LAPORAN EVALUASI PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU

  

Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan

2018

  

LAPORAN EVALUASI

PEMANFAATAN

BASIS DATA TERPADU

LAPORAN EVALUASI PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU

LAPORAN EVALUASI PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU

  Cetakan Pertama, Februari 2018 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang © 2018 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Anda dipersilakan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan

karya ini untuk tujuan non-komersial. Untuk meminta salinan publikasi ini atau keterangan lebih lanjut mengenai publikasi ini, silakan hubungi TNP2K-Unit Penetapan Sasaran dan Pengelolaan Basis Data Terpadu (UPS-PBDT).

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

  Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat 10110 Telepon : (021) 3912812 | Faksimili : (021) 3912511 E-mail : bdt@tnp2k.go.id Situs : www.tnp2k.go.id

KATA PENGANTAR

  Upaya-upaya penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan merupakan tantangan yang dihadapi Pemerintah saat ini. Upaya-upaya ini secara langsung terkait dengan seberapa jauh pemanfaatan Data Terpadu dalam pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan. Data Terpadu adalah sebuah sistem yang dapat digunakan untuk perencanaan program dan identifikasi nama dan alamat calon penerima bantuan sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh pelaksana program. Basis Data Terpadu yang berisikan data nama dan alamat sangat efektif dalam memperbaiki ketepatan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah baik pusat maupun daerah.

  Unit Basis Data Terpadu (BDT) sebagai pengelola Data Terpadu di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mendistribusikan data hasil Pemutakhiran BDT 2015 ke lebih dari 434 kabupaten/kota di Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun. Selain itu, Unit BDT melaksanakan kegiatanpeningkatan kapasitas staf Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di kabupaten/kota dan provinsi melalui lokakarya pengenalan konsep dan pemanfaatan BDT. Kegiatan evaluasi layanan BDT ini digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan Data Terpadu oleh pemerintah daerah (pemda), terutama SKPD yang menjadi pelaksana program penanggulangan kemiskinan di daerah. Buku ini memuat rekomendasi yang sangat berharga bagi Unit BDT selaku pengelola basis data terpadu maupun bagi pelaksana program penanggulangan kemiskinan di Pemerintah Pusat dan Daerah. Temuan dan rekomendasi secara sistematis dikelompokkan dalam aspek pengetahuan, pengelolaan dan pemanfaatan data. Buku ini akan mendorong pemanfaatan Data Terpadu secara efektif dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan terutama di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sehingga penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan dapat lebih cepat dicapai.

  Jakarta, Februari 2018 Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan/Sekretaris Eksekutif TNP2K

  Bambang Widianto

TIM PENYUSUN UNIT PENETAPAN SASARAN DAN PENGELOLAAN BASIS DATA TERPADU (UPS-PBDT) TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (TNP2K)

  Astyasukra Pradipta Bambang Darsono

  Broto Suseno Dian Maya Safitri

  Edy Susanto Heksaputra

  Lucky Koryanto Mahfudh Ahmad

  M. Eko Fadhillah Nidah Saidah Sidik Santoso

  Silvira Ayu Rosalia Sri Rejeki A. Sulistiorini

  Tracy Pasaribu

  

Daftar Isi

  Kata Pengantar i-ii

  Tim penyusun iii

  Daftar Diagram v-vi

  Daftar Gambar vi

  Akronim vii

  Ringkasan Eksekutif 1-5 Latar Belakang

  7-10 Metodologi Evaluasi 11-12 Temuan

  13-38

  • Pengetahuan tentang BDT 14-19
  • Penerimaan BDT 20-29
  • Pemanfaatan BDT 30-38

  Kesimpulan 39-43

  Rekomendasi 45-49

  Ringkasan 51-53

  

Daftar Diagram

DIAGRAM 1

  Sumber Informasi Pokok Bappeda tentang BDT

  14 DIAGRAM 2 Sumber Informasi Bappeda tentang BDT

  15 DIAGRAM 3 Jenis Data yang Diminta

  16 DIAGRAM 4 Topik-topik yang Dibahas dalam Konsultasi Langsung Bappeda dengan TNP2K

  17 DIAGRAM 5 Alur Penanganan Permintaan Basis Data Terpadu

  18 DIAGRAM 6 Tingkat Kepuasan Bappeda terhadap Waktu untuk Memperoleh BDT

  26 DIAGRAM 7 Alasan Bappeda Tidak Mengajukan Permintaan Kata Kunci ke TNP2K

  29

  DIAGRAM 8

  Topik-topik Utama yang Dibahas dalam Konsultasi Lanjutan Bappeda ke Sekretariat TNP2K

  31 DIAGRAM 9 Alasan Bappeda Tidak Memanfaatkan BDT yang Telah Diterima

  35 Daftar Gambar

  GAMBAR 1

  22 Keping Cakram BDT dan Amplop Pengiriman Data

  GAMBAR 2

  Keping Cakram BDT Memuat Langkah-langkah Membuka dan Menggunakan BDT

  24

  Akronim APBD Anggaran Pendapatan dan

  Belanja Daerah

  Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan

  Daerah

  BDT Basis Data Terpadu BNBA By Name By Address BPS Badan Pusat Statistik

Disperindag Dinas Perindustrian dan Perdagangan

DPA Dokumen Pelaksanaan Anggaran Kemensos Kementerian Sosial

MoU Memorandum of Understanding atau

  Surat Perjanjian Kesepahaman

  Pemda Pemerintah Daerah Pokja Data Pokja Pengelolaan Data Terpadu

  Program Penanganan Fakir Miskin

  Rakor Rapat Koordinasi Rastra Program Beras Sejahtera SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah TKPK Tim Koordinasi Penanggulangan

  Kemiskinan

  TNP2K Tim Nasional Percepatan

  Penanggulangan Kemiskinan

  WRM Work Request Management

  1 RINGKASAN EKSEKUTIF asis Data Terpadu (BDT) adalah sistem data elektronik yang berisi nama, alamat, dan keterangan dasar sosial ekonomi rumah tangga dan individu dari sekitar 25 juta

  B

  rumah tangga di Indonesia. BDT diperoleh dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dimutakhirkan tahun 2015 dan telah menjadi acuan utama penetapan sasaran program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan dalam skala nasional maupun daerah. Permintaan BDT hasil pemutakhiran ini terus berdatangan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Permintaan data dari provinsi/kabupaten/kota mencapai angka 381 permintaan pada akhir tahun 2016. Namun, hasil pertemuan dengan beberapa pemda mengungkapkan bahwa tidak semua pemda menerima BDT meskipun data sudah dikirimkan dan kebanyakan belum memanfaatkan BDT meskipun sudah membuka dan membaca data. Temuan-temuan tersebut mendorong unit BDT untuk mengevaluasi pemanfaatan BDT secara lebih mendalam.

  Evaluasi serupa pernah dilakukan pada tahun 2012 hingga 2013. Evaluasi tahun 2017 ini mencakup lebih banyak responden, wilayah yang lebih luas dan difokuskan untuk menghasilkan rekomendasi teknis, bahkan terobosan, guna mengoptimalkan pemanfaatan BDT oleh pemda.

  Studi ini mengungkap sejumlah temuan penting terkait aspek pengetahuan, penerimaan, dan pemanfaatan BDT.

  

Pertama, aspek pengetahuan. Hasil evaluasi menunjukkan

  bahwa TNP2K merupakan sumber informasi utama Bappeda untuk mengetahui BDT. Rapat koordinasi Bappeda menjadi media utama untuk memperoleh pengetahuan pokok tentang BDT tersebut. Bappeda juga cukup antusias terhadap BDT, ditunjukkan oleh tingginya frekuensi konsultasi langsung ke TNP2K. Sebagian besar menyatakan puas dengan konsultasi tersebut, mengindikasikan bahwa Bappeda memperoleh pemahaman yang memadai tentang BDT. Studi ini mengungkapkan bahwa sosialisasi BDT oleh TNP2K efektif untuk mendorong Bappeda melakukan permintaan BDT. Adapun sebagian besar data yang diminta adalah data individu

  

by name by address, mengindikasikan adanya kesadaran

  Bappeda tentang nilai penting data mikro. Hanya saja, kendati Bappeda telah memperoleh informasi memadai tentang BDT, SKPD tidak memperoleh informasi yang serupa. Kunjungan lapangan TNP2K menunjukkan bahwa mayoritas SKPD belum mengetahui BDT. Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara Bappeda dan SKPD. Kedua, aspek penerimaan. Terindikasi terdapat masalah dalam mekanisme pengiriman: 14% permintaan data tidak terpenuhi. Ini meliputi Bappeda yang tidak menerima kiriman langsung BDT dan/ atau belum menerima BDT. Studi ini juga menemukan keterlambatan pengiriman BDT berkontribusi besar terhadap belum dimanfaatkannya data. Ketiga, aspek pemanfaatan.

  Didapati mayoritas Bappeda melakukan konsultasi kembali setelah menerima BDT, mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi belum mampu mentransfer pengetahuan teknis. Informasi teknis tentang cara mengolah data hanya dapat dijelaskan secara efektif melalui konsultasi tatap muka, disertai simulasi, bukan melalui rapat koordinasi TNP2K dan Bappeda. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Bappeda belum secara aktif melibatkan SKPD dalam pemanfaatan BDT. Mayoritas SKPD yang dikunjungi menyatakan tidak mengetahui BDT. Akibatnya, SKPD tetap merencanakan program dengan basis data mereka sendiri atau yang didapatkan dari kepala desa tanpa berkoordinasi dengan Bappeda atau SKPD lainnya. Pemanfaatan BDT dalam program juga masih minim. Studi lapangan mengungkapkan baru ada 5 SKPD dari total 54 SKPD yang dikunjungi yang telah memanfaatkan data by name by address.

  Evaluasi ini menyimpulkan bahwa minimnya pemanfaatan BDT dalam program-program pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari mekanisme pemanfaatan BDT berbasis peran sentral Bappeda. Bappeda, sebagai koordinator pemanfaatan BDT di daerah belum optimal menjalankan fungsi koordinasi, antara lain belum aktif meneruskan data ke SKPD serta mengedukasi SKPD tentang BDT. Kondisi minimnya pemanfaatan BDT berimplikasi menyeluruh, yang pada akhirnya menimbulkan 3 rekomendasi yaitu:

  

1. Adanya terobosan dalam mekanisme pengiriman BDT

untuk memangkas waktu memperoleh data. Ini dinilai

  penting agar BDT dapat dimanfaatkan secara tepat waktu oleh SKPD untuk melaksanakan program. Terobosan ini dapat dilakukan melalui media penyimpanan data online (cloud storage).

  

2. Tersedianya informasi terstandardisasi mengenai BDT

dan informasi teknis mengenai cara penggunaannya.

  Diharapkan informasi ini tersedia dan dapat diakses secara nasional. Solusi yang tepat adalah melalui pembuatan tutorial membaca dan mengolah BDT dalam format multimedia, yang kemudian diunggah di situs TNP2K guna memberikan akses yang mudah bagi para pemangku kepentingan.

  

3. Adanya peningkatan kapasitas Bappeda baik melalui

sosialisasi, rapat koordinasi, maupun konsultasi langsung.

  Selain itu, diperlukan perbaikan prosedur pemenuhan data oleh BDT seperti penambahan tahap ‘pengembalian tanda terima’ di dalam daftar cek Work Request Management (WRM). Hal ini ditujukan agar unit BDT tetap memantau apakah Bappeda telah mengirimkan kembali tanda terima, sebagai indikator bahwa keping cakram data sudah diterima, serta guna memastikan bahwa BDT dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemohon data.

  2 LATAR BELAKANG DT adalah sistem data elektronik yang berisi nama, alamat, dan keterangan dasar sosial ekonomi rumah tangga dan individu dari sekitar 25 juta rumah tangga

  B

  di Indonesia. BDT diperoleh dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dimutakhirkan tahun 2015. BDT merupakan sumber data tunggal seluruh Program Perlindungan Sosial yang bersifat nasional saat ini, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)/Program Indonesia Pintar (PIP), Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Program Indonesia Sehat (PIS), dan lain-lain. Tidak hanya berhenti di situ, BDT berangsur-angsur menjadi rujukan pemda dalam perencanaan dan pelaksanaan program.

  

Sosialisasi BDT efektif, diindikasikan oleh banyaknya

permintaan BDT oleh pemerintah daerah. Dimulai pada bulan

  Juli 2015, kegiatan pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) 2015 tuntas pada bulan April 2016. Tim Nasional Percepatan 1 Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menindaklanjuti hal tersebut dengan melakukan sosialisasi BDT kepada pemda melalui berbagai kegiatan, seperti lewat rapat koordinasi, situs, maupun kunjungan konsultasi. Upaya sosialisasi ini direspon 1 positif oleh pemda dengan munculnya ratusan permintaan

  

Dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96

Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 15 Tahun 2010

tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

  BDT dari seluruh Indonesia. Laporan aplikasi WRM menunjukkan terdapat 381 permintaan BDT sepanjang tahun 2016, dengan 345 di antaranya telah dipenuhi, sementara sisanya menunggu kelengkapan dokumen.

  

BDT yang telah diterima belum digunakan. Pengecekan acak

  unit BDT TNP2K mengungkapkan adanya kesenjangan dalam pemanfaatan BDT, data yang disebut juga sebagai Data Terpadu 2 Program Penanganan Fakir Miskin . Kendati telah menerima kiriman BDT, tidak semua pemda meminta kata kunci ke TNP2K untuk membuka data. Meskipun telah mendapatkan kata kunci dan membuka data, kebanyakan pemda tidak memanfaatkan data-BDT untuk penetapan calon penerima manfaat program. Alasan pemda tidak menggunakan BDT bermacam-macam, mulai dari ketidakyakinan atas validitas data, ketidaktahuan cara memanfaatkan data, hingga keterlambatan yang berujung telah disahkannya program dalam APBD.

  

Diperlukan evaluasi yang sistematis terhadap pemanfaatan

BDT. Temuan-temuan pokok tersebut mendorong unit BDT

  TNP2K untuk mengetahui lebih jauh pemanfaatan BDT oleh pemda yang telah menerima data tersebut. Evaluasi 2 pemanfaatan BDT diadakan untuk menjawab pertanyaan

  

Keputusan Menteri Sosial Nomor 57/HUK/2017 tentang Penetapan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin. pokok: apakah pemda telah membuka data? Apakah Bappeda dan SKPD telah memanfaatkan data tersebut? Apakah ada kendala (dalam pembukaan dan pemanfaatan data)? Seperti apakah pemanfaatan terbaik data tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi masukan berharga bagi unit BDT selaku penanggung jawab BDT dan bagi TNP2K secara umum. Pertama, untuk mengetahui tantangan pemanfaatan BDT oleh pemda. Kedua, meninjau dengan lebih detail seluruh proses permintaan dan pemenuhan data sebagaimana terangkum dalam siklus Alur Penanganan Permintaan Data. Ketiga, memberikan umpan balik untuk aspek teknis proses pemenuhan data. Keempat, memperbaiki Alur Penanganan Permintaan Data Terpadu 2017.

  3 METODOLOGI EVALUASI

  • Desain evaluasi

  Evaluasi dilakukan melalui metode campuran studi kuantitatif dan kualitatif. Desain evaluasi adalah pararel konvergen, dimana pengambilan data kuantitatif dan kualitatif dilakukan secara berurutan dan independen.

  Metodologi pengumpulan data Survei

  Studi kuantitatif dengan mengirimkan kuesioner terhadap 295 sampel Bappeda. Dari jumlah itu, sebanyak 287 diantaranya mengembalikan kuesioner yang telah diisi. Jumlah terakhir inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan analisa hasil survei.

  • Wawancara

  Dimaksudkan untuk memperoleh informasi-informasi kualitatif, dilakukan melalui wawancara mendalam dan/ atau diskusi kelompok terfokus terhadap 18 sampel pemda terpilih. Responden meliputi staf Bappeda dan staf SKPD.

  • Analisa hasil evaluasi

  Berdasarkan desain pararel konvergen, data-data kuantitatif maupun kualitatif dianalisis dalam bobot yang sama, tidak ada penekanan pada salah satu data. Keduanya diperbandingkan guna mencari pola (dan kontradiksi, jika ada).

4 TEMUAN

PENGETAHUAN TENTANG BDT

  

TNP2K menjadi sumber informasi pokok Bappeda untuk

mengetahui Basis Data Terpadu (BDT). Dalam hal ini, rapat 3 koordinasi Bappeda memiliki peran paling strategis.

  Sebagian besar responden Bappeda (88%) menyatakan bahwa informasi pokok tentang BDT diperoleh dari media dan kegiatan sosialisasi TNP2K. Pengetahuan tentang BDT juga diperoleh Bappeda umumnya dari Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi/Kabupaten/Kota (52%) dan, dalam persentase yang lebih kecil, dari kantor Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) Provinsi/Kabupaten Kota (27%).

  DIAGRAM 1. 4 Sumber Informasi Pokok Bappeda tentang BDT 8% 2%

  9% TNP2K 9%

  Bappeda BPS 27% 88%

  SKPD 52% Kementerian/lembaga

  Program nasional 3 Lain-lain

Fungsi Bappeda didasarkan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri

4 (Permendagri) No. 42 tahun 2010.

  Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban, membuat komposisi chart tampak lebih dari 100 %.

  Responden yang menyebutkan TNP2K sebagai sumber utama informasi BDT menyatakan bahwa rapat koordinasi Bappeda merupakan wadah untuk memperoleh pengetahuan pokok tentang BDT (71%). Kegiatan lainnya adalah sosialisasi BDT yang diadakan TNP2K (47%) dan situs TNP2K (41%).

  

DIAGRAM 2.

  

Sumber Informasi Bappeda tentang BDT

Rakor Sosialisasi Bappeda TNP2K TNP2k 71% Lain-lain

  47% 88% Situs TNP2K 41%

Sosialisasi BDT oleh TNP2K efektif untuk mendorong

Bappeda melakukan permintaan BDT. Setelah terpapar

  informasi tentang BDT dari berbagai media sosialisasi, Bappeda kemudian melayangkan permintaan BDT ke Pokja Pengelolaan 5 Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin (Pokja Data) . 5 Survei menunjukkan frekuensi permintaan data oleh Bappeda

  

Dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Sosial no. 24/HUK/2016 tentang Pokja Data Terpadu PPFM. sebagian besar (51%) terjadi lebih dari satu kali, mengindikasikan antusiasme Bappeda terhadap BDT. Adapun jenis data yang diminta Bappeda sebagian besar (92%) berupa data individu dengan nama dan alamat (by name by address) untuk keperluan program penanggulangan kemiskinan, mengindikasikan tingginya kesadaran Bappeda tentang nilai penting data mikro untuk penajaman sasaran penerima program.

  DIAGRAM 3. Jenis Data yang Diminta 6% Data by name by address Data agregrat

  69% Data individu tanpa nama

  92% dan alamat

  Antusiasme Bappeda terkait BDT juga terlihat dari tingginya frekuensi konsultasi langsung ke TNP2K. Mengacu pada hasil

  survei, sebagian besar responden Bappeda (86%) berkonsultasi langsung ke kantor TNP2K dalam proses permintaan data. Dalam konsultasi tersebut hampir seluruh responden (90-97%) mengaku memperoleh penjelasan menyeluruh tentang BDT.

  Penjelasan ini meliputi proses PBDT 2015, beragam variabel dalam data terpadu (usia, jenis lantai, dan lain-lain), prosedur mendapatkan BDT, data-data yang dapat disediakan BDT (agregat, nama, alamat), jenis data, format data yang disediakan (Excel, SQL), perkiraan waktu untuk memperoleh data, serta cara pengiriman atau penyerahan data.

  DIAGRAM 4. Topik-topik yang Dibahas dalam Konsultasi Langsung Bappeda dengan TNP2K 95% Cara pengiriman data Perkiraan waktu memperoleh data

  91% 94% Format data Data sesuai kebutuhan

  90% Jenis-jenis data 93% Prosedur pemenuhan data 97%

  92% Variabel data PBDT

  95% Proses PBDT 2015

  0,86 0,88 0,9 0,92 0,94 0,96 0,98

  

KEIKUTSERTAAN DALAM

TOPIK-TOPIK UTAMA KONSULTASI 6 Sebagian besar (91-98%) juga menyatakan puas dengan

  penjelasan tentang BDT oleh TNP2K, menunjukkan bahwa Bappeda memperoleh pemahaman yang memadai tentang BDT melalui konsultasi tersebut.

  DIAGRAM 5. Alur Penanganan Permintaan Basis Data Terpadu Penerbitan Penyiapan keping cakram data Pembuatan Pengolahan formulir Penyiapan surat balasan akun data tindak lanjut Penyiapan kata kunci

  1

  3

  5

  7

  2

  4

  6

  8 Analisis Pengecekan Kontrol Kebutuhan Data dan Kualitas

Persetujuan oleh

  Penutupan Pengecekan Formulir Kepala Akun dan

  Kelengkapan Dokumen Tindak Pokja Pengarsipan Lanjut BDT

  Penetapan Penanggung Jawab Data 6 Secara bervariasi: puas, cukup puas, dan sangat puas.

  

Meski Bappeda telah memperoleh informasi memadai

tentang BDT, SKPD selaku pelaksana program di daerah tidak

memperoleh informasi yang sesuai tentang BDT. Informasi

  pokok tentang BDT tersampaikan dengan baik kepada Bappeda sebagian besar melalui rapat koordinasi Bappeda, sementara informasi detail lanjutan BDT diperoleh melalui konsultasi langsung di kantor TNP2K. Sayangnya, sebagian besar informasi tersebut tidak sampai ke SKPD. Hasil kunjungan lapangan Unit BDT TNP2K ke sejumlah sampel pemda menunjukkan lebih dari 50% SKPD tidak tahu tentang BDT. Penyebabnya adalah pertama, Bappeda tidak meneruskan informasi tentang BDT melalui rapat koordinasi atau komunikasi informal; kedua, lemahnya koordinasi internal SKPD. Contohnya pimpinan tidak menyampaikan informasi BDT kepada bawahan, atau adanya mutasi staf pengelola data.

PENERIMAAN DATA

  

Sebanyak 86% responden Bappeda telah menerima kiriman

paket BDT (modul penjelasan, keping cakram data, dan

surat pengantar) dari Pokja Data. 14% Bappeda yang lain

  tidak menerima kiriman paket langsung BDT dari TNP2K, namun memperoleh BDT dari Bappeda provinsi dan dinas sosial. Beberapa Bappeda lainnya sebenarnya telah menerima kiriman paket BDT, namun beragam masalah teknis menyebabkan paket BDT tidak sampai ke bidang penanggung jawab data.

  Pertama,

  hal ini terjadi karena adanya penumpukan permintaan data. Banyak Bappeda yang telah mengirimkan surat permintaan data semenjak tahun 2015. Sementara data hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT 2015) baru selesai pada bulan Maret 2016. Untuk mengatasi hal tersebut, TNP2K memprioritaskan memberikan data kepada Bappeda provinsi. Oleh sebab itu, banyak Bappeda kabupaten/kota yang tidak menerima kiriman BDT secara langsung dari TNP2K, namun memperolehnya dari Bappeda provinsi.

  Kedua,

  ada Bappeda yang mengirimkan surat permintaan data kepada TNP2K dan Kemensos. Pada akhirnya mereka mendapatkan data terlebih dahulu dari Kemensos.

  

MESKI BAPPEDA

TELAH MEMPEROLEH INFORMASI

MEMADAI TENTANG BDT,

  

SKPD SELAKU PELAKSANA PROGRAM

DI DAERAH TIDAK MEMPEROLEH

INFORMASI YANG SAMA TENTANG BDT.

  

Ketiga, kurangnya koordinasi dari staf yang menerima data

  kepada bidang penanggung jawab di Bappeda. Misalnya, keping cakram data diterima oleh orang lain di instansi pemohon, namun penerima keping cakram data tersebut tidak meneruskan kepada pihak yang bersangkutan; atau keping cakram BDT diterima oleh pemohon, namun pemohon sekadar menyimpannya tanpa mensosialisasikan ke pihak-pihak yang berkepentingan; pemohon mutasi dan tidak mensosialisasikan keping cakram data atau data yang sudah ia miliki; pemohon cuti panjang atau mengalami force majeur tanpa pernah ada pihak lain yang mengetahui telah adanya kiriman keping cakram BDT, dimana kasus-kasus tersebut benar-benar terjadi.

  

GAMBAR 1.

  

Keping Cakram BDT dan Amplop Pengiriman Data

  

Sebagian besar Bappeda mengembalikan lembar tanda

terima setelah memperoleh BDT. Ini mengindikasikan

Bappeda memahami prosedur data yang umum. Survei

  menunjukkan, dari keseluruhan Bappeda yang telah menerima kiriman BDT, sebanyak 82% di antaranya mengembalikan lembar tanda terima. Tingkat pengembalian yang cukup tinggi mengindikasikan informasi tentang prosedur yang bersifat umum telah dipahami dengan baik. Adanya 18% Bappeda yang tidak mengembalikan lembar tanda terima, disebabkan oleh beberapa hal. Survei menunjukkan hampir separuh (42%) dari responden yang tidak mengembalikan lembar tanda terima mengatakan mereka telah memperoleh data (yang sudah bisa dibuka), sehingga merasa tidak perlu meminta kata kunci ke TNP2K melalui pengembalian tanda terima. Data-data tersebut, menurut mereka, dapat langsung dibuka karena data didapatkan dari institusi lain seperti dari Bappeda provinsi atau dinas sosial.

  

GAMBAR 2.

  

Keping Cakram BDT Memuat Langkah-langkah

Membuka dan Menggunakan BDT

  Tingginya tingkat pengembalian lembar tanda terima sekaligus mengindikasikan bahwa Bappeda cenderung mudah menyerap informasi-informasi umum proses BDT ketika informasi tersebut disampaikan melalui media sosialisasi (yakni rakor TNP2K, rapat Bappeda, sosialisasi TNP2K, atau situs TNP2K), bukan informasi-informasi teknis-detail. Sebagaimana akan terlihat kemudian, informasi teknis-detail seperti cara membaca dan mengolah data hanya efektif disampaikan melalui media konsultasi langsung, bukan lewat media sosialisasi. Survei juga memperlihatkan adanya Bappeda yang memang tidak mengetahui adanya prosedur pengembalian lembar tanda terima, namun jumlahnya sangat kecil yakni 11% dari total responden yang tidak mengembalikan.

  

Lebih dari seperlima responden Bappeda tidak puas dengan

waktu yang diperlukan untuk memperoleh BDT. Sebanyak

  21% Bappeda menyatakan ketidakpuasan terkait periode penerimaan keping cakram BDT, dan alasan mereka didominasi oleh dua hal: jangka waktu yang lama dan prosedur permintaan data yang berbelit. Responden yang tidak puas menyatakan mereka baru mendapatkan data secepat-cepatnya 3 bulan kendati proses permohonan data dijanjikan maksimal 15 hari kerja sejak penerimaan dokumen lengkap. Ada juga Bappeda yang baru memperoleh BDT setelah APBD ditetapkan, sehingga BDT tidak dapat digunakan untuk penetapan sasaran penerima manfaat program tahun anggaran 2017.

  Keluhan lain adalah terkait prosedur permohonan data yang tidak sederhana. Responden Bappeda mengutarakan banyaknya persyaratan dan panjangnya prosedur, seperti keharusan adanya detail keterangan program dan kriteria calon penerima manfaat program. Selain itu, adanya keluhan tentang lambatnya tanggapan dari unit BDT terkait permintaan data melalui surel, meski ini terjadi dalam jumlah yang kecil. Menurut survei, sebagian besar Bappeda (79%) merasa puas terkait periode memperoleh data.

  

DIAGRAM 6.

  

Tingkat Kepuasan Bappeda terhadap

Periode untuk Memperoleh BDT

7% 21% 40% 32%

  

Tingkat Kepuasan Terhadap Waktu Memperoleh Data

Cukup puas Puas Tidak puas Sangat puas

  

INFORMASI TEKNIS

SEPERTI CARA MEMBACA DAN

MENGOLAH DATA HANYA EFEKTIF

DISAMPAIKAN MELALUI

KONSULTASI TATAP MUKA

DISERTAI SIMULASI

  

TNP2K dapat memenuhi hampir seluruh permintaan kata

kunci. Mengacu pada hasil survei, persentase Bappeda yang

  menerima kata kunci adalah 81% dari total responden, atau nyaris sama dengan persentase Bappeda yang mengembalikan lembar tanda terima (82%). Hal ini mengindikasikan bahwa setiap pengembalian lembar tanda terima langsung ditindaklanjuti TNP2K dengan pemberian kata kunci. Sedangkan 19% responden Bappeda tidak menerima kata kunci karena tidak pernah mengajukan permintaan kata kunci kepada TNP2K. Hal ini terjadi karena telah menerima data dari instansi lain, seperti Bappeda provinsi dan dinas sosial. Bahkan, Bappeda lainnya tidak mengetahui tentang keharusan meminta kata kunci setelah menerima data.

  DIAGRAM 7. Alasan Bappeda Tidak Mengajukan Permintaan Kata Kunci ke TNP2K 3% 12% 11% 55% 16% Alasan Tidak Meminta Kata Kunci

Sudah mendapatkan data (bukan dari TNP2K)

Belum menerima BDT Tidak tahu soal harus ada kata kunci Sudah meminta kata kunci tapi belum diberi Lain-lain

PEMANFAATAN DATA

  Pada kunjungan awal ke TNP2K, Bappeda telah menerima berbagai informasi dari staf unit BDT TNP2K, namun ada kendala teknis seperti waktu kunjungan yang terlampau singkat. Hal ini menyebabkan penjelasan krusial seperti cara membaca dan mengolah data tidak dipahami secara optimal oleh Bappeda. Setelah Bappeda menerima paket BDT, mereka kesulitan dalam memahami data. Karakteristik BDT memang tidak mudah dipahami, terlebih bagi staf daerah yang tidak terbiasa menangani data. Kendala teknis lainnya adalah seringkali staf daerah yang hadir pada saat kunjungan awal berbeda dengan staf yang hadir pada konsultasi lanjutan. Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap data BDT menjadi tidak menyeluruh (parsial). Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya Bappeda dan SKPD untuk memiliki staf khusus bidang data.

  

Hal di atas sesuai dengan hasil survei yang menunjukkan

bahwa mayoritas Bappeda (67%) masih kesulitan memahami

BDT, sehingga mereka berkonsultasi kembali dengan TNP2K

setelah menerima kiriman dan membaca BDT. Adapun

  tema yang paling sering didiskusikan adalah variabel-variabel dalam data (96%), termasuk cara memilah data berdasarkan kebutuhan instansi atau program (75%). Mayoritas pemda (95% hingga 99%) menyatakan puas terhadap penjelasan dari TNP2K terkait informasi-informasi tersebut.

  DIAGRAM 8. Topik-topik Utama yang Dibahas dalam Konsultasi Lanjutan Bappeda ke TNP2K Cara mengakses 90% data Variabel Tidak Konsultasi 96% data konsultasi kembali Cara memilah 33% 67% data sesuai 75% kebutuhan Cara menjelaskan 70% kepada SKPD Topik Utama Konsultasi Lanjutan

Cukup tingginya persentase kunjungan lanjutan

mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi BDT yang telah diikuti Bappeda belum mampu mentransfer pengetahuan

teknis secara memadai, khususnya cara membaca dan

  menggunakan data. Kegiatan sosialisasi yaitu rapat koordinasi TNP2K dan Bappeda hanya efektif untuk menyampaikan informasi tentang latar belakang BDT. Kegiatan sosialisasi yang metodenya satu arah dan massal tidak optimal untuk menyampaikan informasi detail dan teknis tentang cara membaca dan menggunakan data. Informasi-informasi tersebut hanya dapat dijelaskan secara efektif melalui konsultasi tatap muka, disertai simulasi dan diskusi. Setelah Bappeda menerima BDT dan penjelasan berulang kali, ternyata Bappeda belum secara aktif mengedukasi dan melibatkan SKPD untuk memanfaatkan data. Hal ini sesuai dengan hasil kunjungan lapangan unit BDT TNP2K yang menunjukkan bahwa 28 SKPD dari 54 SKPD menyatakan bahwa mereka bahkan tidak mengetahui perihal adanya BDT. Oleh sebab itu, SKPD tidak pernah meminta BDT ke Bappeda, meski pengenalan BDT merupakan tanggung jawab Bappeda. Sementara itu, 23 SKPD mengaku telah menerima BDT tetapi tidak juga digunakan untuk penetapan sasaran penerima program penanggulangan kemiskinan. Ada tiga faktor terkait belum disosialisasikan dan didistribusikannya BDT oleh Bappeda. Pertama, Bappeda belum optimal dalam mensosialisasikan informasi pokok tentang BDT. Hampir seluruh SKPD yang dikunjungi dalam kegiatan evaluasi BDT menyatakan tidak pernah diajak rapat atau diskusi informal tentang BDT. Mereka juga belum menerima BDT dari Bappeda. Kedua, Bappeda beranggapan bahwa BDT adalah data rahasia, sehingga tidak dibagikan kepada SKPD. Ketiga, Bappeda menerapkan mekanisme penyerahan BDT ke SKPD yang membutuhkan banyak waktu, sehingga menyebabkan SKPD tidak melanjutkan permintaan datanya.

  BAPPEDA

BELUM SECARA AKTIF MENGEDUKASI DAN MELIBATKAN SKPD UNTUK MEMANFAATKAN BDT.

  Ternyata, menurut hasil survei, Bappeda masih menggunakan BDT untuk: pertama, pemetaan kondisi kemiskinan. Kedua, presentasi angka-angka kemiskinan terhadap pemangku kepentingan. Ketiga, merencanakan dan menganggarkan program daerah.

  Alasan utama Bappeda tidak memanfaatkan BDT karena data terlambat. Keterlambatan penerimaan data menyebabkan data tidak bisa digunakan saat itu juga. BDT tiba setelah APBD dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD tahun 2017 disahkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, keterlambatan pengiriman data terjadi karena adanya penumpukan permintaan data pada awal tahun 2016. Bappeda telah menggunakan data by name by address antara lain untuk penetapan penerima manfaat program-program perbaikan rumah bagi 344 rumah tangga (Kabupaten Gresik), penyusunan anggaran penerima bantuan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Provinsi Aceh), pemadanan data penerima program BPJS (Provinsi Nusa Tenggara Timur), penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (Kabupaten Bangka Tengah dan Purbalingga), serta program rehabilitasi rumah dalam APBD prioritas (Kabupaten Purbalingga).

  DIAGRAM 9. Alasan Bappeda tidak Memanfaatkan BDT yang telah Diterima 4% 7% 7% 30% 11% 19% 27% Alasan Data Belum Dipakai

  Data terlambat Akurasi data diragukan Anggaran tidak ada Isi data tidak dimengerti Memutuskan memakai data lama Data tidak bisa dibuka Lainnya Kunjungan lapangan menegaskan soal dampak keterlambatan pengiriman data terhadap pemanfaatan data. Salah satu

  

Bappeda di wilayah timur, misalnya, memutuskan untuk tidak

  mengirimkan data ke SKPD-SKPD lantaran data tiba setelah ketuk palu APBD 2017. Adapun data yang pernah diminta adalah data per program by name by address untuk dinas pendidikan, dinas kesehatan (Jaminan Kesehatan Nasional), dinas sosial, disperindag (Raskin), dan dinas perumahan. Akibatnya, pemanfaatan BDT baru dapat dilakukan untuk APBD perubahan pada tahun anggaran berjalan. Solusi serupa dilakukan kabupaten/kota lain yang menerima kiriman data terlambat.

  

Kurangnya arahan Bappeda terhadap SKPD dan adanya

pemahaman parsial Bappeda tentang BDT berkorelasi

terhadap belum optimalnya pemanfaatan data di lapangan.

  Studi kualitatif tim BDT TNP2K mengidentifikasi adanya sejumlah keluhan perihal minimnya pemahaman SKPD terhadap BDT. Keluhan cukup bervariasi, mulai dari ketidaktahuan SKPD tentang apa yang harus dilakukan setelah menerima BDT, hingga keluhan tentang kurangnya arahan Bappeda provinsi saat serah terima BDT. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan di lapangan, TNP2K menangkap adanya kebutuhan pelatihan khusus bagi staf SKPD untuk membaca, mengolah, dan menganalisa BDT.

ADANYA PEMAHAMAN PARSIAL BAPPEDA TENTANG BDT BERKORELASI TERHADAP BELUM OPTIMALNYA PEMANFAATAN DATA DI LAPANGAN.

  Pintu masuk utama bagi SKPD untuk memahami BDT adalah Bappeda. Sebagai focal point BDT di daerah, Bappeda berkesempatan memperoleh akses langsung terhadap BDT sekaligus mendapatkan rangkaian informasi, termasuk peningkatan kapasitas, berkenaan dengan BDT. Namun, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, studi ini mengungkapkan lemahnya fungsi koordinasi Bappeda dalam mensosialisasikan dan mengedukasi BDT kepada SKPD, menyebabkan terhambatnya transfer pengetahuan dari Bappeda ke SKPD selaku pelaksana program penanggulangan kemiskinan di daerah.

  Survei memperlihatkan bahwa Bappeda melewati proses yang cukup panjang hingga mampu memahami cara mengolah BDT, mulai dari kegiatan sosialisasi di tingkat nasional dan provinsi hingga satu-dua kali konsultasi secara langsung ke TNP2K. Kesempatan serupa tidak dimiliki SKPD. SKPD bahkan hanya berpeluang memperoleh penjelasan ‘’tangan kedua’’ melalui Bappeda tanpa ada jaminan bahwa Bappeda telah benar-benar menguasai informasi pokok BDT dan memiliki keterampilan untuk membaca dan menganalisa BDT. Penguasaan Bappeda tentang informasi pokok BDT berguna untuk, salah satunya, meyakinkan tentang validitas BDT. Kunjungan lapangan menunjukkan adanya SKPD yang tidak mau memanfaatkan BDT lantaran menganggap BDT kurang valid.

5 KESIMPULAN

  NP2K telah berperan secara proporsional dalam memfasilitasi proses sosialisasi mengenai informasi pokok BDT. Tiga kerangka kerja yang digunakan

  T

  dalam evaluasi pemanfaatan BDT adalah ‘’mengetahui’’, ‘’menerima’’, dan ‘’memakai’’ BDT. Survei menunjukkan bahwa TNP2K telah memfasilitasi kegiatan-kegiatan terkait ‘’mengetahui’’ dan ‘’menerima’’ BDT secara efektif yang merupakan salah satu tanggung jawab TNP2K. Pada tahapan ‘’mengetahui’’, TNP2K dapat menunjukkan kinerja optimal sebagai penyedia informasi mengenai BDT bagi Bappeda.

  Hal ini ditunjukkan oleh tingginya persentase Bappeda dalam meminta data, melakukan konsultasi, dan konsultasi lanjutan.

  Sementara pada tahapan ‘’menerima’’ BDT, secara umum TNP2K memperlihatkan performa yang baik dalam mengirim BDT ke daerah serta memberikan kata kunci untuk membuka data. Hal ini tercermin dari tingginya persentase atau tingkat penerimaan BDT, serta tingginya tingkat pemberian kata kunci sebagai tanggapan atas pengembalian lembar tanda terima. Namun, untuk tahapan ini, ada catatan negatif perihal keterlambatan pengiriman data.

  

Untuk tahapan ‘’memakai’’ BDT, Bappeda memiliki peran

penting dalam menentukan dipakai atau tidaknya BDT

oleh SKPD. Survei menemukan kurang optimalnya peran

Bappeda pada tahapan esensial ini yang berujung pada

minimnya pemanfaatan BDT. Studi ini menemukan situasi

  yang kontradiktif dalam pemanfaatan BDT.

  Di satu sisi, Bappeda mengaku cukup memahami dan telah memiliki BDT. BDT diberikan kepada Bappeda agar digunakan untuk program penanggulangan kemiskinan di daerah. Namun, ternyata hasil survei menunjukkan hanya sedikit Bappeda yang meneruskan BDT kepada SKPD hingga akhirnya pemanfaatan BDT untuk program penanggulangan kemiskinan di daerah pun masih minim.

  

Studi ini mengungkapkan kelemahan sistem pemanfaatan

data berbasis peran sentral Bappeda. Bappeda sejatinya

  merupakan pintu pemda untuk mengakses BDT dan pihak pertama yang memperoleh informasi tentang BDT. Hanya saja pemanfaatan BDT dalam program-program di APBD merupakan ranah SKPD, bukan Bappeda. Bappeda secara tugas, pokok, dan fungsi merupakan lembaga perencana, bukan lembaga pelaksana seperti halnya SKPD. Tanpa ada sosialisasi BDT yang dilakukan oleh Bappeda, SKPD praktis tidak mengetahui keberadaan BDT dan nilai penting BDT untuk penajaman sasaran penerima manfaat program. Tanpa adanya distribusi dan edukasi BDT oleh Bappeda, sudah pasti SKPD tidak mengetahui fungsi BDT dan cara menggunakannya.

  

Studi ini menunjukkan masih minimnya pemanfaatan BDT

sebagai konsekuensi dari kurang aktifnya Bappeda dalam

mensosialisasikan informasi pokok, fungsi BDT dan cara

mengolah BDT kepada SKPD.

  

Selain itu, minimnya pemanfaatan BDT oleh SKPD

disebabkan oleh Bappeda kurang memahami BDT secara

utuh, sehingga transfer informasi BDT dari Bappeda ke SKPD

menjadi parsial, khususnya perihal cara mengolah data. Hal

  tersebut disebabkan oleh: pertama, banyak Bappeda yang berinisiatif mendatangi TNP2K untuk mempelajari BDT hanya menyediakan waktu yang terbatas, sehingga informasi teknis tentang cara mengolah dan memanfaatkan data tidak sempat dipahami secara optimal. Kedua, staf Bappeda yang berkunjung tidak pernah sama. Akibatnya, Bappeda hanya memahami secara parsial informasi pokok BDT dan cara pengolahannya, sehingga SKPD pun kesulitan dalam mengetahui kegunaan BDT bagi program penanggulangan kemiskinan yang mereka laksanakan.

  Kunjungan lapangan menegaskan hal ini. Banyak keluhan dari SKPD tentang ketidakpahaman cara menggunakan BDT, serta minimnya pengarahan Bappeda saat serah terima BDT. Kurangnya edukasi Bappeda juga tercermin dari keengganan sejumlah SKPD untuk menggunakan BDT dengan alasan data kurang valid. Hal ini sejatinya dapat dihindari apabila Bappeda mampu memberikan penjelasan menyeluruh dan meyakinkan tentang proses BDT.

  

Ada kelemahan dalam mekanisme pengiriman BDT. Selain

  karena lemahnya fungsi koordinasi Bappeda, minimnya pemanfaatan BDT terjadi lantaran keterlambatan penerimaan

  BDT oleh pemda. Pertama, keterlambatan disebabkan penumpukan surat permintaan data di awal tahun 2016. Pada saat BDT diterima oleh pemda, program APBD 2017 telah disahkan dan program pemda telah berjalan. Kedua, manajemen penanganan data oleh TNP2K berakhir hingga data telah dikirim. Tidak ada mekanisme dari TNP2K untuk memastikan bahwa paket BDT telah diterima oleh penanggung jawab data di Bappeda, sehingga pada saat terjadi kendala teknis, misalnya paket BDT hilang atau rusak dalam perjalanan, TNP2K maupun pemda tidak mengetahui masalah tersebut.

6 REKOMENDASI

  ekomendasi pertama adalah Bappeda perlu terus memperoleh peningkatan kapasitas pengetahuan, baik yang terkait dengan informasi pokok BDT, R

maupun keterampilan teknis mengolah BDT. Antara lain pada

  momen rapat koordinasi TNP2K, rapat koordinasi Bappeda, serta konsultasi langsung di TNP2K. TNP2K perlu konsisten mengadakan sesi pengenalan BDT pada setiap momen rapat koordinasi di daerah, dan harus menyiapkan modul yang efektif, singkat dan tajam. TNP2K harus meningkatkan kualitas dan standardisasi konsultasi langsung dengan Bappeda karena kegiatan tersebut cukup efektif untuk mentransfer keterampilan teknis seperti membaca dan mengolah BDT. Informasi teknis sulit untuk diajarkan secara massal seperti dalam rapat koordinasi. Konsultasi langsung memungkinkan terjadinya simulasi dan diskusi mengenai BDT. Standardisasi yang perlu ditingkatkan meliputi standardisasi waktu dan standardisasi materi. Pada saat konsultasi langsung, Bappeda akan diberitahu terlebih dahulu tentang pokok materi, termasuk materi praktik mengolah data, serta durasi waktu.

  Kegiatan sosialisasi BDT dan konsultasi lanjutan perlu diikuti oleh staf Bappeda yang sama, lebih baik lagi oleh penanggung jawab data di pemda. Pimpinan Bappeda perlu melibatkan penanggung jawab data ketika menghadiri rapat koordinasi TNP2K, dan sebaiknya terus mengikuti konsultasi-konsultasi atau kegiatan sejenis.

  

Rekomendasi kedua adalah TNP2K perlu membuat tutorial

cara membaca dan mengolah BDT. Tutorial ini dirancang

dalam format multimedia dan berbasis online, ditujukan

untuk memastikan tersedianya informasi acuan dan

terstandar tentang BDT yang dapat diakses oleh pemda.

  Tutorial ini berisi langkah-langkah cara membaca dan mengolah data, yang disajikan secara detail, serta dirancang dalam format audio-visual. Tutorial juga perlu memasukkan informasi pokok BDT supaya pengguna memahami tujuan dan konteks pemanfaatan BDT. Tutorial perlu diunggah dalam situs TNP2K guna memberikan akses yang mudah dan tanpa batas bagi seluruh pemangku kepentingan.

  

Rekomendasi ketiga adalah perlunya ada terobosan

dalam mekanisme pengiriman BDT di masa mendatang.

Pengiriman data dapat dilakukan secara digital melalui media