Kapitalisme dan Waktu Luang terhadap
Kata leisure berasal dari bahasa latin yaitu licere yang berarti diizinkan atau menjadi
bebas. Dalam bahasa prancis, leisure dikenal dengan sebutan loisir yang berarti waktu luang.
(Anggoa dalam Arie, 2005; 10) Secara praktikal, waktu luang sering dianggap sebagai waktu
bebas dari kegiatan rutin. Pada waktu luang biasanya seseorang mencari hiburan agar tidak bosan
dengan kegiatannya. Beberapa mahasiswa misalnya, mereka menganggap waktu luang adalah
saat mereka tidak memiliki tugas dari dosen. Biasanya mereka menggunakan waktu luang untuk
pergi ke mall, café atau sekedar bersantai di rumah.
George Torlkidsen dalam bukunya yang berjudul Leisure and Recreation Management
menjelaskan waktu luang dibagi menjadi lima definisi; sebagai cara untuk hidup, sesuatu yang
memiliki waktu luang, sebagai suasana hati yang positif, sebagai aktivitas, dan sebagai waktu.
Definisi waktu luang sebagai aktivitas adalah waktu yang berisikan berbagai macam kegiatan
yang mana seseorang akan mengikuti keinginannya sendiri baik untuk beristirahat, menghibur
diri sendiri, menambah pengetahuan, atau mengembangkan ketrampilannya secara objektif atau
untuk meningkatkan keikutsertaan dalam bermasyarakat (The International Group of the Social
Science of Leisure dalam Ari, 2005: 11).
Pada masa ini sering ditemui baik balita maupun orang tua menggunakan waktu mereka
untuk menonton televisi, mendengarkan radio, membaca majalah, novel maupun koran, dan
bermain dengan gadget. Apabila dikaitkan dengan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa saat
ini orang orang dapat menemukan hiburan di media. Perusahaan yang menemukan konsep
hiburan adalah kebutuhan dalam bentuk barang produksi adalah Sony Walkman. Perusahaan ini
memproduksi barang yang seluruhnya digunakan untuk kebutuhan waktu luang utamanya
hiburan. Namun saat ini banyak juga media yang menjadikan waktu luang sebagai komoditas
utama, misalnya televisi melalui Trans TV membuat program YKS sebagai tayangan hiburan
pada saat prime time.
Dengan demikian batasan waktu luang menjadi sangat abstrak karena waktu luang bukan
lagi hanya sesuai lima definisi oleh George Torlkidsen, tetapi juga sudah menjadi komoditas bagi
media. Luasnya pandangan mengenai waktu luang (leisure) sebagai area kebebasan, pilihan,
ekspresi diri dan kebahagiaan bisa dibangun dengan baik sebagai sumber
ditambahkan secara khusus pada barang-barang (Harris, 2005: 12)
PARADOKS?
nilai dapat
DIKAITIN KE KAPITALISME
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi merupakan suatu pandangan yang semata-mata
mementingkan modal guna mendapatkan modal yang lebih besar lagi. Ciri khasnya bahwa para
pengusaha menguasai modal (Soetoprawiro, 2003 : 96).
Media sebagai industri melihat bahwa media membuat sebuah produk dengan tujuan
pendapatan yang sebesar-besarnya. Pada ranah ini, media akan sangat dekat dengan praktek
kapitalisme. Contoh konkret praktek kapitalisme media adalah iklan.
Iklan dalam televisi
dengan durasi beberapa detik saja dapat mendatangkan ratusan juta. Hal ini menyimpulkan
bahwa iklan dalam siaran televisi ada karena kekuasaan kapitalis. Selain itu kapitalisme media
membuat adanya konstruksi realitas yang diciptakan untuk kepentingan pemilik media. Individu
atau penonton televisi hanya menerima realitas yang telah diciptakan media dengan kekuatan
kapitalnya. Hal inilah yang sering disebutkan sebagai ‘realitas sosial media’.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. (2011). Konstruksi Sosial Media Massa. Kekuatan Pengaruh Media Massa,
Iklan Teleboso, dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L. Berger & Thomas
Luckmann. Jakarta : Prenada Media Group.
Harris, David. 2005. Key Concepts in Leisure Studies. London: SAGE Publications.
Soetoprawiro, Koerniatmanto. (2003). Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme. Yogyakarta :
Kanisius.
S, Ari. 2005. E-Journal UNY. Diakses melalui http://eprints.uny.ac.id/9557/2/bab%202%20-NIM
%2005104241015.pdf pada tanggal 02 Maret 2015 pukul 12.15
bebas. Dalam bahasa prancis, leisure dikenal dengan sebutan loisir yang berarti waktu luang.
(Anggoa dalam Arie, 2005; 10) Secara praktikal, waktu luang sering dianggap sebagai waktu
bebas dari kegiatan rutin. Pada waktu luang biasanya seseorang mencari hiburan agar tidak bosan
dengan kegiatannya. Beberapa mahasiswa misalnya, mereka menganggap waktu luang adalah
saat mereka tidak memiliki tugas dari dosen. Biasanya mereka menggunakan waktu luang untuk
pergi ke mall, café atau sekedar bersantai di rumah.
George Torlkidsen dalam bukunya yang berjudul Leisure and Recreation Management
menjelaskan waktu luang dibagi menjadi lima definisi; sebagai cara untuk hidup, sesuatu yang
memiliki waktu luang, sebagai suasana hati yang positif, sebagai aktivitas, dan sebagai waktu.
Definisi waktu luang sebagai aktivitas adalah waktu yang berisikan berbagai macam kegiatan
yang mana seseorang akan mengikuti keinginannya sendiri baik untuk beristirahat, menghibur
diri sendiri, menambah pengetahuan, atau mengembangkan ketrampilannya secara objektif atau
untuk meningkatkan keikutsertaan dalam bermasyarakat (The International Group of the Social
Science of Leisure dalam Ari, 2005: 11).
Pada masa ini sering ditemui baik balita maupun orang tua menggunakan waktu mereka
untuk menonton televisi, mendengarkan radio, membaca majalah, novel maupun koran, dan
bermain dengan gadget. Apabila dikaitkan dengan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa saat
ini orang orang dapat menemukan hiburan di media. Perusahaan yang menemukan konsep
hiburan adalah kebutuhan dalam bentuk barang produksi adalah Sony Walkman. Perusahaan ini
memproduksi barang yang seluruhnya digunakan untuk kebutuhan waktu luang utamanya
hiburan. Namun saat ini banyak juga media yang menjadikan waktu luang sebagai komoditas
utama, misalnya televisi melalui Trans TV membuat program YKS sebagai tayangan hiburan
pada saat prime time.
Dengan demikian batasan waktu luang menjadi sangat abstrak karena waktu luang bukan
lagi hanya sesuai lima definisi oleh George Torlkidsen, tetapi juga sudah menjadi komoditas bagi
media. Luasnya pandangan mengenai waktu luang (leisure) sebagai area kebebasan, pilihan,
ekspresi diri dan kebahagiaan bisa dibangun dengan baik sebagai sumber
ditambahkan secara khusus pada barang-barang (Harris, 2005: 12)
PARADOKS?
nilai dapat
DIKAITIN KE KAPITALISME
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi merupakan suatu pandangan yang semata-mata
mementingkan modal guna mendapatkan modal yang lebih besar lagi. Ciri khasnya bahwa para
pengusaha menguasai modal (Soetoprawiro, 2003 : 96).
Media sebagai industri melihat bahwa media membuat sebuah produk dengan tujuan
pendapatan yang sebesar-besarnya. Pada ranah ini, media akan sangat dekat dengan praktek
kapitalisme. Contoh konkret praktek kapitalisme media adalah iklan.
Iklan dalam televisi
dengan durasi beberapa detik saja dapat mendatangkan ratusan juta. Hal ini menyimpulkan
bahwa iklan dalam siaran televisi ada karena kekuasaan kapitalis. Selain itu kapitalisme media
membuat adanya konstruksi realitas yang diciptakan untuk kepentingan pemilik media. Individu
atau penonton televisi hanya menerima realitas yang telah diciptakan media dengan kekuatan
kapitalnya. Hal inilah yang sering disebutkan sebagai ‘realitas sosial media’.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. (2011). Konstruksi Sosial Media Massa. Kekuatan Pengaruh Media Massa,
Iklan Teleboso, dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L. Berger & Thomas
Luckmann. Jakarta : Prenada Media Group.
Harris, David. 2005. Key Concepts in Leisure Studies. London: SAGE Publications.
Soetoprawiro, Koerniatmanto. (2003). Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme. Yogyakarta :
Kanisius.
S, Ari. 2005. E-Journal UNY. Diakses melalui http://eprints.uny.ac.id/9557/2/bab%202%20-NIM
%2005104241015.pdf pada tanggal 02 Maret 2015 pukul 12.15