MASA DEPAN DEMOKRASI DI IRAK PASCA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2010 Oleh Agus Herlambang Abstrak - Agus Herlambang 2013 (MASA DEPAN DEMOKRASI DI IRAK PASCA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2010)
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265 MASA DEPAN DEMOKRASI DI IRAK PASCA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2010 Oleh Agus Herlambang Abstrak
Efouria kebebasan pada masyarakat Irak pasca penyerahan kekuasaan dari AS kepada pemerintah resmi Irak pertama pasca tergulingnya Saddam Husein, terjadi secara terus menerus. Euforia ini diindikasikan dengan hampir di setiap distrik di kota Baghdad terdapat kantor faksi, gerakan atau partai politik dengan segala macam pamflet dan spanduk. Tak ada angka pasti tentang jumlah partai, faksi dan gerakan di Irak, hanya diperkirakan di Irak terdapat sekitar 200 partai, dan mereka terus bebenah untuk mendapatkan simpati dari masyarakat terutama pada saat-saat menjelang pemilu baik legislatif maupun eksekutif.
Kata Kunci: Demokrasi di Irak Pendahuluan
Menjamurnya partai politik di Irak, dalam pandangan Ameer Hassan Al Fiyad, seorang Profesor ilmu politik di Universitas Baghdad, adalah fenomena positif.
Namun idealnya adalah ada tiga partai politik yaitu partai yang beraliran sosialis, liberal dan Islam. Partai yang banyak sekarang ini, nantinya akan menyusut kearah tiga aliran partai politik tadi. Fenomena baru lain adalah munculnya gerakan (harakah) dengan lingkup misi yang lebih besar dan luas dari partai
politik.
Harakah lebih besar daripada partai politik, harakah mempunyai aktivitas sosial, budaya, ekonomi, poltik dan media massa. Sehingga banyak harakah yang menolak jadi partai politik, seperti Harakah Al Wataniyah Al Muwahadah (Gerakan
Dengan
demikian sistem politik Irak mendatang, diperkirakan tidak akan berubah dari fenomena yang ada sekarang, yakni terdiri dari partai, harakah dan aliran.
Perkembangan ini didukung pula oleh menjamurnya lembaga-lembaga informasi seperti Koran, Majalah dan TV. Saat ini tak kurang dari 200 koran dan majalah ada di Irak, namun yang terdaftar di Persatuan Wartawan Irak hanya sekitar Musthafa Abd Rahman, “Penyerahan Kedaulatan ? Omong Kosong!”, KOMPAS, 23 Juli 2004, hal 37.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
100-an. Diantara yang besar adalah Mingguan Al Saah (berafiliasi kepada Harakah
Al Wataniyah Al Muwahadah (Gerakan Nasional Bersatu), Koran Al-Bsaer, milik
Lembaga Ulama Muslimin, Al-Bayyna milik Harakah Hezbolah, Tareq Al-Shaab,
Alzawraa, Al Sabah, Mingguan Al Furat, Alitijahalakhar, Al Mu’tamar dan lain-lain.
Koran-koran ini menyemangati persatuan dan hak-hak rakyat Irak. Media mengkritik siapapun yang mengancam Irak dan ikut campur tangan soal urusan dalam negeri Irak. Perkembangan juga terjadi di pertelevisian Irak telah meluncurkan empat stasiun TV baru, yaitu Iraqiyah, Syarqiyah, Al Diyar (milik etnis Kurdi), dan Al
38 Sour.
Pembahasan
Secara umum, masyarakat Irak pasca pembentukan pemerintahan baru, dan pembentukan parlemen, menginginkan Irak menjadi sebuah negara yang demokratis dan terbebas dari penjajahan. Mereka menginginkan simbol nasional yang lebih kuat serta menonjol daripada simbol yang berbau sektarian. Namun harapan itu butuh perjuangan yang sulit, sebab ketika AS menginvasi Irak, AS telah memilah-milah Irak kedalam berbagai kriteria berdasarkan etnis dan mazhab agama, seperti Kurdi dan Arab atau Suni dan Syi’ah. Meskipun memang realitasnya demikian.
rakyat Irak harus memiliki loyalitas
kepada Irak ketimbang kepada etnis dan mazhab agama tertentu. Sejak Irak modern berdiri, sebenarnya mereka telah bersatu, memang ada pihak yang ingin memecah Irak. Ada pihak di Irak yang mempunyai hubungan erat dengan negara tetangga. Sedangkan negara-negara tetangganya itu memiliki kemaslahatan khusus, seperti Iran punya kepentingan, begitu juga Jordania, Kuwait, Turki dan Suriah, hal-hal tersebut turut menyulitkan Irak.
Situasi politik di Irak sangat kompleks, sehingga dibutuhkan negara dan pemerintahan yang kuat yang hanya bisa terbentuk melalui Pemilu. Mereka berpandangan, tidak ada pemerintahan yang kuat apabila masih dijajah oleh negara lain (dalam hal ini AS), sebab penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan baru,
37 Musthafa Abd Rahman, “Gegap Gempita Media Massa di Irak, KOMPAS, 23 Juli 2004, hal 37.
ibid
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
belum disertai dengan penarikan pasukan AS dari Irak yang memiliki personil kurang
lebih 145.000 pasukan.
Masa depan Irak amat bergantung pada seberapa besar kekuasaan pemerintahan dan rakyat Irak sendiri dalam mengelola masa depan mereka. Namun masyarakat internasional optimis Irak akan mampu bangkit, hal ini menurut
41 Muhammad Ali dikarenakan: Pertama, serangan pasukan koalisi AS telah
memakan jumlah korban yang banyak, di pihak AS (800 orang dan kerugian materi sekitar 60 trilliun dollar AS) dan di pihak Irak (18.000 orang tewas, serta materi yang tak terhitung), sehingga peralihan kekuasaan setidaknya menjadi langkah awal bagi berakhirnya kekerasan.
Kedua, mulai terlibatnya berbagai fihak komunitas internasional untuk
menyelesaikan masalah Irak. DK PBB telah mengeluarkan resolusi 1546 tentang Irak yang menyebutkan tanggal 30 Juni 2004 sebagai tanggal peralihan kekuasaan;
Menurut Ammer Hassan Al Fiyad, masa depan politik di Irak tidak bisa lepas dari situasi saat ini dan masa lalu Irak. Sejarah modern Irak terkait dengan konstalasi yang terdiri atas dua isu. Isu pertama, adalah sejarah tirani dan kediktatoran yang terlihat jelas selama 35 tahun terakhir. Isu kedua, masa depan Irak sangat sulit. Dua isu itu membutuhkan solusi yang terdiri atas tiga paradigma:
pertama, penjajahan; kedua, diktator dalam pikiran maupun perilaku, dan ketiga, konflik identitas, yakni etnis, mazhab agama dan kabilah.
Solusi atas semua itu menurut Al Fiyad adalah kemerdekaan, demokrasi dan identitas nasional harus lebih kuat. Irak butuh kontrak sosial baru berdasarkan kemerdekaan, demokrasi dan identitas nasional. Oleh sebab itu, langkah awal yang perlu dikerjakan oleh pemerintahan baru adalah membenahi persyaratan demokratisasi, yang menurut Seymour Martin Lipset ada tiga, yaitu : pertama,
education,sebab semakin tinggi pendidikan masyarakat akan semakin toleran, restrain people from adopting extremist doctrines, dan capacity to substain rational electoral political system; kedua, wealth(kesejahteraan), jika kesejahteraan
meningkat, maka kelompok poor akan menurun, yang akibatnya menurunnya kemungkinan revolusi social dan demokrasi dapat tumbuh subur; ketiga, middle
class yang besar,pada hakekatnya orang-orang yang termasuk middle class Musthafa Abd Rahman, “Penyerahan Kedaulatan ? Omong Kosong!”, KOMPAS, 23 Juli 2004, hal 37.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
perilakunya akan lebih moderat, karena mereka akan merasakan akibat langsung
dari perubahan-perubahan yang akan terjadi di suatu negara.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntingtonyang menyatakan bahwa munculnya demokrasi disuatu masyarakat dibantu oleh sejumlah faktor: “tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih tinggi, tiadanya kesenjangan yang mencolok dalam kemakmuran dan pendapatan, pluralisme social yang lebih besar, termasuk khususnya borjuis yang kuat dan otonom, ekonomi yang lebih berorientasi pasar, pengaruh yang lebih besar berhadapan dengan masyarakat demokrasi yang ada, dan kebudayaan yang kurang monistis dan lebih toleran
terhadap keanekaragaman dan kompromi.” Masalah di Irak di lapangan saat ini, adalah tarik-tarikan antara dua kekuatan, dimana yang satu ingin mengakhiri penjajahan secara damai dan yang lain
menghendaki dengan kekuatan. Kekuatan yang memilih kekerasan menuduh kekuatan yang mengambil jalan damai sebagai antek AS. Sebaliknya, kekuatan yang memilih jalan damai menuduh kekuatan yang memilih kekerasan telah melakukan tindakan teroris. Karena itu Irak butuh kontrak sosial baru. Al Fiyad mengatakan, ada dua pola demokrasi, yakni pola menerima dan mendukung, serta pola partisipasi dalam mengambil keputusan. Hal ini merupakan langkah yang urgen dalam upaya membangun politik di Irak, yang baru terlepas dari krisis.
Di Irak sekarang ini, yang terbaik adalah yang pola partisipasi dalam mengambil keputusan. Partisipasi dalam mengambil keputusan tersebut terdiri atas empat pilar: Pertama, rakyat Irak harus mengakui keragaman etnis, agama dan mazhab agama; Kedua, membangun institusi modern seperti partai, lembaga profesi dan organisasi; Ketiga, harus ditetapkan prinsip pergantian kekuasaan secara damai; Keempat, harus ditetapkan identitas nasional yang mengungguli identitas
lain.
Pembangunan demokrasi di Irak kedepan, diharapkan akan menjawab rekaman dari Freedom House, 2000, yang mengatakan bahwa dunia Islam secara
42 Seymour Martin Lipset, Some social Requisites of Democracy: Economic Development and Politic 43 Legitimacy, American Political Science Review 53, 1959: 75.
Samuel P. Huntington, Prospek Demokrasi, dalam Roy C. Macridis, “Perbandingan Politik”, Erlangga,
Jakarta, 1996. Musthafa Abd Rahman, “Penyerahan Kedaulatan ? Omong Kosong!”, KOMPAS, 23 Juli 2004, hal 37.ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
umum gagal membangun rezim demokratis, hanya Mali yang relatif berhasil
membangun rezim demokratis.
Namun untuk mewujudkan itu tidaklah mudah, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dalam upaya merealisasikan Irak menjadi sebuah negara yang demokratis, diantaranya: Pertama, mereka harus membangun kredibilitas pemerintahan sementara di hadapan rakyat Irak yang majemuk agama dan etniknya. Salah satu alasan yang menyebabkan beberapa golongan tetap memberontak adalah karena mereka tak cukup dilibatkan dalam proses perencanaan peralihan. Presiden Ghazi al Yawar dan PM Iyad Allawi harus mulai mengambil jarak dengan pemerintahan pendudukan AS, untuk menunjukkan bahwa Irak memang mulai berkuasa di rumahnya sendiri.
Kedua, mereka harus menjamin terlaksananya jadwal peralihan secara tepat.
Tugas yang paling utama adalah mempersiapkan suatu pemilihan umum yang demokratis, memperbaiki situasi keamanan, dan memulai pembangunan ekonomi yang hampir lumpuh selama pendudukan AS; Ketiga, harus dijadwalkan kapan tentara asing yang kurang lebih sekitar 138.000 orang harus meninggalkan Irak, sebab salah satu penyebab/alasan pemberontakan adalah adanya tentara asing di tanah Irak.
Isu pemilu legislatif di Irak telah membawa perpecahan diantara kekuatan- kekuatan politik yang ada di Irak. Bahkan tidak sedikit pengamat yang memprediksi akan terjadi perang saudara jika pemilu tetap dilangsungkan tanpa kaum sunni. Media massa dan pengamat menilai faktor etnis atau sektarian berandil terbesar dalam menentukan sikap kekuatan politik antara ikut, memboikot atau minta penundaan. Meskipun pada tanggal 15 Januari 2005, otak dibalik serangkaian serangan bom (sekitar 75 persen) di Irak yaitu Abu Omar al-Kurdi atau Sami Mohammed al-Jafi telah ditangkap oleh pemerintah Irak. Dia dituduh berada dibalik penyerangan kantor PBB di Baghdad, Agustus 2003, yang menewaskan 20 orang termasuk utusan khusus PBB Sergio Vieira de Mello, al-Kurdi juga dituduh mengotaki peledakan di Najaf yang menewaskan kurang lebih 80 orang, termasuk ulama Syiah terkenal Mohammed Baqer al-Hakim.
Al-Kurdi juga telah mengakui sebagai otak dari sekitar 75 persen serangan bom mobil di Irak sejak Maret 2003. Al-Kurdi menerima perintah dari Abu Musab al-
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
Zarqawi untuk melakukan serangkaian peledakan bom pada saat pemilu di Irak berlangsung pada 30 Januari 2005, sasarannya adalah tokoh pemerintahan, figur- figur oposisi, para warga yang memilih dan pengamat internasional. Al-Zarqawi dikhabarkan sebagai wakil utama Osama bin Laden di Irak, yang memiliki tugas mengenyahkan “musuh-musuh” Al-Qaeda. Selain al-Kurdi, tokoh oposisi lain yang telah tertangkap adalah Nayef Abbas al-Zubaydi, pasca peledakan markas partai
47 PM Iyad Allawi.
Ada tiga kelompok etnis atau kelompok sektarian utama di Irak saat ini, yaitu Sunni Arab, Syiah Arab, dan Kurdi. Ketiganya telah menentukan sikapnya secara jelas atas pemilu sesuai dengan kepentingannya. Adapun kelompok minoritas seperti Turkman, kaum Kristen dan lain-lain berkoalisi dengan kekuatan yang ada.
Aliran utama Syiah Irak meminta pemilu sesuai jadwal, sebab bagi mereka, pemilu kali ini merupakan kesempatan historis untuk mengembalikan hak demokrasi mereka yang hilang akibat mereka memoikot pemilu tahun 1924. Anggota dewan hasil pemilu tersebut yang menyusun konsitusi negara Irak, hingga terjadinya kudeta militer tahun 1958. Kaum Syiah kini menyadari bahwa mereka pemilik hak mayoritas
di negara tersebut.
Memang sempat terjadi perbedaan pemikiran dan taktis di barisan Syiah, yakni memilih antara rujukan keagamaan pasif dan aktif. Rujukan pasif lebih memilih defensif dan akomodatif, sedangkan rujukan aktif memilih konfrontasi dan menolak proses politik saat itu. Rujukan pasif diwakili ulama besar Syiah, Ayatollah Ali al- Sistani, rujukan aktif diwakili tokoh muda Syiah, Moqtada al-Sadr, yang meneruskan pemikiran mendiang Muhammad Bakr al-Sadr dan Muhammad Sadek al-Sadr yang diilhami oleh revolusi Iran. Kelompok al-Sadr terlibat bentrok senjata dengan pasukan AS di Najaf dan Madenat al-Sadr di Baghdad bulan April dan Agustus 2004. Namun kemudian Moqtada al-Sadr mengambil jalan politik setelah al-Sistani mampu menengahi konflik al-Sadr dengan tentara AS.
Kaum Syiah telah berhasil meraih 52 persen kursi dewan nasional sementara saat ini. Mereka juga mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan sementara pimpinan Perdana Menteri Iyad Allawi. Kaum Syiah dengan presentase mayoritas merasa berhak mendapat lebih dari yang diraih sekarang, dan besar kemungkinan paket kandidat Syiah akan mendapat kursi mayoritas pada pemilu. Dalam konteks Berita Kompas, “Otak di Balik Serangkaian Serangan Bom di Irak Telah Ditangkap”, 25 Januari 2005, hal 2.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
pemilu, kaum Syiah telah melakukan persiapan sedemikian rupa untuk terlibat dalam pertarungan politik melalui pemilu itu dengan mendirikan koalisi Irak bersatu yang menghimpun partai, gerakan dan figur dari berbagai aliran pemikiran untuk maju dalam satu paket kandidat pada pemilu. Titik perekat dalam Koalisi Irak Bersatu adalah identitas Syiah, dan ini merupakan upaya kaum syiah untuk tidak mengulang kesalahan sejarah dalam pemilu 1924, yang mengakibatkan kaum minoritas Sunni mengendalikan pemerintahan.
Kaum Sunni dinilai mengalami kerugian terbesar dalam pentas politik Irak pasca runtuhnya rezim Saddam. Mereka yang tampil sebagai elite dalam segala hal pada era Saddam tiba-tiba jatuh bersamaan dengan ambruknya rezim tersebut. Kerugian kaum Sunni dari hari ke hari semakin besar dan posisinya semakin terancam. Secara mikro ada empat sikap kaum Sunni atas pemilu. Kelompok Sunni
pertama memilih memboikot dengan harapan hasil pemilu tidak legitimatif karena
tidak ada partisipasi rakyat secara komprehensif. Kelompok ini adalah kubu mainstream kaum Sunni.
Kelompok kedua, memilih melancarkan perlawanan bersenjata dan peledakan bom. Kelompok ketiga hanya meminta penundaan pemilu dengan dalih buruknya keamanan. Kelompok keempat memilih ikut serta dalam pemilu. Kelompok keempat ini merupakan minoritas dan terbatas pada kaum intelektual Sunni yang sebagian besar hidup di pengasingan pada masa rezim Saddam Hussein, seperti Adnan Pachachi dan Presiden Irak sekarang, Sheikh Ghazi al-Yawar.
Sedangkan kaum Kurdi merasa memiliki masa depan yang lebih baik. Setelah menjadi kelompok yang terpinggirkan dan tertindas, kaum Kurdi kini tampil sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Kaum Kurdi telah memiliki pengalaman dan jaringan hubungan internasional serta kemampuan administrasi selama lebih dari satu dekade terakhir sejak terbentuknya zona keamanan di wilayah Kurdistan pada tahun 1991. Kaum Kurdi juga memiliki kekuatan lokal (Bashmarka) yang masih utuh. Lebih dari itu, mereka telah mengantongi keuntungan signifikan pasca tumbangnya rezim Saddam melalui konstitusi sementara negara, baik politik maupun budaya.
Dalam konteks politik, kaum Kurdi telah ikut serta dalam pemerintahan dengan menempatkan Barham Saleh sebagai Deputy Perdana Menteri dan Hoshyar Zebari sebagai Menteri Luar Negeri pemerintahan Iyad Alawi, disamping itu, wilayah Kurdi diakui sebagai zona khusus. Sedangkan dibidang budaya, bahasa
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
konferensi, surat resmi, pertemuan, media massa, paspor dan kartu pos. Secara konstitusi, konstitusi sementara negara menegaskan tentang sistem federal dan hak veto bagi kaum Kurdi. Maka, keikutsertaan Kurdi dalam pemilu dengan penuh harapan tetap hadir kuat dalam parlemen dan aspirasinya tersalurkan pada konstitusi permanen yang akan disusun anggota parlemen hasil pemilu.
Orang-orang Kurdi menjadi bagian yang ikut aktif dalam pemilu Januari 2005, dua partai politik yang berpengaruh dalam komunitas mereka adalah Partai Demokratik Kurdistan pimpinan Massoud Barzani dan Uni Patriotik Kurdistan yang diketuai Jalal Talabani. Basis kekuatan Barzani adalah di Abil (Utara) dan massa pendukung Talabani berpusat di Sulaymaniah (Selatan), kedua kota tersebut sedang
disiapkan oleh AS untuk menjadi kota internasional. Talabani awalnya bergabung dalam partai politik pimpinan Barzani, tetapi kemudian memisahkan diri dan membentuk parpol baru yaitu Uni Patriotik Kurdistan.
Pemilu 2005
Penyelenggaraan pemilu pada 2005 telah memperkuat kredibilitas AS dan pemerintahan Irak. Pemilu meneruskan kesepahaman antara AS serta pemerintah sementara Irak disatu pihak dan kaum mayoritas Syiah di pihak lain. Kesepahaman tersebut selama ini merupakan pilar penyangga yang mencegah terjerumusnya negeri 1001 malam ini ke anarkhisme total.
Namun yang menarik adalah bahwa Aliansi Irak Bersatu telah menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye. Ribuan poster pemilu yang memuat gambar Imam Besar Ayatollah Ali al-Sistani ditempel di berbagai sudut kota, begitu juga poster-poster yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an dan tempat-tempat suci umat Islam.
Munculnya simbol-simbol keagamaan dalam aktivitas politik itu memunculkan keluhan dari sejumlah calon anggota parlemen, dengan menuduh lawan mereka telah mengeksploitasi sentimen keagamaan untuk meraih dukungan politik. Bahkan para politisi yang kebanyakan dari partai-partai sekuler, mendakwa faksi kekuatan Syiah “Aliansi Irak Bersatu” secara tidak fair menggunakan gambar ulama Ayatollah Ali al-Sistani untuk meraih suara para pengikut Syiah yang taat, dan urutan daftar
Abdullah Mustappa, “Mencermati Aspirasi Suku Kurdi Menjelang Pemilu Irak”, Pikiran Rakyat, 27 Januari
ISSN 0853- 2265
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
calon juga telah ditunjuk langsung oleh al-Sistani, hal ini menurut Sawsan al-Sharifi tidak demokratis dan harus ditolak.
Namun para pemimpin senior Aliansi Irak Bersatu telah bersepakat untuk memberikan tampilan sekuler pada pemerintahan Irak yang baru nanti, dengan menjadikan Islam sebagai peran pendukungnya. Menurut pemimpin senior Partai Dawa,
50 Adnan Ali, semua pemimpin Syiah sepakat untuk tidak mencalonkan ulama sebagai Perdana Menteri, dan juga tidak masuk dalam pemerintahan.
Hasil pemilihan umum legislatif yang diselenggarakan di Irak, meskipun dihantui oleh kekerasan, namun pada akhirnya bisa dilaksanakan dengan menghasilkan pemenang dari kubu Syi’ah yang meraih 48 % suara atau sekitar 4 juta suara, dari sekitar 8,5 juta suara yang mengikuti pemilu. Meskipun kalau dilihat jumlah keseluruhan warga Syi’ah adalah sebanyak 60 persen dari 27 juta penduduk Irak. Dengan perolehan sebesar itu, diperkirakan kubu Syiah akan meraih 132 kursi parlemen dari 275 kursi yang tersedia.
51 Secara lengkap hasil pemilu Irak adalah
sebagai berikut:
No. Partai/Kubu Persentase Jumlah Pemilih 1.
Kubu Syi’ah/Aliansi Irak Bersatu 48 persen 4 juta/140 kursi 2. Kubu Suku Kurdi 26 persen 2,175 juta 3. Kubu Iyad Allawi (PM)/Syiah Sekuler.
13,8 persen 1,168 juta 4. Kubu Warga Irak (Iraqis)/Kubu Presiden Ghazi Al-Yawar
150.680 5. Partai Komunis
69.920 6. Kubu Kristen Assiria
36.255 7. Partai Islam Irak (Sunni) 21.342 8. Kubu Demokrat Independen (Sunni)
12.728 9. Partai Demokratik Nasional 1.603 Sumber: Diambil dari beberapa berita Surat Khabar, Kompas dan Pikiran Rakyat, 14 Februari 2005.
Salah satu partai terbesar dari kaum Syiah yang menjadi unsur utama pendukung Aliansi Irak Bersatu.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
Proses peralihan kekuasaan dari kelompok Sunni kepada kelompok Syi’ah relatif berlangsung demokratis karena melalui pemilihan umum. Partisipasi rakyat dalam pemilu tidak terlalu jelek meski ada gangguan keamanan. Komisi Pemilihan Umum mengungkapkan 8,55 juta warga Irak atau 58 persen dari pemilih yang terdaftar telah menggunakan hak suaranya untuk memilih 275 anggota Dewan Nasional.
Golongan mayoritas Syi’ah yang terpinggirkan secara politik cukup lama, akhirnya dapat meraih kekuasaan. Hasil penghitungan dalam pemilu memperlihatkan pada Aliansi Irak Bersatu, yang merupakan wadah politik utama golongan Syaih, meraih suara tertinggi. Kemenangan golongan Syiah telah memanfaatkan pemilu untuk dapat merebut kekuasaan, yang secara tradisional berada dibawah kendali golongan Sunni. Kaum Syiah menghadapi pemilu dengan kegairahan tinggi.
Bagi kelompok Syiah yang mayoritas, pemilu kali ini merupakan momen bersejarah mewujudkan impian mereka memimpin Irak. Suatu hal yang mustahil dimasa lalu, masa yang gelap dan tabu membicarakan pemilu demokratis. Selama lima dekade masyarakat Syiah hidup dibawah sistem politik yang tidak merepresentasikan kepentingan mayoritas rakyat.
Sebaliknya golongan Sunni tampak kalah sebelum bertanding. Mungkin karena sudah tahu akan kalah, golongan sunni yang terdiri dari 20 persen penduduk, cenderung memperlihatkan sikap enggan berpartisipasi dalam pemilu. Faksi utama Sunni pimpinan Presiden Ghazi al-Yawar hanya meraih sekitar 5 kursi dari 275 kursi Dewan Nasional yang diperebutkan.
Meski kubu Syiah menang, untuk membentuk pemerintahan, baik posisi presiden, perdana menteri dan yang lainnya, kubu ini harus koalisi karena tidak mencapai mayoritas. Disamping itu, kubu Syi’ah juga sebaiknya merangkul kelompok Kurdi sebagai pemenang kedua dalam pemilu. Dalam ketentuan di Irak, untuk seorang Presiden dan dua wakil presiden, dukungan suara harus minimal 66,6 persen dari total anggota parlemen.
Dengan kemenangan kubu Syi’ah yang dekat dengan ulama Syi’ah berpengaruh di Irak, Ali Sistani, pemilihan umum yang dilaksanakan tidak sesuai dengan keinginan AS, sebab keinginan AS ketika memutuskan menginvasi Irak dengan harapan akan terbentuk pemerintah baru Irak yang sekuler, anti-Iran, dan
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
pro-Amerika. Namun harapan AS kini buyar dengan kemenangan kubu Syi’ah,
meski tidak mutlak.
Harapan AS untuk segera merangkul Irak yang stabil, makmur, pro-AS, dan pro-Israel tidak akan terwujud. Semula AS berharap akan bisa merangkul Irak untuk bersama-sama menegur Iran, khususnya mengenai program nuklir yang sedang dikembangkan Iran. Jika suatu ketika AS menyerang Iran, maka Irak bisa dipastikan tidak akan tinggal diam, karena kini kaum Syi’ah yang berhubungan dekat dengan Iran yang menjadi penguasa di Irak. Tidak hanya itu, Aliansi Kurdipun yang menjadi urutan kedua dalam pemilu, mengajukan Jalal Talabani yang dikenal memiliki
hubungan dengan Iran sebagai kandidat Perdana Menteri.
Dikarenakan bakal dominannya pengaruh para politisi Syi’ah dalam Dewan Nasional, muncul kekhawatiran terkait dengan format konstitusi Irak yang akan terbentuk nantinya. Kekhawatiran yang dimaksud mengarah pada kemungkinan anggota Dewan Nasional menyepakati sebuah konstitusi yang menjurus pada pembentukan sistem pemerintahan yang sama dengan yang selama ini diterapkan di Iran, yaitu Velayat-e Faqih. Sebuah sistem dan bentuk pemerintahan yang memberikan otoritas politik yang besar dan luas pada semacam Dewan Ulama, untuk menentukan arah kebijakan negara secara khusus, dan segala hal yang
berkaitan dengan pemerintahan secara umum.
Dalam pandangan politik pemerintah AS, konsep Velayat-e Faqih merupakan masalah tersendiri, karena dinilai tidak mencerminkan prinsip serta nilai-nilai demokrasi. Disisi lain, konsep pemerintahan sebagaimana yang diterapkan di Iran tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kalangan Sunni Irak, terutama terkait dengan apresiasi, akomodasi, serta akses politik yang bakal mereka dapatkan sebagai kubu minoritas yang secara politis jelas lemah daya tawarnya.
Namun dalam pandangan Charles Tripp, seorang ahli Irak di London’s School of African and Oriental Studies, meski kubu Syiah mendominasi Irak, tidak kemudian berarti bisa mendominasi pemerintahan. Kubu Syiah harus berkoalisi dengan partai lain, yang sebagian besar sekuler, jika menginginkan suara mayoritas dalam parlemen dan menjamin masuknya beberapa isu penting dalam konstitusi 52 baru seperti isu penegakkan syariat Islam, federalisme, dan penarikan mundur Washington Post , edisi Senin, 14 Februari 2005.
KOMPAS , Selasa, 15 Februari 2005, hal 2.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
pasukan AS. Proses pengambilan keputusan isu sensitif seperti itu pasti sulit karena tidak ada satupun kelompok yang mendominasi, apalagi kubu lain menentang syariat Islam.
Sedangkan Rosemary Hollis, ketua Program Timur Tengah di Royal Institute of International Affairs, menegaskan, kubu Sunni harus diikutkan dalam penyusunan konstitusi. Juka tidak, kubu Sunni akan selalu bisa mengajukan vetto yang akan terjadi jika dua pertiga dari jumlah pemilih di tiga provinsi menolak konstitusi baru tersebut. Jika ditolak, maka harus ada konstitusi yang baru.
Namun kekhawatiran AS, terjawab dengan pernyataan Ali Sistani, yang tidak menginginkan gaya pemerintahan negara Islam seperti di Iran. Bahkan Ali Sistani juga dilaporkan tidak keberatan jika partai sekuler memimpin pemerintahan serta hanya akan mengawasi dari jauh proses penyusunan konstitusi dan pemilihan perdana menteri serta presiden.
Hal senada dikemukakan calon kuat PM dari kubu Syi’ah, Adel Abdel Mahdi, yang mengatakan bahwa pemerintahan yang baru tidak akan menyamai gaya pemerintahan Iran. Kami tidak ingin pemerintahan ala Syi’ah ataupun pemerintahan yang menggunakan syariat Islam, yang kami inginkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Hal yang sama dikemukakan oleh Rami Khouri seorang analis politik di Irak, yang mengatakan Irak kemungkinan tidak akan mengikuti gaya Iran, sebab Iran dan Irak memiliki sejarah konflik yang panjang serta penuh gejolak yaitu ketika perang
55 Iran-Irak tahun 1980-1988. Ada banyak perbedaan antara Syiah Iran dengan Syiah
Irak, diantaranya: Pertama, Wacana keagamaan yang berkembang dalam dunia keilmuan Syiah Iran tidak sama dengan yang tumbuh di Irak. Irak memiliki kecenderungan pemikiran keagamaan yang lebih moderat, ketimbang Iran yang cukup banyak didominasi ulama-ulama konservatif.
Kedua, internal Syiah Irak sendiri tidak monolitik dalam hal pandangan politik
dan keagamaannya. Di Irak, para ulama dan politisi terpolarisasi kedalam kelompok- kelompok yang masing-masing secara mendasar memiliki pandangan politik yang tidak sama, namun dibekali basis kekuatan dan dukungan politik yang relatif merata. Ada kalangan yang disebut ulama dan politisi sekuler, moderat, dan konservatif.
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265 Ketiga, secara sosial, Irak relatif lebih memiliki keragaman dibandingkan
dengan Iran. Secara etnik, jika Iran cenderung didominasi oleh mayoritas Persia, maka Irak didalamnya bersemayam aneka ragam etnik dan suku, mulai dari Arab hingga Kurdi. Basis sosial Irak yang lebih plural, menjadi sebuah kendala signifikan bagi terbentuknya pemerintahan yang mengacu pada Iran.
Keempat, secara faktual sistem pemerintahan sebagaimana yang berlaku di
Iran saat ini relatif memberikan ruang gerak yang sempit bagi kiprah para politisi di jajaran pemerintahan. Karena otoritas lebih didominasi oleh kalangan ulama yang juga terjun diberi kewenangan di wilayah politik, sedang di Irak sebaliknya.
Kelima, AS tentu tidak akan menerima kenyataan bahwa Irak akan tumbuh
menjadi menjadi sebuah negara teokratis. Terlebih jika mengacu pada biaya politis
yang mereka keluarkan untuk membebaskan Irak dari rezim Saddam Hussein.
Pemilu 2010
Hasil dari pemilihan Irak tahun 2010 menunjukkan Blok Iraqiyah unggul dua kursi dari Partai Nuri al Maliki. Tetapi Iraqiyah gagal memperoleh mayoritas mutlak. Sehingga Allawi harus membentuk pemerintahan koalisi.
Iyad Allawi Koalisi haluan kanan Maliki berada di peringkat kedua dengan 89 kursi.
Mandat terbanyak dengan 91 kursi diraih oleh penantang Maliki, Iyad Allawi dengan partai sekuler Iraqiya. Koalisi terkuat ketiga, Aliansi Nasional Irak mendapat 70 kursi dari keseluruhan 325 kursi yang tersedia. Perundingan koalisi sudah dipastikan akan
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
sulit dan memakan waktu yang lama. Penentunya bisa jadi kembali kaum Kurdi, seperti yang terjadi lima tahun yang lalu. Peranan penting juga akan dimainkan oleh pemimpin radikal Syiah Muktada al-Sadr, para calonnya secara mengejutkan memperoleh hasil yang cukup baik.
Kubu sekuler yang dipimpin bekas Perdana Menteri Irak Ayad Allawi secara mengejutkan keluar sebagai peraih kursi terbanyak dalam pemilihan umum parlemen di Irak. Mereka menang tipis atas lawan kuat mereka, yakni kelompok yang dipimpin Perdana Menteri Nouri al-Maliki.
Menurut pejabat pemilu Irak, koalisi pimpinan Allawi mendapatkan dua kursi lebih banyak ketimbang Maliki dalam pemilu yang berlangsung 7 Maret lalu itu. Disebutkan, Allawi meraih 91 kursi, sedangkan Maliki 89 kursi. Adapun kelompok lainnya, yakni Aliansi Nasional Irak, kelompok Syiah yang didominasi pengikut Al- Sadr, meraih 70 kursi, dan Partai Kurdi hanya 51 kursi.
Hasil akhir ini dinilai mengejutkan karena sebelumnya Maliki diramalkan bakal menang mudah. Pada penghitungan dua pekan pertama Maliki memimpin perolehan suara, tapi selanjutnya disalip oleh perolehan suara Allawi.
Kepada pendukungnya di Baghdad, Allawi mengatakan ingin membantu membangun stabilitas wilayah agar tercapai kemakmuran bagi warga Irak. "Pada kesempatan ini, saya menyampaikan selamat kepada warga Irak dan membuka lebar-lebar persahabatan dengan semua tetangga dan negara-negara di dunia," kata Allawi.
Allawi, politikus Syiah sekuler yang melakukan koalisi lintas sektarian, termasuk dengan minoritas Sunni yang tak lagi berkuasa sejak tergulingnya pemerintah Saddam Hussein, juga menawarkan kepada semua partai untuk berunding guna membentuk pemerintahan. Dia berharap langkah ini dapat memperbaiki posisi Irak di Arab dan dunia muslim.
Allawi juga menegaskan aliansinya terbuka untuk berbicara dengan siapa saja, dan meminta partai segera melakukan hal itu. Menurut Allawi, stabilitas Irak sangat diperlukan agar stabilitas di Timur Tengah bisa tercapai, dan ia meminta warga Irak melindungi negara mereka. "Bangsa ini jangan terlalu lama bergantung pada Amerika."
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
Kemenangan kubu Allawi, yang didukung Amerika Serikat, membuat Maliki marah dan berjanji untuk menentang kemenangan tersebut. Maliki juga mengulangi permintaan agar komisi pemilu menghitung ulang kertas suara. Namun komisi pemilu menolak melakukan penghitungan secara manual atas seluruh kertas suara yang masuk. Respons ini membuat Maliki tak puas. Ia menegaskan bahwa kelompoknya akan tetap membentuk pemerintah baru.
Kemenangan ini sempat diwarnai aksi kekerasan. Beberapa jam sebelum hasil akhir pemilu diumumkan, terjadi dua ledakan di Kota Khalis, Provinsi Diyala. Ledakan itu membuat 42 orang tewas dan melukai 65 orang lainnya.
Para elit politik Irak menyadari bahwa kegagalan mereka dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan akan berpengaruh terhadap kredibilitas mereka di hadapan rakyat. Apa yang menimpa Perdana Menteri incumbent Nouri al-Maliki sekarang ini agaknya menjadi pelajaran penting. Pamor Maliki belakangan ini jauh merosot di mata rakyat yang diduga karena kegagalannya menciptakan rasa aman. Berbagai kasus bom bunuh diri terus bermunculan bahkan sampai menjelang pemilu.
Isu yang digaungkan oleh partai-partai politik yang mengusung kandidat Perdana Menteri Irak ternyata lebih menonjolkan isu-isu non-agama. Kelompok Moqtada Sadr, misalnya, yang dikenal sebagai faksi Syiah yang fanatik dan sangat benci Amerika Serikat juga tidak menyuarakan isu-isu keagamaan dalam kampanyenya. Bahkan Sadr kemudian berkoalisi dengan Amar Hakim yang menjadi pimpinan Koalisi Nasionalis Irak di mana isu utama kampanyenya adalah masalah kemanusiaan.
Mencuatnya isu-isu non-agama dalam kampanye Irak tentu sangat menarik untuk diamati. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa para elit politik Irak menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat Irak sekarang ini adalah sesuatu yang ril yang menyangkut hajat hidup mereka, seperti adanya rasa aman di kalangan mereka dan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka yang belum pulih sejak invasi AS.
Penutup
Pemilu tahun 2005 dimenangkan oleh kelompok Syiah, telah mengkandaskan harapan AS untuk merangkul Irak yang stabil, makmur, dan pro-AS. Semula AS
ISSN 0853-
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013)
2265
mengenai program nuklir yang sedang dikembangkan Iran. Jika suatu ketika AS menyerang Iran, maka Irak bisa dipastikan tidak akan tinggal diam, karena kini kaum Syi’ah yang berhubungan dekat dengan Iran yang menjadi penguasa di Irak.
Namun kemenangan Iyad Allawi pada Pemilu 2010 telah membuka asa AS untuk lebih dekat dengan Irak, karena Allawi, politikus Syiah sekuler yang melakukan koalisi lintas sektarian, termasuk dengan minoritas Sunni yang tak lagi berkuasa sejak tergulingnya pemerintah Saddam Hussein, juga menawarkan kepada semua partai untuk berunding guna membentuk pemerintahan. Dia berharap langkah ini dapat memperbaiki posisi Irak di Arab dan dunia muslim.
Daftar Pustaka:
Abdullah Mustappa, “Mencermati Aspirasi Suku Kurdi Menjelang Pemilu Irak”, Pikiran Rakyat, 27 Januari 2005. Muhammad Ali, “Menuju Irak Berdaulat dan Demokratis”, KOMPAS, 1 Juli 2004. Musthafa Abd Rahman, “Penyerahan Kedaulatan ? Omong Kosong!”, KOMPAS, 23 Juli 2004. Musthafa Abd Rahman, “Gegap Gempita Media Massa di Irak, KOMPAS, 23 Juli 2004. Musthapa Abd Rahman, “Waswas Menanti Pemilu di Irak”, Kompas, 23 Januari 2005. Musthafa Abd Rahman, “Masalah Irak, Refleksi 2004 dan Prediksi 2005”, KOMPAS, 8 Februari 2005. Muhammad Ja’far, “Konstitusi Irak Pasca Pemilu”, KOMPAS, 14 Februari 2005. Samuel P. Huntington, Prospek Demokrasi, dalam Roy C. Macridis, “Perbandingan Politik”, Erlangga, Jakarta, 1996. Seymour Martin Lipset, Some social Requisites of Democracy: Economic
Development and Politic Legitimacy, American Political Science Review 53, 1959: 75.
Sukidi Mulyadi, “Absenya Demokratisasi di Dunia Islam”, KOMPAS, 15 Juli 2004.