PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASI: PEMILU 2004 DAN 2009 Oleh Ade Priangani Abstrak - Ade Priangani 2013 (PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASIPEMILU 2004 DAN 2009)

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASI: PEMILU 2004 DAN 2009 Oleh Ade Priangani

Abstrak

Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia begitu majemuk, dan persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 lalu, adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni dan sebagainya.

Kata Kunci: Pemilu, Transisi Demokrasi

Pendahuluan

Sampai saat sekarang, masih banyak tindakan yang irasional dipraktekan oleh elite-

elite politik di Indonesia. Mereka memainkan lakon yang kerap membodohi dan mengkhianati perasaan rakyat, tak terkecuali dalam Pemilu 2004. Lakon yang dimainkan oleh para elite ibarat tayangan telenovela yang tak selesai-selesai, dari mulai pelengseran Gus Dur yang melanggar prinsip demokrasi

presidential, kasus Bulog I dan II yang tak jelas akhirnya, Pengadilan Ad-hok, pelanggar HAM di Timor Leste, Kasus 27 Juli yang malah pelakunya didukung untuk berkuasa lagi, kasus Trisakti yang entah tercecer dimana, Peradilan Soeharto yang tidak jelas hingga meninggal sampai reformasi yang salah kaprah dan Pemilu yang masih penuh dengan kecurangan dan penggunaan money politics yang tak juga berhenti.

Semua ini menandakan bahwa masyarakat dan terutama elite politik masih belum mau menegakkan demokrasi yang sesungguhnya, sebab banyak diantara elite yang antidemokrasi malah berkoar-koar tentang demokrasi, banyak pencuri berbaju priyayi, serta banyak politisi seperti si cepot jadi raja yang menambah keruwetan penyelesaian masalah daripada menyelesaikan masalah. Beda pendapat sedikit bikin partai, tak kebagian jabatan bikin partai, sehingga membuat partai jauh lebih mudah dibandingkan dengan pengurusan KTP.

Hal ini membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah, ditambah kinerja ekonomi pemerintah yang boleh dikatakan lebih jelek dibandingkan orde sebelumnya. Sehingga timbul anggapan bahwa pemerintah pasca reformasi jangankan ngurus demokrasi, ngurus ekonomi Hal ini membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah, ditambah kinerja ekonomi pemerintah yang boleh dikatakan lebih jelek dibandingkan orde sebelumnya. Sehingga timbul anggapan bahwa pemerintah pasca reformasi jangankan ngurus demokrasi, ngurus ekonomi

Pengertian infrastruktur ekonomi dalam bahasan ini adalah infrastruktur yang terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup. Peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan

infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. 1 Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan

oleh terciptanya amenities dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan kesejahteraan, (peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar

kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja). 2

Pembahasan

Demokrasi dan demokratisasi adalah hal yang dewasa ini didambakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ada berbagai rumusan mengenai demokrasi, namun terdapat satu masalah yang dihadapi oleh semua versi demokrasi, yaitu bagaimana memberi kekuasaan untuk memerintah sekaligus menjaga agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan.

Kekuasaan dipandang perlu untuk dibatasi, biasanya melalui sistem negara hukum atau rule of law agar tidak menjadi negara kekuasaan. Salah satu cara pembatasan kekuasaan adalah konsep accountability. Sebagian masalah yang sedang dihadapi Indonesia saat ini sebenarnya dapat dihindari seandainya pengawasan serta kontrol oleh lembaga-lembaga yang berwenang diselenggarakan dengan baik. Seandainya MPR dan DPR menyelenggarakan tugasnya meminta

1 Kwik Kian Gie, Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Indonesia dalam Stadium General, di Aula Fisip Unpas, Bandung, 2002.

2 ibid 2 ibid

Accountability adalah pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat memerintah kepada yang memberi mandat itu. Dalam teori politik tradisional, rakyatlah yang memberi kekuasaan kepada pihak lain untuk memerintah dan pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat. Accountability dapat ditafsirkan sebagai pertanggungjawaban politik, dalam arti pertanggungjawaban dengan sanksi.

Dalam sistem parlementer, sanksi bersifat langsung –karena dapat mengakibatkan jatuhnya eksekutif setiap waktu jika dianggap bahwa pihak yang diberi mandat itu tidak menjalankan kewajiban melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan-. Dalam sistem presidential, sanksi bersifat tidak langsung karena pemerintah tidak dapat dijatuhkan. Namun, sanksi dapat dijatuhkan melalui Pemilu berikutnya, yaitu setelah masa jabatannya berakhir, presiden tersebut tidak dipilih lagi. Dalam kedua sistem tersebut, accountability merupakan syarat mutlak bagi perwujudan konsep kedaulatan rakyat.

Berkaitan dengan keadaan bangsa yang belum sepenuhnya memiliki pengalaman berdemokrasi, tidak dapat dihindari bahwa proses demokratisasi selama ini mengandung unsur besar experimentasi, trial and error. Tetapi justru hanya dengan keberanian menempuh proses-proses itu ada harapan akan mengalami pendewasaan sosial-politik, sehingga demokrasi yang sebenarnya dapat menjadi kenyataan.

Dinamika pergumulan kehidupan politik rakyat dalam segenap dimensi gerakan demokrasinya, secara niscaya berada dalam suatu peralihan keyakinan politiknya. Artinya, peralihan keyakinan politik rakyat, yang tadinya senantiasa menunggu atau tergantung pada elite politik penguasa, justru di era reformasi sebaliknya, rakyat berinisiatif merekonstruksi perubahan dan pembaharuan politik negara.

Hal ini dapat kita cermati terutama dengan rentetan aspirasi dan tuntutan politik rakyat yang makin terbuka dan kritis. Tuntutan politik dari sector infrastruktur politik (social demond) tersebut, secara niscaya patut menjadi rujukan yang berarti dalam dataran format kepolitikan Indonesia. Artinya, keterlibatan rakyat dalam mengemas perubahan dan pembaharuan politik, tak ayal lagi mesti ditengok dalam kacamata politik secara terbuka. Agar keanekaragaman kehidupan politik negara bangsa ini merupakan identitas bersama yang tidak bisa dipinggirkan dalam tatanan Hal ini dapat kita cermati terutama dengan rentetan aspirasi dan tuntutan politik rakyat yang makin terbuka dan kritis. Tuntutan politik dari sector infrastruktur politik (social demond) tersebut, secara niscaya patut menjadi rujukan yang berarti dalam dataran format kepolitikan Indonesia. Artinya, keterlibatan rakyat dalam mengemas perubahan dan pembaharuan politik, tak ayal lagi mesti ditengok dalam kacamata politik secara terbuka. Agar keanekaragaman kehidupan politik negara bangsa ini merupakan identitas bersama yang tidak bisa dipinggirkan dalam tatanan

equality. 3 Itu sebabnya, baik yang berupa tuntutan, dukungan dan sekaligus partisipasi

politik rakyat, bukan lagi harus ditengok secara subyektif bergantung pada kepentingan-kepentingan politiknya semata, melainkan hal itu merupakan keniscayaan membangun interaksi politik dalam menggodok kedewasaan politiknya. Keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dimarginalisasikan dalam merumuskan persoalan kebangsaan dan kenegaraannya.

Peran serta rakyat tidak bisa dibantah, pertama-tama dengan rangkaian system sosialnya yang menggiring perilaku individu-individunya, terutama dengan beralihnya keyakinan politik rakyat dari zaman orde baru yang terkerangkeng. Pada pasca orde baru kerangkeng politik sudah tidak mampu lagi menampung kegelisahan politik rakyat yang menghendaki perubahan politik secara kondusif. Dan realitas politik yang terbuka mau tidak mau sangat membutuhkan interaksi politik yang demokratis. Interaksi politik tersebut sesungguhnya merupakan bagian penting dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa, agar proses diagnosis dialogis persoalan kebangsaan berjalan dengan kekerasan politik, melainkan melakukan dialog kritis dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, sehingga dialog kritis tersebut mampu membuahkan kejernihan nurani dan kebeningan akal sehat dalam melakoni aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemilu 2004

Pemilu ke-9 yang dilaksanakan pada bulan April 2004, telah terlaksana dengan baik dan sesuai dengan harapan, meskipun masih banyak kekurangan. Tujuan dari Pemilu yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan kata lain terjadi perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang terutama di legislatif.

Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah, beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan

3 David Beetham, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press 65 Bridge Street, Cambridge CB2 1UR, UK.

dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Pemilu 2004, memiliki keunikan tersendiri, dimana dipadukan dua sistem pemilu sekaligus, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga dalam pencoblosan anggota legislatif, masyarakat pemilih dihadapkan pada pilihan gambar dan nama calon anggota legislatif. Disamping itu, Pemilu dibagi dua tahap, tahap kedua ini adalah dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif).

Namun realitas di masyarakat, ada banyak anggapan bahwa dalam Pemilu 2004, golput cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya kekecewaan dari masyarakat terhadap perilaku elite yang tidak mampu memegang amanah yang telah diberikan oleh rakyat. Contoh paling kongkrit adalah, ada satu partai yang pada Pemilu 1999 sangat kental dan bahkan mengidentikan dirinya sebagai partainya wong cilik, namun kenyataannya, pasca Pemilu atau setelah mereka berkuasa malah memelihara wong licik.

Dari sini saja masyarakat bisa menilai, sebab bagaimanapun juga masyarakat Indonesia tidak sebodoh yang dibayangkan oleh elite politik. Mereka bisa menilai kinerja baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka sangat kecewa dengan perilaku elite, yang lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya dibanding dengan ngurus rakyat.

Ada berbagai macam alasan kenapa mereka memilih golput, atau dengan kata tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2004, yang secara garis besar Michael Rush dan Phillip Althof membagi menjadi 4 (empat), yaitu :

1. Apatis, di teliti oleh Morris Rosenberg.Artinya masa bodoh, tidak punya minat/tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi dan gejala-gejala pada umumnya. Alasan: a. Konsekuensi yang di tanggung dari aktivitas politik; b. Aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia saja; c. Tidak adanya perangsang untuk beraktivitas dalam dunia politik.

2. Sinisme , di teliti oleh Robert Agger.Kecurigaan yang buruk dari sifat manusia. Perasaan bahwa politik itu adalah sesuatu “urusan yang kotor”.

3. Alienasi,(terasing), di teliti oleh Robert Lane. Perasaan keterasingan dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik di lakukan oleh orang lain dan untuk orang lain, mengikuti aturan yang tidak adil.

4. Anomi(terpisah), di teliti oleh Durkheim. Perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah. 4

Namun yang jelas bahwa alasan mereka tidak berpartisipasi, atau dengan kata lain memilih golput tidak dapat digeneralisir. Paling tidak dalam pandangan saya, ada beberapa kelompok yang menjadi golput:

Pertama, anggota dan simpatisan partai politik yang tidak lolos verifikasi;

Kedua, mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintahan sebelumnya dan bahkan memiliki pengalaman yang pahit dengan penguasa;

Ketiga, pribadi atau kelompok yang terbuang dari partai;

Keempat, mereka yang menganggap partai politik yang ada tidak memiliki platform yang baik, dan menganggap kemampuan calegnyapun tidak capable;

Kelima, masyarakat urban yang tidak memiliki identitas diri yang jelas;

Keenam, Pendukung setia Gus Dur, sebab Gus Dur menyatakan diri Golput setelah pencalonannya di tolak oleh KPU;

Ketujuh, Partai dan pendukung Capres/Cawapres yang kalah dalam putaran pertama Pemilu Presiden.

Dalam masyarakat baru Indonesia yang sedang tumbuh, golput hanyalah satu fenomena yang belum bisa dikategorikan secara akademis. Dalam pandangan

Indra J Pilliang 5 dapat dikategorikan: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apapun produk sistem ketatanegaraan saat ini; Kedua, golput

pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih; Ketiga golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Seperti yang dilakukan oleh Gus Dur dalam Pemilu Presiden tahap pertama, dan atau yang dilakukan oleh PKS dan PAN dalam Pemilu Presiden tahap kedua.

Pentingnya Sosialisasi Politik

Dari permasalahan diatas, dimana dari tahun ke tahun fenomena golput semakin besar, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya

4 Michael Rush and Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, cetakan lima, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

5 Indra J. Pilliang, “Golput dan Masyarakat Baru Indonesia”, KOMPAS, 18 Juli 2004, hal 5.

Pemilu bagi terciptanya sistem pemerintahan yang lebih baik di masa yang akan datang. Dalam upaya sosialisasi Pemilu di Indonesia, perlu kiranya Pemerintah dalam hal ini KPU mempertimbangkan karakteristik masyarakat Indonesia. Ini akan berpengaruh pada jenis, model dan strategi apa yang akan diterapkan dalam upaya mensosialisasikan Pemilu kepada masyarakat. Apalagi khusus untuk Pemilu tahun 2004 ini ada keunikan tersendiri, dimana masyarakat belum terlalu banyak tahu tentang model Pemilu.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah/KPU harus diimbangi secara sinergis oleh partai-partai politik peserta Pemilu. Sebab bagaimanapun juga, peran partai politik sangat besar bahkan yang paling utama. Namun kesulitan yang dialami oleh parpol adalah waktu kampanye yang sempit dan adanya masa reses, sehingga peran partai sebagai agen sosialisasi menjadi tidak optimal. Perlu kiranya disini pemerintah dan parpol menyadari bahwa pelaksanaan Pemilu bukan hanya agenda lima tahunan yang tidak bermakna apa-apa, hanya merupakan kewajiban temporer yang harus dilakukan.

Pemilu pada hakekatnya adalah proses untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya. Kalau sukses maka mereka akan mendapat carrot dari masyarakat berupa dipilihnya lagi untuk memimpin negara lima tahun kedepan. Namun bagi pemerintahan yang jelek yang tidak aspiratif akan nurani rakyatnya sendiri, Pemilu merupakan stick, berupa penarikan dukungan dengan cara tidak memilihnya lagi untuk periode selanjutnya.

Disinilah butuh kerja yang sinergis antara pemerintah/KPU dengan political society, dalam upaya menegakan civil society yang bermuara pada terciptanya clean government dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap nurani rakyat.

Pemilu 2004 disebut oleh Herry Tjahjono 6 “Pemilu Mabuk”. Dalam tinjauan psikologi umum dan sederhana, mabuk dapat diartikan “proses turunnya kesadaran

akibat pengaruh minuman keras, sehingga aspek kognisi (pikiran), afeksi (perasaan), konasi (psikomotorik), dan perilaku menjadi tidak normal, kacau dan cenderung seenaknya sendiri. Kondisi seperti itulah yang sedang berlangsung dalam Pemilu kali ini. Contoh perilaku mabuk dalam Pemilu 2004 ini antara lain: Ketua PKPB menyatakan “Kalau merasa orang Jogja dan bangga dengan Jogjanya,

6 Herry Tjahjono, “Pemilu Mabuk”, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal. 5.

marilah jadi antek Soeharto” 7 Lalu Megawati, Hamzah Haz, Yusril Ihza, Yusuf Kalla melanggar ketentuan cuti dan banyak menggunakan fasilitas negara.

Atau betapa tidak malunya (mabuk) dua Presiden terakhir yang telah dianggap gagal, tidak merealisasikan program dalam kampanye 1999, tidak mampu memperbaiki kondisi ekonomi dan politik bangsa, terlibat KKN, ketika kampanye dalam Pemilu 2004 mengatakan “Peduli suara rakyat, ingin memperjuangkan rakyat kecil, memberantas Korupsi” dan sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya merupakan kedok untuk menutupi nafsu kekuasaan atau “mabuk kekuasaan”.

Sukses Pemilu

Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang menghabiskan Trilyunan rupiah.

Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang sukses adalah menjadi pemilih yang rasional, yang dalam melakukan pencoblosan mempertimbangkan program partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai dan pribadi caleg/capresnya, dan yang paling utama adalah pada track-record pribadi caleg/capres.

Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah, tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi idola.

Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik. Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.

Modernisasi dan Kesadaran Politik

Mulai sekarang ke depan, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah perlu melakukan upaya-upaya modernisasi sistem politik dan lembaga-lembaga politik

7 Antek bisa diartikan keset, ibarat barang buangan, sesuatu yang tak bernilai.

yang mengarah pada penciptaan kesadaran politik tanpa paksaan. Hal ini penting karena partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu terakhir (2004) belum menjadi ukuran meningkatnya kesadaran politik masyarakat.

Masih banyak yang melakukan praktek money politics dan intimidasi merupakan bukti bahwa partisipasi politik rakyat bukan dilandasi oleh kesadaran politik melainkan oleh kepentingan di luar itu. Modernisasi adalah proses bersegi jamak yang melibatkan perubahan di semua kerangka pemikiran dan aktivitas manusia. Seperti yang dikatakan Daniel Lenner, “proses yang mengandung beberapa ukuran tersendiri, yang akan menjelaskan mengapa modernitas berlangsung secara konsisten dan terpadu dalam masyarakat yang hidup dalam tertib hukum dan keteraturan.”

Secara psikologis, modernisasi melibatkan pergeseran mendasar dibidang mental, nilai-nilai dan harapan. Manusia primitif mendambakan adanya kelestarian alam dan lingkungan sosial serta tidak yakin akan kemampuan manusia untuk mengubahnya. Manusia modern sebaliknya, menyetujui perubahan dan percaya akan kapasitas mereka. Mereka adalah “pribadi-pribadi yang mobil” yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah pesat.

Pergeseran ini, secara tipikal menuntut loyalitas dan perubahan identifikasi diri dari kelompok-kelompok kecil yang konkrit (keluarga, desa) kepada pengelompokan yang lebih besar dan kompleks serta impersonal (bangsa). Bersamaan dengan itu, terjadi pula peningkatan kepercayaan terhadap nilai-nilai yang lebih universal ketimbang yang partikular serta lebih bersandar pada ukuran prestasi ketimbang indeks askriptif dalam menilai pribadi.

Dari sudut tinjauan sosial, modernisasi cenderung melengkapi semua keluarga dan kelompok-kelompok primer lainnya agar memiliki peranan-peranan khusus serta dibarengi dengan munculnya kesadaran akan pentingnya mengorganisir asosiasi skunder yang memiliki fungsi khusus yang lebih majemuk.

Mobilisasi sosial, seperti yang terjadi di Jerman pada masa NAZI, adalah suatu proses dengan mana “komitmen-komitmen utama tradisional mengenai situasi sosial ekonomi dan psikologi terkikis atau hancur dan masyarakat berkesempatan

mengembangkan pola baru sosialisasi dan tingkah laku. 8 Semuanya itu mengandung arti adanya perubahan sikap, nilai, serta tampilnya harapan baru

8 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, American Political Science Review, 55, September 1961, halaman 494.

anggota masyarakat yang terikat dengan dunia masa silam menuju ukuran hidup baru di dunia modern.

Efek modernisasi atas kehidupan politik adalah adanya modernisasi politik. Modernisasi politik secara alamiah dimaksudkan untuk mengubah masyarakat terbelakang menjadi maju. Modernisasi politik dapat dikristalkan kedalam 3 kategori utama:

Modersisasi politik melibatkan

adanya rasionalisasi

Pembangunan politik

kekuasaan, pergantian

melibatkan diferensiasi fungsi

sejumlah besar pejabat-

politik yang baru dan

pejabat politik tradisional,

pengembangan struktur

etnis, keagamaan,

khusus sebagai pelaksanaan

kekeluargaan oleh kekuasaan

seluruh fungsi tersebut;

nasional yang bersifat sekuler;

Pembangunan politik ditandai oleh meningkatnya peran serta politik yang meliputi seluruh lapisan masyarakat. Mendalamnya partisipasi dibidang politik dapat meningkatkan kadar kontrol penguasa atas masyarakat.

Sumber: Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a Freedom, Westview Press Bolder, Colorado.

Pemilu 2004 Sukses atau Gagal

Banyak yang beranggapan bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat diukur dari besarnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Sebagai

ilustrasi, Baskara T. Wardaya 9 mengatakan bahwa Pemilu tahun 1955 dikategorikan sukses, karena partisipasi rakyat dalam Pemilu cukup tinggi. Hal ini bisa terlihat

dalam pemilihan anggota DPR (29 September) masyarakat yang menyalurkan suaranya ke TPS-TPS sebesar 91,4 persen dan dalam pemilihan anggota Konstituante (15 Desember) sebesar 89,33 persen.

Pada Pemilu tahun 1955, partisipasi masyarakat sangat besar, padahal sarana saat itu masih sederhana. Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik mampu mensosialisasikan pentingnya Pemilu, aturan-aturan dalam Pemilu dan hakekat

9 Baskara T. Wardaya, “Pemilu, antara Gebyar dan Substansi, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal 4.

serta pentingnya Pemilu bagi masyarakat dan negara. Sehingga rakyat mencoblos dipenuhi rasa lega, bangga dan puas.

Penyelenggara Pemilu mensosialisasikan penyelenggaran Pemilu dengan efektif, yaitu dengan cara memberdayakan semua agen-agen sosialisasi politik seperti: Keluarga, kelompok kerja, kelompok sebaya, kelompok keagamaan, kelompok senggang dan media massa untuk memperkenalkan sistem Pemilu kepada masyarakat.

Sedangkan partai politik juga mensosialisasikan selain kepentingan partai, pentingnya Pemilu, juga para pemimpin parpol saat itu memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi dan kampanye tidak menekankan penampilan penuh gebyar yang sifatnya hiburan sesaat, tapi kepada program demi rakyat. Para pemimpin politik berlomba turun ke masyarakat, mereka berusaha menunjukan partainya memiliki kepedulian kepada masyarakat, seperti pembangunan jembatan, mendirikan sekolah dan memberantas buta huruf.

Namun sebenarnya Pemilu tahun 1955 dan Pemilu tahun 2004 ini sulit diperbandingkan, sebab masa telah berbeda dan pola kehidupan masyarakatpun sudah berbeda. Pemilu 2004 dibagi dalam tiga tahapan Pemilu secara berurutan. Tahap Pertama adalah pemilihan anggota Legislatif yang telah diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004, Tahap Kedua adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan pada bulan Juli 2004, dengan ketentuan yang berhak mencalonkan paket Capres/Cawapres adalah partai yang memenangkan suara minimal 3 persen dalam Pemilu tahap pertama atau Capres didukung oleh partai-partai minimal 3 persen (dapat diakumulasikan dari partai-partai kecil yang mendapatkan suara dibawah 3 persen).

Apabila dalam Pemilu tahap pertama ini tidak terpilih Capres/Cawapres yang didukung oleh rakyat 50 persen + 1, maka Pemilu dilanjutkan pada Tahap Ketiga. Kendala yang dihadapi dalam Pemilu sekarang ini memang lebih banyak dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 1955 dan 1999, diantaranya:

1. Penetapan Peserta Pemilu dan pengundian nomor peserta Pemilu terlalu mepet dengan pelaksanaan kampanye dan pencoblosan, (padahal penetapan anggota KPU sudah ditetapkan tak kurang dari 2 tahun yang lalu);

2. Pembuatan Kotak Suara dan Bilik Suara tidak mempertimbangkan waktu pembuatan, sehingga kotak suara hampir tidak selesai dalam waktu yang telah ditentukan (selayaknya dibuat 1-2 tahun yang lalu);

3. Kertas suara baik DPR, DPRD maupun DPD hampir terlambat dan masih banyak kesalahan cetak, hal ini disebabkan oleh yang pertama;

4. Kurangnya sosialisasi Pemilu baik yang dilakukan oleh Pemerintah (KPU) ataupun oleh Partai Politik, tentang aturan-aturan dalam Pemilu;

5. Tidak akuratnya data Pemilih yang dilakukan oleh BPS, banyak kartu suara tak bertuan atau pemilih yang tak terdata (hal ini memberi peluang untuk berbuat curang, seperti yang terjadi di Jawa Timur);

6. Masih adanya money politics dan serangan fajar yang dilakukan oleh partai- partai besar beberapa saat menjelang pencoblosan;

7. Anggota KPU dan Panwaslu yang tidak responsif terhadap permasalahan, sehingga banyak dugaan miring yang dialamatkan kepada mereka.

Sukses Pemilu

Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang menghabiskan Trilyunan rupiah ini. Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang sukses adalah menjadi pemilih yang rasional,yang dalam melakukan pencoblosan mempertimbangkan program partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai dan pribadi caleg/capresnya, dan yang paling utama adalah pada track-record pribadi caleg/capres.

Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah, tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi idola.

Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik. Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini ada keyakinan bahwa masyarakat pemilih lebih dari 40 persen belum tahu cara pencoblosan yang baik/sah. Padahal Pemilu 2004 memiliki makna amat strategis bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada satu sisi,

Pemilu diharapkan lebih baik daripada Pemilu sebelumnya, dengan memperbaiki sistem dan aturan pelaksanaan. Baik dalam sistem, aturan pelaksanaan, maupun aturan permainan merupakan perubahan atau penyempurnaan untuk menjawab berbagai kekurangan dan kelemahan sebelumnya.

Dengan sistem Pemilu yang baru diharapkan bisa lebih produktif. Hasil Pemilu 2004 diharapkan dapat menjadi pintu masuk dalam mewujudkan Indonesia baru yang demokratis. Pemilu merupakan ajang kompetisi politik dalam upaya memperebutkan suara rakyat guna meraih kekuasaan politik. Meski demikian, dalam Pemilu dan kampanye politik, persaingan politik harus tetap dalam koridor yang santun dan terhormat, tidak curang apalagi saling mempecundangi lawan tanpa

etika. 10 Kehadiran demokrasi mensyaratkan adanya dimensi kompetisi, partisipasi

politik yang luas, adanya tingkat kebebasan sipil secara substansial, dan adanya jaminan atas pluralisme yang memungkinkan masyarakat menyatakan preferensi politiknya secara terbuka.

Menurut Joseph Schumpeter, demokrasi merupakan suatu sistem untuk mencapai keputusan politik, yakni perseorangan mendapat kekuasaan menentukan

melalui perjuangan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat. 11 Dengan demikian, Pemilu dapat dikatakan sukses apabila tingkat partisipasi

politik masyarakat tinggi dan keterlibatan mereka (partisipasi) dilakukan dengan pertimbangan yang rasional/pemilih rasional. Dalam pelaksanaannya setiap partai politik melakukan persaingan dengan fair, sopan dan tidak anarkhis. Kondisi ini bisa dicapai dengan terlebih dahulu perlu adanya sosialisasi yang kontinyu baik oleh KPU maupun oleh Partai Politik, baik mekanisme Pemilu, tahapan Pemilu maupun aturan pelaksanaan pencoblosan yang benar.

Kalau melihat iklan di televisi, setiap Partai hanya mengajak masyarakat untuk mencoblos gambar partai, tak ada yang mengajak untuk mencoblos nama- nama caleg dari partainya yang berderet dibawah gambar partainya. Hal ini merupakan pembodohan masyarakat, karena mengajak masyarakat untuk memilih partai (proporsional) tidak memilih orang-orang yang kapabel di partainya (distrik).

Dikatakan pembodohan karena dengan memilih partai saja, maka suara akan dilimpahkan kepada caleg nomor 1 dan berurutan kebawah, tanpa terlalu siapa dia

10 Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23 Maret 2004, hal 4. 11 ibid 10 Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23 Maret 2004, hal 4. 11 ibid

Elaborasi Pasangan Capres-Cawapres Pemilu 2004

Sistem Pemilihan yang diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 ini adalah sistem varian proporsional. Sistem varian proporsional adalah memadukan antara sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga ada perbedaan yang signifikan dengan apa yang terjadi di AS yang menerapkan sistem distrik murni dan Pemilu- pemilu sebelumnya di Indonesia yang menerapkan sistem proporsional. Perbedaan itu tampak jelas dalam pemilihan anggota legislatif, sedangkan dalam pemilihan anggota DPD dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden memakai sistem distrik.

Yang menarik sekarang adalah tentang mekanisme dan tahapan dalam pemilihan Presiden-Wapres. Ada perbedaan antara di AS dan Indonesia yang menerapkan sistem yang sama. Di AS Pemilihan Presiden dilakukan duluan dibanding pemilihan legislatif. Hal ini membuat masyarakat mampu mengkomposisikan anggota legislatif dari partai non-pemerintah daripada anggota legislatif dari partai pemerintah dalam upaya check and balances terhadap eksekutif yang telah terpilih sebelumnya. Komposisi antara partai pendukung pemerintah dan partai oposan di legislatif biasanya lebih besar dari partai oposan.

Namun di Indonesia, pemilihan Presiden-Wapres dilakukan setelah dilakukannya pemilihan legislatif, sehingga peran masyarakat untuk menciptakan check and balances dirasakan tidak signifikan. Sebab koalisi yang dibangun pada akhirnya dilakukan pasca pemilihan anggota legislatif dengan mempertimbangkan jumlah kursi dan perolehan suara dari pemilihan anggota legislatif.

Rakyat tidak dihadapkan untuk menciptakan sistem check and balances, sebab sistem dan pemilihan mana partai pemerintah dan mana partai diluar pemerintah (oposan) sangat ditentukan oleh kompromi elite politik, bahkan mungkin tidak akan ada sistem check and balances sebab budaya oposan belum berkembang di Indonesia. Semua partai politik senantiasa menginginkan ikut bagi- bagi kueh kekuasaan daripada harus menjadi oposan, sebab dengan ikut dalam sumbu kekuasaan mereka berharap akan meraup uang untuk modal Pemilu Rakyat tidak dihadapkan untuk menciptakan sistem check and balances, sebab sistem dan pemilihan mana partai pemerintah dan mana partai diluar pemerintah (oposan) sangat ditentukan oleh kompromi elite politik, bahkan mungkin tidak akan ada sistem check and balances sebab budaya oposan belum berkembang di Indonesia. Semua partai politik senantiasa menginginkan ikut bagi- bagi kueh kekuasaan daripada harus menjadi oposan, sebab dengan ikut dalam sumbu kekuasaan mereka berharap akan meraup uang untuk modal Pemilu

Mudah-mudahan dalam Pemilu 2004 ini nantinya, budaya oposan akan tumbuh dalam sistem politik di Indonesia. Sebab salah satu fungsi oposan adalah untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, agar pemerintah sadar akan kelemahannya dan hal apa saja yang harus diperbaiki. “Oposan diibaratkan seperti setan yang terus mengganggu manusia agar manusia tidak berbuat salah”.

Lahirnya partai oposisi memungkinkan lahir ketika pemilihan Presiden sudah mulai mengerucut pada dua pasang kandidat Presiden pada pemilihan Presiden tahap kedua, sebab penulis yakin dari komposisi Capres-Wapres dalam tahap pertama tidak akan menghasilkan Capres dan Wapres yang didukung oleh 50 persen + 1 dari rakyat Indonesia. Dengan demikian Pemilu akan dilanjutkan pada tahap berikutnya, dan disinilah nanti yang menang jadi pemerintah dan yang kalah jadi oposan.

Menimbang Pasangan Capres-Wapres

Kalau melihat polling-poliing yang dilakukan baik oleh Televisi maupun oleh penyelenggara penelitian, tampak bahwa ada beberapa nama yang diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi Presiden di Republik ini (sayang tidak ada orang Sunda). Mereka diantaranya Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, Nurkholis Madjid, Wiranto dan sebagainya.

Diantara nama-nama diatas yang menduduki urutan pertama adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang biasa dikenal dengan SBY. Namun persoalannya seandainya Partai Demokrat mengajukan SBY sebagai Calon Presiden, siapa yang kiranya dapat mendampingi beliau sebagai Wakil Presiden yang dapat mengusungnya menduduki puncak kekuasaan di Republik ini. Diantara nama-nama yang tersedia yang bisa dijadikan wakil Presiden adalah: Pertama, Yusuf Kalla. Peluang Yusuf Kala untuk mendampingi SBY sangat besar apalagi setelah keluar dari konvensi Partai Golkar.

Duet SBY-Yusuf Kala, selain perkawanan yang kental (orang pertama yang mengunjungi kantor SBY setelah SBY mengundurkan diri dari Menkopolkam adalah Yusuf Kala), juga bisa menyeimbangkan kekuatan Sipil-militer, Jawa-Luar Jawa dan Kota-Desa. SBY banyak mendapat simpati dan dukungan di kota-kota besar di Indonesia secara merata, sedangkan Yusuf Kala mendapat dukungan dari

Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Komposisi ini dirasakan akan menjadi magnet bagi kesuksesan mereka menjadi penguasa di negeri ini.

Kedua, Hidayat Nur Wahid. Peluang Hidayat Nur Wahid untuk mendampingi SBY juga cukup besar. Namun dua nama yang sedang naik daun ini tidak akan terlalu banyak mendapatkan suara, sebab nantinya akan berhadapan dengan calon lain yang diusung oleh partai-partai besar.

Ketiga, Hasyim Muzadi. Peluang Hasyim Muzadi untuk menjadi Wapres SBY sama dengan peluang yang dimiliki oleh Hidayat Nur Wahid. Cuma akan lebih kecil apabila PKB tetap menginginkan Gus Dur sebagai Presiden, peluang menjadi besar apabila PKB (NU), Muhamadiyah, PKS, PBB, PPP merestui pasangan ini, lawan berat bagi mereka adalah mungkin Megawati Soekarnoputri-Yusuf Kala.

Calon kedua adalah Amien Rais, yang meskipun perolehan suara PAN dalam pemilihan anggota legislatif ada penurunan bahkan dalam urutan dibawah Partai Demokrat dan PKS tetap ngotot untuk mencalonkan diri. Sebab dalam pikiran pak Amien dan kawan-kawannya di Amien Rais Center, perolehan suara PAN tidak identik dengan suara dukungan terhadap Amien Rais.

Dalam memilih pasangan Amien Rais menginginkan di luar Partai Islam (Nasionalis), sehingga peluang Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi sangat tipis. Yang paling besar peluangnya adalah Agum Gumelar. Meskipun secara prospektif akan lebih besar peluangnya bersama Yusuf Kala, namun peluang mendapatkan Yusuf Kala kecil karena SBY lebih besar peluangnya seperti dinyatakan diatas.

Duet Amin Rais-Agum Gumelar, pilihan yang realistis bagi Amien Rais, sebab bagaimanapun juga Agum Gumelar saat ini merupakan representasi orang Sunda. Jika duet ini terwujud minimal masyarakat Jawa Barat dan Banten akan memberi dukungan, disamping keluarga TNI bisa terpecah ke Agum, SBY dan Wiranto. Duet lainnya adalah Amien Rais-Eros Djarot, Amien Rais-Siswono, Amien Rais-Sri Sultan Hamengkubuono atau Amien Rais-Rahmawati Soekarnoputri.

Calon Ketiga adalah Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat ini. Orang yang berpotensi untuk mendampingi Megawati, yang potensial adalah: pertama, Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi dianggap merepresentasikan kaum Nahdiyin yang merupakan organisasi keislaman terbesar, sedangkan PDI-P dan Megawati merepresentasikan kekuatan nasionalis. Dukungan dari masyarakat akan luas, asal Gus Dur rela juniornya (Hasyim Muzadi) bergandengan dengan sosok yang dianggap oleh Gus Dur telah menohoknya dalam SI MPR 2001. Kalau Gus Dur Calon Ketiga adalah Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat ini. Orang yang berpotensi untuk mendampingi Megawati, yang potensial adalah: pertama, Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi dianggap merepresentasikan kaum Nahdiyin yang merupakan organisasi keislaman terbesar, sedangkan PDI-P dan Megawati merepresentasikan kekuatan nasionalis. Dukungan dari masyarakat akan luas, asal Gus Dur rela juniornya (Hasyim Muzadi) bergandengan dengan sosok yang dianggap oleh Gus Dur telah menohoknya dalam SI MPR 2001. Kalau Gus Dur

Kedua, Syafii Ma’arif, peluangnya sama dengan Hasyim Muzadi, sebab Syafii Ma’arif juga mendapat dukungan dari Muhamadiyah. Namun kesulitannya, Muhamadiyah telah menyatakan sikap untuk mendukung Amien Rais sebagai Presiden. Ketiga adalah Hamzah Haz, Duet Mega-Hamzah juga memiliki kans yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dibanding dengan duet Mega-Hasyim Muzadi dan Mega-Syafii Ma’arif. Duet lain yang disebut-sebut adalah Megawati-Malik Fadjar, namun peluangnya kecil.

Calon Presiden lainnya adalah Wiranto, kemenangan dalam konvensi Partai Golkar sedikit mempermulus jalan. Untuk memilih Wakil Presiden, Wiranto tidak terlalu memiliki banyak pilihan, karena kandidat lain telah lebih jauh melakukan negoisasi yang telah mengarah pada koalisi.

Diantara orang yang tersedia, adalah: pertama Hasyim Muzadi, peluangnya sangat besar, dengan catatan Gus Dur memberikan restu kepada Hasyim untuk menjadi Wapres, yang lain adalah Ginandjar Kartasasmita, kalau melihat hasil pemilu untuk anggota DPD, suara yang diberikan rakyat Jawa Barat kepada Ginandjar cukup besar dan menduduki rangking 1 di daerah pemilihan Jawa Barat, minimal duet Wiranto-Ginandjar bisa bersaing di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Barat serta beberapa daerah di luar Jawa. Atau Wiranto bisa juga menggandeng Sri Sultan Hamengkubuwono, peluangnya sama besar dengan duet Wiranto-Ginandjar, duet lainnya Wiranto-Siswono Yudho Husodo, namun peluangnya kecil karena Siswono juga dicalonkan oleh partai-partai kecil untuk jadi Presiden.

Berikutnya adalah Gus Dur (dengan catatan lolos tes kesehatan yang dilakukan oleh KPU bersama IDI), siapa yang mendampingi Gus Dur ini sangat menarik. Namun kalau kita menyaksikan dialog di salah satu TV Swasta pada tanggal 15 April 2004, pukul 23.00 Wib, ada satu nama yang terselip dari pembicaraan Gus Dur, yaitu Prabowo Subianto, disamping nama Surya Palloh dan Aburizal Bakrie. Jadi besar kemungkinan Gus Dur akan didampingi oleh salah satu dari ketiga nama tersebut.

Meskipun banyak yang lainnya, namun gerbong yang akan mengusungnya tidak terlalu signifikan umpamanya Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra dan Hamzah

Haz. Jadi dalam pembahasan ini sulit untuk memprediksi kearah mana koalisi yang akan dibangun oleh mereka.

Pada tahap pertama akan banyak pasangan Capres dan Cawapres, namun pada akhirnya pada tahap kedua akan muncul dua sampai tiga pasangan yang memenuhi ketentuan minimal didukung oleh 20 persen suara pemilih. Dalam hemat penulis akan muncul pasangan SBY-Yusuf Kala, Megawati-Hashim Muzadi atau Wiranto-Hasyim Muzadi, serta mungkin Amien Rais-Agum Gumelar.

Terlepas dari itu semua, diharapkan dalam Pemilu 2004 ini terselenggara secara lebih baik dibandingkan dengan pemilu legislatif yang banyak dikritik terdapat bermacam-macam kekurangan dan kecurangan, sehingga pada akhirnya nanti akan lahir pemimpin yang capable, yang mampu membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, lebih beradab dan lebih terhormat dimata Internasional. Disamping itu, pemilu ini juga diharapkan jauh dari tindakan anarkhis. Dan para Capres- Cawapres lebih mempersiapkan diri lagi untuk menjadi pemenang dan untuk kalah. Ketika menang langkah apa yang harus dilakukan dan ketika kalah langkah yang harus dilakukan, dengan tidak mengganggu tatanan negara yang sama-sama sedang kita perjuangkan untuk lebih demokratis dan manusiawi.

PEMILU 2009

Pemilihan umum dalam sebuah rezim demokratis adalah sarana untuk melakukan rulling class baik dalam tataran eksekutif maupun legislative. Pemilu juga merupakan sarana mengevaluasi kinerja pemerintahan, sebab kalau pemerintahan disukai oleh rakyat maka dia akan terpilih lagi dalam pemilu selanjutnya, begitu pula sebaliknya apabila pemerintahan tidak mampu memuaskan keinginan rakyat, maka pemilu merupakan ajang yang tepat untuk mengganti pemerintahan.

Sudah menjadi suatu kelaziman bahwa dua-satu tahun menjelang pemilihan umum, situasi politik nasional akan diramaikan oleh persiapan partai-partai politik dan juga elite-elite politik dalam memperjuangkan kepentingannya dalam aktivitas politik regular lima tahunan.

Persiapan tidak hanya melakukan konsolidasi dalam tubuh partai, melainkan juga mempersiapkan isyu politik yang akan diusung dalam pemilu, sehingga menjadi sebuah kewajaran, partai dan elite politik kerap melakukan politisasi terhadap masalah-masalah public. Disamping itu, elite partai juga mulai getol Persiapan tidak hanya melakukan konsolidasi dalam tubuh partai, melainkan juga mempersiapkan isyu politik yang akan diusung dalam pemilu, sehingga menjadi sebuah kewajaran, partai dan elite politik kerap melakukan politisasi terhadap masalah-masalah public. Disamping itu, elite partai juga mulai getol

Terungkapnya aliran dana Departemen Kelautan, diyakini hanya merupakan gelembung kecil dari realitas yang ada, tidak tertutup kemungkinan departemen- departemen lain dan juga sumber-sumber keuangan lainnya melakukan langkah serupa. Hal ini menarik disaat Indonesia sedang mencoba bangkit dari keterpurukan dan mengharapkan elite-elite diatas menjadi lokomotor perubahan, malah mempertontonkan perilaku yang berseberangan dengan semangat clean government.

Kita memang menyadari bahwa perjuangan membutuhkan biaya, perubahan yang ingin ditegakkan butuh sarana penunjang, namun tepatkah langkah-langkah yang dilakukan tersebut ? Masyarakat berharap, menjelang pemilu tahun 2009, perilaku elite yang seperti itu tidak lagi melakukan langkah-langkah yang kontradiktif dengan keinginan rakyat tersebut. Oleh sebab itu, bagi elite nasional yang memiliki keinginan untuk menjadi kompetiter dalam pemilu 2009, mampu menggandeng sumber-sumber dana dari luar pemerintahan. Hal yang dilakukan di AS adalah dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat dan dunia usaha yang menjadi simpatisan elite tersebut. Hillary Clinton, Obama dan lain-lain telah memiliki anggaran yang cukup besar yang didapatkan dari simpatisan, bisakah dilakukan oleh elite politik Indonesia ?

Profesionalisme partai politik menjadi sebuah keharusan dalam upaya meminimalisir kemungkinan penyelewengan uang negara. Partai tidak lagi mencari penghidupan dari negara, melainkan menjadi sebuah kancah candradimuka dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap negara dan masyarakatnya. Fungsi partai sebagai agen sosialisasi politik selayaknya menjadi kerangka acuan. Sehingga dari partai politik tersebut lahir negarawan-negarawan yang mampu menyelami hati nurani rakyat.

Selama ini yang dirasakan oleh masyarakat, partai politik adalah comprador yang terorganisir dalam mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan Selama ini yang dirasakan oleh masyarakat, partai politik adalah comprador yang terorganisir dalam mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan

Selain masalah dana tersebut, daya tarik yang dapat dijadikan perkuatan partai politik menjelang pemilu 2009 adalah regenerasi dalam tubuh partai, sebab selama ini, perilaku elite politik yang ada telah mempertontonkan perilaku yang jauh dari harapan rakyat. Elite politik yang selama ini berkecimpung dalam aktivitas politik nasional diyakini telah melewati masa keemasannya, sehingga dibutuhkan rising star yang masih cukup energik dalam mengemban amanat rakyat.

Generasi baru dalam partai politik Indonesia memang telah lahir. Sirkulasi elite dalam tubuh parpol yang dilaksanakan melalui musyawarah nasional, kongres, atau muktamar sepanjang tahun 2004 dan 2005 telah menghasilkan generasi baru dalam politik Indonesia. Meskipun tidak semua partai melahirkan pemimpin dari generasi muda, namun tersembul harapan dengan pergantian elite akan membawa perubahan cakrawala berpikir dari para politisi dalam menatap masa depan bangsa yang lebih baik.

Kehadiran Muhaimin Iskandar (PKB), Soetrisno Bachir (PAN), Tifatul Sembiring (PKS) mewakili lahirnya generasi baru dari kelompok muda, dalam kancah politik Indonesia. Disisi lain, meskipun Partai Golkar, Partai Demokrat dan PDI-P masih dipimpin oleh “macan-macan” lama, namun dari rahim partai-partai tersebut, telah lahir elite partai yang “belum” terkontaminasi nafas orde baru seperti Andi Alvian, Anas Urbaningrum (PD), Budiman Soejatmiko (PDI-P) dan Yudi Chrisnandi (PG).

Besar harapan, dari kelompok muda ini, lahir pemikiran-pemikiran yang progresif dan ikut mewarnai partai dalam upaya memperjuangkan nasib rakyat. Nasib rakyat seyogyanya bukan hanya sebatas komoditas politik menjelang pemilu, lalu setelah kekuasaan didapat menjadi raib seiring berjalannya waktu. Nasib rakyat Indonesia yang hampir 60 persen berkategori miskin (berpendapatan dibawah 200 dollar AS) adalah tanggungjawab semua elite untuk diperjuangkan mendekati kelayakan.

Seandainya kelompok muda ini kokoh dengan pendirian dan konsisten dalam memperjuangkan nasib rakyat, maka partai-partai tersebut akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menyalurkan suaranya lewat partai- partai tersebut, sehingga menyebabkan kompetisi semakin sengit terutama dalam memperebutkan kursi DPR dalam pemilu legislative 2009.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di masyarakat timbul kerinduan kepada model pengelolaan negara yang berlangsung selama masa pemerintahan orde baru, dengan beberapa perbaikan, seperti rule of law yang jelas, skala prioritas pembangunan, tahapan-tahapan pembangunan yang jelas dan adanya optimalisasi peran negara dalam memperjuangkan nasib rakyat.

Dengan demikian, skala prioritas partai-partai politik menjelang pemilu tahun 2009 adalah bagaimana menginventaris suara rakyat, lalu mewujudkannya dalam tataran program kerja partai, sehingga apa yang dijual sesuai dengan selera rakyat. Diharapkan dengan kehadiran generasi muda yang masih energik dalam tubuh partai-partai politik yang, partai dapat menangkap hal-hal tersebut. Dan diyakini, hal ini akan menyebabkan persaingan yang fair dalam meraih simpati masyarakat.

Faktor lain yang menyebabkan persaingan sengit adalah terjadinya perpecahan didalam tubuh partai-partai besar seperti PDI-Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan juga Partai Golongan Karya. Hal ini membuat kesempatan antar partai untuk memperoleh suara yang banyak, akan semakin kompetitif.

Partai-partai baru, baik pecahan dari partai besar maupun partai yang sama sekali baru, memiliki peluang untuk menangkap peluang dari kekecewaan sebagian masyarakat atas kinerja partai besar yang mengalami perpecahan. Dengan demikian kualitas pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 nanti akan lebih baik, baik dalam tataran konsep, etika dan juga perilaku. Diharapkan dengan kondisi seperti itu, masyarakat akan menjadi pemilih rasional.

Perubahan perilaku pemilih dari tradisional ke rasional akan membawa konsekuensi kepada kesiapan partai-partai politik, terutama tema-tema kampanye yang lebih memiliki kualitas konsep dan pemikiran yang menjadi daya tarik masyarakat. Banyak kalangan yang memiliki keyakinan apabila pemilih sudah berperilaku rasional akan melahirkan pemimpin yang teruji dan memiliki visi kedepan.

Terdapat pola hubungan korelasional antara perubahan pola pikir pemilih dengan lahirnya kebaruan dalam tubuh elite nasional, sebab bagaimanapun juga perilaku yang rasional yang akan dengan sendirinya menyeleksi calon elite yang akan mengemban tugas kenegaraan berikutnya.

Realitas ini akan menyebabkan peta persaingan dalam pemilu 2009, diyakini akan lebih kompetitif dan akan melahirkan elite yang lebih capable dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Golput Dalam Pemilu 2009

Menjelang pelaksanaan Pemilu ke-10 yang dilaksanakan pada bulan April 2009, suhu politik semakin memanas. Berbagai upaya dilakukan agar pelaksanaan Pemilu bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan harapan. Tujuan dari Pemilu yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan kata lain terjadi perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang terutama di legislatif. Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah, beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DAN HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT ISLAM SAMARINDA Santy Dara Krisnawati, Aditya Fridayanti, Laode Rijai

0 0 10

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PENDERITA DIARE PADA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA Rita Yuniati, Nur Mita, Arsyik Ibrahim

0 0 13

KARAKTERISTIK DAN POLA PENGGUNAAN OBAT ANALGESIK NSAID PADA PASIEN PASCA OPERASI DI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA Kurnia Rizki Ramadani

0 0 11

KARAKTERISTIK DAN POLA PENGOBATAN PASIEN KANKER PAYUDARA DI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE Marsanti

0 0 8

AKTIVITAS PENGHAMBATAN XANTHINE OXIDASE EKSTRAK ETANOL DAN AIR DARI HERBA SURUHAN (Peperomia pellucida L.) Yunahara Farida 1,2 , Rifaldi Agustian Firmansyah1

0 0 6

UJI FITOKIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI DARI AKAR MANGROVE RHIZOPORA APICULATA TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI DAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS Evi Ratna Oktavianti Dewi 1, , Usman2

0 1 11

UJI BIOAKTIVITAS DAN PENELURUSAN METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK SPONS DI PERAIRAN KAMPUNG MALAHING KOTA BONTANG Choirun Nisa, Muhammad Amir Masruhim, Riski Sulistiarini

0 0 5

TEMPAT TUMBUH DAN KANDUNGAN FLAVONOID TOTAL DAUN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack.) Siswoyo 1,2 , Irmanida Batubara 1,3, , Devi Aristyanti2

0 0 9

Abstrak Pasteurization is a heating process performed on fresh milk so that it becomes a product that has a longer

0 0 6

Ade Priangani 2014 (DAYA SAING INVESTASI DAN PERDAGANGAN KEPULAUAN RIAU SEBAGAI GARDA TERDEPAN PERBATASAN INDONESIA-SINGAPURA)

0 0 25