BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Distribusi Maloklusi Skeletal Klas I, II dan III Berdasarkan Index of Orthodontic Treatment Need Pada Pasien Periode Gigi Permanen Yang Dirawat di Klinik PPDGS Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi oklusi yang abnormal sering ditemukan oleh dokter gigi di klinik. Kondisi yang abnormal dikenal sebagai maloklusi. Maloklusi harus dikoreksi karena

  kelainan ini dapat membawa beberapa masalah kepada pasien seperti masalah estetis psikologis dan sebagainya. Perawatan ortodonti bertujuan untuk mengembalikan fungsi pengunyahan, neuromuskular dan estetis agar lebih baik.

2.1 Oklusi

  Oklusi merupakan kondisi gigi-gigi pada rahang atas dan gigi-gigi rahang bawah berkontak antara satu sama lain pada semua posisi. Pengertian tentang oklusi merupakan ilmu dasar dalam bidang kedokteran gigi. Perawatan ortodonti dapat merubah oklusi seorang pasien. Oleh karena itu, seorang dokter gigi harus mengerti mengenai oklusi agar dapat mengidentifikasi oklusi yang abnormal atau

  1,2,10 maloklusi.

  Istilah oklusi itu terdiri dari 2 aspek yaitu statis dan dinamis. Aspek statis merupakan bentuk, artikulasi serta susunan gigi-gigi antara lengkung rahang serta relasi gigi terhadap struktur pendukung. Aspek dinamis merupakan fungsi sistem stomatognasi yang terdiri dari gigi-gigi, struktur pendukung, sendi temporomandibula dan sistem neuromuskular serta sistem nutrisi. Status oklusi seorang individu dapat digambarkan oleh dua karakteristik utama yaitu relasi intra lengkung rahang dan

  2

  relasi inter lengkung rahang. Status oklusi ini akan dicatat sewaktu pemeriksaan klinis dilakukan. Pemeriksaan relasi intra lengkung rahang, relasi setiap gigi pada setiap satu lengkung rahang perlu diobservasi, begitu juga untuk pemeriksaan relasi

  1 inter lengkung rahang antara gigi-gigi rahang atas dan gigi-gigi rahang bawah.

  Menurut Angle, gigi molar satu permanen merupakan kunci oklusi. Beliau menganggap bahwa gigi tersebut merupakan titik anatomis yang stabil pada rahang. Angle mendefinisikan oklusi sebagai relasi normal dataran miring oklusal gigi ketika kedua rahang tertutup. Namun demikian, definisi ini tidak menggambarkan situasi yang nyata karena oklusi itu merupakan fenomena yang kompleks, melibatkan gigi,

  1,2 ligamen periodontal, sendi temporomandibula, otot, sistem syaraf dan rahang.

  Menurut WHO, definisi maloklusi merupakan kelainan yang dapat mengakibatkan kecacatan serta menganggu fungsi dan memerlukan perawatan.

  1 Maloklusi dapat diklasifikasi menjadi dua yaitu skeletal dan dental.

2.2 Maloklusi Skeletal

  Maloklusi skeletal terjadi karena ketidak-seimbangan antara tulang mandibula dan tulang maksila. Kelainan-kelainan yang dapat terlihat pada maloklusi yaitu ukuran, posisi, dan relasi rahang. Kelainan maloklusi skeletal dapat mempengaruhi 3

  

2

bidang yaitu transversal, sagital dan vertikal.

  Ortodontis biasanya menggunakan analisa sefalometri untuk melihat bentuk kranio fasial pasien dan klasifikasi skeletal pasien tersebut. Pada bentuk skeletal Klas I nilai sudut SNA, SNB dan ANB berada dalam batas normal. Bentuk skeletal Klas II dan skeletal Klas III mempunyai deviasi yang jelas terlihat. Nilai normal sudut SNA adalah 82

  ⁰, sudut SNA >82⁰ adalah prognasi maksila dan <82⁰ adalah retrognasi maksila. Nilai normal sudut SNB adalah 80 ⁰, <80⁰ adalah retrognasi mandibula dan >80

  ⁰ adalah prognasi mandibula. Nilai normal sudut ANB adalah

  2,8,11-17,19,20

  2 ⁰- 4⁰ untuk Klas I, sudut ANB >4⁰ adalah Klas II dan <2⁰ adalah Klas III.

  Penelitian yang dilakukan Wolfe dkk., menggunakan foto sefalometri pada sampel anak TK, SD dan SMP yang memiliki bentuk skeletal Klas I dan bentuk skeletal Klas III. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel dengan skeletal Klas III mempunyai sudut dataran mandibula yang tinggi, korpus mandibula tinggi, ramus mandibula tinggi, dan sudut SNB yang besar serta sudut ANB yang lebih kecil dari subyek dengan maloklusi Klas I. Selain itu, panjang wajah bawah dan panjang

  21 mandibula akan bertambah seiring bertambahnya umur individu.

  Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Kim dkk., menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara proklinasi gigi insisivus atas dengan mandibula yang maju dan retroklinasi gigi insisivus atas dengan mandibula yang mundur. Variasi pada sudut orientasi oklusal juga harus diperhatikan. Klas II mempunyai sudut bidang oklusal yang curam sedangkan Klas III mempunyai sudut bidang oklusal yang datar.

  18 Selain itu, prevalensi Klas III lebih besar pada orang keturunan Asia. Hasil

  penelitian ini didukung oleh penelitian Ishii dkk., yang menunjukkan bahwa ras Jepang cenderung memiliki bentuk skeletal Klas III dibandingkan dengan ras Kaukasoid. Oklusi normal amat susah diperoleh karena retrognasi maksila dan

  22 prognasi mandibula.

2.3 Maloklusi Dental

  Pada maloklusi dental, susunan gigi dan variasi posisi gigi pada rahang menjadi pertimbangan sewaktu menentukan klasifikasi maloklusi dental. Klasifikasi yang paling umum dipakai untuk mengelompokkan maloklusi dental adalah klasifikasi Angle. Pada tahun 1907, Edward H Angle menciptakan suatu sistem klasifikasi berdasarkan relasi mesio distal gigi. Gigi-gigi yang dipakai sebagai titik referensi adalah gigi molar dan kaninus karena posisi gigi-gigi mempunyai reliabilitas

  2 tinggi sebagai titik referensi.

  Menurut Angle, gigi molar satu permanen maksila berperan sebagai kunci

  

2,23

  oklusi karena beberapa faktor, antara lain:

  1. Gigi molar satu permanen maksila merupakan gigi terbesar dalam rongga mulut.

  2. Posisi tetap pada rahang.

  3. Membantu dalam menentukan proporsi vertikal skeletal dan dental melalui panjang mahkota gigi.

  4. Waktu erupsi yang paling konsisten antara semua gigi-gigi permanen.

  5. Lebih sering menempati posisi normal pada lengkung rahang daripada gigi-gigi permanen lain karena gigi ini merupakan gigi permanen pertama yang erupsi.

  Setiap maloklusi Angle ditandai dengan karateristik tersendiri. Maloklusi Klas I Angle menunjukkan tonjol mesio bukal gigi molar satu permanen atas oklusi pada groove bukal gigi molar satu permanen bawah (neutroklusi). Maloklusi Klas II Angle, gigi molar satu mandibula beroklusi lebih ke distal daripada gigi molar satu maksila (distoklusi). Di samping itu, maloklusi Klas II Angle dibagi kepada dua divisi yaitu divisi 1 dan divisi 2. Divisi 1 ditandai dengan gigi-gigi insisivus atas proklinasi, overjet besar serta overbite yang dalam. Divisi 2 ditandai dengan gigi-gigi insisivus sentral yang memiliki inklinasi ke lingual dan gigi-gigi insisivus lateral yang tipping ke labial. Oleh karena itu akan terlihat overbite yang dalam pada bagian anterior rahang. Pada maloklusi Klas III Angle, gigi molar satu mandibula beroklusi

  2,12,14-16,23-25,28 lebih ke mesial daripada gigi molar satu maksila (mesioklusi).

  Penelitian Thilander dkk., dilakukan di negara Kolumbia mengenai prevalensi maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada sejumlah sampel sebanyak 4724 orang (umur 5-17 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88% memiliki anomali yang berbentuk ringan hingga parah. Separuh memiliki anomali oklusal (anomali sagital, tranversal dan vertikal), sepertiga memiliki diskrepansi ruang, seperlima memiliki anomali dental. Hasil pengamatan anomali oklusal menunjukkan bahwa prognasi maksila merupakan anomali sagital yang paling biasa ditemukan pada maloklusi Klas II Angle Divisi 1. Sebanyak 3,4% dari jumlah sampel ditemukan dengan overjet (>6 mm) dan 1,8% memiliki overbite yang ekstrem (>6 mm) sering dikaitkan dengan maloklusi Klas II Angle. Sebanyak 5,8% mempunyai crossbite

  26 anterior dan dikategorikan sebagai maloklusi Klas III Angle.

  Penelitian Johannsdottir dkk., membandingkan sekelompok anak-anak yang mempunyai Klas I Angle dengan sekelompok anak-anak yang mempunyai Klas II Angle. Hasil penelitian tidak menemukan adanya perbedaan pada prognasi maksila maupun pada panjang mandibula. Kelompok Klas II memiliki dimensi

  27

  basis krani lebih besar dan sudut basis krani lebih tumpul (90 ⁰-180⁰).

  Kelompok-kelompok maloklusi Klas I, Klas II dan Klas III Angle juga menggunakan analisis Bolton untuk melihat hubungan antara diskrepansi ukuran gigi dengan maloklusi dan memperoleh hasil bahwa terdapat korelasi antara nilai rasio keseluruhan analisis Bolton dengan besar overjet (p<0,001). Ukuran gigi-gigi maksila lebih besar dari gigi-gigi mandibula sehingga besar overjet bertambah. Maloklusi Klas III Angle menunjukkan nilai rasio keseluruhan Bolton paling tinggi, dan pada maloklusi Klas II Angle menunjukkan nilai rasio keseluruhan Bolton paling rendah. Hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kelompok-

  28 kelompok Klas I, II, dan III Angle.

2.4 Efek Maloklusi

  Maloklusi mempunyai banyak efek terhadap kesehatan rongga mulut seorang individu. Seperti yang dibicarakan sebelum ini, maloklusi mempunyai dampak terhadap jaringan periodonsium. Akibat dari susunan gigi yang tidak normal, akumulasi plak juga lebih mudah terjadi. Oleh karena itu, pada sampel maloklusi

  5

  berat terjadinya insidensi penyakit periodontal juga lebih berat. Selain masalah periodontal, maloklusi juga dapat menyebabkan rasa nyeri akibat trauma oklusal dan disfungsi sendi temporomandibula. Maloklusi juga mempunyai hubungan dengan

  3,29 karies gigi.

  Efek maloklusi yang paling jelas mengganggu seorang individu adalah gangguan estetis, baik pada maloklusi skeletal ataupun maloklusi dental. Wajah dan senyum seorang individu yang terlihat lebih jelek dapat memberi efek pada rasa percaya diri dan psikologi. Individu dengan estetis wajah dan senyum yang kurang baik karena maloklusi akan mengurangi aktivitas seperti membatasi senyuman dan menyembunyikan gigi, mereka juga khawatir akan persepsi orang lain terhadap wajah individu itu. Mayoritas individu tersebut merasakan bahwa maloklusi mempunyai efek yang kurang baik terhadap wajahnya dan secara psikologis akan merasa sedih,

  16,30 depresi dan merasa kurang percaya diri akibat dari maloklusi tersebut.

  Hasil penelitian Jung menyatakan bahwa ada keterkaitan antara maloklusi, jenis kelamin, dan rasa percaya diri dari seseorang. Pada anak perempuan, gigi berjejal pada daerah anterior mempunyai pengaruh terhadap rasa percaya diri seseorang. Setelah diberi perawatan ortodonti, rasa percaya diri meningkat. Anak perempuan yang mempunyai susunan gigi yang rapi serta profil ideal mempunyai rasa percaya diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan yang

  31 mempunyai gigi protrusi dan berjejal. Maloklusi juga mempunyai efek terhadap kualitas hidup. Pada subyek dengan maloklusi yang parah dilaporkan memiliki gejala seperti lesi-lesi oral yang lebih banyak pada rongga mulut dan mempunyai keterbatasan fungsional. Individu- individu ini juga memiliki kesejahteraan sosial dan emosional yang lebih rendah

  32

  berbanding dengan individu-individu yang mempunyai oklusi yang baik. Masood dkk., menggunakan kuesioner (Oral Health Impact Profile-14) pada sejumlah sampel sebanyak 323 orang umur 15 tahun sampai 25 tahun untuk mengkaji hubungan kesehatan rongga mulut terhadap kualitas hidup subyek dan didapat bahwa maloklusi mempunyai efek negatif terhadap kualitas hidup, tetapi dampaknya berkurang dengan bertambahnya umur. Individu yang mempunyai maloklusi dapat beradaptasi dengan limitasi yang diakibatkan oleh maloklusi. Maloklusi mempunyai prevalensi yang tinggi dan kesehatan rongga mulut sering terpengaruh oleh maloklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa maloklusi mempunyai dampak terhadap kualitas

  33 hidup dan merupakan aspek yang paling berpengaruh terhadap psikologi.

2.5 Etiologi Maloklusi

  Maloklusi dapat terjadi karena beberapa faktor namun secara umum etiologi maloklusi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Seorang ortodontis harus dapat menyingkirkan faktor etiologi yang menyebabkan maloklusi. Maloklusi itu dapat dihindari dengan tindakan preventif atau interseptif

  2,12,15,16 asalkan pada waktu yang tepat.

  Perkembangan kraniofasial kompleks dan oklusi yang normal merupakan hasil interaksi antara beberapa faktor seperti lingkungan (dentoalveolar, skeletal dan

  2,35

  neuromuskular) dengan genetik. Kebiasaan mengisap dapat mempengaruhi pertumbuhan kraniofasial kompleks. Efek mengisap ASI dan efek mengisap susu dari botol mempunyai pengaruh berbeda pada pertumbuhan kraniofasial kompleks bayi. Mengisap secara non nutritif mempunyai efek negatif pada pertumbuhan kraniofasial sehingga dapat menimbulkan masalah seperti open bite anterior, crossbite posterior dan penambahan besar overjet. Efek pada masa depan akan menyebabkan malokusi dalam arah vertikal. Penelitian oleh Montaldo dkk., juga menunjukkan adanya

  35,36 hubungan antara relasi molar Klas II dengan mengisap secara non nutritif.

  Kelainan pada genetik seorang individu dapat mempengaruhi pertumbuhan rahangnya. Kelainan poligenik seperti maloklusi Klas III sering diduga sebagai hasil antara interaksi faktor lingkungan dengan gen. Di samping itu, maloklusi Klas III dapat juga diwariskan kepada keturunannya dalam bentuk poligenik. Malah terdapat beberapa jenis gen yang mempengaruhi pertumbuhan kondilus yang berlebih

  37

  sehingga terjadi prognasi mandibula. Terdapat literatur yang menunjukkan sebab terjadinya maloklusi karena sifat herediter yang diturunkan. Pada kasus maloklusi yang ekstrem, maloklusi karena faktor herediter dapat diprediksi jika ditemukan tidak adanya pengaruh dari trauma ataupun infeksi awal pada pusat pertumbuhan

  38 kondilus.

  Perkembangan skeletal wajah mempunyai hubungan dengan postur kranioservikal. Penelitian Solow dkk., menunjukkan sebuah pola asosiasi yang jelas kelihatan pada crowding anterior dengan sudut kranioservikal, terlihat bahwa sampel dengan kekurangan ruang sebanyak 2 mm atau lebih mempunyai sudut kranioservikal yang lebih besar dari sampel tanpa crowding anterior. Pada sampel yang mempunyai maloklusi Klas II Angle akan terlihat sudut kranioservikal lebih kecil dibandingkan

  24

  sampel dengan oklusi normal. Penelitian Meibodi dkk., menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara maloklusi skeletal dengan anomali vertebra servikal. Insidensi kelainan kranioservikal adalah tinggi pada individu yang mempunyai maloklusi skeletal Klas III dan diduga bahwa kelainan pada postur kranioservikal adalah karena pengaruh dari genetik. Oleh karena itu, penelitian mengenai pembentukan dan perkembangan kepala dan leher pada waktu embrio dan janin harus

  39 dilakukan untuk memahami hubungan ini.

  Graber mengelompokkan faktor etiologi maloklusi menjadi faktor umum dan lokal. Faktor umum dapat berupa kongenital, herediter, lingkungan, malnutrisi, kebiasaan jelek, postur, trauma dan penyakit. Sedangkan faktor lokal dapat berupa anomali bentuk gigi, anomali ukuran gigi, anomali bilangan gigi, labial frenum yang abnormal, kehilangan gigi awal prematur, lambatnya erupsi gigi permanen, karies gigi, dan jalur erupsi gigi abnormal. Faktor umum akan mempengaruhi seluruh pertumbuhan badan hingga efek lain terlihat pada struktur dentofasial dan faktor lokal akan menghasilkan suatu efek lokal yang mempengaruhi susunan gigi. Namun tidak hanya satu faktor saja yang dapat mempengaruhi terjadinya maloklusi, tetapi pada penelitian-penelitian yang dilakukan sebelum ini membuktikan bahwa etiologi maloklusi tidak hanya tergantung pada satu faktor tetapi merupakan kombinasi antara dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Oleh karena itu, hampir semua kasus maloklusi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan hasil dari

  1,2,12,15,16,34 etiologi yang multifaktorial.

2.6 Indeks Maloklusi

  Sebelum perawatan ortodonti dapat dilakukan, seorang dokter gigi harus dapat mengukur keparahan maloklusi yang diderita seorang pasien. Para ortodontis telah menciptakan suatu skala penilaian untuk menentukan derjat keparahan suatu kasus ortodonti. Berdasarkan metode yang digunakan untuk mengukur dan merekam derjat keparahan maloklusi, dapat dibagi menjadi dua metode yaitu kualitatif dan

  6,34 kuantitatif.

  Dengan adanya skala penilaian untuk mengukur keparahan maloklusi, satu populasi dapat dibandingkan keparahan dan prevalensi maloklusinya dengan populasi lainnya. Selain itu, data yang diperoleh juga dapat digunakan untuk penelitian epidemiologi, perencanaan perawatan dan digunakan pada waktu melatih para dokter

  1,6 PPDGS.

  Keparahan maloklusi yang diderita oleh seorang pasien amat sukar untuk ditentukan. Oleh karena itu, kebutuhan perawatan seorang pasien itu turut terpengaruh dan susah ditentukan. Hal ini dikarenakan penentuan maloklusi itu bersifat subjektif dan tergantung oleh persepsi masing-masing ortodontis. Akibatnya tidak ada satupun indeks dapat yang menjadi standar dalam menentukan maloklusi. Setiap ortodontis dapat memilih menggunakan salah satu indeks mengikut kebutuhan

  1,2,6 yang berbeda.

2.6.1 Metode Kualitatif

  Metode yang paling awal dalam menentukan maloklusi pada bidang kedokteran gigi adalah metode kualitatif. Metode ini tidak dapat memberi informasi tentang kebutuhan perawatan dan hasil perawatan karena metode ini bersifat deskriptif. Pada metode-metode kualitatif sebelumnya hanya beberapa gejala maloklusi dipilih untuk direkam, tetapi kemudiannya diubah untuk mengelompokkan

  1,6,34 gejala-gejala maloklusi berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

  Metode kualitatif yang paling awal dan masih sering digunakan sampai sekarang adalah metode Angle. Metode ini amat mudah digunakan karena klasifikasinya hanya berdasarkan relasi mesio distal gigi dengan gigi molar satu atas permanen sebagai panduan dalam menentukan oklusi. Namun demikian, hubungan antara gigi dengan wajah tidak diperhitungkan dalam metode Angle karena metode ini hanya menentukan hubungan oklusi dari arah mesio distal pada bidang sagital, sedangkan maloklusi merupakan sebuah masalah yang terjadi dalam bidang tiga dimensi. Selain itu juga, kesalahan antara pemeriksa sering kali terjadi ketika menggunakan metode Angle, karena penentuan maloklusi tergantung oleh sudut

  1,2,6,23,25 pandang dan pemahaman masing-masing pemeriksa.

  Dari metode Angle, metode-metode kualitatif lain turut dikembangkan untuk mengukur dan menentukan keparahan maloklusi. Bjork dkk., mengembangkan sebuah metode untuk mengukur maloklusi dengan mengidentifikasi gejala-gejala maloklusi secara terperinci. Data yang diperoleh akan dianalisa dalam 3 bagian yaitu anomali oklusal, anomali pada gigi, dan deviasi pada kondisi ruang. Pada tahun 1979, WHO/FDI telah memodifikasikan metode Bjork dkk., dan didapatkan 5 masalah yaitu anomali, kondisi ruang, oklusi, kondisi gigi dan kebutuhan perawatan ortodonti.

  1,6,26

  Malah prevalensi maloklusi dapat ditentukan melalui metode ini. Ringkasan tentang metode-metode kualitatif yang pernah digunakan ditampilkan dalam Tabel 1.

  Tabel 1. Metode-metode kualitatif dan cara mengklasifikasi maloklusi menurut

  6,26

  masing-masing metode

  Metode Cara Klasifikasi Angle Relasi mesio distal gigi molar satu atas permanen dengan gigi molar permanen bawah.

  Fisk Pasien dibagi mengikut umur dental masing-masing.

  Setelah itu dicatat maloklusi terjadi pada arah mesio distal, vertikal, dan transversal.

  Bjork dkk Gejala-gejala maloklusi diidentifikasi berdasarkan definisi yang rinci yaitu anomali oklusal, anomali gigi, dan deviasi kondisi ruang.

  

Proffit dan Ackerman Maloklusi ditentukan melalui 5 langkah yaitu susunan gigi,

profil, gigitan silang, klasifikasi Angle dan kedalaman gigitan.

  WHO/FDI Dicatat 5 perkara yaitu anomali, kondisi ruang, oklusi, kondisi gigi dan kebutuhan perawatan ortodonti.

2.6.2 Metode Kuantitatif

  Metode kualitatif memiliki beberapa kelemahan seperti tidak dapat memberikan informasi mengenai kebutuhan perawatan dan hasil perawatan. Analisa maloklusi menggunakan metode kualitatif hanya bersifat deskriptif dan tidak mencerminkan keparahan maloklusi yang dialami oleh pasien atau prevalensi maloklusi pada satu populasi. Oleh karena itu, ortodontis menciptakan skala penilaian

  1 menggunakan metode kuantitatif.

  Pada metode kuantitatif, keparahan maloklusi dapat diukur. Sewaktu menentukan jumlah insidensi dan prevalensi maloklusi pada sebuah populasi yang diteliti, metode kuantitatif dapat digunakan dengan menghitung jumlah gigi yang mengalami rotasi dan malposisi. Vankirk dkk., menciptakan sebuah index pada tahun 1959 untuk mengukur keparahan rotasi dan malposisi yang dikenal sebagai

  

Handicapping Labiolingual Deviation Index (HLDI). HLDI diciptakan untuk

membedakan handicapping malocclusion dengan non handicapping malocclusion.

  Hasil distrubusi skor dari indeks ini amat membingungkan para ortodontis karena skor handicapping malocclusion dan skor non hadicapping malocclusion sering

  6 bertumpang tindih sehingga jenis maloklusi tidak dapat dibedakan.

  Terdapat juga beberapa jenis metode kuantitatif yang mengidentifasikan tipe maloklusi dengan kebutuhan perawatan ortodonti. Pada tahun 1987, Cons menciptakan sebuah indeks yang dikenal sebagai Dental Aesthetic Index (DAI) dan diterima untuk digunakan para ortodontis di seluruh dunia. Indeks ini menggabungkan 2 komponen yaitu gejala-gejala maloklusi yang ada dan persepsi masyarakat umum tentang estetis dental untuk memberikan sebuah skor dan dari skor ini kebutuhan perawatan ortodonti dapat ditentukan oleh ortodontis. DAI terdiri dari beberapa komponen yaitu jumlah gigi yang hilang, incisal segment crowding, incisal

  

segment spacing, midline diastema, maxillary anterior irregularity, mandibular

anterior irregularity, maxillary overjet, mandibular overjet, vertical anterior open

bite , dan relasi anteroposterior gigi molar. Setiap komponen ini diamati dan skor

  diberi pada setiap komponen yang kemudian akan dihitung untuk mendapat jumlah skor. Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, keparahan maloklusi dapat dibagi kepada 4 kelompok yaitu normal (tidak membutuhkan perawatan), maloklusi (perawatan elektif dilakukan), maloklusi parah (membutuhkan perawatan), dan

  6,34,40,41 maloklusi yang amat parah (amat membutuhkan perawatan).

  Indeks DAI juga mempunyai beberapa keuntungan. Persepsi pasien akan kebutuhan perawatan dipertimbangkan karena kepuasan dari perbaikan fungsi dan estetis amat bernilai setelah dilakukan perawatan. Selain itu, indeks ini dapat diaplikasikan langsung pada pasien dan indeks ini secara kuantitatif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan perawatan ortodonti. Perawat dapat dilatih untuk penggunaan metode ini sehingga dapat menghemat waktu dan biaya seorang

  6,34 ortodontis. Indeks DAI mempunyai beberapa kekurangan. Indeks ini tidak dapat mengidentifikasi kasus open bite, deepbite, buccal crossbite, dan diskrepansi midline. Indeks ini diciptakan hanya untuk mengukur keparahan maloklusi pada pasien dalam fase gigi permanen. Oleh karena itu, indeks ini tidak dapat digunakan pada pasien

  6 dalam fase gigi bercampur.

  Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) dan Index of Complexity,

Outcome and Need (ICON) merupakan 2 metode kuantitatif yang sering digunakan

  untuk menentukan keparahan maloklusi oleh para ortodontis. ICON diciptakan dari hasil pendapat 97 pakar orang ortodontis dari 9 negara berbeda. Skala ini membantu ortodontis dalam mengevaluasi kompleksitas, keberhasilan dan kebutuhan pada kasus secara kuantitatif. Metode ini amat mudah untuk digunakan serta menghemat waktu dan biaya. Hal ini karena pengukuran dilakukan paling lama 1 menit pada model studi dengan menggunakan skala komponen estetis dan penggaris biasa. Kebutuhan perawatan dan kompleksitas kasus merupakan dua komponen yang terpisah. Kebutuhan perawatan dibagi 2 kelompok yaitu tidak membutuhkan perawatan dan membutuhkan perawatan. Kompleksitas kasus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu

  6,16,41,42 mudah, ringan, sedang, susah, dan amat susah.

2.7 Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN)

  Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) merupakan salah satu metode

  kuantitatif yang digunakan oleh para ortdontis untuk mengukur efek anomali dental yang berbeda terhadap kesehatan rongga mulut dan masalah estetis yang diakibatkan oleh maloklusi. Metode ini bertujuan mengidentifikasi pasien yang membutuhkan perawatan ortodonti serta bertujuan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari perawatan ortodonti. IOTN pertama kali diciptakan pada tahun 1989 oleh Brook dan Shaw. Metode ini telah mendapat pengakuan internasional sebagai salah satu metode penilaian kuantitatif standar dalam menentukan kebutuhan perawatan ortodonti karena indeks ini mempunyai reliabilitas tinggi, mudah untuk digunakan, dan

  6,14-16,33,34 valid .

  IOTN terbagi menjadi 2 komponen yaitu Dental Health Component (DHC) dan Aesthetic Component (AC). Model studi diukur dengan penggaris oleh ortodontis dalam membuat penilaian visual maloklusi pasien. Dental Health Component terbagi atas 5 tingkat dan komponen-komponen ini memiliki beberapa ciri-ciri oklusi akan dinilai yaitu overbite, overjet, reverse overjet, gigitan terbuka, gigi berjejal, gigitan silang dan sebagainya. Pada setiap model gigi akan diberikan skor. Skor yang tertinggi akan menentukan kebutuhan perawatan ortodonti. Ciri khas yang merupakan kriteria untuk tingkat DHC tertinggi dicari terlebih dahulu. Pemeriksaan model gigi dilakukan dengan cara yang sistematis yaitu dimulai dengan memeriksa ada atau tidaknya missing teeth, besarnya overjet, crossbite, malposisi titik kontak gigi, dan

  6-9,14-16,33,34

  besarnya overbite. Masing-masing tingkat DHC mempunyai kriteria tersendiri (Tabel 2) dan DHC dikelompokkan dari tingkat (Grade) 1 sampai 5 (Tabel 3).

  Aesthetic Component (AC) terdapat 10 skala foto berwarna yang

  menunjukkan tingkat estetis gigi yang berbeda dimulai dari angka 1 yang menunjukkan estetis yang paling bagus sampai pada angka 10 menunjukkan estetis yang paling jelek. Foto gigi anterior pasien akan diambil oleh ortodontis dan dibandingkan dengan 10 skala foto berwarna. Kebutuhan perawatan dikelompokkan

  6,7,9,14-16,42,43 berdasarkan masing-masing angka (Tabel 4).

  Penggunaan IOTN telah banyak membantu ortodontis dalam memudahkan pekerjaan di klinik. IOTN mempunyai dua komponen sehingga para ortodontis dapat mengidentifikasi kasus-kasus yang membutuhkan perawatan lebih obyektif dan menghemat waktu dalam perawatan suatu kasus. Ortodontis cenderung menggunakan

  IOTN karena indeks ini mempunyai validitas yang tinggi dengan nilai Kappa yang tinggi dan telah dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelum ini (cit. Burden,

  6,7,34 Burden dkk., dan Shaw).

  Tingkat IOTN juga dapat memberi gambaran tentang pasien yang akan dirawat oleh ortodontis. Pasien yang mempunyai skor IOTN yang tinggi biasanya mempunyai masalah psikologi serta kualitas hidup yang kurang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Mandall dkk., menunjukkan bahwa anak-anak yang mempunyai skor AC IOTN yang tinggi sering mempunyai persepsi buruk akan estetis gigi mereka

  43 walaupun sudah menerima perawatan.

  Metode ini juga mempunyai kelemahan tersendiri. Kebutuhan perawatan

  

Dental Health Component dan Aesthethic Component masing-masing dikelompokkan

  kepada 3 yaitu tidak diperlukan perawatan ortodonti, kasus-kasus borderline, dan amat memerlukan perawatan ortodonti. Oleh karena itu, metode ini tidak dapat membedakan tahap kebutuhan perawatan dengan lebih spesifik di dalam masing- masing tingkat. Indeks ini juga kurang sensitif dalam mengukur gejala-gejala maloklusi ringan. Gejala-gejala maloklusi ringan ini dapat mempengaruhi bentuk

  6,33 wajah seseorang. Tabel 2. Kriteria bagi masing-masing tingkat (Grade) Dental Health Component

  6,14-16,34

  (DHC) IOTN

  Tingkat (Grade) DHC Kriteria Tingkat 5 i.

  Overjet >9 mm. ii.

  Hipodonsia luas dengan implikasi restoratif (lebih dari satu gigi yang hilang dalam kuadran) membutuhkan perawatan ortodontik prarestoratif. iii.

  Erupsi gigi terhambat (dengan pengecualian molar ketiga) karena crowding, perpindahan. iv.

  Supernumerary teeth, reverse overjet >3,5 mm dengan kesulitan pengunyahan dan berbicara. v.

  

Cacat bibir sumbing dan langit-langit.

Tingkat 4 i.

  Overjet >6 mm tapi ≤9 mm. ii.

  Reverse overjet >3,5 mm tanpa kesulitan pengunyahan atau kesulitan berbicara. iii.

  Crossbite anterior atau posterior dengan >2 mm perbedaan antara posisi kontak retrusi dan posisi interkuspal. iv.

  Malposisi gigi parah >4 mm. v.

  Open bite anterior >4 mm. vi.

  Peningkatan overbite dan lengkap dengan trauma gingiva atau trauma palatal. vii. dan memerlukan perawatan ortodontik Hipodonsia prarestoratif atau penutupan ruang ortodontik. (1 gigi hilang dalam kuadran) viii.

  Crossbite lingual posterior tanpa kontak oklusal fungsional dalam satu atau kedua segmen bukal. ix.

  Reverse overjet >1 mm tapi ≤3,5 mm dengan kesulitan

pengunyahan dan kesulitan berbicara.

x.

  Gigi erupsi parsial, tipping dan impaksi dengan gigi yang berdekatan. xi.

   Supplemental teeth.

  Tingkat (Grade) DHC Kriteria Tingkat 3 i.

  Open bite anterior atau posterior >1 mm tapi ≤2 mm. vi.

  9,14-16,34 Angka Kebutuhan Perawatan

  Tabel 4. Aesthetic Component (AC)

  3 Kasus-kasus borderline

4-5 Paling membutuhkan perawatan ortodonti

  

1-2 Tidak membutuhkan perawatan ortodonti

  7,14-16,34,42 Tingkat (Grade) Kebutuhan Perawatan

  Tabel 3. Dental Health Component (DHC)

  Maloklusi minimal dengan malposisi gigi <1 mm.

  Peningkatan overbite ≥3,5 mm tanpa kontak gingiva. Tingkat 1 i.

  

Malposisi gigi >1 mm tapi ≤2 mm.

v.

  Overjet >3,5 mm tapi ≤6 mm dengan bibir tidak kompeten. ii.

  Crossbite anterior atau posterior dengan ≤1 mm perbedaan a ntara posisi kontak retrusi dan posisi interkuspal. iv.

  

Reverse overjet >0 mm tapi ≤1 mm.

iii.

  Overjet >3,5 mm tapi ≤6 mm dengan bibir yang kompeten. ii.

  Tingkat 2 i.

   Peningkatan atau overbite komplit tanpa trauma gingiva atau

trauma palatal.

  

Open bite anterior >2 mm tapi ≤4 mm.

vi.

  

Malposisi gigi >2 mm tapi ≤4 mm.

v.

  Crossbite anterior atau posterior dengan >1 mm tapi ≤2 mm perbedaan antara posisi kontak retrusi dan posisi interkuspal. iv.

  Reverse overjet > dari 1 mm tapi ≤3,5 mm. iii.

  

1-4 Tidak membutuhkan perawatan ortodonti 5-7 Kasus-kasus borderline

8-10 Paling membutuhkan perawatan ortodonti Gambar 1. Aesthetic Component IOTN, angka 1 menunjukkan estetis paling baik dan angka 10 menunjukkan estetis

  7,8,14 paling jelek.

2.8 Kerangka Teori

  Oklusi Maloklusi

Maloklusi Dental Efek / Maloklusi

Etiologi Maloklusi Skeletal

  Klas I Indeks Maloklusi

  Klas II Klas III Universitas Metode Metode

  DAI Angle Sumatera

  ICON Fisk AC

  Utara

IOTN DHC

2.9 Kerangka Konsep

  Maloklusi Skeletal Klas II Skeletal Klas I Skeletal

  Klas III Skeletal Tingkat Dental Health Component

  (DHC) IOTN

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Telur Ayam Ras di Kota Pematangsiantar

0 0 14

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Telur Ayam Ras di Kota Pematangsiantar

0 1 11

1 LKj Biro Perencanaan dan Anggaran Tahun 2016

0 0 33

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Periodontal - Pengaruh Susu Probiotik Terhadap Akumulasi Plak Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Angkatan 2010

0 0 12

Pengaruh Susu Probiotik Terhadap Akumulasi Plak Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Angkatan 2010

0 0 14

BAB II DASAR TEORI 2.1 Umum - Studi Perancangan Jaringan Wireless Fidelity (Wi-Fi) Menggunakan Model Propagasi Radio di Kantor Bappeda Kabupaten Simeulue

1 1 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent - Tingkat Pengetahuan Dan Tindakan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Bedah Mulut Rsgmp Usu Tentang Informed Consent Untuk Pencabutan Gigi Posterior Mandibula

0 0 9

TINGKAT PENGETAHUAN DAN TINDAKAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK BEDAH MULUT RSGMP USU TENTANG INFORMED CONSENT UNTUK PENCABUTAN GIGI POSTERIOR MANDIBULA SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Ekstrak Kulit Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia (Chrism.) Swingle) Terhadap Bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans Secara In Vitro

0 0 8

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengenalan Antena - Studi Antena J-Pole untuk Penguatan Sinyal Global System for Mobile Frekuensi 900MHz dan 1800 MHz

0 1 20