan cara sistematis, metodologis, dan

Universitas Sumatera Utara

konsisten.37 Melalui proses penelitian tersebut maka diadakan suatu analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah diolah.
Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan
suatu metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Penelitian
normatif ini merupakan penelitian doktriner, karena penelitian ini dilakukan
melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari dokumendokumen, tulisan para ahli, buku-buku literatur, jurnal hukum, situs internet,
kamus hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
materi dan isu dari permasalahan.
2. Bahan Penelitian
Dalam penelitian normatif, bahan yang didapatkan meliputi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.38




Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Jenis Penelitian

normatif

Sifat Penelitian

deskriptif

37

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,
Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001, hal 1.
38
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada : Jember,
1996, hal 113.

Universitas Sumatera Utara

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. 39 Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini seperti

buku-buku literatur, dan

artikel-artikel yang berkaitan dengan judul yang dibahas yang
diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk,
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 40
Adapaun bahan tersier yang digunakan adalah ensikopedia hukum dan
kamus hukum

yang berhubungan dengan materi dan isu

permasalahan.
3.

Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan
pengadilan yang selanjutnya akan dilihat ketentuan asas dan norma yang berlaku
dan terkandung dalam perundang-undangan. karena yang akan diteliti adalah
putusan pengadilan maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaah perundangundangan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti yaitu tentang
tindak pidana dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan No.
80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

39
40

Ibid, hal 114.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

4. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisa
data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan bahan hukum yang
berkaitan dengan isu permasalahan melalui studi kepustakaan kemudian diuraikan
yang logis dan sistematis dengan menarik kesimpulan dari penelitian.
5. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu tipe penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena.
Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data tersebut.
Penelitian ini juga bertujuan menggambarkan secara lengkap dan
sistematis keadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini meneliti apakah
tuntutan hukuman dan penerapan hukumyang diberikan terhadap terdakwa
tersebut sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
G. Sistematika Penulisan
Adapun untuk memberikan gambaran mengenai sistematika skripsi,
maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan yang terdiri dari bab-bab
beserta sub-sub bab yang memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian :

Universitas Sumatera Utara

BAB I.

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan gambaran awal tentang penelitian, yang menguraikan
latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan,
keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II.

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA TERHADAP TURUT SERTA MELAKUKAN TINDAK
PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM
POLRI BERDASARKAN PUTUSAN N0. 80/Pid.B/2010/PN.MDN
Bab ini berisikan perumusan masalah yang pertama, yaitu untuk
mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap turut serta melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan
Putusan No. 80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

BAB III. PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIIL TERHADAP TURUT
SERTA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG
DILAKUKAN

OLEH

OKNUM

POLRI

BERDASARKAN

PUTUSAN No. 80/Pid.B/2010/PN.MDN
Bab ini berisikan perumusan masalah kedua, yaitu untuk mengetahui
penerapan hukum pidana materiil terhadap terdakwa turut serta
melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan Putusan No.
80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV. PENUTUP
Bagian ini berisikan tentang kesimpulan jawaban dari rumusan
masalah dan juga saran-saran mengenai masalah yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara