Zonasi Potensi Bahaya dan Resiko Gerakan

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-2 TEKNIK GEOLOGI

TUGAS AKHIR
Matakuliah Analisis Data Spasial
Zonasi Potensi Bahaya dan Resiko Gerakan Massa
di Kecamatan Pundong, Imogiri, dan Dlingo,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Dengan Motode Analytical Hierrarchy Process (AHP)

Diajukan Oleh:
Karlina Triana
12/339143/PTK/8300

YOGYAKARTA
2013

I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kecamatan Pundong, Imogiri, dan Dlingo

merupakan kecamatan yang berada di

Kabupaten Bantul Provinsi D.I.Yogyakarta yang berpotensi terhadap gerakan tanah dan
batuan. Sebagian wilayah ini berada di kaki Gunungapi Merapi dan morfologinya didominasi
oleh daerah berbukit dengan lapisan tanah yang subur dan relatif tebal. Di samping itu,
Kabupaten Bantul dilewati oleh beberapa sesar mayor dan sangat rentan dengan bahaya
geologi. Kondisi ini sangat memungkinkan menjadi penyebab gerakan tanah dan batuan
yang sering kali terjadi pada lokasi penelitian.
Menurut Kepala Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD) Dwi Daryanto, terdapat
11 desa yang rawan akan bencana longsor di Kabupaten Bantul. Desa Selopamioro, Desa
Sriharjo, Desa Mangunan, Desa Muntuk, Desa Girirejo, Desa Karangtengah, dan Desa
Seloharjo yang merupakan area penelitian kali ini termasuk dalam 11 desa yang disebutkan di
atas. Kejadian tanah longsor terus berulang hampir setiap tahunnya di daerah-daerah tersebut
dan menimbulkan kerugian secara fisik, sosial, dan ekonomi. Gerakan massa yang terjadi di
awal tahun 2013 pada Desa Sriharjo Kecamatan Imogiri mengakibatkan sedikitnya 11 Kepala
Keluarga (KK) dengan 36 jiwa harus diungsikan. Lebar tebing yang longsor mencapai 30
meter dengan ketinggian 45 meter, kerugian ditaksir mencapai 70 juta rupiah.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang zonasi wilayah yang memiliki

potensi bahaya terjadinya gerakan massa, dan wilayah yang memiliki resiko kerugian secara
fisik maupun sosial ekonomi akibat bencana longsor. Penelitian dilakukan di Kecamatan
Pundong, Kecamatan Imogiri, dan Kecamtan Dlingo yang merupakan wilyah terpadat di
Kabupaten Bantul.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang perlu untuk diteliti adalah:
1.

Wilayah mana saja yang memiliki potensi bahaya terjadinya gerakan tanah dan batuan
pada lokasi penelitian?

2.

Wilayah mana saja yang memiliki resiko kerugian secara fisik maupun sosial akibat
potensi bencana yang dapat terjadi pada lokasi penelitian?

2

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daerah-daerah yang memiliki
potensi bahaya terjadinya gerakan tanah dan batuan, dan juga untuk menentukan daerahdaerah yang memiliki resiko kerugian secara fisik maupun sosial ekonomi akibat potensi
bencana yang dapat terjadi pada lokasi penelitian.

1.4. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Seloharjo, Desa Girirejo, dan Desa Karang Tengah di
Kecamatan Pundong, Desa Selopamioro dan Desa Sriharjo di Kecamatan Imogiri, dan Desa
Mangunan dan Desa Muntuk di Kecamatan Dlingo. Area penelitian berada di Kabupaten
Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta dengan luas area 69 km2. Lokasi penelitian secara lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar 1.1.

1.5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang akan dilakukan, diharapkan dapat diketahui daerah-daerah
yang memiliki potensi bahaya terjadinya gerakan tanah dan batuan, dan juga daerah-daerah
yang memiliki resiko kerugian secara fisik maupun sosial ekonomi akibat potensi bencana
yang dapat terjadi pada lokasi penelitian. Selanjutnya dapat dilakukan penyampaian arahan
rekomendasi dalam mitigasi penanggulangan gerakan tanah dan batuan di lokasi penelitian.
Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat diterapkan pada daerah lain yang
memiliki kemiripan kondisi geologi seperti pada daerah penelitian.


1.6. Batasan Penelitian
Beberapa hal yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1.

Parameter bahaya yang dijadikan pertimbangan dalam pembobotan adalah faktor
kemiringan lereng, jarak dari struktur, curah hujan, litologi, kerapatan vegetasi, dan
tekstur butiran.

2.

Parameter resiko yang dijadikan pertimbangan dalam pembobotan adalah total
populasi tiap desa, penggunaan lahan dan jarak dari jalan yang ketiganya di overlay
dengan peta bahaya yang telah dibuat sebelumnya.

3

Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian

4


II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Klasifikasi Gerakan Tanah
Definisi gerakan massa adalah semua proses yang melibatkan gerakan material di
bagian atas maupun bawah lereng. Material tersebut termasuk batuan, tanah, material
rekayasa manusia ataupun kombinasi ketiganya di bawah pengaruh gravitasi. Beberapa
proses gerakan massa seperti longsoran dapat bergerak dengan kecepatan yang tinggi, dapat
jelas terlihat batasnya yang sering terlihat di permukaan (Crozier, 1999).
Varnes (1978) memberikan terminologi gerakan lereng (slope movement) yang
dianggap lebih tepat untuk mendefinisikan longsoran, yaitu sebagai gerakan material
penyusun lereng ke arah bawah atau keluar lereng di bawah pengaruh gravitasi bumi (Tabel
2.1.). Brunsden (1984) mengusulkan istilah gerakan massa (mass movement) yang dianggap
lebih tepat diterapkan dalam mendefinisikan proses gerakan massa penyusun lereng, daripada
istilah longsoran (landslide) yang lebih populer dan dikenal oleh masyarakat.
Cruden (1991) mendefinisikan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa
batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng, yang merupakan percampuran
tanah dan batuan, yang menuruni lereng. Selby (1993) menjelaskan bahwa longsoran
(landslide) hanya tepat diterapkan pada proses pergerakan massa yang melalui suatu bidang

gelincir yang jelas. Longsoran (landslide) merupakan bagian dari kelompok gerakan tanah
yang mengacu kepada gerakan massa (mass movement).

Dengan penelitian lapangan, banyak terdapat perbedaan klasifikasi gerakan tanah
yang ditemukan. Klasifikasi yang umum digunakan didasarkan pada tipe material (seperti
batuan, rombakan material dan tanah), mekanisme gerakan (seperti jatuhan, robohan,
luncuran, aliran, dan rayapan) dan derajat gangguan pada massa yang terbawa. Pada saat ini,
ahli geologi teknik menggunakan istilah landslide untuk menyebut semua gerakan massa.
Gambar 2.1. memberikan ilustrasi tentang jenis gerakan massa.
Bidang gelincir sering berada pada kontak antara material tanah yang memiliki
perbedaan karakteristik atau pada batas tanah dan batuan khususnya pada lereng yang terjal.
Kedalaman bidang gelincir memiliki kisaran 1 – 4 meter dan panjang longsoran umumnya
lebih besar dibandingkan dengan kedalamannya (Selby, 1993).

5

Tabel 2.1. Klasifikasi Gerakan Tanah (Varnes, 1978)
Janis Material
Jenis Gerakan Tanah

Tanah Teknik
Batuan
Berbutir Kasar


Runtuhan

Runtuhan batuan

Robohan

Robohan batuan
Beberapa Nendatan batuan
Rotasi

unit

Pencaran Lateral

rombakan
Robohan bahan
rombakan
Nendatan bahan
rombakan


Runtuhan tanah

Robohan tanah

Nendatan tanah

Longsoran blok

Longsoran blok

Longsoran blok

batuan

bahan rombakan

tanah

Banyak


Longsoran

Longsoran bahan

Longsoran

unit

batuan

rombakan

tanah

Longsoran
Translasi

Runtuhan bahan


Berbutir Halus

Pencaran batuan

Pencaran bahan
rombakan

Pencaran tanah

Aliran bahan

Aliran pasir/

rombakan

lanau basah

Solifluction

Aliran pasir

kering

Aliran

Aliran batuan
(rayapan dalam)

Lawina bahan

Aliran tanah

rombakan
Rayapan bahan

Aliran lepas

rombakan
Aliran blok
Kompleks

Campuran dari dua (atau lebih) jenis gerakan

6

Gambar 2.1. Jenis Gerakan Massa (Varnes, 1978)

7

Jenis Gerakan Tanah berdasar Klasifikasi Varnes (1978) dan Direktorat Geologi Tata
Lingkungan (1996) :
1. Runtuhan (falls) adalah runtuhnya sebagian massa batuan atau tanah penyusun lereng
yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya pergeseran antara massa yang
runtuh dengan massa yang tidak runtuh. Runtuhan tanah dapat terjadi bila material yang
di bawah lebih lemah (antara lain karena tererosi, penggalian) dari pada lapisan di
atasnya. Runtuhan batuan dapat terjadi antara lain karena adanya perbedaan pelapukan,
tekanan hidrostatis karena masuknya air ke dalam retakan, serta karena perlemahan
akibat struktur geologi (antara lain kekar, sesar, perlapisan).
2. Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak melalui bidangbidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang sangat tegak pada
lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidangbidang kekar atau retakan pada batuan.
3. Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah dan atau
batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng, atau pada bidang
regangan geser yang relatif tipis. Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat
berupa bidang yang relative lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi).
Gerakan dikategorikan rotasi apabila mempunyai bidang longsor berbentuk setengah
lingkaran, log spiral, hiperbola atau bentuk lengkung tidak teratur lainnya. Sedangkan
untuk gerakan translasi massa yang tergelincir bergerak sepanjang permukaan yang
datar atau agak bergelombang tanpa atau sedikit gerakan memutar atau miring.
4. Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang bergerak
dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan kemiringan landai sampai datar,
pergerakan terjadi pada lereng atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang
lunak, yang terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di atasnya
5. Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran fluida kental.
Aliran atau rayapan di sini dianggap sama dengan arti rayapan pada mekanika bahan
yaitu deformasi yang terjadi terus menerus di bawah tegangan yang konstan. Pada
material yang tidak terkonsolidasi, gerakan ini umumnya berbentuk aliran, baik cepat
atau lambat, kering at au basah. Aliran pada batuan sangat sulit dikenali karena
gerakannya sangat lambat dengan retakan.retakan yang rapat dan tidak saling
berhubungan yang menimbulkan lipatan, lenturan atau tonjolan.
6. Kompleks yaitu merupakan gabungan dua atau lebih tipe gerakan massa tanah dan
batuan seperti yang dijelaskan di atas.
8

2.2. Penyebab dan Mekanisme Gerakan Massa
Gerakan massa dapat terjadi pada semua daerah dari tebing yang terjal hingga daerah
yang mempunyai lereng sekitar beberapa derajat. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam
berupa proses pemicu seperti hujan, gempa bumi, dan aktivitas manusia yang mengganggu
atau mengubah kondisi lereng. Di setiap lereng, terdapat tekanan yang cenderung menaikkan
gerakan material ke arah bawah (shear stress) dan gerakan yang cenderung melawan gerakan
(shear strength). Agar dapat dilakukan estimasi derajat kestabilan, gaya tekanan ini dapat

dikalkulasi dari nilai yang sudah diketahui atau asumsi gangguan permukaan dengan lereng
dan dibandingkan untuk mendapatkan faktor keamanan.
Musim penghujan dan evaporasi dikategorikan sebagai variasi musiman pada faktor
keamanan. Tentunya terdapat kecenderungan (trend) pada muka air tanah dalam jangka
waktu tertentu, bahkan dapat mengubah kekuatan lereng akibat terjadinya pelapukan. Gambar
2.2. di bawah ini akan memberikan ilustrasi sebuah kecenderungan yang terjadi pada variasi
musiman. Perubahan cuaca mendadak memberikan dampak jangka pendek terhadap terhadap
kekuatan batuan penyusun dan pada gaya yang bekerja terhadap lereng (Popescu, 2001).

Gambar 2.2. Faktor Keamanan Berbanding Dengan Waktu Pada Variasi Musiman (Popescu, 2001)

Penentuan stabilitas lereng atau penilaian gerakan massa didasarkan pada
pertimbangan banyak faktor yang dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama disebut
“faktor pengontrol kestabilan” dan kategori kedua disebut “faktor pemicu gerakan massa”.
Biasanya dua faktor atau lebih akan muncul pada kondisi lereng yang mengalami gangguan.
Seringkali faktor pengontrol membangun kondisi seimbang untuk ketahanan dan komponen
ketidakstabilan menjadi penyebab rusaknya keseimbangan.
9

Karnawati (2002) mengilustrasikan secara lebih detail mengenai penyebab dan
mekanisme gerakan massa dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti geomorfologi,
stratigrafi lereng, curah hujan, penggunaan lahan, dan lain-lain sebagai faktor pengontrol.
Faktor pengontrol mempengaruhi bagaimana suatu lereng sebelum, selama, dan sesudah
mengalami gangguan. Faktor-faktor tersebut memberikan informasi tentang tingkat
kerentanan gangguan lereng yang mungkin timbul. Satu faktor pengontrol akan
mempengaruhi faktor yang lain. Keterkaitan ini menyebabkan faktor-faktor tersebut tidak
dapat dipisahkan. Oleh karena itu, penyelidikan terhadap faktor-faktor ini harus dilakukan.
Tingkat kerentanan lereng dikontrol oleh semua faktor di atas secara bersama-sama
dan berperan dalam ketidakstabilan lereng. Tetapi tidak semua faktor tersebut merupakan
faktor pemicu gerakan massa. Litologi dan morfologi tidak dipertimbangkan menjadi faktor
pemicu gerakan massa karena evolusinya yang lambat dibanding dengan evolusi lereang.
Hampir semua faktor geologi yang berpengaruh terhadap stabilitas lereng tidak mutlak
menjadi pemicu gerakan massa. Faktor-faktor tersebut hanya menjadi faktrol pengontrol yang
menciptakan kondisi lereng yang khusus sehingga lereng tersebut menjadi sensitif untuk
bergerak sebelum gerakan yang sebenarnya terjadi.
Faktor pemicu gerakan massa adalah faktor-faktor yang memulai gerakan gerakan dan
mengubah lereng dari kondisi stabil menjadi kurang atau tidak stabil (Glade dan Crozier,
2005). Faktor pemicu gerakan massa antara lain seperti hujan atau badai, getaran (gempa,
seismik, atau ledakan), pemotongan lereng, dan aktivitas manusia. Gambar 2.3. di bawah ini
memperlihatkan detail penyebab gerakan massa beserta faktor pengontrol dan pemicunya.

Gambar 2.3. Penyebab dan Mekanisme Gerakan Massa (Karnawati, 2002)
10

2.3. Jenis Peta Gerakan Massa
Peta Inventarisasi Gerakan Massa (Landslide Inventory Maps) : Jenis peta ini
menunjukkan lokasi area yang mengalami gerakan massa. Produk dari peta adalah distribusi
spasial dari gerakan massa dalam titik atau koordinat. Peta inventarisasi gerakan massa dapat
dan sering digunakan sebagai dasar untuk pembuatan zonasi bahaya gerakan massa lain atau
untuk bentuk dasar dari peta bahaya. Sebuah peta inventarisasi gerakan massa didasarkan
pada interpretasi foto udara, survei lapangan, dan atau database sejarah gerakan massa di
kawasan tersebut. Namun, peta ini hanya memberikan informasi untuk waktu singkat, dan
tidak memberikan informasi tentang perubahan temporal dalam distribusi gerakan massa
tersebut (Van Westen et al., 2006).
Peta Kerentanan Gerakan Massa (Landslide Susceptibility Maps) : Kerentanan
gerakan

massa

adalah

kecenderungan

suatu

daerah

mengalami

gerakan

massa.

Kecenderungan tersebut adalah fungsi dari tingkat stabilitas yang melekat pada lereng
(seperti yang ditunjukkan oleh faktor keamanan) bersama dengan keberadaan faktor
pendorong dan aktivitas faktor pemicu yang mampu mengurangi kekuatan lereng dan
akhirnya memicu gerakan massa. Identifikasi faktor pendorong dan aktor pemicu adalah
suatu dasar dari banyak metode kerentanan dan penilaian stabilitas lereng. Faktor-faktor
tersebut dapat dinamis atau pasif, dan juga dapat dipertimbangkan dalam peran yang
dimainkannya dalam mendestabilisasi kemiringan lereng (Crozier, 1986).
2.4. Jenis Analisis Gerakan Massa
Analisis Kualitatif: Untuk mengatasi masalah aturan dalam pemetaan geomorfik,
metode kualitatif lainnya berdasarkan peta kombinasi kualitatif telah dikembangkan. Dalam
peta kombinasi kualitatif, ilmuwan ahli bumi menggunakan pengetahuan pakar individual
untuk menetapkan nilai pembobotan untuk serangkaian parameter peta. Kondisi medan di
sejumlah lokasi dijumlahkan sesuai dengan bobot parameter, menghasilkan nilai bahaya yang
dapat dikelompokkan ke dalam kelas klasifikasi bahaya. Stevenson (1977) mengembangkan
sistem peringkat bahaya empiris untuk suatu daerah di Tasmania atas dasar pengetahuan ahli
tentang faktor kasual ketidakstabilan lereng, ia ditugaskan membuat nilai pembobotan untuk
kelas yang berbeda pada sejumlah parameter. Peta kombinasi kualitatif telah menjadi sangat
populer dalam zonasi lereng ketidakstabilan. Kendala dengan metode ini adalah dalam
menentukan bobot yang tepat dari berbagai parameter. Seringkali, dalam menentukan bobot
parameter antara satu orang dengan orang lain adalah berbeda atau dapat dikatakan subyektif
(Soeters dan van Westen, 1996).
11

Tabel 2.2. Kecenderungan Dalam Zonasi Bahaya Gerakan Massa (Van Westen, 2003).
Jenis Analisis

Karakteristik Utama

Gerakan Massa

Dilakukan dengan pemetaan langsung dari gerakan
Analisis Distribusi

massa. Menghasilkan peta yang hanya memberikan
informasi area-area di mana tanah longsor telah terjadi
di masa lalu.
Langsung atau semi-langsung, metode di mana peta
geomorfologi diklasifikasi ulang untuk pembuatan

Analisis Kualitatif

peta bahaya. Beberapa peta parameter digabungkan
menjadi satu dengan menggunakan aturan-aturan
pembobotan

subjektif,

berdasarkan

pengalaman

ilmuwan bumi.
Metode tidak langsung di mana analisis statistik
Analisis Statistik

digunakan untuk memperoleh prediksi bahaya gerakan
massa dari sejumlah parameter peta.

Analisis Deterministik

Metode tidak langsung yang memetakan parameter
dan digabungkan dalam perhitungan stabilitas lereng.
Metode tidak langsung di mana gempa bumi dan atau
catatan curah hujan atau model hidrologi digunakan

Analisis Frekuensi

untuk korelasi dengan waktu gerakan massa yang
diketahui. Dilakukan untuk mendapatkan nilai ambang
dengan frekuensi tertentu.

2.5. Peran Sistem Informasi Geografis (SIG)
Seperti disebutkan sebelumnya di atas, terdapat berbagai macam pendekatan dalam
pemetaan gerakan massa, pendekatan-pendekatan tersebut membutuhkan alat pemetaan.
Masing-masing alat pemetaan yang ada dan memiliki kelebihan dalam kasus-kasus tertentu.
Kajian pustaka pada bagian ini akan menjelaskan alat pemetaan gerakan massa yang relatif
baru dan menjadi populer digunakan oleh ahli kebumian, yaitu Sistem Informasi Geografis
(SIG). Alat pemetaan tersebut akan digunakan dalam penelitian gerakan massa kali ini.

12

Sistem Informasi Geografis (SIG) diartikan sebagai sistem informasi yang dirancang
untuk bekerja dengan data yang direferensikan dalam koordinat spasial atau geografis. Dalam
pengertian lainnya, SIG adalah suatu sistem berbasis data dengan kemampuan khusus untuk
mengolah data dengan referensi spasial, serta seperangkat alat operasi yang bekerja dengan
data. SIG adalah kombinasi dari keahlian manusia sebagai pengolah data, data spasial dan
deskriptif, metode analitik, perangkat lunak dan perangkat keras komputer yang digunakan
untuk menangkap, menyimpan, memperbarui, mengelola, dan menyampaikan informasi
melalui presentasi geografis. Definisi di atas membuktikan kemampuan SIG dalam
mengelola data spasial dalam jumlah. Oleh sebab itu, SIG telah banyak digunakan hampir
pada semua jenis pemetaan dan pemanfaatannya tidak terbatas hanya pada domain ini. Setiap
jenis data spasial dapat disimpan di dalam kerangka SIG (Van Driel, 1991).
Tujuan utama dari SIG adalah untuk mengembangkan hubungan spasial antara fitur
geografis yang dipetakan. Komponen-komponen spasial dapat ditangani secara efektif dalam
sistem koordinat. Namun, variasi temporal sulit untuk diungkapkan. Segala sesuatu di
permukaan bumi berubah dari waktu ke waktu, sehingga representasi variasi temporal
diperlukan untuk memahami fenomena yang terjadi pada waktu yang sesungguhnya. Contoh
variasi temporal dalam fenomena gerakan massa adalah tingkat gerakan yang bergantung
pada waktu. Umumnya, karakteristik data yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sulit untuk
terus diperbarui karena terus mengalami perubahan. Sebagai contoh, data geografis dari
penggunaan lahan, wilayah administatif, dan lain-lain, diplot dan dicetak di kertas peta. Jenis
database ini tidak terus diperbarui. Pada saat ini, semua data spasial diarahkan dengan format
basis data digital. Informasi dapat menjadi masukan, diperbarui dan diambil dengan mudah.
Selain itu, mengedit dan memodifikasi data juga menjadi lebih mudah (Van Driel, 1991).
Baru-baru ini, SIG telah diperkenalkan ke berbagai disiplin ilmu. Misalnya, pemetaan
gerakan massa dengan menggunakan SIG sebagai alat telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Beberapa penelitian menggunakan SIG sebagai alat visualisasi dan interpretasi data
sementara yang lain menggunakannya sebagai alat analisis. Karena gerakan massa sebagian
dikendalikan oleh geomorfologi, variasi spasial dari kondisi medan menjadi sangat penting.
Digital Elevation Model (DEM) pada SIG membantu dalam pengolahan parameter ini.

Pemetaan area jauh lebih mudah ketika kondisi permukaan dapat dinyatakan dalam jumlah
elevasi. Variasi spasial lain dalam pemetaan gerakan massa adalah sifat material. Kondisi
geologi yang dikendalikan sifat material sangat bervariasi dan menciptakan kesulitan dalam
representasi data. SIG membantu memecahkan masalah ini dengan membagi jenis menjadi
beberapa poligon, setiap informasi litologi yang berbeda disimpan dalam atribut (He, 2003).
13

2.6. Proses Analitis Hirarki
Analytical Hierrarchy Process (AHP) adalah suatu metoode pengambilan keputusan

yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ilmuwan Amerika. Metode ini
menggunakan perhitungan matriks sebagai perbandingan berpasangan untuk menentukan
kepentingan relatif dari masing-masing parameter. Dalam penelitian ini, bobot faktor yang
dapat menangkap kepentingan relatif dari satu parameter terhadap parameter yang lain
didirikan dengan perbandingan berpasangan berdasarkan skala 9 poin. Kesembilan poin
tersebut mewakili sembilan ekspresi linguistik dan nilai-nilai numerik yang sesuai. Ekspresi
linguistik menjelaskan keadaan atau deskripsi, sementara nilai-nilai numerik yang
dikuantifikasi berguna untuk menghitung faktor bobot. Namun, ilmu ini masih kurang dalam
cara mengevaluasi langsung intuisi atau ekspresi, validitas dari nilai-nilai numerik yang
mungkin dinilai oleh bobot parameter, dan konsistensi dari proses perhitungan.


Skala kepentingan relatif (Scale of relative importance) Saaty (1980):
Tabel 2.3. Skala Kepentingan Relatif (Saaty, 1980)

Skala
1

3

Kepentingan
Sama

Sedikit lebih
penting

Keterangan
Kedua elemen sama pentingnya, Dua elemen mempunyai
pengaruh yang sama besar.
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen
yanga

lainnya.

Pengalaman

dan

penilaian

sedikit

menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

5

Lebih penting

Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu
elemen dibandingkan elemen yang lainnya.
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen

7

Sangat penting

lainnya. Satu elemen yang kuat disokong dan dominan
terlihat dalam praktek.
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya,

9

Mutlak penting

Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen lain
memeliki tingkat penegasan tertinggi yang menguatkan.

2, 4,
6, 8,

Nilai menengah

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan
yang berdekatan, Nilai ini diberikan bila ada dua pilihan.

14



Consistency Ratio (CR):

Rasio Konsistensi harus dihitung untuk memverifikasi bahwa keputusan dibuat
sempurna, karena konsistensi yang sempurna apabila x adalah 2 kali lebih besar dari y
dan y adalah 3 kali lipat dibanding z, maka x harus 6 kali lebih besar dari z. Metode
Eigenvector Saaty digunakan untuk mengevaluasi rasio konsistensi.

CR 

CI
RI

.....(Saaty, 1980)

Persamaan 2.1.

CR kurang dari atau sama dengan 0,1 adalah diterima. Untuk nilai yang lebih
besar diperlukan pengambilan keputusan untuk mengurangi ketidakkonsistenan dengan
merevisi penilaian. Dimana:

CI: consistency index,

CI 
Keterangan

max - n
n -1

.....(Saaty, 1980)

Persamaan 2.2.

λmax

: Eigenvalue Maksimum (Perron Root)

n

: Jumlah baris dan kolom

RI: random index,
Tabel 2.4. Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 2001)
n

1

2

3

4

Random index

0

0

0.52

0.89

5

6

7

8

9

10

1.11 1.25 1.35 1.4 1.45 1.49

Menurut Saaty (1980), CR harus kurang dari 0.10. Apabila lebih dari 0.10,
dianjurkan

bahwa

pembuat

keputusan

harus

merevisi

keputusan

kriteria

(perbandingan berpasangan) dan mempertimbangkan kembali kepentingan relatif dari
masing-masing parameter. Setelah rasio konsistensi diterima, bobot kriteria dapat
digunakan sebagai faktor penimbang untuk analisa lebih lanjut.

15

III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Membuat zonasi kerentanan gerakan massa dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti yang telah dibahas dalam bab tinjauan pustaka sebelumnya. Metode penilaian dan
pembobotan gerakan massa bervariasi sesuai dengan data yang tersedia dan skala yang
digunakan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pustaka,
investigasi lapangan, serta analisis dan simulasi.
Studi pustaka memainkan peran penting sebagai penyedia informasi yang diperlukan
untuk penelitian. Tahap studi pustaka meliputi perumusan latar belakang studi, karakterisasi
lokasi, kajian literatur dan pengumpulan data sekunder. Pada langkah ini, informasi sebanyak
mungkin dikumpulkan. Peta digital dan peta berbasis kertas digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang topografi dan geologi daerah penelitian. Informasi ini digunakan dalam
langkah penelitian selanjutnya. Namun, tidak setiap informasi dapat langsung digunakan.
Memilih informasi yang terbaik untuk analisis pada penelitian membutuhkan
pengolahan data. Data mentah diproses untuk melengkapi informasi yang paling penting dan
yang dibutuhkan untuk analisis gerakan massa. Pengolahan data melibatkan digitalisasi peta
berbasis kertas, seperti satuan litologi, penggunaan lahan, dan peta-peta lainnya yang
digunakan untuk menghasilkan masing-masing peta parameter. Sebagian besar pengolahan
data dilakukan dengan basis SIG, hal ini menunjukkan bahwa peran SIG dalam mengolah
data pada penelitian ini juga penting.
Pada dasarnya, komponen utama dari metodologi penelitian adalah zonasi wilayah yang
rentan mengalami gerakan massa. Untuk menjamin kualitas hasil analisis, dilakukan
verifikasi model dan kalibrasi. Dengan menggunakan perbandingan nyata, memodelkan
distribusi gerakan massa dan observasi lapangan, pengandalan pada hasil analisis dapat
dilakukan. Berikut ini diagram alir menunjukkan ringkasan metodologi penelitian:

16

3.2. Metode Analisis Data
Dalam analisis data, digunakan metode yaitu metode analisis pembobotan parameter
secara kualitatif. Metode analisis kualitatif dilakukan dengan melakukan deskripsi dengan
pembobotan dari parameter-parameter yang diperoleh seperti kemiringan lereng, litologi
batuan, dan sebagainya. Karena terdapat berbagai pendekatan pemetaan kerentanan gerakan
massa, maka metode pembobotan kualitatif yang digabungkan dengan metode prediksi
gerakan massa secara statistik akan digunakan sebab sesuai dengan lokasi penelitian dan
metode akuisisi data.

Kemiringan
lereng

Jarak dari
struktur

Litologi
Batuan

Curah
hujan

Kerapatan
vegetasi

Tekstur
Butiran

Pembobotan

Peta Bahaya
Gerakan Massa

Populasi
Penduduk

Penggunaan
Lahan

Jarak dari
jalan

Pembobotan

Peta Resiko
Gerakan Massa

Gambar 3.1. Alur Pikir Analisis Parameter

17

2.3. Metode Pembobotan Kualitatif
Prinsip metode ini adalah melakukan overlay pada peta-peta parameter. Masingmasing parameter dapat dianalisis dengan menggunakan aturan pengambilan keputusan
subyektif berdasarkan pengalaman ilmuwan bumi. Dalam pendekatan ini, bobot diberikan
secara berbeda-beda untuk setiap peta parameter yang dipertimbangkan. Subdivisi pada tiap
peta parameter juga diberikan skor. Pemilihan parameter juga memiliki unsur subyektif yang
dominan dalam metode ini. Prosedur SIG yang digunakan adalah sebagai berikut:






Memilih faktor yang dipertimbangkan dalam stabilitas lereng dan mengelompokkannya
ke dalam beberapa kategori.
Memilih skala peta yang sesuai.
Peta unit yang digunakan dalam pengumpulan data perlu diidentifikasi, karena bentuk
geometris beserta ukuran dari poligon bergantung pada skala (skala regional, skala
menengah, skala besar) pemetaan dan topografi medan.

Segala data yang berkaitan dengan faktor pendorong dan faktor pemicu gerakan
massa ataupun parameter dikumpulkan dan diikuti dengan penyusunan masing-masing peta
parameter. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain sebagai berikut:




Menetapkan bobot pada tiap parameter beserta kategorinya.



parameter yang dianalisis.



penjelasan klasifikasi kriterianya.

Menilai potensi gerakan massa dengan menjumlahkan bobot dari masing-masing

Nilai akhir kemudian diklasifikasikan ke dalam berbagai kelas bahaya beserta dengan

Peta zonasi bahaya gerakan massa dapat dibuat dengan menggambar kontur pada batasbatas unit kelas bahaya.

Prosedur-prosedur di atas mengandung unsur subyektifitas yang besar dalam tahap
bagaimana membagi tiap parameter menjadi beberapa kelas dan berapa kelas yang harus
dibagi tidak memiliki aturan yang standar. Pembuatan zonasi kerentanan paling sesuai dibuat
dalam skala menengah hingga besar. Pada peta berskala kecil atau skala regional, wilayah
yang rentan mengalami gerakan massa menjadi tidak akurat karena banyaknya generalisasi.
Selain itu,, metode yang dilakukan dalam penelitian ini tidak cukup detail untuk dilakukan
pada area yang dipetakan dengan skala kecil ataupun skala regional.

18

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran umum dari lokasi penelitian yang akan dijelaskan dalam bab ini adalah
bedasarkan parameter-parameter yang dipertimbangkan dalam pembobotan potensi bahaya
dan resiko. Pada parameter bahaya diantaranya ada kondisi kemiringan lereng, jarak dari
struktur, curah hujan, litologi batuan, kerapatan vegetasi dan tekstur butiran. Pada parameter
resiko diantaranya terdapat populasi penduduk, penggunaan lahan, dan jarak dari jalan.

4.1. Kemiringan Lerang
Kemiringan lereng pada lokasi penelitian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu kelas
rendah, menengah, dan tinggi. Kelas rendah tersebar diseluruh desa dan merupakan kelas
kemiringan lereng yang memiliki luasan terbesar

pada lokasi penelitian. Kelas menengah

terdapat di seluruh desa namun terpusat disekitar Desa Muntuk dan Desa Mangunan,
membentang diagonal dengan arah timurlaut – baratdaya. Kelas tinggi merupakan kelas
kemiringan lereng yang kecil persentasenya dan terpusat pada lembah sungai yang
membatasi Desa Sriharjo dan Desa Selopamioro.

4.2. Jarak Dari Struktur
Struktur yang terdapat pada lokasi penelitian yaitu sesar normal, sesar geser, dan sesar
yang masih diperkirakan. Pada jenis sesar normal diantaranya terdapat Sesar Kaliurang
berarah utara – selatan, Sesar Girijati berarah utara – selatan, dan Sesar Opak-Parangtritis
berarah timurlaut – baratdaya. Pada jenis sesar geser kanan terdapat Sesar Ngunut berarah
baratlaut – tenggara, sedangkan pada sesar geser kiri terdapat Sesar Opak-Putat berarah utara
– selatan. Terdapat beberapa sesar yang masih diperkiran berjenis sesar normal.
4.3. Curah Hujan
Lokasi penelitian terbagi menjadi dua wilayah kelompok curah hujan. Kelompok
pertama dengan curah hujan 1500 – 2000 mm/tahun terdapat di Desa Seloharjo, Desa
Selopamioro, Desa Sriharjo, Desa Karangtengah, Desa Girirejo, dan sebagian dari Desa
Mangunan. Sedangkan kelompok kedua dengan curah hujan 2000 – 2500 mm/tahun terdapat
di Desa Muntuk dan sebagian dari Desa Mangunan.

19

Gambar 4.1. Peta Kelas Lereng Lokasi Penelitian

20

Gambar 4.2. Peta Jarak Struktur Lokasi Penelitian
21

Gambar 4.3. Peta Curah Hujan Lokasi Penelitian
22

4.4. Litologi Batuan
Jenis batuan yang terdapat di lokasi penelitian adalah batuan volkanik dan batuan
sedimen. Batuan Volkanik berusia Oligosen-Miosen sebagian besar terdapat di Desa
Seloharjo dan sebagian kecil Desa Selopamioro. Batuan Volkanik berusia Miosen memiliki
persentasei tersebesar dari seluruh batuan penyusun lokasi penelitian, berada di tengah lokasi
penelitian dan memanjang ke arah timurlaut. Disamping itu juga terdapat batuan volkanik
muda dari Gunungapi Merapi di bagian barat lokasi penelitian. Batuan sedimen berumur
Miosen hanya menempati sebagian kecil dari area penelitian yang berbatasan dengan
Kabupaten Gunung Kidul, sedangkan sedimen yang lebih muda terdapat di Desa
Selopamioro dan Desa Sriharjo.

4.5. Kerapatan Vegetasi
Kerapatan vegetasi pada lokasi penelitian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu kelas
rendah, menengah, dan tinggi. Kelas rendah terdapat di seluruh desa, dominan di Kecamatan
Imogiri, dan merupakan kelas kerapatan vegetasi yang memiliki luasan terbesar pada lokasi
penelitian. Kelas menengah tersebar di seluruh desa dan menduduki peringkat kedua. Kelas
tinggi merupakan kelas yang paling kecil persentasenya, sebagian besar terdapat di Desa
Mangunan dan Desa Muntuk, dan sebagian kecil di Desa Selopamioro dan Desa Sriharjo.

4.6. Tekstur Butiran
Tekstur butiran pada lokasi penelitian dibagi menjadi empat kelas, yaitu kelas sangat
halus, halus, sedang, dan kasar. Kelas sangat halus terdapat di seluruh desa dan merupakan
kelas tekstur butiran yang memiliki luasan terbesar pada lokasi penelitian. Kelas halus
terdapat di baratlaut lokasi penelitian. Kelas sedang menempati peringkat kedua dan tersebar
di seluruh lokasi penelitian kecuali di Desa Girirejo. Kelas kasar merupakan kelas yang
paling kecil persentasenya, dan hanya terdapat sedikit sekali pada Desa Girirejo dan Desa
Mangunan.

23

Gambar 4.4. Peta Litologi Batuan Lokasi Penelitian
24

Gambar 4.5. Peta Kerapatan Vegetasi Lokasi Penelitian
25

Gambar 4.6. Peta Tekstur Butiran Lokasi Penelitian
26

4.7. Populasi Penduduk
Populasi penduduk di lokasi penelitian bervariasi dari jumlah ribuan hingga puhan
ribu. Jumlah populasi penduduk menurut desa di lokasi penelitian ditampilkan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 4.1. Jumah Populasi Penduduk Lokasi Penelitian Menurut Desa

No.

Desa

Jumlah Penduduk

1.

Muntuk

15.173 jiwa

2.

Mangunan

13.130 jiwa

3.

Selopamioro

22.545 jiwa

4.

Sriharjo

6.329 jiwa

5.

Girirejo

3.377 jiwa

6.

Karangtengah

3.369 jiwa

7.

Seloharjo

12.754 jiwa

Sumber: Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik Tahun 2010

4.8. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang terdapat pada lokasi penelitian diantaranya lahan hutan,
semak belukar, tanah atau rumput kosong, tegalan, sawah irigasi, perkebunan, air tawar, dan
permukiman. Perkebunan menempati luasan terluas dalam lokasi penelitian, diikuti oleh
tegalan dan selanjutnya sawah irigasi. Area permukiman tersebar di seluruh lokasi penelitian.

4.9. Jarak Dari Jalan
Akan sangat beresiko apabila lokasi terjadinya gerakan massa dekat dengan jaringan
jalan, selain dapat menimbukan korban jiwa juga dapat merusak sarana dan prasarana dareah.
Akibatnya, merusak infrastruktur daerah yang menghubungkan antar kecamatan bahkan
kabupaten. Jarak dari jalan dibagi menjadi tiga kelas jarak, yaitu kelas jarak 0 – 50 meter, 51
– 100 meter, dan di atas 100 meter. Zonasi jarak dilakukan pada tiap kelas jalan di seluruh
lokasi penelitian.

27

Gambar 4.7. Peta Total Populasi Penduduk Lokasi Penelitian
28

Gambar 4.8. Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian
29

Gambar 4.9. Jarak Dari Jalan di Lokasi Penelitian
30

V. PENGOLAHAN DATA


Memprioritaskan kelima kriteria:
Sebelum melakukan pembobotan, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan

pemberian

peringkat

dari

masing-masing

parameter

berdasarkan

dengan

skala

kepentingannya. Pada penelitian kali ini, faktor yang dianggap paling mempengaruhi
terjadinya gerakan massa adalah kemiringan lereng, pada peringkat kedua diikuti oleh jarak
dari struktur geologi, kemudian curah hujan, diikuti oleh litologi batuan, kerapatan vegetasi,
dan tekstur butiran. Seluruh parameter selanjutnya dimasukkan ke dalam matriks dan diberi
nilai skala kepentinganya sebagai berikut :

Slope

Structure

Rainfall

Litholog

Vegetation

Te ture

Slope
Structure

/

Rainfall

/

Litholog

/

/

/

Vegetation

/

/

/

/

Te ture

/

/

/

/

SUM

.

.

.

.

/
.

Sebuah matriks n x n adalah matriks persegi di mana n adalah jumlah baris dan
kolom. Dalam hal ini n = 6. Sebuah elemen sama pentingnya bila dibandingkan dengan
elemen lainnya. Oleh karena itu, diagonal utama harus menjadi 1. Dengan konvensi,
perbandingan kekuatan dari suatu kegiatan selalu muncul dalam kolom sebelah kiri
berlawanan dengan kegiatan lain yang muncul di baris di atas. Slope adalah 2 kali lebih
penting daripada Structure. Perbandingan terbalik menghasilkan timbal balik dari
perbandingan dasar, hal ni disebut matriks timbal balik. Sehingga nilai Structure adalah ½
kali pentingga dari Slope.


Menormalisasi matriks:
Matriks di atas dinormalisasi dengan membagi setiap nilai dengan jumlah kolom

(misalnya 1/2.658 = 0,376). Normalisasi dilakukan pada seluruh sel, kemudian dihitung ratarata setiap barisnya.
31

Slope

Structure

Rainfall

Litholog

Vegetation Te ture

PV

Slope

.

.

.

.

.

.

.

Stucture

.

.

.

.

.

.

.

Rainfall

.

.

.

.

.

.

.

Litholog

.

.

.

.

.

.

.

Vegetation

.

.

.

.

.

.

.

Te ture

.

.

.

.

.

.

.

SUM
Nilai rata-rata di atas disebut dengan priority vector (PV) dan merupakan bobot dari
kriteria. Jumlah seluruh nilai sama dengan 1.


Consistency Ratio (CR):

Rasio Konsistensi harus dihitung untuk memverifikasi bahwa keputusan dibuat
sempurna, karena konsistensi yang sempurna apabila x adalah 2 kali lebih besar dari y dan y
adalah 3 kali lipat dibanding z, maka x harus 6 kali lebih besar dari z. Metode Eigenvector
Saaty digunakan untuk mengevaluasi rasio konsistensi.
.....(Saaty, 1980)

Persamaan 4.1.

CR kurang dari atau sama dengan 0,1 adalah diterima. Untuk nilai yang lebih besar
diperlukan pengambilan keputusan untuk mengurangi ketidakkonsistenan dengan merevisi
penilaian. Dimana:
CI: consistency index,
.....(Saaty, 1980)

Keterangan

Persamaan 4.2.

λmax

: Eigenvalue Maksimum (Perron Root)

n

: Jumlah baris dan kolom

RI: random index,
Tabel 4.1. Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 2001)
n

1

2

3

4

Random index

0

0

0.52

0.89

5

6

7

8

9

10

1.11 1.25 1.35 1.4 1.45 1.49

32

Eigenvalue Maksimum (λmax) dihitung dengan:
Melakukan perkalian pada matriks dengan PV. Contohnya pada baris pertama yang
dikalikan dengan PV akan menjadi : 1 × 0.35, 2 × 0.21, 2 × 0.21, 3× 0.12, 5 x 0.07, dan 8 x
0.03. Maka hasilnya menjadi:
Slope

Structure Rainfall Litholog

Vegetation

Te ture

SUM

Slope

.

.

.

.

.

.

.

Stucture

.

.

.

.

.

.

.

Rainfall

.

.

.

.

.

.

.

Litholog

.

.

.

.

.

.

.

Vegetation

.

.

.

.

.

.

.

Te ture

.

.

.

.

.

.

.

Melakukan pembagian antara jumlah total baris dengan (PV). Maka hasilnya menjadi:
Jumlah
Total Baris
.

PV
.

Jumlah Total
Baris/PV
.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Untuk memperoleh Eigenvalue Maksimum, hitung rata-rata dari nilai di atas.
λmax = (6.222 + 6.257 + 6.257 + 6.188 + 6.079 + 6.040)/6 = 6.174
Consistency index (CI) dari persamaan 4.2. akan menjadi:

Untuk n = 6, random index (RI) menjadi 1.25
Consistency ratio (CR) dari persamaan 4.1. dapat dievaluasi sebagai berikut:

Karena CR = 0.028 dan kurang dari 0.10 maka bobot parameter dapat diterima.
33

Perhitungan yang sama dilakukan pada parameter resiko. Dimana faktor resiko yang
dianggap paling berpengaruh ketika terjadi gerakan masa adalah populasi penduduk, diikuti
oleh faktor bahaya, penggunaan lahan, dan jarak dari jaringan jalan. Faktor bahaya
merupakan hasil dari pengolahan parameter bahaya yang harus didapatkan sebelum
melakukan pengolahan parameter resiko.

Population

Hazard

Land Use

Road

1

2

5

7

Hazard

1/2

1

3

5

Land Use

1/5

1/3

1

3

Road

1/7

1/5

1/3

1

SUM

1.843

3.533

9.333

16

Population

Menormalisasi matriks dan menghitung PV
Population Hazard

Land Use

Road

PV

Population

0.543

0.566

0.536

0.438

0.52

Hazard

0.271

0.283

0.321

0.313

0.30

Land Use

0.109

0.094

0.107

0.188

0.12

Road

0.078

0.057

0.036

0.063

0.06

SUM

1

1

1

1

1

Melakukan perkalian matriks dan menghitung Eigenvalue Maksimum
Population Hazard

Land Use

Road

SUM

SUM/PV

Population

0.520

0.594

0.622

0.407

2.143

4.118

Hazard

0.260

0.297

0.373

0.290

1.221

4.110

Land Use

0.104

0.099

0.124

0.174

0.502

4.034

Road

0.074

0.059

0.041

0.058

0.233

4.017

Diperoleh Eigenvalue Maksimum sebesar 4.070. Dengan n = 4, random index (RI)
menjadi 0.890, nilai CI menjadi 0.023 dan CR = 0.026. Maka, bobot parameter resiko dapat
diterima dan digunakan.

34

Pengolahan Data Menggunakan ArcGIS
Setelah mendapatkan bobot yang akan diberikan terhadap masing-masing parameter
bahaya dan resiko, tahap selanjutnya adalah mengolah data dengan menggunakan software
ArcGIS 9.3. Tahap-tahap yang dilakukan antara lain :
1. Mengkonversi data menjadi tipe raster.
Data yang diperoleh dalam penelitian kali ini adalah dalam tipe vektor, yaitu
dengan format shapefile. Untuk melakukan analisis spasial seperti overlay data-data
tersebut perlu dikonversi menjadi tipe raster dengan cara :
Buka jendela ArcToolBox > > Conversion Tools
To Raster > > Polygon to Raster

Setiap data yang diubah tipe raster harus memiliki ukuran pixel yang sama agar
memudahkan dalam melakukan overlay.

2. Melakukan overlay dan pemberian bobot.
Bobot yang telah diperoleh dengan Analytical Hierrachy Process akan
diberikan dalam tahap overlay berikutnya. Bobot diberikan dalam bentuk persentase
dan merupakan nilai influence dari tiap-tiap parameter.
Buka jendela ArcToolBox > > Spatial Analyst Tool
Overlay > > Weighted Overlay

Selain dilakukan dalam pembuatan peta bahaya, tahap overlay yang sama juga
dilakukan dalam pembuatan peta resiko.

3. Melakukan layouting peta.
Setelah hasil analisis diperoleh, langkah selanjutnya yang merupakan finishing
dari pembuatan peta adalah melakukan layout. Unsur-unsur utama dari peta yang
harus dibuat ketika layouting antara lain adalah :
a. Judul peta

e. Legenda peta

b. Arah mata angin

f. Sumber peta

c. Skala peta

g. Inset/indeks peta

d. Grid koordinat

h. Author/organisasi

35

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Zonasi Bahaya Gerakan Tanah

Berdasarkan hasil penjumlahan bobot parameter bahaya di wilayah penelitian
diperoleh lima kelas yang mempresentasikan tingkatan potensi bahaya terjadinya gerakan
masa. Kelima kelas tersebut adalah kelas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat
tinggi. Pemberian warna simbol pada peta bahaya dilakukan dengan warna senada sehingga
dapat menampilkan gradasi dari tingkatan bahaya yang tersebar di area penelitian.
Warna kuning mewakili area yang memiliki potensi sangat rendah untuk terjadi
gerakan massa. Penyebaran kelas sangat rendah berada di Desa Muntuk dan sebagian kesil
Desa Mungunan sebelah utara. Kelas rendah diwakilkan dengan pewarnaan oranye muda,
tersebar hampir di seluruh area penelitian kecuali di Desa Muntuk bagian utara. Kemudian
warna oranye yang lebih gelap mewakilkan kelas sedang, tersebar di beberapa lokasi namun
paling banyak dapat ditemukan di Desa Selopamioro. Warna merah mewakili area dengan
potensi bahaya tinggi, berlokasi di sekitar area terdapatnya struktur geologi seperti sesar
normal dan sesar geser. Area berkelas sangat bahaya diwakili dengan warna merah gelap,
terpusat di tengah area penelitian tepatnya Desa Selopamioro dan Desa Sriharjo, dan
sebagian kecil berada di Desa Seloharjo bagian baratdaya.

6.2. Zonasi Resiko Gerakan Tanah

Berdasarkan hasil perkalian bobot parameter resiko di wilayah penelitian diperoleh
enam kelas yang mempresentasikan tingkatan potensi resiko terjadinya gerakan masa.
Keenam kelas tersebut adalah kelas tak ada resiko, resiko sangat rendah, resiko rendah,
resiko sedang, resiko tinggi, dan resiko sangat tinggi. Perbedaan antara peta bahaya dan peta
resiko yaitu pada peta resiko memungkinkan apabila terdapat zona tanpa ada resiko sama
sekali. Zona tersebut masuk ke dalam kelas tak ada resiko. Hal tersebut disebabkan oleh
penggunaan lahan area penelitian yang bervariasi, terdapat lahan yang dibangun menjadi
area permukiman dan ada pula yang tidak terusik aktifitas manusia serti pada lahan hutan
konservasi. Area yang di dalamnya tidak terdapat manusia tidak memiliki resiko untuk
terjadinya kehilangan secara fisik dan sosial ekonomi ketika bahaya geologi terjadi.
Pemberian warna simbol pada peta resiko dilakukan dengan warna senada sehingga dapat
menampilkan gradasi dari tingkatan resiko yang tersebar di area penelitian.

36

Warna putih mewakili area yang memiliki tidak memiliki potensi resiko ketika terjadi
gerakan massa, hal ini disebabkan karena tidak adanya manusia yang menempati lahan
tersebut. Penyebaran kelas tak ada resiko paling banyak berada pada Desa Mangunan, Desa
Muntuk, dan Desa Girirejo, sementara sebagian kecil tersebar di beberapa area penelitian.
Kelas sangat rendah berada di Desa Muntuk, Desa Mungunan, dan Desa Seloharjo. Kelas
rendah diwakilkan dengan pewarnaan merah muda, tersebar hampir di seluruh area
penelitian, paling banyak terdapat pada Desa Mangunan dan Desa Muntuk. Kemudian
warna oranye mewakili kelas resiko sedang, tersebar di seluruh area penelitian namun
terpusat di tengah area penelitian yaitu pada Desa Selopamioro, Desa Sriharjo, Desa
Karangtengah, dan Desa Girirejo. Warna merah gelap mewakili area dengan potensi bahaya
tinggi, paling banyak ditemukan di Desa Selopamioro dan Desa Sriharjo, tepatnya pada
lembahan sungai di samping lereng perbukitan. Area berkelas sangat bahaya diwakili
dengan warna merah yang lebih gelap lagi, hanya terdapat di Desa Selopamioro di sisi
selatan lembahan sungai.

37

Gambar 6.1. Peta Potensi Bahaya Gerakan Massa di Lokasi Penelitian
38

Gambar 6.2. Peta Potensi Resiko Gerakan Massa di Lokasi Penelitian
39

VII. KESIMPULAN
Untuk memperoleh peta zonasi potensi bahaya dan peta zonasi potensi resiko
terjadinya gerakan massa di area penelitian adalah dengan cara melakukan pembobotan dari
masing-masing parameter bahaya dan resiko. Pembobotan dilakukan dengan metode
Analytical Hierrarchy Process, yaitu memberikan skala pada masing-masing parameter

berdasarkan kepentingan atau besar pengaruhnya, sehingga dihasilkan bobot atau nilai
pengaruh dalam melakukan overlay.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah lokasi yang memiliki kelas bahaya sedang
sampai dengan sangat tinggi terdapat di Desa Selopamioro, Desa Sriharjo, Desa Girirejo dan
Desa Seloharjo. Sedangkan area yang aman dari bahaya geologi berada pada bagian utara
lokasi penelitian, yaitu pada Desa Muntuk. Area yang memiliki potensi bahaya tinggi disertai
dengan paramater resiko yang tinggi memiliki resiko kehilangan secara fisik dan sosial
ekonomi yang lebih tinggi. Area dengan kondisi tersebut terdapat pada Desa Selopamioro
dan Desa Sriharjo. Desa Seloharjo, Desa Muntuk, dan Desa Mangunan memiliki kelas resiko
sedang sampai dengan kelas tak ada resiko, hal tersebut disebabkan oleh potensi bahaya dan
parameter resiko yang lebih rendah.

40

DAFTAR PUSTAKA

Castellanos Abella, E.A. & van Westen, C.J. 2008. Qualitative landslide susceptibility
assessment by multicriteria analysis: a case study from San Antonio del Sur,
Guantanamo, Cuba. Geomorphology 94(3-4): 453-466.
Crozier, M. J., (1986). Landslides: Causes, consequences, & Environment . London: Croom.
Cruden, D.M., and Varnes, D.J., 1996. Landslide types and processes. In: Turner, A.K., and
Schuster, R.L. (eds), Landslides investigation and mitigation, special report 247.
Transportation Research Board, National Academy Press, Washington D.C: 36–75.
He. C, 2003. Integration of GIS and simulation model for watershed management. Environ
Model Software 18(8–9):809–813;

Karnawati, D. (2002). Basic Concept on Landslide Mapping, Department of Geological
Engineering, Gadjah Mada University.

Popescu, M. E., (2001). Landslide Remediation Options, international decade for Natural
Disaster Reduction (1990-2000), Keynote lecture, Proc. Conf. Transition from Slide to

Flow-mechanical and remedial Measures, ISSMGE TC-11, Trabzon, 73-102
Saaty, T. L. (1980). The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill, Inc.
Soeters, R., and Van Westen, J.V., 1996. Slope instability recognition, analysis, and zonation.
In Turner, A.K., and Schuster, R.L. (eds) landslides investigation and mitigation.
Transport Research Board special Report 247, National Research Council, National
Academic Press, Washington, D.C., pp. 129-177.
Stevenson, P.C., 1977, An empirical method for the evaluation of relative landslide risk,
Bulletin of the International Association of Engineering Geologists, 16, 69-72.
USGS (2004). Landslide types and processes. Fact Sheet 2004-3072
Van Driel, N, 1991. Geographical Information Systems for Earth Science Applications. Proc.
IV Int. Conf. on Seismic Zonation, Stanford, Aug. 25–29,1991.
Van Westen, C. J., Rengers, N., and Soeters, R.( 2003). Use of geomorphological information
in indirect landslide susceptibility assessment, Nat. Haz., 30, 399–419, 2003

Van Westen, C.J., Soeters, R., 2006. Landslide hazard and risk zonation - why is it still so
difficult?. Bulletin of Engineering Geology and the Environment, 65: 167–184.
Varnes, D. J. (1978). Slope movement types and processes. In landslide: analysis and control
(eds R. L. Schuster and R. J. Krizek) Transportation Research Board, National
Research Council, Washington DC, 11-33
41