Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan No. 3296 Pid.B 2010 PN.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara “Korupsi”
dengan “Kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut
cenderung korupsi yang absolut. 2Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan
terhadap penyakit korupsi secara tidak langsung ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan
dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat mempermudah bagi pemangkunya untuk
menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab
melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri menurut
Hamakerdirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, hukum tidak bias lepas dari kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan Roscoe
Pound menegaskan “law is a tool of social engineering” atau hukum sebagaialat
mengatur dan mengelola masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan
menuju masyarakat yang lebih baik. 3 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai
kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif.
Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang
seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta
menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. 4


2

Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
halaman 1
33
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku bekerja sama dengan
Maharini Press, Jakarta, 2008, halaman 1
4
Sidikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Jogjakarta, 1995,
halaman 41

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalah serius di Indonesia, karena telah
merebak di segala bidang dan sector kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis. 5
Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak-hak social masyarakat yang mulai
endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala
pemerintahan pada masa pemerintahan / kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat
(high profile crime) dan sebagian besar hasil korupsibtersebut disimpan diluar negeri. 6

Korupsi juga salah satu akar permasalah yang memperburuk krisis ekonomi yang terjadi
di Negara ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang diamanatkan undang-undang.
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka tetapi negara yang demokratis berdasarkan UUD 1945, menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin warga negaranya mempunyai kedudukan yang
sama di dalam hukum. Negara hukum yang menganut falsafah Pancasila dan berdasarkan
UUD 1945, memiliki cita-cita, ingin mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera secara menyeluruh bagi seluruh rakyat.
Pencapaian cita-cita bangsa diatas tidaklah merupakan suatu hal yang mudah.
Kenyataan menunjukkan bahwa didalam masyarakat banyak terjadi tindakan melawan
hukum dan merugikan keuangan negara maupun merugikan kepentingan masyarakat
sendiri yang disebut dengan tindak pidana korupsi.
Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku
maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah
nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup
seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat
menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.

5
6


Penjelasan atas Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, Paragraf ke-2
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289

Universitas Sumatera Utara

Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu dan menghambat
pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran
keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di dalam proses
pembangunan. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jumlah dan ragam negara yang menderita skandal korupsi dalam tahun
belakangan ini telah menutupi kenyataan bahwa korupsi itu berbeda-beda sekali
bentuk, luas serta akibat yang ditimbulkannya. Untuk negara miskin, korupsi mungkin
menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan
menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk
kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Sedangkan pada negara maju korupsi mungkin
tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat
menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya,
sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang

paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Rusia
dan juga Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan
terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. 7
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia mulai mendapat
perhatian yang serius pasca Pemerintahan Soeharto yaitu dengan keluarnya TAP MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi
dan Nepotisme. Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, menyebutkan: Upaya
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya
7

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999), hlm. 1-2.

Universitas Sumatera Utara

maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan
memperhatikan prinsip-prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. 8
Sehubungan dengan keluarnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, selanjutnya
ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam salah satu diktum Undang-Undang tersebut menyebutkan:Bahwa praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme antar penyelenggaraan negara yang melainkan juga antara
penyelenggara

dan

pihak

lain

yang

dapat merusak

sendi-sendi

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara,

sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. 9
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004, tepatnya dalam Bab IV mengenai arah kebijakan dikemukakan juga
mengenai upaya penegakan hukum dan proses penyelesaian kasus-kasus korupsi
melalui pengadilan sebagaimana disebutkan dalam arah kebijakan di bidang hukum yang
menyebutkan bahwa “Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah
dan terbuka serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas
keadilan dan kebenaran”. 10
Masa pemerintahan Habibie upaya pencegahan korupsi ditindaklanjuti dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
8

Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TAP MPR Nomor
XI/MPR/1998, Pasal 4.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999, Diktum huruf. d.
10

Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, TAP MPR No. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan
Bidang Hukum No. 8.

Universitas Sumatera Utara

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari
Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 1971 menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut:Bahwa Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. 11
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juga telah diubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang merupakan
ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa

pada umumnya, dan khususnya Bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi
selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa
dan negara. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita
sebagai berikut:
Menempatkan korupsi dalam posisi tersebut bukanlah tidak beralasan dan
kecenderungan ke arah tersebut sudah dimulai oleh organisasi kerjasama
ekonomi dan pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) lembaga ini (OECD) telah mengambil inisiatif dan berhasil
mempertemukan visi dan misi para anggotanya dalam pemberantasan korupsi
dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut “The OECD Anti Corruption
Treaty” yang ditandatangani oleh 29 (dua puluh sembilan) anggota dan 3 (tiga)

11

Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, Diktum No. c.

Universitas Sumatera Utara

negara di Amerika Selatan dan 2 (dua) negara di Eropa. Perjanjian ini berlaku
efektif sejak bulan Desember 1998. 12

Penyakit yang memang memiliki trend yang meningkat. Bahkan gejalanya,
bukan hanya terjadi indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Terbukti dari ada yang
namanya Hari Anti Korupsi Sedunia, hal ini merupakan muara dari kekhawatiran dan
keprihatinan bersama dari semua negara atas praktek korupsi ini. Korupsi bukanlah
penyakit budaya atau penyakit politik, akan tetapi sebab semua itu tergantung cara dan
dari sudut mana orang memandang. Yang pasti korupsi ini adalah tindak pidana yang
harus diganjar dan diberi sanksi.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti ingin lebih mengetahui dan memahami
tentang tindak pidana korupsi dengan menggunakan jabatan dengan judul:Analisis
Yuridis Tindak Pidana Korupsi dengan Menggunakan Jabatan(Studi Putusan No.
3296/Pid.B/2010/PN.Mdn).

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penulis

merumuskan masalah yang diteliti adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana korupsi dengan
menggunakan jabatan?

2. Bagaimana analisis yuridis tindak pidana korupsi dengan menggunakan jabatan
dengan putusan No. 3296/Pid.B/2010/PN.Mdn?

C.

Tujuan Penelitian
12

Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad
XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Disampaikan dalam Pidato
Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran Bandung, 25 September 1999, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini
bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana korupsi dengan
menggunakan jabatan.
2. Untuk mengetahui analisis yuridis tindak pidana korupsi dengan menggunakan

jabatan dengan putusan No. 3296/Pid.B/2010/PN.Mdn.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis

yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif dalam penanggulangan perilaku
anti korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan
bagi Pemerintah sehingga kebijakan yang diambil agar tetap mempertimbangkan
aspek kejujuran dalam berprofesi (mental anti korupsi) sebagai wujud
pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih baik.

E.

Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh

penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Tindak
Pidana

Korupsi

dengan

Menggunakan

Jabatan(Studi Putusan

No.

3296/Pid.B/2010/PN.Mdn)” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan

Universitas Sumatera Utara

permasalahan yang sama. Objek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian
ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah
sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas
keilmuan

yang

jujur,

rasional,

obyektif

dan

terbuka

sehingga

dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat
membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

F.
1.

Tinjauan Kepustakaan
Definisi korupsi
Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio. Kata ini

sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Pengertian

korupsi

dalam

Kamus

Peristilahaan13

diartikan

sebagai

penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan
negara dan rakyat.
Ensiklopedia Indonesia 14 disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin:
penyuapan;

corruptio=

corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara

meyalahgunakan

wewenang

dengan

terjadinya

penyuapan,

pemalsuan

serta

ketidakberesan lainnya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M.Chalmers,15 menguraikan arti
istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang

13

M.D.J.Al Barry, Kamus Peristilahaan Modern dan Populer 10.000 Istilah, (Surabaya:
Indah Surabaya, 1996), hal. 208.
14
Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 8.
15
Ibid., hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain
berbunyi:
“financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled
corrupt

(manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan

perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi)”
Selanjutnya ia menjelaskan:
“the term is often applied also to misjudgements by officials in the public
economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat
yang menyangkut bidang perekonomian umum)”. Dikatakan pula: “disguised payment in
the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any
relationship sacrafices the public and welfare, with or without the implied payment of
money, is ususally considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk
pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak
keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yanf merugikan
kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya
dianggap sebagai perbuatan korupsi)”.
Baharuddin Lopa menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan
political corruption (korupsi politik) adalah: “electoral corruption includes purchase of
vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and
interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment
(korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan
uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan
terhadap kebebasan memilih. Korupso dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam
legislatif, keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan)”.

Universitas Sumatera Utara

Dunia internasional mengemukakan pengertian korupsi berdasarkan Black Law
Dictionary: 16
“Corruption an act done with an intent to give some advantage inconsistent with
official duty and and the rights of others. The act of an official of fiduciary person who
unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for
himself or for another person, contrary to duty and the right of others” yang artinya
“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya.
Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana
dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk
dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenarankebenaran lainnya”.
Menurut Transparency International, korupsi merupakan:
“korupsi sebagai perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada pejabat publik”.

2.

Korupsi terkait jabatan
Secara eksplisit, dalam hukum pidana, batasan pengertian dari apa yang

dimaksud dengan penyalahgunaan kewenangan tidak begitu jelas. Sehingga untuk
mengetahui batasan penyalahgunaan wewenang dipergunakan pendekatan ekstensif
16

Surachmin & Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),

hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan doktrin “de autonomi van het materiele strafrecht” (otonomi dari hukum
pidana materil) yakni mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang berasal dari
disiplin atau cabang ilmu hukum lainnya seperti “deteurnement de pouvoir” dalam
kaitannya dengan asas freies ermessen dalam hukum administrasi.
Menurut Jean Rivero dan Jean Waline dalam Baharuddin Lopa, 17 pengertian
penyalahgunaan kewenangan, dalam hukum administrasi negara dapat diartikan
sebagai:
1. Penyalahgunaan

wewenang

untuk

melakukan

tindakan-tindakan

yang

bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang dan peraturan perundangan
lainnya;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya

dipergunakan

untuk

mencapai

tujuan

tertentu

tetapi

telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Mengacu pada pengertian penyalahgunaan kewenangan menurut Rivero dan
Waline diatas, maka yang menjadi persoalan adalah sejauhmana ukuran dan atau
batasan penyalahgunaan kewenangan menurut definisi secara administrasi tersebut
dapat dipandang telah melampaui batasan kewenangan sehingga telah memasuki
wilayah hukum pidana dengan mekanisme dan pandangannya sendiri. Senada dengan

17

Baharuddin Lopa; Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum; Penerbit Buku
Kompas; Jakarta; 2001; Hal.29.

Universitas Sumatera Utara

apa yang dikemukakan oleh Samuel Lena dan Kotan Yohanes Stefanus 18 dalam makalah
yang disampaikannya, bahwa di ujung administrasi, itu ada “rotan”, dan rotan yang
dimaksudkan adalah pidana. Artinya bahwa terkadang justeru kebijakan-kebijakan yang
hanya dipandang sebagai bentuk yang sifatnya administratif, justru dipandang lain,
apabila ditilik dari sisi pidana. Maksudnya adalah bahwa sekalipun itu merupakan
kebijakan publik, akan tetapi jika sudah melampaui kewenangannya, apalagi sampai
pada merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka itu sesungguhnya
adalah tindak pidana. 19

G. Metode Penulisan
Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau
bahan-bahan dalam penelitian meliputi :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis penelitian yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. 20 Pada penelitian hukum
normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian
yang mengacu pada norma-morma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi adalah diperoleh dari :
18

Kotan Yohanes Stefanus; Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Otonomi
Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance; dan Samuel Frederick Lena; Korupsi
Dalam Perspektif Hukum Pidana. Kedua topik ini disampaikan oleh kedua pembicara tersebut
dalam Diskusi Tematis “Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Administrasi” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana; Kupang; 07 Desember 2011.
19
Ibid,.
20
Soerdjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yakni : peraturan
perundang-undangan yang terkait, seperti : TAP PMR No. XI/MPR/1999, TAP
MPR No. IV/MPR/1999, Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan KUH Pidana serta Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
3296/Pid.B/2010/PN.Mdn.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan
sebagainya.
c. Bahan humum tertier, yaitu bahan-bahan primer dan sekunder, seperti Kamus
Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia. 21

3. Alat Pengumpul Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi
dokumen, yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan.
Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara meneliti sumber
bacaan yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum,
majalah

hukum,

artikel-artikel,

peraturan perundang-undangan,

putusan-putusan

pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan
lainnya.

4. Analisis Data
21

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, Hal. 370.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mengelola data yang didapat dari suatu dokumen dan penelitian lapangan,
maka hasil penelitian menggunakan analisis yuridis. Analisis yuridis ini pada dasarnya
merupakan penerapan tentang teori-teori tersebut dapat ditarik kepada hal yang dapat
dijadikan kesimpulan dan pembahasan dalam skripsi ini. Data yang dianalisis memakai
metode deduktif dan induktif.

H. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 Bab, masing-masing bab terdiri dari:
Bab I

berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika
penulisan.

Bab II

membahas tentang pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana korupsi
dengan menggunakan jabatan, terdiri dari perkembangan pengaturan tindak
pidana korupsi di Indonesia dan unsur-unsur tindak pidana korupsi yang
terkait dengan jabatan.

Bab III

membahas

tentang

analisis

dengan menggunakanjabatan

juridis
dengan

tindak

pidana

putusan

korupsi
Nomor

3296/Pid.B/2010/PN.Mdn, terdiri dari posisi kasus, kronologis perkara,
dakwaan dan tuntutan, alas an pengajuan kasasi, putusan dan analisis kasus,
yang terdiri dari pertimbangan hakim dan analisis putusan.
Bab IV

membahas tentang Kesimpulan dan Saran.

Universitas Sumatera Utara