Dialog Antara Papua dan Jakarta Mitos at

Opini di Papua Pos, 8-5-2015
Dialog Antara Papua dan Jakarta: Mitos atau Realitas?
Ridwan al-Makassary
Rencana kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyeruakkan isu dialog Papua
Jakarta yang sempat menjadi wacana ketika kedatangan Jokowi pada natal yang lalu. Tidak
diragukan, sejauh ini, tuntutan dialog antara Papua dan Jakarta kencang disuarakan.
Menurut hemat penulis, bagaimana konsep dialog yang diawarkan presiden Jokowi atau
juga yang diperjuangkan Jaringan Damai Papua (JDP), namun di sebalik gagasan tersebut, tersimpan
beberapa mitos yang tampaknya diyakini sebagai realitas oleh sebagian anak bangsa, terutama yang
meyakini NKRI adalah pilihan final bagi bangsa Indonesia da
erdeka adalah harga mati.
Tugas kita untuk membedah dan mendiskusikan secara kritis pelbagai mitos tersebut untuk
secara jernih menyimpulkan sendiri perlu atau tidaknya dialog Jakarta- Papua untuk Papua Tanah
Damai (PTD).
Pertama, dialog dicurigai sebagai sebuah cara yang bermartabat untuk mencapai
kemerdekaan Papua. Kecurigaan ini didasari oleh prasangka bahwa muara dari dialog ini adalah
Papua merdeka. Ini karena dialog lebih banyak disuarakan oleh orang Papua asli dan pelbagai NGO
yang komit pada hak asasi manusia, dengan mengenyampingkan Neles Tebay yang tampaknya tulus
melakukannya. Dengan kata lain, ketika tuntutan dialog lebih kuat disuarakan oleh sekelompok
golongan tertentu dan tidak mencerminkan suara kebatinan masyarakat umum melampaui agama,
etnik dan ras wacana, pada titik ini dialog bisa dicurigai sebagai kendaraan politik untuk

memperjuangkan Papua merdeka. Persepsi ini tampaknya berlaku bagi sebagian orang yang pro
pada kesatuan negara republik Indonesia yang konsekuensinya tidak rela ada dialog Jakarta-Papua.
Kedua, terkait dengan poin yang pertama di atas, siapa saja yang akan mewakili Papua di
dialog yang digadang-gadang tersebut? Adalah kenyataan bahwa terdapat 250 etnik (puak/bangsa)
Papua dengan derivasi bahasanya yang berbeda-beda yang mendiami tanah Papua. Tampaknya
pelbagai etnik di Papua juga tidak sepenuhnya bersatu, tidak adanya pemimpin kharismatik yang
benar-benar bisa dipandang sebagai pemimpin Papua dewasa ini. Kasus fragmentasi pendukung
kamp pantai dan kamp gunung paska pilgub di Papua tampaknya menjadi bukti adanya lubang hitam
untuk kesatuan Papua, di mana Papua sendiri samasekali tidak bisa dikatakan sesuatu yang
homogen. Belum lagi, generasi muda yang lahir dari perkawinan campuran, yang tergabung dalam
militer dan polri, dan putra veteran Papua. Dengan kata lain, dialog internal Papua akan jauh lebih
sulit terwujud karena fragmentasi dan friksi yang tajam dibanding dengan dialog dengan Jakarta.
Rencana Kongres Rakyat Papua awal Agustus 2015 adalah batu ujian sesungguhnya sebelum tiba
pada dialog Jakarta-Papua.
Ketiga, wacana Papua Tanah Damai (PTD) yang disosialisasikan oleh JDP dengan sepuluh
indikatornya, terutama indikator terakhir tentang kebebasan melahirkan dilema. Ada dua hal yang
mesti diklarifikasi di sini. Pertama, PTD oleh JDP sedikit berbeda dengan apa yang diperjuangkan
oleh FKUB/FKPPA di Papua. Kenyataan ini terungkap dalam acara silaturahmi di Bali jaringan antar
iman besutan Dian Interfidei Yogyakarta. Bagi FKUB/FKPPA lebih fokus pada PTD sebagai sebuah visi
dan cenderung tidak menekuni jalur politis. Sebaliknya JDP tampaknya lebih strategik dan politik.


Meski secara personal beberapa individu FKUB/FKPPA dilibatkan dalam kegiatan JDP, namun hemat
penulis sejauh ini tidak ada dukungan resmi atau suara FKUB/FKPPA untuk mendukung dialog
Jakarta-Papua. Uniknya, Neles Tebay pembesut JDP juga merupakan pengurus dari FKPPA.
Sementara saya sendiri lebih memposisikan diri sebagai akademisi yang akan bersikap kritis untuk
perdamaian di Papua. Juga, indikator kebebasan pada indikator Papua Tanah Damai JDP bisa jadi
sangat berkonotasi dengan pengertian self determinaton yang mungkin akan dipahami secara alergi
oleh pihak pemerintah Indonesia dan orang yang mencintai NKRI. Pada ujungnya, apakah perlu
dukungan FKUB/FKPPA untuk ide dialog Jakarta-Papua adalah hal yang mesti dikaji lebih jauh,
mengingat peran tokoh agama/adat yang determinan di Papua. Juga, apa penafsiran kebebasan
yang dimaksud oleh JDP.
Keempat, konten atau isu dialog, dengan asal usul pendanaan yang masih berkabut misteri.
Ini hal yang paling krusial. Apa isi dialog, menyangkut materi-materi apa yang hendak didiskusikan
kedua belah pihak. Penyelesaian seperti apa yang ditawarkan, apakah otonomi khusus yang
diperbaharui, referendum, atau merdeka. Hal ini juga mesti lebih disosialisasikan untuk mengikis
kecurigaan bahwa agenda dialog berbalut kepentingan politis tertentu, terutama juga ketidaktahuan
tentang alokasi dana yang diperoleh untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan tersebut. Semoga ada
audit yang terpercaya untuk dana JDP, karena kecurigaan akan kepentingan donor dibalik
pengucuran dana untuk kegiatan tersebut. Setidaknya, agenda dan konten dialog mesti dirumuskan
dan bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Ini pekerjaan yang butuh waktu dan

ketahanan berlebih untuk melakukannya.
Kelima, fasilitator adalah masalah yang juga penting. Siapa yang akan menjadi fasilitator
yang benar-benar imparsial dan netral. JDP tampaknya sedang bergerak dari penyuara isu dialog
dengan seabrek kegiatan yang masih berjalan, menjadi fasilitator. Mampukah JDP diterima kedua
belah pihak adalah pertanyaan penting dan bagaimana meyakinkan publik bahwa JDP sebagai
fasilitator berdiri di atas kepentingan kedua belah pihak. Mencari fasilitator dari pihak luar yang
mungkin netral juga sebuah pilihan, namun hal terakhir mungkin bisa jadi batu sandungan
terwujudnya dialog, karena konotasi adanya dua pihak yang sangat ekual yang mungkin tidak bisa
diterima Jakarta.
Keenam, dialog seperti apa ya g dikehe daki pak Jokowi. Kesalaha ya g dilakuka
presiden BJ. Habibie dengan memberikan referendum pada East Timor telah melahirkan efek
domino dan menumbuhkan gelombang gerakan separatisme yang hampir membuat Indonesia
e jadi Balka kedua ya g terpe ah elah . “e agai se uah egara ya g erdaulat, seperti ha pir
semua negara berdaulat yang eksis tampaknya Indonesia belum beranjak dari penganut realisme
klasik yang menempatkan kedaulatan nasional di atas segala-galanya. Adalah penting untuk melihat
dialog seperti apa yang akan ditawarkan oleh Jokowi, atau konsep macam apa yang diajukan oleh
JDP. Prediksi saya Jokowi tetap akan mementingkan kedaulatan nasional, dengan kebijakan yang
akan lebih memberi perhatian pada ideologi pembangunan dan kesejahteraan untuk menyelesaikan
masalah Papua. Misalnya, rencana pembangunan koridor kereta api dari Sorong dan Manokwari,
da se elu ya pe eria hadiah uat pe duduk kota Jayapura. Apakah aka ada dialog JakartaPapua pada masa Jokowi pengadilan waktulah yang akan menjawab.

Terlepas dari pelbagai mitos yang menaungi kompleksitas rencana Dialog Jakarta-Papua,
terdapat beberapa prinsip dialog yang mesti diyakini sebagai sebuah aturan bersama (golden rule)

jika dialog tersebut ingin diwujudkan, yaitu ekualitas pihak yang berdialog, hubungan yang
mutualistik (reciprocity), tidak adanya judgment dan truth claim, dan siap untuk menghadirkan
keputusan bersama relatif yang diterima kedua belah pihak. Prinsip terakhir ini akan menjadi
pembeda apakah sebuah dialog bisa produktif atau kontraproduktif, karena dua posisi yang saling
berdiri di kutub diametral tampaknya sulit didamaikan jika keduanya kukuh dengan ideologi
erdeka da NKRI , ke uali ada win-win solution yang bisa disepakati bersama. Singkatnya,
dialog menghendaki common grounds, ada memberi dan menerima. Tidak ada pihak yang kalah dan
menang. Siapkah kedua belah pihak dengan konsekuensi begitu?
Dialog menurut saya penting, sepanjang dialog bertujuan menghasilkan common grounds
dan win-win solution. Karena kalau ada pihak yang dirugikan itu bukan substansi dialog.
Penulis: Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua dan alumni Kelas 18 di Rotary Peace
Center di Chulalongkorn University.