Isolasi dan seleksi mikroalga yang berpo (1)

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)

1

Isolasi dan Seleksi Mikroalga yang Berpotensi
sebagai Bahan Baku Biodiesel dari Perairan
Wonorejo, Surabaya
A. Azzahidah dan D. Ermavitalini
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia
e-mail: dinierma@bio.its.ac.id

Abstrak—Lipid mikroalga adalah minyak masa depan untuk
produksi biodiesel yang berkelanjutan. Salah satu keputusan
penting dalam memperoleh minyak dari mikroalga adalah
pemilihan spesies. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan
isolasi dan karakterisasi mikroalga dari Wonorejo melalui seleksi
terhadap kandungan lipid secara kualitatif untuk mengetahui
jenis mikroalga yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel.
Pengambilan sampel mikroalga dilakukan di 3 stasiun muara

Wonorejo. Parameter perairan yang diukur yaitu suhu, DO, pH,
salinitas, kecerahan, kandungan ammonia, nitrit, nitrat dan
fosfat. Isolasi mikroalga dilakukan dengan menggunakan metode
pengenceran bertingkat dan streak plate. Analisis kualitatif
kandungan lipid dilakukan dengan pewarnaan Nile red dan
diamati dibawah mikroskop fluorescence dengan panjang
gelombang 450-490 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelimpahan total mikroalga di muara Wonorejo berkisar antara
1355,53-1605,10 ind/l. Hasil isolasi didapatkan sebanyak 5 genus
yaitu Nitzschia, Navicula, Oscillatoria, Chlorococcum dan
Nannochloropsis. Mikroalga Chlorococcum memiliki kandungan
lipid yang paling tinggi serta berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut sebagai bahan baku biodiesel.
Kata Kunci—biodiesel, isolasi, mikroalga, kandungan lipid.

I. PENDAHULUAN

E

NERGI telah menjadi kebutuhan yang mutlak dan harus

dipenuhi. Semua sarana dan prasarana penunjang
kehidupan manusia digerakkan oleh energi. Kebutuhan energi
di Indonesia selama ini cenderung dipenuhi dari bahan bakar
fosil yang semakin lama semakin menipis dan tidak dapat
diperbarui [1]. Kesadaran akan cadangan bahan bakar fosil
yang semakin menipis menyebabkan pengembangan bahan
bakar alternatif terbarukan terus dilakukan, salah satunya
adalah bahan bakar biodiesel [2].
Mikroalga merupakan salah satu organisme yang dapat
dinilai ideal dan potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku
produksi biodiesel [3], [4], [5]. Keuntungan pengembangan
mikroalga sebagai penghasil biodiesel karena kemampuannya
untuk mensintesis lipid sangat tinggi dengan kandungan lipid
dalam biomassa kering spesies mikroalga tertentu dapat
mencapai di atas 50%-80% dengan pertumbuhan yang sangat
cepat [6], [7]. Lipid inilah yang merupakan senyawa dasar

pembentukan bahan bakar biodiesel. Rujukan [2] menyatakan
bahwa biodiesel merupakan senyawa alkil ester yang didapat
dari proses transesterifikasi senyawa hidrokarbon yang bisa

didapat dari hewan, tumbuhan atau triasilgliserol (TAG) alga.
Rujukan [8] menyatakan mikroalga di alam dapat
mengakumulasi lipid pada keadaan tertentu. Mikroalga ketika
berada pada kondisi yang tidak optimal akan mengubah jalur
biosintesis lipid mereka menuju pembentukan dan akumulasi
lipid netral (20%-50% berat kering), terutama dalam bentuk
triasilgliserol (TAG) [9]. Mikroalga mengakumulasi total lipid
dalam jumlah banyak sampai menemukan lingkungan tumbuh
yang baik [2].
Terdapat beberapa jenis mikroalga yang telah diketahui
mempunyai kandungan minyak alami yang tinggi, seperti
Botryococcus braunii, Chlorella sp., Schizochytrium sp., dan
Nannochloropsis sp. [10]. Pertumbuhan dan produktivitas
lipid dari mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu: cahaya (kualitas, kuantitas), temperatur,
konsentrasi nutrisi, pH dan salinitas [2].
Penelitian mengenai potensi mikroalga telah banyak
dilakukan, namun penelitian terhadap potensi mikroalga alam
terutama dari perairan Wonorejo sebagai bahan baku
penghasil biodiesel masih sangat kurang. Sehingga dalam

penelitian ini akan dilakukan isolasi dan seleksi terhadap
kandungan lipid secara kualitatif untuk mengetahui jenis
mikroalga yang ditemukan di perairan Wonorejo yang
berpotensi sebagai bahan baku biodiesel.
II. URAIAN PENELITIAN
A. Pengambilan Sampel Mikroalga
Sampling mikroalga, identifikasi dan analisis kandungan
lipid mikroalga secara kualitatif dilakukan pada bulan Februari
– Juni 2015. Pengambilan sampel mikroalga dilakukan di 3
stasiun muara Wonorejo, Surabaya. Isolasi dan identifikasi
mikroalga dilakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi
ITS. Uji kualitatif kandungan lipid dilakukan di Laboratorium
Histopatologi Anatomi RSKI Unair.

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)

2

Titik sampling 1
Titik sampling 2

Titik sampling 3

Gambar 1. peta

lokasi pengambilan sampel mikroalga di muara Wonorejo.

B. Pengambilan dan Perhitungan Kelimpahan Mikroalga
Pengambilan sampel mikroalga dilakukan dengan
menggunakan plankton net yang memiliki mesh size 45 µm
dengan diameter mulut jaring 31 cm dan panjang jaring 100
cm. Sampel mikroalga yang tersaring dimasukkan ke dalam
botol sampel dengan volume 30 ml dan di simpan dalam cool
box untuk dilakukan identifikasi, isolasi dan analisis
kandungan lipid di laboratorium. Sampel mikroalga yang
dilakukan perhitungan kelimpahan dimasukkan ke dalam botol
sampel berbeda dan diawetkan dengan menggunakan formalin
4%. Perhitungan kelimpahan dengan menggunakan sedgwick
rafter pada semua bidang dengan 2 kali pengulangan.
Mikroalga yang teramati selanjutnya dihitung dengan hand
tally counter. Kelimpahan mikroalga dihitung dengan rumus

[11]:
N = T/L x P/p x V/v x 1/w
Keterangan :
N = kelimpahan (ind/l); T = luas gelas penutup (mm2); L = luas lapang
pandang (mm2); P = jumlah mikroalga yang tercacah; p = jumlah lapang
pandang yang diamati; V = volume sampel yang tersaring (ml); v = volume
mikroalga dalam Sedgwick rafter; w = volume sampel mikroalga yang
disaring (ml).

C. Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan Muara
Wonorejo
Parameter fisika perairan yang diukur untuk setiap titik
sampling yaitu: suhu menggunakan termometer, pH
menggunakan pH meter, kecerahan perairan menggunakan
secchi disk, salinitas menggunakan hand refractometer (ATC
FG-217), dan oksigen terlarut menggunakan DO meter
(Lutron DO-5510).
Parameter kimia yang diukur yaitu kandungan amonia
(NH4+), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan fosfat (PO42-).
Pengukuran parameter kimia dilakukan dengan mengambil

sampel air pada kedalaman sampai 50 cm dari permukaan
perairan sebanyak 1200 ml pada setiap titik sampling. Sampel
air yang telah diambil selanjutnya di masukkan ke dalam cool
box dan kemudian di bawa ke Laboratorium Balai Standarisasi
Industri Surabaya untuk dianalisis.

D. Isolasi, Purifikasi dan Identifikasi Mikroalga
Isolasi mikroalga dilakukan dengan metode pengenceran
bertingkat dan streak plate dalam medium cair dan padat
dengan air yang berasal dari perairan Wonorejo pada setiap
stasiun pengambilan sampel. Sampel mikroalga sebanyak 10
ml yang telah didapatkan terlebih dahulu dilakukan
pengenceran bertingkat dalam 10-1 sampai 10-4. Kemudian
sebanyak 2 tetes mikroalga diteteskan pada media agar dan
diratakan keseluruh permukaan media dengan menggunakan
Drygalski. Kultur mikroalga selanjutnya diinkubasi selama 7 –
14 hari. Koloni isolat mikroalga yang tumbuh pada media agar
kemudian dimurnikan dengan teknik gores 16 (strak plate)
sampai diperoleh koloni monospesies mikroalga. Isolat
mikroalga diinkubasi pada suhu 25-27°C di bawah cahaya

lampu dengan fotoperiode 12:12 siklus terang dan gelap
selama 7 – 14 hari.
Koloni mikroalga yang tumbuh terpisah pada media agar
diamati di bawah mikroskop dan diidentifikasi dengan acuan
menggunakan buku identifikasi [12] ”Freshwater Algae:
Identification and Use as Bioindicators”.
E. Analisis Kualitatif Kandungan Lipid Mikroalga
Analisis kualitatif kandungan lipid dilakukan dengan
pewarnaan Nile red. Isolat mikroalga diwarnai dengan
mensuspensikan sel mikroalga yantumbuh pada media padat
ke 0,5 ml larutan Nile red (0,1 mg Nile red/ml aseton) dan
diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Selanjutnya
dilakukan pembilasan dengan aquades dan diambil 1 tetes sel
mikroalga yang terwarnai dan diletakkan diatas gelas objek
untuk diamati di bawah mikroskop fluorescence (Olympus fsx
100 bioimagine navigator) pada panjang gelombang 450 –
490 nm [13], [14].

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)
Tabel 1.

Kelimpahan mikroalga di muara Wonorejo

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Mikroalga di Muara
Wonorejo
Secara umum komposisi mikroalga di semua stasiun
pengamatan terdiri atas 7 kelas yaitu Zygnemophyceae,
Cyanophyceae, Coscinodiscophyceae, Flagilariophyceae,
Eustigmatophyceae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae
(Gambar 2). Komposisi mikroalga lebih beragam pada stasiun
1 yang terdiri dari 7 kelas mikroalga dengan 12 genus yaitu 1
genus dari kelas Zygnemophyceae, 2 genus dari kelas
Cyanophyceae, 1 genus dari kelas Coscinodiscophyceae, 3
genus dari kelas Flagilariophyceae, 1 genus dari kelas
Eustigmatophyceae, 1 genus dari kelas Chlorophyceae dan 3
genus dari kelas Bacillariophyceae. Pada stasiun 2 terdapat 5
kelas dengan 8 genus. Stasiun 3 memiliki komposisi
mikroalga yang lebih beragam dibandingkan dengan stasiun 2.
Pada stasiun 3 terdapat 5 kelas dengan 10 genus.


3

No.

Spesies

Stasiun 1

Kelimpahan (ind/l)
Stasiun 2
Stasiun 3

Zygnemophyceae
1.

Closterium moniliferum

3,19

-


-

Cyanophyceae
2.

Oscillatoria sp.1

710,29

477,80

450,07

3.

Oscillatoria sp.2

339,15

579,11

279,42

4.

Oscillatoria sp.3

372,21

145,04

-

5.

Calothrix sp.

1,06

-

-

6.

Chroococcus sp.

-

-

4,267

28,79

-

77,85

-

2,13

2,13

Coscinodiscophyceae
7.

Melosira sp.

8.

Coscinodiscus sp.
Fragilariophyceae

9.

Fragilaria sp.

4,27

-

6,40

10.

Synedra ulna

1,07

2,13

2,13

11.

Thalassionema sp.

7,46

-

5,33

73,59

-

164,24

3,20

5,33

-

Eustigmatophyceae
12.

Nannochloropsis sp.
Chlorophyceae

13.

Chlorella sp.
Bacillariophyceae

Gambar 2. Komposisi dan jumlah berdasarkan jenis dari setiap kelas
mikroalga di semua stasiun pengamatan.

Komposisi jenis mikroalga yang ditemukan selama
pengamatan didominasi oleh kelas Cyanophyceae dan
Bacillariophyceae. Dari ketiga stasiun pengamatan, komposisi
kelas Cyanophyceae ditemukan sebanyak 74,40% yang
didominasi oleh genus Oscillatoria, kemudian kelas
Bacillariophyceae ditemukan sebanyak 17,59%. Kelompok
mikroalga yang paling sedikit ditemukan di perairan muara
Wonorejo adalah kelas Zygnemophyceae dengan komposisi
jenis sebanyak 0,06%. Kelas Cyanophyceae memiliki
komposisi jenis yang lebih besar dan kelimpahan yang tinggi
seperti ditunjukkan pada Tabel 1 karena kelas ini memiliki
toleransi yang tinggi untuk tetap tumbuh dengan kondisi
konsentrasi nutrien yang berubah-ubah karena kemampuannya
dalam menyimpan fosfor. Kelimpahannya di perairan juga
semakin tinggi karena bukan merupakan jenis fitoplankton
yang disukai untuk dikonsumsi oleh zooplankton [15].
Genus mikroalga yang memiliki nilai kelimpahan dan
jumlah yang paling besar di muara Wonorejo adalah
Oscillatoria dari kelas Cyanophyceae dan Skeletonema dari
kelas Bacillariophyceae. Keberadaan genus Oscillatoria selalu
ditemukan dari stasiun ke 1 sampai ke 3 dengan nilai
kelimpahan yang tinggi dibandingkan genus Skeletonema
yang hanya di temukan di stasiun 2 dan 3.

14.

Navicula sp.

19,20

-

15.

Bacillaria sp.

8,53

-

-

16.

Nitzschia sp.

33,06

3,20

12,80

17.

Skeletonema sp.1

-

99,18

323,15

18.

Skeletonema sp.2

-

36,26

270,89

19.

Gyrosigma sp.

-

1,06

-

1605,10

1355,53

1598,70

Jumlah

Berdasarkan tabel kelimpahan mikroalga di atas, jumlah
kelimpahan total mikroalga di muara sungai Wonorejo
berkisar antara 1355,53-1605,10 ind/l. Kelimpahan mikroalga
pada ketiga stasiun tersebut termasuk kategori kelimpahan
rendah (oligotrooph). Hal ini didasarkan pada rujukan [16],
yang menggolongkan perairan berdasarkan kelimpahan
individu yaitu suatu perairan dengan kelimpahan 12.000 ind/l adalah tingkat
tinggi (Eutrooph). Kelimpahan mikroalga yang rendah di
muara Wonorejo diduga disebabkan oleh fluktuasi kondisi
lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang sangat besar.
Fluktuasi salinitas menyebabkan tingkat salinitas yang
dimiliki perairan dapat berubah-ubah atau memiliki fluktuasi
tersendiri [17]. Fluktuasi salinitas tersebut terlihat dari nilai
salinitas yang berbeda antara stasiun 1 sampai stasiun 3 (Tabel
2). Pada stasiun 1 kondisi perairan tergolong perairan tawar
dengan salinitas 0‰ sedangkan stasiun 2 dan stasiun 3
termasuk dalam perairan payau dengan salinitas 2‰ dan 8‰.
Menurut [18], varisasi salinitas mempengaruhi laju
fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)
mikroalga yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas
yang kecil (stenohaline). Variasi tersebut juga menyebabkan
fitoplankton (mikroalga) membelah dengan laju yang
bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari satu
wilayah geografi dengan wilayah geografi yang lainnya [19].
Hasil pengukuran kelimpahan juga menunjukkan bahwa
stasiun 1 memiliki nilai kelimpahan paling besar dibandingkan
stasiun 2 dan stasiun 3 dengan nilai kelimpahan mikroalga
sebesar 1605,10 ind/l. Tingginya kelimpahan mikroalga pada
stasiun 1 dibandingkan lokasi lainnya didukung oleh kondisi
kualitas perairan yang cukup baik dengan nilai kandungan
nitrat (NO3-N) yang lebih besar dibandingkan stasiun 2 dan 3
yaitu sebesar 0,179 mg/l. Rujukan [20] menyatakan bahwa
dinamika kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton
(mikroalga) terutama dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia,
khususnya ketersediaan unsur hara (nutrien) serta kemampuan
fitoplankton untuk memanfaatkannya. Di perairan estuari
faktor pembatas utama (limiting factor) dalam pertumbuhan
mikroalga adalah nitrogen [21].
Pada stasiun 2 kelimpahan mikroalga menurun
menjadi 1355,53 ind/l, sedangkan pada stasiun 3 yang terletak
di bagian mulut muara yang berhubungan dengan laut bebas
kelimpahan mikroalga meningkat menjadi 1598,70 ind/l. Pada
stasiun 3 memiliki kandungan oksigen terlarut (DO) yang
lebih tinggi dibandingkan stasiun 2. Kandungan oksigen
terlarut (DO) yang lebih tinggi tersebut diduga menyebabkan
kelimpahan mikroalga di stasiun 3 lebih besar dibandingkan di
stasiun 2. Hal ini diperkuat oleh pendapat [22] yang
mengatakan bahwa sumber utama oksigen dalam perairan
adalah dari proses fotosintesis. Semakin subur suatu perairan
akan semakin banyak fitoplankton yang hidup di dalamnya
dan akhirnya akan meningkatkan pasokan oksigen terlarut
dalam air. Adanya kandungan oksigen terlarut yang rendah
disebabkan karena aktifitas respirasi yang lebih tinggi
daripada fotosintesis.
B. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Muara Wonorejo
Parameter fisika dan kimia perairan merupakan faktor
pendukung dalam kehidupan mikroalga. Hasil pengukuran
parameter fisika dan kimia pada penelitian ini disajikan dalam
Tabel 2.
No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tabel 2.
Pengukuran parameter fisika dan kimia di muara Wonorejo
Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun3
Normal
(baku
mutu)
Suhu (°C)
27,5
27,5
28,1
25-30
pH
8,2
7,7
8,3
7-9
Kecerahan (cm)
20
25
35
DO (mg/l)
Salinitas (ppt)
Ammonia
(mg/l)
Nitrit (mg/l)
Nitrat (mg/l)
Fosfat (mg/l)

11,7
0
5 mg/l.
Dengan demikian kadar DO di muara Wonorejo tergolong
tinggi.
Hasil analisis menunjukkan konsentrasi nitrat di muara
Wonorejo berkisar antara 1,39 – 1,168 mg/l. Secara umum
kandungan nitrat di setiap stasiun masih mencukupi untuk
pertumbuhan mikroalga. Nitrat akan menjadi pembatas apabila
kurang dari 0,44 mg/l [24]. Hasil pengamatan juga
menunjukkan kandungan fosfat yang mencukupi untuk
pertumbuhan mikroalga yaitu berkisar antara 1,07 – 0,88 mg/l.
Menurut [24], fosfat akan menjadi pembatas bagi kehidupan
fitoplankton (mikroalga) jika kurang dari 0,02 mg/l.
C. Analisis Kualitatif Kandungan Lipid Mikroalga
Pada penelitian ini analisis kualitatif yang digunakan adalah
dengan pewarnaan Nile red yaitu pewarnaan intraseluler lipid
untuk mengevaluasi kandungan lipid dari sel mikroalga [25].
Pewarnaan dengan Nile red dilakukan terhadap setiap isolat
mikroalga yang berhasil terisolasi di setiap stasiun
pengamatan. Pada stasiun 1 terdapat 4 genus mikroalga yaitu
Nitzschia, Navicula, Nannochloropsis dan Oscillatoria. Pada
stasiun 2 terdapat sebanyak 2 genus mikroalga yaitu Nitzschia
dan Oscillatoria. Pada stasiun 3 terdapat sebanyak 3 genus
yaitu Nannochloropsis, Oscillatoria dan Chlorococcum.
Tetesan lipid intraselular (lipid netral) yang diwarnai
dengan pewarna Nile red diamati di bawah mikroskop
fluorescent. Kandungan lipid yang ada dalam sel mikroalga
yang diwarnai dengan Nile red akan tampak berwarna kuning
mengkilat atau orange terang [26]. Menurut [27], badan
minyak (oil bodies) dalam sel mikroalga yang diwarnai oleh
pewarna fluorescent Nile red ketika diamati dengan
menggunakan mikroskop fluorescence memiliki karakteristik
fluoresensi kuning dan tanpa oil bodies memiliki fluoresensi
merah. Perubahan warna terjadi karena Nile red bereaksi
dengan lipid yang terkandung dalam sel mikroalga dengan
mengubah ligan warna merah menjadi kuning [26].

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)
Tabel 3.
Hasil pengamatan mikroskopis sel mikroalga yang diwarnai dengan pewarna
Nile red
Stasiun 1
Nitzschia
Navicula
Oscillatoria
Nannochloropsis

Sel memiliki
Tidak ada
pendaran orange
pendaran
terang
Stasiun 2
Nitzschia

Tidak ada
pendaran

Tidak ada pendaran

Oscillatoria

Sel memiliki pendaran orange terang
Sel memiliki pendaran orange terang
Stasiun 3
Nannochloropsis
Chlorococcum
Oscillatoria

Sel memiliki
pendaran kuning

No.

Sel memiliki pendaran kuning
mengkilat

Tidak ada pendaran

Tabel 4.
Pengamatan kandungan lipid mikroalga
Pendaran warna kuning tetes lipid dalam
sitoplasma
Genus
+
++
+++

Stasiun 1
1.
Nitzschia

2.
Navicula

3.
Oscillatoria

4.
Nannochloropsis

Stasiun 2
1.
Nitzschia

2.
Oscillatoria

Stasiun 3
1.
Nannochloropsis

2.
Chlorococcum

3.
Oscillatoria

Keterangan :
- : Tidak ada pendaran = tidak mengakumulasi lipid
+: Pendaran lemah
= pendaran warna dalam sel yang ditampilkan di
bawah mikroskop fluorescence adalah dominan orange terang yang berarti
akumulasi lipid rendah
++: Pendaran sedang
= pendaran warna dalam sel yang ditampilkan di
bawah mikroskop fluorescence adalah kuning yang berarti akumulasi lipid
sedang
+++ : Pendaran kuat = pendaran warna dalam sel yang ditampilkan di
bawah mikroskop fluorescence adalah dominan kuning mengkilat yang
berarti akumulasi lipid tinggi.

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa di antara ketiga
stasiun pengamatan, isolat mikroalga di stasiun 3 memiliki
kecenderungan akumulasi lipid yang tinggi dibandingkan
dengan stasiun 1 dan stasiun 2. Kecenderungan akumulasi
lipid yang paling rendah adalah dari stasiun 1. Adanya
akumulasi lipid di dalam sel mikroalga tersebut diduga terjadi
akibat dari pengaruh kondisi lingkungan. Pengaruh kondisi
lingkungan ini disebabkan karena setiap isolat mikroalga
sebelum dilakukan analisis kandungan lipidnya dikultur pada

5

media agar dengan air yang berasal dari perairan Wonorejo
pada setiap stasiun pengambilan (Tabel 2). Hal ini sesuai
dengan pernyataan [2] bahwa pertumbuhan dan produktivitas
lipid dari mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu: konsentrasi nutrisi, suhu, cahaya, salinitas
dan pengaruh keberadaan organisme kompetitor.
Lipid yang umumnya diakumulasi oleh mikroalga adalah
dalam bentuk triasilgliserol (TAG) karena TAG merupakan
komponen utama cadangan energi di dalam sel [7]. Kondisi
lingkungan lingkungan yang tidak menguntungkan akan
memicu akumulasi lipid di dalam sel mikroalga. Hal ini di
buktikan dari pernyataan rujukan [9] dan [28] bahwa salah
satu metodologi utama untuk meningkatkan akumulasi lipid
adalah stress unsur hara. Ketika kekurangan nitrogen,
beberapa mikroalga hijau mengakumulasi lipid dengan kadar
yang tinggi sebagai triasilgliserol dan kekurangan fosfat serta
sulfur menginduksi konversi membran fosfolipid ke lipid
netral.
Pada penelitian ini, isolat Chlorococcum dari stasiun 3
diketahui memiliki kandungan lipid yang tinggi dibandingkan
dengan isolat mikroalga yang lain dari ketiga lokasi penelitian
di muara Wonorejo. Tingginya akumulasi lipid di dalam sel
Chlorococcum diduga terjadi akibat dari pengaruh kondisi
lingkungan salah satunya yaitu faktor salinitas di stasiun 3.
Pada stasiun 3 memiliki salinitas 8‰, salinitas tersebut
tergolong salinitas yang tinggi untuk pertumbuhan
Chlorococcum. Hal ini sesuai dengan pernyataan [29], bahwa
Chlorococcum dapat tumbuh pada salinitas antara 0 – 2‰.
Seperti yang dilaporkan oleh [30] bahwa berbeda dengan
kandungan lipid total, pertumbuhan biomassa Chlorococcum
sp. akan menurun dengan peningkatan salinitas. Peningkatan
salinitas dapat menstimulasi kadar lipid yang dihasilkan
mikroalga [31]. Lipid tersebut digunakan sebagai cadangan
makanan dan energi untuk bertahan pada kondisi yang tidak
menguntungkan [9].
Dari hasil pengamatan terhadap kandungan lipid
secara kualitatif terlihat spesies Oscillatoria tidak memiliki
produktivitas lipid yang tinggi. Rendahnya akumulasi lipid
pada Oscillatoria kemungkinan disebabkan karena spesies
tersebut mampu tumbuh optimal di ketiga stasiun pengamatan.
Hal ini dibuktikan dari besarnya nilai kelimpahan Oscillatoria
sp. dibandingkan dengan spesies lain di ketiga stasiun.
Walaupun kondisi lingkungan pertumbuhannya berbeda,
Oscillatoria sp. tetap mampu mendominasi di setiap stasiun
pengamatan. Hal ini terjadi karena Oscillatoria sp. memiliki
kemampuan bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak
sesuai sehingga tidak terjadi akumulasi lipid terutama lipid
netral. Rujukan [32] menyatakan bahwa Oscillatoria sp.
diketahui memiliki kemampuan bertahan untuk terhadap
perubahan kondisi lingkungan karena selnya memiliki sel
pembungkus yang berlapis dan selubung. Selubung akan
terbentuk pada kondisi lingkungan sub optimal.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu terdapat
5 genus mikroalga yang berhasil diisolasi dari muara
Wonorejo
yaitu
Nitzschia,
Navicula,
Oscillatoria,
Chlorococcum dan Nannochloropsis. Mikroalga Nitzschia dan
Oscillatoria memiliki akumulasi lipid yang rendah serta

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.1, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print)
Nannochloropsis memiliki akumulasi lipid yang sedang.
Mikroalga Chlorococcum yang berasal dari muara Wonorejo
merupakan mikroalga dengan kandungan lipid tinggi serta
berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan
baku biodiesel.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Dini
Ermavitalini, S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing selama
masa penyelesaian tugas akhir ini, ibu Dr. Awik Puji Dyah N.
selaku dosen penguji dan koordinator tugas akhir dan ibu Ir.
Sri Nurhatika, MP. yang telah banyak memberikan saran
dalam penyelesaian tugas akhir ini. Serta ucapan terima kasih
ditujukan kepada kedua orang tua yang selalu mendukung dan
mendoakan. Terakhir untuk teman-teman seperjuangan
Biologi ITS 2011 yang telah membantu banyak hal dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]

[3]
[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]
[11]

[12]
[13]

[14]

[15]

[16]

S. Amini and R. Susilowati, “Produksi Biodiesel dari Mikroalga
Botryococcus braunii,” Squalen, Vol. 5 (2010) 71-77.
T. Mata. M., A. M. Antonio, and N. S. Caetano, “Microalgae for
Biodiesel Production and Other Applications: A Review,” Renewable
and Sustainable Energy, Vol. 14 (2010) 217-232.
Q. Li, W. Du, and D. Liu, “Perspectives of Microbial Oils for Biodiesel
Production,” Appl. Microbiol. Biotechnol, Vol. 80 (2008) 749–756.
R. Raja, S. Hemaiswarya, N. A. Kumar, S. Sridhar, and R. A.
Rengasamy, “Perspective on The Biotechnological Potential of
Microalgae,” Critical Reviews in Microbiology, Vol. 34 (2008) 77–88.
L. Gouveia, and A. C. Oliveira, “Microalgae as A Raw Material for
Biodiesel Production,” J. Microbiol. Biotechnol., Vol. 36 (2009) 269274.
Hossain, A. Salleh, A. N. Boyce, P. Chowdhury, and M. Naqiuddin,
“Biodiesel Fuel Production From Algae as Renewable Energy,”
American Journal of Biochemistry and Biotechnology, Vol. 4 (2008)
250–254.
H. Hu and K. Gao, “Response of Growth and Fatty Acid Compositions
of Nannochloropsis sp. to Environmental Factors Under Elevated CO2
Concentration,” Biotechnol Lett, Vol. 28 (2006) 987-992.
P. M. Shcenk, R. Skye, H. Thomas, E. Stephens, U. C. Marx, J. H.
Mussgnug, C. Posten, O. Kruse, and B. Hankamer, “Second Generation
Biofuel : High Efficiency Microalgae for Biodesel Production,”
Bioenergy, Vol. 1 (2008) 20-43.
Q. Hu, M. Sommerfeld, E. Jarvis, M. Ghirardi, M. Posewitz, Seibert,
and A. I. Darzins, “Microalgal Triacylglycerols as Feedstock for Biofuel
Production: Perspectives and Advances,” Plant. J., Vol. 54 (2008) 621639.
Y. Chisti, “Biodiesel from microalgae,” Biotechnol Adv., Vol. 25 (2007)
294-306.
APHA, “Standard Methods for The Examination of Water and WasteWater, 14th ed,” Washington: American Public Health Association
(1975).
E. G. Bellinger and D. C. Sigee, “Freshwater Algae: Identification and
Use as Bioindicators,” USA: Willey-Blackwell Inc. (2010).
T. Matsunaga, M. Matsumoto, Y. Maeda, H. Sugiyama, R. Sato, and T.
Tanaka, “Characterization of Marine Microalgae, Scenedesmus sp. strain
JPCCGA0024 toward Biofuel Production,” Biotechnol. Let., Vol. 31
(2009) 1367-1372.
S. Elumalai, V. Prakasam, and R. Selvarajan, “Optimization of Abiotic
Conditions Suitable for The Production of Biodiesel from Chlorella
vulgaris,” Indian Journal of Sci. and Tech., Vol. 4 (2011) 91-97.
M. R. A. Putri and S. E. Purnamaningtyas, “Variasi Kelimpahan
Fitoplankton di Area Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Jatiluhur,
Jawa Barat,” Jurnal Widyariset, Vol. 16 (2013) 349-360.
M. Zahidin, “Kajian Kualitas Air Di Muara Sungai Pekalongan Ditinjau
dari Indeks Keanekaragaman Makrobenthos dan Indeks Saprobitas
Plankton (Tesis),” Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Diponegoro, Semarang (2008).

6

[17] T. A. Barus, “Pengatar Limnologi,” Medan: Universitas Sumatra Utara
(2002).
[18] A. H. Chowdhury and A. Mamun, “Physiochemical Conditions and
Plankton Population of Two Fishponds in Khulna,” J. zool. Rajshahi
Univ., 25 (2006) 41-44.
[19] A. Nontji, “Laut Nusantara,” Jakarta: Penerbit Djambatan (2002).
[20] E. P. Odum, “Fundamentals of Ecology,” 5th ed, Philadelphia: W. B.
Saunders Company (2005).
[21] M. N. Campbell, “Biodisel: Algae as Renewable Source for Liquid
Fuel,” Guelph Engineering Journal, Vol. 1 (2008) 2-7.
[22] H. Effendi, “Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan,” Yogyakarta : Kanisius (2003).
[23] P. Sze, “A Biology of Algae,” USA: WNC Brown Publ (1995).
[24] J. Basmi, “Perkembangan Komunitas Fitoplankton Sebagai Indikator
Perubahan
Tingkat
Kesuburan
Kualitas
Perairan
(Tidak
Dipublikasikan),” Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor (1988).
[25] A. L. Ahmad, N. H. M. Yasin, C. J. C. Derek, and J. K. Lim,
“Microalgae as A Sustainable Energy Source for Biodiesel Production:
A Review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews, Vol. 15 (2011)
584- 593.
[26] K. R. Carman, D. Thistle, S. C. Ertman, and M. Foy, “Nile Red as A
Probe for Lipid Storage Product in Benthic Copepods.,” J. Mar Ecol,
Vol. 74 (1991) 307-311.
[27] Y. Y. Pan, S. T. Wang, L. T. Chuang, Y. W. Chang, C. N. Nathan, and
Chen, “Isolation of Thermo-Tolerant and High Lipid Content Green
Microalgae: Oil Accumulation is Predominantly Controlled by
Photosystem Efficiency during Stress Treatments in Desmodesmus,”
Bioresource Technology, Vol. 102 (2011) 10510-10517.
[28] J. L. Moseley, D. Gonzales-Ballester, W. Pootakham, S. Bailey, and
Grossman, A. R. “Genetic Interaction between Regulator of
Chlamydomonas phosphorus and Sulfur Deprivation Responses,”
Genetics, 181 (2008) 889-905.
[29] Y. Jiang, F. Chen, and S. Z. Liang, “Production Potential of
Docosahexaenoic Acid by The Heterotrophic Marine Dinoflagellate
Crypthecodinium cohnii,” Process Biochemistry, Vol. 34 (1999) 633–
637.
[30] T. U. Harwati, “Cultivation of Microalgae: Lipid Production, Evaluation
of Antioxidant Capacity and Modeling of Growth and Lipid Production
(Dissertasion),” Ph.D. Dissertation, Dept. Lebenswissenschaften. Eng,
Universität Carolo, Wilhelmina (2013).
[31] R. Vazquez-Duhalt and B. Q. Arredondo-Vega, “Haloadaptation of
Green Alga Botryococcus braunii (Race A),” Phytochemistry, Vol. 30
(1991) 2929-2925.
[32] K. R. Conradie, S. D. Plessis, and A. Venter, “Environmental Science
and Development: Botany,” South African Journal of Botany, Vol. 74
(2008) 101-110.