Prosedur Beracara Persamaan dan Perbedaa

1. Prosedur Beracara di PTUN.
Harus diketahui terlebih dahulu bahwa penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, dan harus diselesaikan secara
bertahap. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila peraturan perundang-undangan
memberikan wewenang kepada pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk dapat
menyelesaikan sengketa TUN melalui upaya administrasi, maka upaya itu harus
ditempuh dahulu dan jika gagal maka baru dapat diajukan ke Pengadilan TUN.
Adapun apabila seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
TUN yang berwenang untuk mengadilinya dengan tahapan sebagai berikut :
1) Penelitian Administrasi
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, hal ini merupakan tahap
pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat
nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya
dengan membayar uang panjar perkara.
2) Proses Dismissal
Setelah Penelitian Administrasi, Ketua Pengadilan melakukan proses
dismissal, yakni proses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak
dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal dilakukan secara singkat dalam rapat
permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai

reporteur (raportir).
Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan
mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila
dipandang perlu. Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan
yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. Apakah penggugat sudah menempuh upaya administrasi (Pasal 48 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
b. Gugatan tidak kadaluarsa (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
c. Diajukan ke Pengadilan TUN secara benar (kompetensi)
d. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak (Pasal 53 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

f. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
TUN yang digugat
Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan,
maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut.
Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil

ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua berhalangan).
Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat
tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum
hari persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk
didengar keterangannya. Upaya hukum terhadap putusan penetapan ini berupa
Verzet/Perlawanan (Pasal 62 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara)
3) Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan dipimpin oleh hakim majelis yang sudah ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan TUN. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk melengkapi
gugatan yang belum jelas. Adapun tujuan khusus pemeriksaan persiapan ini adalah
untuk mematangkan perkara.
Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Surat Edaran
(SEMA

No.

2

Tahun


1991)

serta

Juklak

MARI

(Juklak

MARI

No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/
1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993
tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), majelis Hakim berwenang untuk :
a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan,
demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini

untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam
mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN
mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak
sama. Dapat pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari
Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang
perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh
hakim

c. Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak
ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk
kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia
ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang
bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan
yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada
Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan
Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin”
tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan
yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan suratsurat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat

diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara
pemeriksaan persiapan.
e. Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan
TUN” apabila ternyata tidak diperlukan.
f. Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus
dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam
bentuk penetapan.
4) Persidangan
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal
98 dan 99 Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Adapun dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk
pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan
dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa
tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang
bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat
panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.Surat panggilan kepada tergugat
disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat

dijawab

dengan

tertulis.

Apabila

dipandang

perlu

Hakim

berwenang

memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke
persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Dalam menentukan

hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua

belah pihak dari tempat persidangan. Dalam pemeriksaan dengan acara biasa,
Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan tiga orang Hakim,
sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.
b. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pemeriksaan sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua
Sidang. Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan
tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk
keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang
disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan
dapat dinyatakan tertutup untuk umum, namun putusan tetap diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
c. Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama
dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan kedua tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan
dinyatakan gugur, dan penggugat harus membayar biaya perkara. Setelah gugatan
penggugat dinyatakan gugur, penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali
lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara. Dalam hal tergugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun

setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan surat
penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau
menanggapi gugatan. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan
dengan surat tercatat penetapan tersebut tidak diterima berita baik dari atasan
tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa
hadirnya tergugat.Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas. Dalam hal
terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih diantara mereka atau
kuasanya

tidak

hadir

di

persidangan

tanpa


alasan

yang

dapat

dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari
sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang. Penundaan sidang itu diberitahukan
kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim

Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari
penundaan sidang tersebut tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir,
sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
d. Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang
memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban,
pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Hakim Ketua
Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan
seperlunya hal


yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat

mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat
mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Penggugat dapat
sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan
oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat.
Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu
selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut
Pengadilan, apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib
menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan. Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus
sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan
Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok perkara.
e. Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam

sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai
upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan hakim ketua sidang dalam proses
pemeriksaan sengketa TUN adalah aktif dan menentukan serta memimpin
jalannya persidangan agar pemeriksaan tidak berlarut-larut. Oleh karena itu, cepat
atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada
kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan
umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.Hakim

menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua
alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran
materil. Alat bukti terdiri dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan
saksi, Pengakuan para pihak, Pengetahuan hakim.
f. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing
5) Putusan
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua
Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada
Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan
segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis
yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat,
kecuali

setelah

diusahakan

dengan

sungguh-sungguh

tidak

dapat

dicapai

permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah
majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai
musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak
dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang
menentukan.
Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang
terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada
kedua belah pihak. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak diucapkannya
putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Persamaan dan perbedaan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Perdata
a. Persamaan
1) Pengajuan gugatan
Pengajuan gugatan menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal
54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR, yang mana

hukum acara Peradilan TUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut
asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat.
2) Isi gugatan
Persyaratan mengenai isi gugatan menurut hukum acara Peradilan TUN di atur
dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8
nomor 3 Rv. Isi gugatan pada pokoknya harus memuat, pertama, identitas para
pihak (penggugat dan tergugat), kedua dalil-dalil konkrit tentang adanya
hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan
atau yang lebih dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita (atau
dasar tuntutan yag biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang
menguraikan tentang

kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang

menguraikan tentang

kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang

menguraikan tentang hukumnya), ketiga, petitum atau tuntutan ialah apa yang
oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.
3) Pendaftaran perkara
Pendaftaran perkara menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal
59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR. Gugatan
diajukan ke pengadilan yang berwenang baik secara kompetensi absolut maupun
relatif. Dalam mengajukan gugatan, penggugat diwajibkan membayar uang muka
biaya perkara. Uang muka biaya perkara ini meliputi biaya pemanggilan dan
pemberitahuan kepada para pihak, biaya taksi, biaya administrasi kepaniteraan,
yang semuanya akan di perhitungkan kemudian setelah perkara diputus.
Selain itu kepada penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara,
dibuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan berperkara tanpa biaya.
Permohonan tersebut diajukan bersamaan pada saat mengajukan gugatan yang di
sertai dengan surat keterngan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat.
4) Penetapan hari sidang
Penetapan hari sidang menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam
pasal 59 ayat 3 jo pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur
dalam pasal 122 HIR. Setelah surat gugatan di daftarkan dalam buku daftar
perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menentukan hari dan jam
siding di pengadilan. Dalam menentukan hari sidang ini, hakim harus

mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara
dengan pengadilan tempat persidangan
5) Pemanggilan para pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam
pasal 65 jo pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, sedangkan menurut hukum acara perdata di atur dalam pasal 121
ayat (1) HIR, pasal 390 ayat (1) dan pasal 126 HIR.
Pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna dan
sudah di catat. Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan
hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari, kecuali dalam hal sengketa
tersebut harus di periksa dengan acara cepat.
6) Pemberian kuasa
Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara Peradilan TUN
diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal
123 ayat (1) HIR.
Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang
kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum
atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum
perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus.
Dengan pemberian suarat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakantindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas
nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di
persidangan bisa dilakukan secara lisan.
7) Adanya Hakim majelis
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara Peradilan TUN dan hukum acara
perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu
orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim
anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur
pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara Peradilan
TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99
ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
8) Adanya beberapa asas peradilan yang sama
i.
Persidangan terbuka untuk umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya terbuka untuk
umum, dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan

jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam hukum acara Peradilan TUN
diatur dalam pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sedangkan dalam ukum acara perdata diatur
ii.

dalam pasal 179 ayat (1) HIR.
Audi et alteram partem
ketentuan asas ini mengandung bahwa kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan
adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan

keterangan salah satu pihak saja.
9) Pencabutan dan perubahan gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat
memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan
yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat
persetujuan tergugat (pasal 76 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan pasal 271 RV)
10) Adanya hak ingkar
Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim
atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim, antara hakim
dan panitera, antara hakim atau dengan salah satu pihak yang berperkara
mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, atau juga hakim atau panitera
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya.
11) Pengikutsertaan pihak ketiga
Pada dasarnya di dalam suatu sengketa sekurang-kurangnya terdapat dua
pihak yaitu penggugat sebagai pihak yang mengatakan gugatan dan pihak
tergugat sebagai pihak yang digugat oleh penggugat. Namun, ada kemungkinan
selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak
ketiga yang membela kepentingannya.
12) Beban pembuktian
Baik hukum acara Peradilan TUN maupun hukum acara perdata sama-sama
menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya
karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang
mendapat kesempatan pertama untuk membuktikannya.sedangkan kewajiban
tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang
diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100

sampai dengan pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan pasal 163 jo pasal 164 HIR).
13) Pelaksanaan putusan pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan
putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yang pelaksanaanya
dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR).
b. Perbedaan
1) Obyek gugatan
Objek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah Keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtsmatingoverheid daad), sedangkan
dalam hukum acara perdata adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmating
daad).
2) Subjek atau para pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN,s elalu menempatkan seseorang
atau badan hukum perdata sebagai pihak tergugat (Pasal 53 ayat (1) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), sedangkan dalam hukum
acara perdata tidaklah demikian.
3) Tenggang waktu pengajuan gugatan
Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang
waktu 90 Hari.
4) Tuntutan gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu
(petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar.
Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan pokok yang
berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau
tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.
5) Rapat permusyawaratan
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat Permusyawaratan. Dalam
hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
6) Pemeriksaan persiapan
Dalam hukum acara PTUN juga dikenal pemeriksaan persiapan yang juga
tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim

wajib memberi nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam
jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau
pejabat yang bersangkutan.
7) Pemeriksaan acara cepat
Dalam hukum acara PTUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98
dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara), sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal pemeriksaan
dengan acara cepat.
8) Sistem pembuktian
Sistem pembuktian (vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan
dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara
PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
9) Erga Omnes
Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap mengandung sifat erga omnes artinya berlaku untuk siapa saja dan
tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, seperti halnya
dalam hukum acara perdata.
10) Pelaksanaan serta merta
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana
yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.
11) Kedudukan pengadilan tinggi
Dalam hukum acara perdata kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai
pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa
oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat
pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan
tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
12) Adanya Hakim ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan
keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan
dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila
memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang
hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.
3. Kompetensi absolut dan pembatasannya
Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang
menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking) yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana

disebutkan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan: ” Sengketa tata usaha Negara
adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan
hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang
dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi : 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat TUN; 3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; 5. Bersifat konkrit, individual dan final; 6.
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek
sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan
tersebut. Selain itu, kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat
dalam ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak
mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu
merupakan kewajibannya.
Akan tetapi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dibatasi
oleh ketentuan pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142 Undang-Undang Peradilan
tersebut, sehingga Pembatasan terhadap objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut dibedakan menjadi:
a. Pembatasan langsung

Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama
sekali bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus sengketa dan
menyelesaikan sengketa tersebut. Hal tersebut disebutkan secara tegas dalam :
a) Pasal 2 Undang-Undang Peratun yaitu :
1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana atau Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
b) Pasal 49 Undang-Undang Peratun
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dikeluarkan:
1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan
luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pembatasan tidak langsung
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan yang masih membuka
kemungkinan bagi Pengadilan Tinggi TUN untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa administrasi dengan ketentuan seluruh upaya administratif
yang tersedia telah ditujukan terlebih dahulu oleh Orang/ Badan Hukum Perdata.
Pembatasan tidak langsung tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 48 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peratun sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9
Tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang berbunyi :
1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan

peraturan

perundangundangan

untuk

menyelesaikan

secara

administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia

2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
Berdasarkan pembatasan tidak langsung tersebut, jika upaya administratif
(administratief beroep) yang tersedia telah ditempuh dan pihak Penggugat masih
dirugikan, maka secara tegas dalam ketentuan pasal 51 ayat 3 Undang-Undang
Peardilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut : ”Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48.”
c. Pembatasan langsung yang bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung karena tidak terbuka kemungkinan sama
sekali bagi Peratun untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, akan tetapi hal
tersebut hanya bersifat sementara karena kompetensi absolut Peradilan TUN tersebut
berlaku bagi sengketa Tata Usaha Negara yang sedang diadili oleh Peradilan Umum
pada saat terbentuknya Peradilan TUN, hal tersebut diatur dalam pasal 142 ayat (1)
Undang-Undang Peradilan TUN yang menyebutkan : ” Sengketa Tata Usaha Negara
yang pada saat terbentuknya

Pengadilan menurut Undang-undang ini belum

diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.”