prospek pengembangan sorgum manis sebaga (1)

PROSPEK PENGEMBANGAN SORGUM MANIS
SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Sigit Budi Santoso, Sumarni Singgih

Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jl. Dr. Ratulangi No. 274, Maros 90514

Abstrak
Kebutuhan manusia akan pangan, pakan dan sumber energi dewasa ini semakin
beragam. Pangan dan pakan di Indonesia selama ini didominasi oleh beras dan jagung,
padahal sorgum sebagai tanaman serealia memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Daya adaptasinya yang luas menyebabkan sorgum berpotensi
dikembangkan pada lahan-lahan marginal dan daerah rawan pangan. Selain itu potensi
sorgum sebagai bahan baku etanol mulai banyak dikembangkan. Etanol merupakan
produk fermentasi gula maupun pati yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Sekitar
90 % biofuel dunia saat ini terbuat dari etanol. Sorgum manis dengan kadar gula > 8 brix
mulai dilirik sebagai salah satu sumber bahan baku etanol. Kemampuan sorgum manis
menghasilkan etanol tidak kalah dibandingkan tebu dan jagung. Umur panen yang
singkat, perawatan yang lebih mudah, dan biaya produksi relatif kecil merupakan
keunggulan produksi etanol dari sorgum manis, selain kualitas gasoholnya yang terbaik.
Oleh karena itu program perluasan areal tanam sorgum yang telah dicanangkan juga
harus berjalan seiring program pemuliaan varietas lokal maupun introduksi yang

potensial dalam menghasilkan varietas unggul sorgum manis.
Kata kunci : Sorgum manis, bioetanol

PENDAHULUAN
Sorgum

merupakan

tanaman

serealia

yang mempunyai

potensi

untuk

dikembangkan sebagai komoditas agroindustri. Keunggulan sorgum adalah adaptasinya
yang luas sehingga dapat dibudidayakan pada lahan-lahan marginal karena sifatnya yan

toleran kekeringan. Selain itu sorgum merupakan tanaman multiguna, biji sorgum sebagai
sumber karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman seperti
nasi, kue, bir dan sebagai bahan pakan ternak unggas. Hal ini dikarenakan kandungan
100 g sogum terkandung 73 g karbohidrat , 332 kalori, 11 g protein, 3,3 g lemak, 28 mg
kalsium, 287 mg fosfor, 4,4 mg zat besi, vit B1 0,38 mg vit B1, 12 g air. (Direktorat

Jenderal Tanaman Pangan, 2006). Sorgum sebagai bahan pangan memiliki kandungan
nutrisi yang memadai jika diproses dengan baik dan diolah tepat guna.
Pemanfaatan lain sorgum dalam bidang industri saat ini adalah sebagai bahan
baku etanol, terutama pada jenis sorgum manis yang mempunyai kandungan gula tinggi.
Hal ini berdasarkan kebutuhan bahan bakar yang semakin meningkat sementara di lain
pihak persediaan bahan bakar minyak bumi semakin berkurang. Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis energi dan diperkirakan cadangan minyak bumi nasional hanya cukup
untuk konsumsi 10 tahun kedepan, sehingga sumber energi alternatif bioetanol adalah
salah satu solusinya. Sekitar 90 % biofuel dunia saat ini terbuat dari etanol, hal ini
membuat setiap negara berlomba untuk memproduksi etanol dengan berbagai bahan baku
dan metode. Indutri bioetanol yang berkembang pesat saat ini juga dapat membuka
lapangan pekerjaan baru, membuka perkembangan teknologi dan meningkatkan
pendapatan petani.
Keuntungan sorgum manis sebagai bahan baku pembuatan bio-etanol adalah

biaya produksi yang lebih murah karena efisien dalam menggunakan air dan waktu panen
yang lebih singkat. Setiap hektar sorgum manis dapat menghasilkan 3160 liter etanol dari
seluruh komponen tanamannya, sedangkan dari biji setiap 1 ton menghasilkan 380 l
etanol (ICRISAT, 2007). Selain itu kualitas etanol yang dihasilkan jika dicampur dengan
bensin (gasohol) lebih baik jika dibandingkan dengan etanol dari tebu karena beroktan
tinggi, mengandung sedikit sulfur dan ramah lingkungan. Oleh karena penelitian dan
pengembangan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol perlu dikedepankan sebagai
altenatif bahan bakar alami yang ramah lingkungan.

ASAL DAN PENYEBARAN TANAMAN SORGUM

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan salah satu jenis tanaman
serealia dengan keragaman spesies dan ras yang luas. Klasifikasi tanaman sorgum oleh
para ahli taksonomi bervariasi dimulai dari Linnaeus (Species Plantarum, 1753) sampai
dengan klasifikasi oleh De Wet (1978). Keragaman sorgum budidaya dan kerabat liarnya
dapat ditemukan di kawasan Afrika Timur Laut. Tanaman yang termasuk famili Poaceae
ini diperkirakan pertama kali didomestifikasi di Ethiopia pada 5000-7000 tahun lalu,

2


kemudian melalui jalur-jalur perdagangan Timur Tengah masuk ke India 3000 tahun lalu.
Melalui jalur sutra masuk ke Cina untuk kemudian masuk ke Myammar dan menyebar ke
seluruh Asia Tenggara. Sorgum pertama kali dibawa ke Amerika melalui perdagangan
budak dari Afrika Barat. Kemudian masuk ke Amerika Serikat untuk dibudidayakan
secara komersil dari Afrika Utara, Afrika Selatan dan India pada abad 19.
Harlan dan De Wet (1972) melakukan klasifikasi pada sorgum budidaya
berdasarkan tipe spikelet subspesies bicolor untuk mempermudah pemulia memilih tetua
persilangan.
Tabel 1. Klasifikasi ras dasar dan ras hibrida sorgum budidaya
Basic Races

Hybrid races

1: Bicolor
2: Guinea
3: Caudatum
4: Kafir
5: Durra

1: guinea-bicolor

2: caudatum-bicolor
3: kafir-bicolor
4: durra-bicolor
5: guinea-caudatum
6: guinea-kafir
7: guinea-durra
8: kafir-caudatum
9: durra-caudatum
10: kafir-durra

Sumber Harlan dan De Wet (1972)

Harlan dan De Wet (1972) melaporkan bahwa di Afrika penyebaran ras-ras dasar
sorgum relatif konsisten. Untuk ras Guinea utamanya terdapat di Afrika Barat dan daerah
sekundernya terdapat di Malawi-Tanzania. Caudatum banyak terdapat mulai dari Nigeria
Timur, Sudan Timur hingga mencapai Uganda. Kafir adalah ras utama yang banyak
terdapat di Afrika Timur dan Afrika Utara. Ras Durra dominan di Ethiopia sampai ke
dataran kering dekat gurun Sahara. Sedangkan untuk ras Bicolor menyebar dalam skala
kecil hampir di seluruh Afrika, termasuk jenis sorgum manis masuk dalam ras Bicolor.


BUDIDAYA DAN WILAYAH PENGEMBANGAN SORGUM
Budidaya tanaman sorgum dalam upaya meningkatkan produktivitas dan
pendapatan petani tidak terlepas penerapan teknologi budidaya yang digunakan. Hal ini
dimulai dari penggunaan varietas dengan produktivitas tinggi, benih yang bermutu dan
teknologi budidaya yang optimal. Dalam kurun waktu 1960-2001 di Indonesia telah
3

dilepas 15 varietas sorgum, baik yang berasal dari varietas lokal maupun introduksi. Hal
ini dapat dilihat pada tabel 2, dimana varietas terakhir dilepas adalah Numbu dengan hasil
5,05 t/ha. Kelebihan varietas Kawali dan Numbu adalah kadar protein tinggi (8,81dan
9,12%), malai kompak dan besar, tahan: rebah, penyakit karat, penyakit bercak daun dan
agak tahan hama aphis. Dari hasil uji organoleptik kedua varietas ini yang tertinggi dalam
hal rasa, aroma, kekenyalan dan penerimaan umum dibanding UPCA-S1 dan Mandau.
Kebutuhan benih untuk sorgum adalah 8-10 kg/ha.

Tabel 2. Varietas sorgum yang dilepas di Indonesia
Varietas

Asal


1. Cempaka
2. Birdroof
3. Katengu
4. No. 46
5. No. 6C
6. UPCA-S2
7. UPCA-S1
8. KD4
9. Keris
10. Badik
11. Hegari genjah
12. Mandau
13. Sangkur
14. Kawali
15. Numbu
Ket:
I = Introduksi
L = Lokal
P = Putih


I
I
I
I
L
I
I
I
I
I
L
I
I
I
I

Tahun
Umur
Hasil biji
dilepas

panen
(t/ha)
< 1960
105
3.5
< 1960
105
3.5
< 1960
105
3.5
1967
105
4.0
1969
105
4.5
1972
105
4.5

1972
95
4.0
1973
95
4.0
1973
83
3.0
1983
85
3.0
1985
85
3.7
1991
91
4.5
1991
92

3.8
2001
110
4.76
2001
105
5.05
CT = Coklat tua
KM = Kemerah-merahan
CM = Coklat muda

Warna biji
P
P, CT
CT
P, CT
KM
C
C
P
P
P
P
CM
CM
K
K
K = Krem

Tanaman sorgum merupakan tanaman semusim yang mudah dibudidayakan,
walaupun diusahakan pada lahan-lahan yang kurang subur dan kekurangan air. Menurut
Beti et al., (1990) sorgum dapat tumbuh pada semua jenis tanah, kecuali tanah podzolik
merah kuning yang masam . Tanah grumosol, aluvial, andosol, regusol dan mediteranian
umumnya sesuai untuk tanaman sorgum. Sorgum beradaptasi baik pada tanah yang
sedikit masam (pH=5,0) hingga sedkit basa (pH=7,5). Untuk memperoleh pertumbuhan
yang optimal, areal pertanaman sorgum harus memiliki drainase yang baik atau budidaya
pada lahan mengandung pasir dengan bahan organik yang cukup. Produksi sorgum yang

4

tinggi sangat ditentukan oleh cara pertanaman dan pemeliharaan tanaman (Singgih,
2004).
Sorgum merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia,
khususnya di lahan kering beriklim kering seperti kawasan Indonesia Timur. Hal ini
karena sorgum toleran kekeringan dan memiliki adaptasi yang luas. Curah hujan 50-100
mm per bulan pada 2 – 2,5 bulan sejak tanam, diikuti dengan periode kering merupakan
curah hujan yang ideal untuk keberhasilan produksi sorgum. Walaupun demikian pada
daerah dengan curah hujan tinggi sorgum masih dapat tumbuh dan menghasilkan dengan
baik. Sorgum lebih sesuai ditanam di daerah yang bersuhu panas, lebih 20°C dan
udaranya kering. Dataran rendah dengan ketinggian 1-500 m dpl paling cocok untuk
sorgum, karena ketinggian >500 m dpl menyebabkan umur panen sorgum lebih dalam
(Beti et al., 1990).
Areal tanaman sorgum di Indonesia pada tahun 1981 mencapai 60.000 ha, pada
tahun 1989 menurun menjadi 25.000 ha. Untuk daerah Jawa Timur saja pada 1989 luasan
tanam mencapai 5.500 ha dan menurun menjadi hanya 1800 ha pada tahun 2000.
Penurunan areal tanam ini disebabkan antara lain karena program pemerintah yang
terkonsentrasi pada peningkatan produksi padi dan jagung, tingkat harga rendah,
kesulitan petani dalam masalah prosesing dan adanya tanaman alternatif lain yang
umurnya lebih pendek dan harganya lebih tinggi seperti kacang hijau. Oleh karena itu
usaha perluasan areal tanam sorgum perlu ditingkatkan lagi, khususnya lahan-lahan
marginal dimana tanaman pangan seperti padi dan jagung tidak dapat tumbuh dengan
baik. Tabel 3 menunjukkan realisasi areal tanam sorgum di Indonesia, pada 2005 areal
tanam telah mencapai 10.790 ha, sedangkan target areal tanam sampai tahun 2009 adalah
sebesar 30.000 ha (tabel 4.) dengan produktivitas yang diharapkan 3,0 t/ha. Beberapa
propinsi yang potensial pengembangan sorgum adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT
dan NTB. Areal sorgum di Jawa Timur dan Jawa Tengah perlu dipertahankan karena para
petaninya sudah terbiasa berbudidaya sorgum (jagung cantel), dan hanya perlu
diperkenalkan varietas unggul serta perbaikan teknik budidaya. Sedangkan untuk propinsi
Nusa Tenggara Timur dan Barat banyak mempunyai lahan marginal, khususnya lahan
tercekam kekeringan yang tidak dapat ditanami tanaman lain kecuali sorgum.

5

Tabel 3. Realisasi tanaman sorgum tahun 2000-2005
Nomor
Tahun
Luas tanam (ha)
1
2000
9.976
2
2001
9.879
3
2002
6.176
4
2003
8.386
5
2004
11.791
6
2005
10.790
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2006

Tabel 4. Rencana tanam dan produksi sorgum tahun 2006-2009 di Indonesia
Nomor

Tahun

Luas tanam (ha)

Produksi (t)

1
2006
15.500
38.750
2
2007
19.000
57.000
3
2008
22.500
67.500
4
2009
30.000
75.000
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2006

Produktivitas
(ku/ha)
25.0
30.0
30.0
30.0

SORGUM SEBAGAI PANGAN DAN PAKAN
Diversifikasi pangan sebagai salah satu bentuk ketahanan pangan nasional
seharusnya mendapat perhatian lebih. Daerah-daerah marginal yang kekurangan input air
bisa dimanfaatkan untuk budidaya sorgum. Hal ini juga dapat mencegah terjadinya rawan
pangan yang selama ini hanya mengandalkan beras. Pemanfaatan sorgum selama ini
berkisar sebagai pakan ternak dan hanya sebagian kecil digunakan untuk pangan.
Kandungan nutrisi sorgum sebagai bahan pangan cukup memadai, hal ini dikemukakan
oleh Suarni (2004) bahwa sorgum mengandung 83 % karbohidrat, 3,5 % lemak dan 10 %
protein (basis kering). Kandungan protein sorgum dalam hal ini lebih tinggi dibandingkan
jagung (9,2 %) dan beras (7,6 %) (Beti et al., 1990). Kekurangan sorgum sebagai bahan
pangan adalah kandungan tanin yang menyebabkan rasa menjadi sepat. Kandungan tanin
pada sorgum cukup tinggi berkisar 3,67 – 10,66 % dan umumnya biji yang berwarna
merah sampai cokelat kandungan tanin lebih tinggi dibandingkan biji berwarna putih.
Tanin dalam sorgum dapat dihilangkan dengan penyosohan, akan tetapi kandungan
protein juga terbawa akibat aleuron terkikis.
Sorgum juga dapat diolah menjadi berbagai produk makanan seperti roti tawar
mie kering dan kue kering. Pembuatan roti tawar tidak sepenuhnya dibuat dari tepung
sorgum. Menurut Suarni (2004) hal ini disebabkan kadar gluten yang rendah pada
6

sorgum sehingga tepung sorgum perlu dicampur dengan tepung terigu. Sedangkan untuk
pembuatan mie kering substitusi yang sesuai adalah 20 % tepung sorgum.
Penggunaan biji sorgum dalam ransum ternak dapat sebagai substitusi jagung
karena kadar nutrisi yang tidak berbeda dengan jagung (Sirappa, 2003). Akan tetapi
karena kandungan tanin yang cukup tinggi pemberian sebagai ransum ternak digunakan
dalam jumlah terbatas karena dapat mempengaruhi fungsi asam amino dan protein
(Rooney et al., dalam Sirappa, 2003). Kandungan tanin dalam ransum apabila mencapai
2 % dapat menyebabkan kematian (Rayudu et al., dalam Sirappa, 2003).
Menurut Beti et al., 1990 ransum pakan ternak dari biji sorgum dapat diberikan
langsung berupa biji atau melalui pengolahan yang dicampur bahan lainnya. Komposisi
ransum pakan ternak yang terdiri dari biji sorgum 55-60 %, bungkil kedelai/kacang 20 %,
tepung ikan 2,5-20 % dan vitamin-mineral 2-8 %. Ransum dapat diberikan untuk ayam,
itik, babi dan sapi perah.

SORGUM MANIS SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Kebutuhan akan energi yang ramah lingkungan dewasa ini menjadi semakin
mendesak dikarenakan kerusakan lingkungan akibat polusi udara emisi buangan
kendaraan bermotor yang menggunakan minyak bumi. Sumber energi yang mudah
didapat dan ramah lingkungan menjadi tujuan utama pengembangan biofuel saat ini.
Etanol menjadi salah satu altenatif energi alami yang akhir-akhir ini banyak
dikembangkan tidak hanya di Indonesia tetapi dunia. Etanol merupakan salah satu
turunan alkohol yang mempunyai kandungan oktan tinggi dan diproduksi dari hasil
fermentasi gula atau pati. Komoditas pertanian sebagai bahan baku bioetanol beragam,
Brasil menggunakan tebu sebagai bahan baku utama, Amerika Serikat menggunakan biji
jagung sedangkan Cina dari serealia dan ubi kayu.
Setelah Amerika Serikat dan Brazil, Cina merupakan produsen etanol ke-tiga
terbesar di dunia (Tabel 5.). Potensi etanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan
membuat setiap negara saat ini berlomba mengembangkan dan memproduksi etanol dari
beragam komoditas. Etanol memegang 90 % dari total produksi biofuel di berbagai
belahan dunia saat ini. Keuntungan dari penggunaan etanol sebagai energi alami adalah
sifatnya yang ramah lingkungan karena mengandung oksigen sehingga mengurangi emisi

7

karbon monoksida. Selain itu produksi biofuel akan mengembangkan teknologi baru,
indutri baru, tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan petani.
Tabel 5. Produksi etanol dunia tahun 2005
Negara
2005 (juta gallon)
Amerika Serikat
4.264
Brasil
4.227
Cina
1.004
India
449
Perancis
240
Rusia
198
Jerman
114
Afrika Selatan
103
Spanyol
93
Inggris
92
Thailand
79
Ukraina
65
Kanada
61
Polandia
58
Indonesia
45
Argentina
44
Italia
40
Australia
33
Saudi Arabia
32
Jepang
30
Swedia
29
Pakistan
24
Filipina
22
Korea Selatan
17
Guatemala
17
Ekuador
14
Kuba
12
Meksiko
12
Nikaragua
7
Zimbabwe
5
Kenya
4
Mauritius
3
Swaziland
3
Lain-lain
710
Total
12.150
Sumber : http://www.ethanolrfa.org/industry/statistics/#E

Sorgum merupakan salat satu komoditas yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol. Pembuatan etanol dari sorgum dapat dilakukan dengan
mengolah biji yang mengandung 65-71 % pati menjadi gula sederhana atau memeras
batang sorgum untuk kemudian diolah menjadi etanol. Batang sorgum dapat dibagi
menjadi dua tipe. Tipe I adalah tipe kering, yaitu pada saat tanaman tua hanya terdapat

8

sedikit air (juice) dalam batang. Tipe II adalah tanaman yang saat tua mengandung
banyak juice. Sorgum manis termasuk kedalam tipe II. Sorgum manis merupakan salah
satu jenis sorgum dari subspecies bicolor yang memiliki ciri kandungan gula pada batang
yang tinggi. Sorgum manis serupa dengan sorgum biji tetapi pertumbuhannya lebih cepat,
produksi biomas yang lebih tinggi, adaptasi lebih luas dan memiliki potensi sebagai
bahan baku etanol (Reddy et al., 2007). Sorgum dikategorikan sorgum manis jika
kandungan gula tanaman lebih dari 8 brix. Kandungan nira sorgum manis setara dengan
nira tebu, hanya memiliki kandungan amilum dan asam akonitat yang tinggi (tabel 6).
Amilum tinggi menyebabkan kristalisasi gula kurang sehingga gula yang dihasilkan
berbentuk cair. Hal inilah yang membuat sorgum manis lebih berpotensi digunakan
sebagai bio-etanol dibandingkan tebu, selain itu etanol sorgum manis emisinya lebih
bersih dari etanol tebu jika dicampur dengan bensin (gasohol) karena mengandung sedikit
sulfur
Tabel 6. Perbandingan komposisi nira sorgum manis dan nira tebu
Komposisi
Nira sorgum
Brix (%)
13,60 − 18,40
Sukrosa (%)
10 − 14,40
Gula reduksi (%)
0,75 − 1,35
Gula total (%)
11 − 16
Amilum (ppm)
209 − 1.764
Asam akonitat (%)
0,56
Abu (%)
1,28 − 1,57
Sumber : Dirjen Perkebunan dalam Sirappa (2003).

Nira tebu
12 − 19
9 − 17
0,48 − 1,52
10 − 18
1,50 − 95
0,25
0,40 − 0,70

Di India bioetanol sorgum digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu
penerangan disebut Noorie yang menghasilkan 1.250-1.300 lumens atau setara dengan
bola lampu 100 W, kompor pemasak dengan kapasitas panas 3 Kw dan campuran
bioetanol sorgum dengan bensin untuk bahan bakar kendaraan bermotor (Rajvanshi and
Nimbkar,2005).
Rencana pengembangan sorgum untuk bahan baku bioetanol di Indonesia sudah
mulai dirancang sejak tahun 2006. Untuk pemenuhan substitusi premium 10 %
diperlukan 3 kg biji sorgum yang dapat menghasilkan 1 liter etanol maka pada tahun
2010 dibutuhkan areal tanam sorgum untuk bahan baku bioetanol seluas 3.377 ha dengan
produksi 6.733 ton (Direktorat Tanaman Pangan, 2006) seperti pada Tabel 7 di bawah ini

9

Tabel 7. Rencana aksi pengembangan sorgum sebagai sahan baku bioetanol
Kegiatan

2006

2007

2008

2009

2010

2015

2020

2025

17,17

18,37

19,66

21,00

22,51

31,57

44,28

62,11

(ribu kl)

171,7

183,7

196,6

210,0

225,1

315,7

442,8

621,1

Pemenuhan 1 % (kl)

1,717

1,837

1,966

2,100

2,251

3,157

4,428

6,211

-Produksi (ton)

5.151

5.511

5.898

6.300

6.753

9.471

13.284

18.633

-Areal tanam (ha)

2.576

2.756

2.949

3.150

3.377

4.736

6.642

9.317

Kebutuhan

premium

(juta kl)
Subtitusi

Gasohol

On Farm

Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2006

Keunggulan produksi etanol dari sorgum manis dibandingkan komoditas lain
seperti tebu dan jagung terlihat pada tabel 8. Meskipun secara kuantitas etanol sorgum
manis paling rendah tetapi dari biaya produksi termurah. Hal ini dikarenakan sorgum
manis efisien dalam menggunakan air. Umur panen jika dibandingkan dengan tebu jauh
lebih singkat. Kelebihan lain adalah limbah sisa pembuatan etanol masih dapat diberikan
sebagai pakan ternak karena mempunyai kandungan vitamin dan miberal lebih tinggi
dibandingkan limbah tebu. Dari segi agronomi, sorgum manis mempunyai kelebihankelebihan antara lain kebutuhan benih 4-5 kg per hektar dibanding tebu 4.500-6000 kg
stek tebu.
Tabel 8. Produksi etanol sorgum manis, tebu dan jagung
Parameter
Umur panen
Kebutuhan air
Hasil biji (t/ha)
Etanol dari biji (l/ha)
Hasil biomas batang (t/ha)
Etanol dari batang (l/ha)
Etanol dari residu (l/ha)
Total etanol (l/ha)
Biaya produksi (US$/ha)
Sumber : ICRISAT, 2007

Sorgum manis
4 bulan
4000 m3
2,0
760
35
1400
1000
3160
220

Tebu
12 bulan
36000 m3
75
5600
3325
8925
995

Jagung
4 bulan
8000 m3
3,5
1400
45
0
1816
3216
272

Rendemen bioetanol yang diperoleh dari biji sorgum tidak berbeda dengan jagung yang
berkisar antara 2,5-3,0 kg biji per liter bioetanol seperti yang tercantum pada Tabel 9
dibawah ini

10

Tabel 9. Hasil fermentasi biji sorgum menggunakan yeast Haken No. 1
Jenis sorgum

Kawali
B100
Sorgum manis lokal
Sumber: Yudiarto (2005)

Umur
fermentasi
(jam)
72
72
72

Total Sugar
awal (%)

Total Sugar
Akhir (%)

16.08
17.38
16.07

1.74
1.59
1.56

Bioetanol
dalam broth
(%)
8.8
9.9
8.9

Rendemen
(kg biji/liter
bioetanol
2.32
2.76
2.83

Penelitian potensi sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah banyak
dilakukan oleh berbagai lembaga riset. Salah satunya adalah Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia (P3GI), Pasuruan yang meneliti potensi sorgum manis sejak 1980. Tujuan
penelitian sebagian besar ditujukan mengetahui potensi sorgum manis sebagai bahan
baku pabrik gula. Hasilnya kualitas nira sorgum manis berpotensi sebagai bahan baku
alternatif pabrik gula. Tetapi kandungan amilum dan asam akonitat yang tinggi
menghambat proses kristalisasi sehingga lebih berpotensi digunakan sebagai bahan baku
bioetanol, gula merah dan industri fermentasi (Sudarijanto et al., 2007).
Hasil penelitian P3GI pembuatan bioetanol dari nira sorgum manis terlihat pada
tabel 10 dan 11. Data pada tabel 10 menujukkan bahwa pembuatan bioetanol dari sorgum
manis membutuhkan tambahan tetes (sampai kadar gula 16 %) untuk mendapatkan hasil
optimal. Hasil yang rendah didapatkan jika hanya menggunakan nira sorgum (6,92)
dibandingkan penambahan tetes (10,60), dan tetes saja (10,25). Akan tetapi dari efisiensi
fermentasi dari tabel 11 terlihat nira sorgum nilai efisiensi fermentasi tertinggi (95,86)
dibandingkan nilai nira sorgum + tetes (92,64). Hasil ini menunjukkan bahwa pembuatan
bioetanol dari sorgum manis potensial dikembangkan dengan tetap menggunakan bahan
baku tebu untuk meningkatkan hasil bioetanol. Pembuatan bioetanol sorgum manis
sebagai hasil alternatif pabrik gula juga potensial untuk dikembangkan terutama untuk
menunggu waktu panen tebu. Kendala lain menurut Sudarijanto et al., (2007) dalam
pembuatan bioetanol dari nira sorgum manis adalah total sugar as invert (TSAI) yang
terkandung di dalamnya rendah maka diperlukan tambahan kadar gula bahan fermentasi
guna meningkatkan kadar bioetanol didalam cairan hasil fermentasi (% v/v).

11

Tabel 10. Kadar bioetanol hasil fermentasi nira batang sorgum manis dan tetes
Kadar bioetanol cairan hasil fermentasi (% v/v)
Ulangan
Nira sorgum + tetes
Tetes
Nira sorgum
1
10.64
10.16
6.72
2
10.56
10.16
7.04
3
10.68
10.08
7.04
4
10.72
10.36
6.93
5
10.49
10.24
6.92
6
10.64
10.32
6.76
7
10.48
10.44
6.84
Rerata
10.6a
10.25b
6.92c
Sumber : Kurniawan dalam Sudarijanto et al., (2007)

Tabel 11. Efisiensi fermentasi bioetanol dari bahan baku nira sorgum manis, tetes dan
campuran nira sorgum manis dan tetes
Kadar bioetanol cairan hasil fermentasi (% v/v)
Ulangan
Nira sorgum + tetes
Tetes
Nira sorgum
1
93.37
84.65
93.66
2
94.61
85.27
95.28
3
95.73
83.78
98.33
4
93.22
86.89
96.80
5
91.22
84.63
98.47
6
90.66
85.18
91.32
7
89.30
86.63
97.24
Rerata
92.64a
85.29b
95.86c
Sumber : Kurniawan dalam Sudarijanto et al., (2007)

Penelitian sorgum manis oleh litbang pertanian (Balitsereal) telah dimulai pada
tahun 1996, tetapi hanya sebatas potensi nira sorgum sebagai bahan alternatif pembuatan
gula. Penelitian bioetanol sorgum manis baru dimulai pada tahun 2006 dengan
menghasilkan beberapa galur potensial yang memiliki kadar gula tinggi. Kadar gula
batang evaluasi tahun 2006 menunjukkan galur 1090 memiliki kandungan gula reduksi
(%) tertinggi (53,85), sedangkan kandungan gula pada biji varietas lokal Selayar Hitam
memiliki nilai tertinggi (3,48). Data tabel 12 menunjukkan hasil evaluasi pada tahun
2007, pada parameter jumlah nira/batang (cc) tertinggi dihasilkan oleh galur 15016 dan
lokal Buleleng Empok (39.5). Tetapi dari parameter kadar gula (brix) tertinggi dihasilkan
oleh galur 15105 C (12.5) (Singgih et al., 2007). Beberapa galur/varietas lokal yang
memiliki jumlah nira tinggi hanya beberapa yang memiliki kadar gula > 8 brix,
sedangkan galur/varietas lokal dengan nilai brix tinggi jumlah niranya sedikit. Hal ini
berarti diperlukan program pemuliaan lebih lanjut untuk meningkatkan jumlah nira

12

batang dengan tingkat brix tinggi. Salah satunya adalah dengan pembuatan hibrida
sorgum manis dari galur/varietas yang potensial sehingga dapat meningkatkan produksi
bioetanol.
Tabel 12. Rata-rata jumlah nira, kadar gula (brix) dan kadar tanin biji pada beberapa
lokasi di Sulawesi Selatan, 2007*.
Jumlah nira/batang
No. No. Entry Nama Entry
(cc)
1
45 15016
39.5
2
10 Buleleng Empok
39.5
3
50 1090 A
38.0
4
20 IK247-1-1
31.5
5
17 IS 181
31.0
6
19 67388
27.5
7
16 15051 A
27.5
8
5 Span 94018
26.5
9
3 15021 A
25.5
10
11 15108 B
25.5
11
25 1113 A
25.0
12
7 15003 A
23.5
13
37 15105 C
23.0
14
51 15011 A
22.5
15
13 15105 A
22.5
16
29 4-183 A (Putih)
20.0
17
47 1115 C
17.5
18
34 4-183 A (merah)
17.0
19
44 Lokal Jeneponto
16.5
20
48 1087 A
16.5
Ket. : * = Data diolah dari Singgih et al., 2007

Kadar gula/batang
(Brix)
9.5
10.5
10.0
5.5
5.5
4.5
6.5
5.5
7.5
7.5
6.0
4.0
12.5
7.0
11.0
7.5
7.0
9.5
5.5
8.0

Kadar tanin
biji/100 g (%)
0.165
0.077
0.012
0.085
0.289
0.078
0.080
0.111
0.130
0.199
0.086
0.140
0.024
0.173
0.086
0.016
0.004
0.094
0.165
0.119

Pembuatan bioetanol dari sorgum manis dibandingkan komoditas lain seperti tebu
dan jagung, menguntungkan karena tidak mengganggu ketahanan pangan. Walaupun
fermentasi biji juga dapat menghasilkan bioetanol. Evaluasi pada 2007 di beberapa lokasi
di Indonesia terlihat pada tabel 12. Total biomas tanaman tertinggi dihasilkan galur
15021 A (11,8 t/ha), kemudian lokal Watar hammu putih (10,8 t/ha). Dengan hasil etanol
/kg batang, maka hasil bioetanol tertinggi adalah lokal Watar hammu putih sebesar ±
3000 L/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan varietas hibrida ICRISAT maupun varietas
sorgum manis yang umum dikenal seperti Rio, Wray dan Keller. Yang menjadikan
varietas lokal ini sangat potensial untuk diuji lebih lanjut sebagai varietas unggul baru.
Sedangkan dari hasil biji jika diolah menjadi bioetanol, jumlah tertinggi dihasilkan galur
15131 B dan 5-193 C yaitu ± 960 L/ha (asumsi 1 L bioetanol/3 kg biji). Dari hasil
13

evaluasi yang telah dilakukan galur/varietas yang terpilih perlu dikembangkan dan
dievaluaasi lebih lanjut sehingga dapat menjadi varietas unggul sorgum manis.
Tabel 13. Rata-rata jumlah etanol, biomas tanaman dan hasil biji kering pada beberapa
lokasi, 2007*.
Etanol/kg batang Biomas tanaman Hasil biji kering
No. No. Entry Nama Entry
(ml)
(t/ha)
(t/ha)
1
3 Watar hammu putih
342.6
10.8
2.05
2
17 15105 B
303.1
6.5
2.14
3
15 15020 A
259.8
6.8
1.70
4
16 1090 A
255.0
6.6
2.06
5
18 15021 A
253.6
11.8
1.89
6
7 15011 A
237.5
8.8
1.54
7
13 15011 B
196.6
6.7
1.94
8
4 4-183 A
193.5
8.6
2.43
9
14 15131 B
178.5
6.1
2.89
10
9 15019 B
172.3
6.7
2.52
11
6 15003 A
164.5
5.9
2.17
12
5 5-193 C
163.4
6.3
2.89
13
11 Selayar hitam
162.4
6.5
1.32
14
10 15105 D
156.6
8.0
1.80
15
20 Sorgum hitam
127.6
5.8
1.89
16
19 15108 B
116.0
8.2
1.90
17
12 15015 A
109.8
8.9
1.56
18
2 Buleleng merah
105.6
7.9
2.46
19
8 1115 C
98.7
9.1
1.21
20
1 15051 B
83.5
5.6
1.75
Ket. : * = Data diolah dari Singgih et al., 2007.

Program pembuatan bahan bakar alternatif yang ramah energi dan dapat diperbaharui ke
depan menjadi prioritas utama litbang pertanian. Sorgum manis hanya salah satu
komoditas yang potensial dikembangkan di Indonesia, khususnya lahan-lahan marginal.
Sedangkan program pemuliaan sorgum manis bertujuan menghasilkan varietas unggul
dalam hal biomas tanaman, kadar gula, toleransi terhadap cekaman lingkungan serta daya
hasil bioetanol tinggi.

14

KESIMPULAN

Sorgum manis merupakan tanaman dengan daya adaptasi yang luas dan mampu
tumbuh baik pada lahan-lahan marginal, perlu mendapat perhatian dan pengembangan
lebih lanjut tidak hanya sebagai bahan pakan ternak tetapi berpotensi digunakan sebagai
bahan baku bioetanol. Biaya produksi sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol lebih
rendah dibandingkan komoditas lain dengan kualitas gasohol yang lebih baik. Selain itu
limbah pembuatan bioetanol masih bermanfaat sebagai pakan ternak dan bahan baku
industri furnitur. Sehingga program pemuliaan perlu dikedepankan dari materi varietas
lokal dan introduksi untuk menghasilkan sorgum manis dengan daya hasil bioetanol
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Beti, Y.K., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monograf Balittan Malang No.5.
Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang . 25 hal.
De Wet, J.M.J. 1978. Systematics and evolution of Sorghum sect. Sorghum (Gramineae).
American Journal of Botany 65(4): 477-484.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2006. Program pengembangan tanaman sorgum di
Indonesia. Makalah dalam Fokus Grup Diskusi ”Prospek Sorgum dalam
Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi. Serpong, 5 September 2006.
Harlan, J.R., and de Wet, J.M.J. 1972. A simplified classification of cultivated sorghum.
Crop Science 12(2):172-176.
ICRISAT. Sweet sorghum : Food, Feed, Fodder and Fuel Crop. ICRISAT.org/html/pdf.
12 Agustus 2007.
Kurniawan, Yahya. 1982. Alkohol dan nira sorgum batang Manis dan tetes dalam
Sudarijanto, Andar et al. 2007. Pengalaman Pengembangan Sorgum Manis di
indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 28 hal.
Rajvanshi and Nimbkar. 2005. Sweet Sorghum R & D at the Nimbkar Agriculture
Research Institute (NARI) dalam Soeranto Hoeman, 2007 Workshop ”Peluang
dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jakarta.

15

Reddy, B.V.S., A. A. Kumar and S. Ramesh. 2007. Sweet sorghum : A water saving bioenergy crop. ICRISAT. 12p.
Singgih, S. 2004. Teknologi produksi sorgum. Makalah disajikan pada Pelatihan
Peningkatan Kemampuan Petugas Produksi Benih Serealia tanggal 14-16 Juli
2004, Balitsereal Maros.
Singgih, S., M. Hamdani, A. Nur, dan M. A. Nawir. 2007. Perbaikan varietas sorgum
untuk sumber bioetanol. Laporan Akhir Tahun 2007. Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros. 32 hal.
Singgih, Sumarny. 2006. Kajian pendahuluan berbagai plasma nutfah sorgum sebagai
bahan bioteanol. Laporan Akhir Tahun 2006 Koleksi, Rejuvenasi, Karakterisasi
dan Evaluasi Plasmanutfah Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia ,Maros.
Sirappa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas
alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal litbang pertanian 22(4) hal
133-140.
Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal litbang pertanian
23(4) hal 145-151.
Sudarijanto, A., Sunantyo dan S. Hadisaputro. 2007. Pengalaman pengembangan sorgum
manis di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 28
hal.
Yudiarto, M.A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Fokus
Grup Diskusi ”Prospek Sorgum dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan
Energi. Serpong, 5 September 2006.

16