Filantropi dan Kapitalisme globalisasi dan

Delen

0

Meer

Volgende blog»

Blog maken

Inloggen

[[Buni Yani]'s PENSIVE |blog||on+Southeast|Asia
Powerful mind should be able to catapult banal and mundane objects to the peak, allowing
themselves to be disclosed, understood and perceived as an abstraction of realities; thus, can we
say that we are in the process of theorizing?

Friday, October 12, 2007

Filantropi dan Kapitalisme


Welcome|mabuhay|sela
mat datang

Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani "Galang", Vol. 2 No. 3 Agustus 2007, yang diterbitkan
oleh PIRAC bekerja sama dengan Ford Foundation
Buni Yani[1]
Kata Kunci (Keywords)
philanthropy (filantropi), Corporate Social Responsibility (CSR, tanggung jawab sosial
perusahaan), capitalism (kapitalisme)
Abstrak
This study argues that philanthropy and capitalism do not oppose each other. Philanthropic works
need capital, while capitalists need to do philanthropic works as an effort to ensure the public that
their companies are aware of their social environments. In a glimpse, these two terms seem to
contradict each other, as capitalism promotes private rights – that is why it tends to take, while
philanthropy promotes the idea of sharing – that is why it tends to give. But in fact this assumption
is proven wrong. There have been plenty of philanthropic works performed by the capitalists. The
idea of philanthropy practiced by the capitalists is not merely based on pragmatic and professional
ground -- that is to promote their companies, but it is also based on a strong theoretical and
academic ground – that is, their understanding of system theory advocated by the functionalist.
The functionalist believes that social world is a system, that is why there will be no balance if any

part of the system does not function. The capitalists share the functionalist view of balancing each
part of the society to make it work. The capitalists understand that people’s hostility towards the
company will only harm the company’s survival. For this reason companies worldwide today
establish what is known as philanthropy and corporate social responsibility (CSR).
Pendahuluan
“A business that makes nothing but money is a poor kind of business.”
– Henry Ford, industrialis Amerika (1863-1947)
Secara sekilas, mungkinkah kita bisa memadukan antara filantropi dan kapitalisme sekaligus
dalam satu langkah? Padahal filantropi adalah satu hal dan kapitalisme hal lain yang berlawanan?
Pertanyaan-pertanyaan ini banyak diajukan berbagai kalangan dalam melihat perkembangan
dunia usaha dan hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan dewasa ini. Celakanya,
sebagian menjawab tidak mungkin mengawinkan keduanya karena saling bertentangan satu sama
lain.

A Roman Catholic church dome with Spanish
architecture, Manila, May 2011.

On the blog
This blog is to record all of my published
writings, compile them in digital form so that

it is easy to retrieve. A Southeast Asianist with
current research focus on media, pop culture
and modernity, now I am affiliated with
Leiden University's Institute of Cultural
Anthropology and Development Sociology.
However, my research interests range from

Pesimisme berbagai kalangan ini bukan tanpa alasan. Terminologi filantropi sendiri secara umum
dipahami sebagai sifat-sifat dan tindakan kedermawanan sosial yang dilakukan oleh seseorang
atau suatu lembaga tanpa berharap mendapatkan imbalan atas kedermawanan yang dilakukan.
Bila seseorang berharap suatu imbalan balik dari apa yang diberikannya maka tindakan
kedermawanannya bertentangan dengan makna kedermawanan sosial. Sang dermawan harus
ikhlas dalam memberikan sesuatu. Sementara kapitalisme di lain pihak adalah suatu paham yang
percaya akan pentingnya kepemilikan pribadi dalam aktivitas ekonomi demi menjamin dan
terselenggaranya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.[2] Argumentasi umum yang
diberikan para pendukung kapitalisme adalah: bila setiap orang mendahulukan kepentingan
pribadi maka kompetisi akan terjadi, dan kompetisi akan membawa kemakmuran dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
Singkat kata, dengan bahasa yang sederhana bisa dikatakan bahwa filantropi adalah memberi,
sementara kapitalisme adalah mengambil. Tindakan memberi dalam filantropi dilakukan karena

sang filantropis memikirkan orang lain, sementara tindakan mengambil dalam kapitalisme
dilakukan karena sang kapitalis hanya memikirkan diri-sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa
memadukan dua hal yang saling bertentangan ini?
Apa yang tampak di permukaan dan terlihat secara sekilas ini tidak cukup sahih untuk dijadikan
landasan pemahaman. Diperlukan cara pandang lain yang bisa memperkaya pemahaman kita akan
pengertian filantropi dan kapitalisme. Kutipan dari Henry Ford, salah satu industrialis terkemuka
Amerika abad ke-20, pada awal artikel ini menunjukkan betapa cara berpikir normatif seperti
ditunjukkan oleh argumentasi di atas bisa sangat menyesatkan. Dalam kenyataannya, Ford sang

Philosophy, Literature, Political Science to the
Media.

Blog archive
▼ 2007 (21)
▼ October (20)
Memaafkan Menteri Syed Hamid Albar
Dilema Media: Mengayuh di Antara Dua Karang
Islam Moderat Perlu Praksis
Kekerasan, Sumber Hancurnya Ruang Publik
Dumbing Down TV

Filantropi dan Keadilan Sosial
Berantas Korupsi dalam Tempo Sesingkatnya
Uncertainty Reigns after Saddam's Capture
Berharap pada Media dan Masyarakat Madani
Walkley Awards untuk Yenny
Gramatologi Pers
Kekerasan Epistemologis
Aceh
Mengobrak-abrik Negara
Mengapa Wahid “Gagal”?
Tafsir Psikoanalisa untuk Gus Dur
Tentara Australia di Maluku?
Filantropi dan Kapitalisme
Bukti Koeksistensi Islam dan Demokrasi
45 Tahun Sejarah Hitam Junta Myanmar

► November (1)








2008 (1)
2009 (7)
2011 (1)
2012 (1)
2013 (1)

Have my book at
Amazon.com
Flamboyant jeepney in
Manila

kapitalis rela berbagi kepada orang lain demi kesejahteraan bersama. Ford yang sukses luar biasa
dengan industri otomotifnya percaya bahwa bisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun
lebih dari itu. Dari keuntungan usahanya yang mungkin tak akan habis-habis digunakan keluarga,
ia mendirikan Ford Foundation, yayasan sosial yang umum dikenal sebagai pemberi beasiswa di
berbagai belahan dunia.

Dalam studi ini perlu dijelaskan bahwa istilah “filantropi” digunakan hampir sama pengertiannya
dengan istilah “CSR” (corporate social responsibility) dalam hal strategi perusahaan mendapatkan
citra yang baik dan dukungan yang luas dari masyarakat. Pendirian ini sama dengan pendapat guru
strategi bisnis Harvard Michael Porter yang melihat filantropi (corporate philanthropy, CP) dan
CSR sebagai ujung tombak perusahaan agar menjadi semakin kompetitif di tengah-tengah
masyarakat.[3] Meskipun pendapat Porter ini banyak mendapat kritik dan tentangan dari mereka
yang membedakan secara kategoris lingkup kerja dan kemanfaatan filantropi dan CSR dari
persepektif strategi manajemen perusahaan[4], studi ini akan tetap menggunakan konsep
filantropi dan CSR sebagai dua hal yang identik dan bisa digunakan secara bergantian. Alasan
lainnya, karena studi ini mencoba menjelajah kemungkinan koeksistensi dan kemungkinan
pertentangan antara gagasan besar filantropi dan kapitalisme, maka perbedaan sejarah, kategori
fungsional, dan hal-hal lainnya antara filantropi dan CSR akan diabaikan.
Studi ini akan membahas filantropi dan kaitannya dengan filsafat kapitalisme. Selanjutnya diskusi
juga akan dikembangkan untuk melihat rasional dari sebuah tindakan filantropi beserta landasan
yang digunakan, baik secara praktis-profesional maupun teoretis-akademis. Namun sebelum
sampai pada bagian inti pembahasan dalam studi ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai letak
perusahaan dalam sistem sosial dan logika-logika yang melandasinya.
Kapitalisme[5] dalam Keseluruhan Sistem Sosial
Dengan semakin majunya dunia usaha dewasa ini, semakin maju pula perangkat-perangkat
pendukung yang dibentuknya. Perangkat-perangkat pendukung bertugas untuk mempertahankan

keberlangsungan perusahaan di tengah sengitnya persaingan bisnis yang semakin tak mengenal
ampun. Divisi penelitian dan pengembangan usaha (research and development) yang bisa ditemui
di banyak perusahaan berskala besar melakukan penelitian rutin. Sudah menjadi kesepakatan
umum bahwa untuk bisa bertahan hidup, perusahaan harus mampu menarik hati para konsumen
agar tetap mau membeli produk mereka. Di antara strategi komunikasi yang digunakan untuk
menarik perhatian konsumen adalah kampanye periklanan, kampanye public relations, dan
bentuk-bentuk komunikasi lainnya.[6] Alat-alat komunikasi ini pada umumnya berusaha
membujuk masyarakat untuk membeli terus produk dari perusahaan.
Di samping menggunakan alat-alat komunikasi di atas, perusahaan juga mencoba meyakinkan
publik bahwa perusahaan bersangkutan adalah perusahaan yang baik. Tentu banyak cara untuk
melakukan ini. Body Shop mengidentifikasikan diri sebagai perusahaan yang ramah lingkungan.
Perusahaan ini tidak menggunakan hewan untuk mengetes produk-produknya.[7] Body Shop
berharap masyarakat yang semakin hari semakin sadar akan lingkungan akan membeli produkproduknya. Agar diakui menjadi perusahaan yang baik, kini sudah umum perusahaan harus
memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Bisnis tidak hanya mengejar keuntungan
setinggi-tingginya tanpa memperhatikan lingkungan, namun lebih dari itu, perusahaan dituntut
untuk memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
Tuntutan tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah gagasan yang hanya melulu memiliki
implikasi praktis dan bisnis, namun lebih dari itu ia merupakan gagasan yang memiliki dasar
teoretis yang kokoh. Dalam pandangan kaum fungsionalis, masyarakat bekerja sebagai suatu
sistem layaknya organ tubuh manusia.[8] Di tengah-tengah masyarakat terdapat berbagai macam

institusi yang terkait satu sama lain. Ada pemerintah, masyarakat sipil, kelompok agama,
kelompok kesenian, dan tentu saja ada entitas bisnis. Institusi-institusi ini tersambungkan secara
virtual oleh kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan masyarakat. Bagi Fungsionalisme,
tiap-tiap bagian dalam masyarakat haruslah berfungsi sebagaimana mestinya demi
mempertahankan sistem yang sedang berjalan dan kelangsungannya.
Konsep ’fungsi’ dalam analisis kaum fungsionalis mengacu pada sumbangan tiap bagian kepada
keseluruhan. Lebih khusus, fungsi tiap bagian dari masyarakat adalah sumbangan yang
diberikannya untuk memenuhi syarat-syarat berfungsinya sistem sosial. Tiap-tiap bagian dalam
masyarakat bersifat fungsional, dalam pengertian bagian-bagian itu mempertahankan sistem dan
memberikan sumbangan terhadap kelangsungnnya. Dengan demikian, fungsi keluarga adalah
untuk menjamin kelanjutan masyarakat dengan melahirkan dan melakukan sosialisasi kepada
anggota-anggota baru. Fungsi agama adalah mengintegrasikan sistem sosial dengan menegakkan
nilai-nilai yang berlaku umum. (Haralambos dan Holborn, 2004:938)[9]
Dalam persepektif kaum Fungsionalis, keberadaan institusi bisnis di tengah-tengah masyarakat
tentulah memiliki fungsi yang sama dengan institusi-institusi lainnya, yakni menjamin berjalannya
sistem dan kelangsungan masyarakat. Namun, dalam hal apakah dan bagaimana institusi bisnis
bisa menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat?

Jeepney, popular public transportation in
Metro Manila, is de facto king of the road,


Perusahaan-perusahaan bekerja dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat akan barang dan
jasa. Perusahaan juga membutuhkan konsumen untuk membeli produk mereka. Di lain pihak,
masyarakat membutuhkan layanan penyediaan barang dan jasa oleh perusahaan karena tidak

unbeatable in all senses.

Democracy in Malaysia

Bersih 2.0 campaign in KL, July 9, 2011.
Democracy is a throwing stone ahead.

News on Southeast Asia
The Jakarta Post
Philippines Daily Inquirer Malaysiakini.com
The Straits Times The New Straits Times
Indonesia Malaysia Philippines Singapore
Thailand
Hundreds of police officers have been
Jakarta

deployedPost
to secure the West Jakarta ...
The Jakarta Police had named Hercules and
49 of his associates as suspects in March for
their alleged roles in extortion and
intimidation toward residents. Hercules and
his crew were also suspected of having
disrupted the police's inquiries. Hercules ...
OIL NEAR $98 AS PROTESTS
Jakarta Post
Oil hovered near $98 a barrel Tuesday,
underpinned by political unrest in Egypt that
raised fears of disruption to global crude
supplies. Benchmark crude for August
delivery was down 3 cents to $97.96 a barrel
at early afternoon Bangkok time in ...
BANK INDONESIA LAUDS SINGAPORE
Jakarta
Post
PUNISHMENT
ON FOREX COLLUSION
Besides having to discharge employees, the
guilty banks also must set aside additional
reserves to MAS. Banks such as UBS, ING and
RBS were obliged to post between S$1 billion
(US$800 million) and S$1.2 billion extra with
the Singaporean central bank.
INDONESIA'S MICE EVENTS ATTRACTS
Jakarta
Post
FOREIGN
TOURISTS
“This is the year of MICE [meeting, incentives,
convention, exhibition],” Mari said in Jakarta
on Monday. “We are optimistic that we ...
Also, Mari said upcoming sports events like
the Jakarta Marathon and Bali Marathon
would attract more tourists to ...

semua kebutuhan bisa dipenuhi sendiri. Hubungan saling membutuhkan ini terjadi secara alami,
tidak direkayasa oleh siapa pun. Hubungan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat
pembeli adalah hubungan saling menguntungkan. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari
selisih harga, sementara masyarakat mendapatkan keuntungan dari tersedianya barang dan jasa
karena mereka tak perlu bersusah payah menyediakannya sendiri. Dengan sekali jalan ke
supermarket, semua kebutuhan tersedia di sana.
Namun, keuntungan kelihatannya lebih banyak berpihak kepada perusahaan. Kaum Marxis
melihat “dosa” yang dilakukan oleh kaum kapitalis terutama dalam proses produksi, di mana
buruh mengalami eksploitasi yang berlebihan. Perusahaan memberikan ongkos buruh yang
rendah, jam kerja yang panjang, dan minimnya (terutama di Indonesia) jaminan keselamatan yang
memadai. Setelah menekan ongkos produksi serendah-rendahnya, perusahaan lalu menjual
produknya dengan harga yang tinggi. Kini yang menjadi korban kaum kapitalis adalah konsumen
atau masyarakat umum. “Dosa“ perusahaan berasal dari dua arah, yakni, dari keringat buruh yang
tidak dibayarkan sebagaimana mestinya, dan kedua, dari harga tinggi yang harus dibayar
masyarakat atas produk-produk yang dibuat perusahaan.
Dalam kondisi seperti ini meluasnya permusuhan terhadap pihak perusahaan menjadi tak
terelakkan. Gerakan global menentang praktik kapitalisme yang dianggap telah menyengsarakan
miliaran umat manusia kini marak di mana-mana. Secara mikro, perusahaan dalam hal ini harus
memikirkan dampak buruk yang potensial terjadi bila sikap tak bersahabat dari masyarakat
semakin hari semakin menipis. Perusahaan harus mendefiniskan kembali raison d’être-nya bagi
masyarakat dan sistem sosial secara keseluruhan. Bila tidak, sentimen negatif yang muncul hanya
akan merugikan pihak perusahaan sendiri. Itulah sebabnya, munculnya gagasan tentang filantropi
dan CSR menjadi masuk akal dan tak terhindarkan.
Di sisi lain, yang tak kalah penting menyumbang terhadap dinamika ini adalah teknologi informasi
dan komunikasi yang telah mendorong cepatnya informasi tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Teknologi informasi dan komunikasi menciptakan masyarakat yang semakin cerdas dan peduli
dengan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Masyarakat semakin tahu apa yang dilakukan oleh
perusahaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka. Di Indonesia, sudah menjadi
pemandangan yang lazim demonstrasi untuk menekan perusahaan mengubah suatu kebijakan
atau menghentikan operasi yang dianggap merugikan. Masih belum lepas dari ingatan bagaimana
masyarakat memprotes operasi perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya yang dianggap
telah mencemarkan lingkungan di pantai Buyat, Sulawesi Utara. Para aktivis lingkungan tidak bisa
tinggal diam melihat masifnya kerugian yang dianggap disebabkan oleh Newmont. Teknologi
informasi dan komunikasi telah mempercepat kesadaran akan lingkungan ini merata di
masyarakat. Di Indonesia, munculnya puluhan stasiun televisi yang dibarengi dengan kebebasan
pers pasca-1998 mempercepat tumbuhnya kesadaran ini. Hal lainnya, terjangkaunya telepon
seluler oleh sebagian masyarakat telah memberikan pengaruh yang besar pada bentuk dan kualitas
komunikasi. Komunikasi aktif di antara stakeholders melalui saluran komunikasi yang tersedia ini
memungkinkan berbagai macam aspirasi masyarakat dapat dikedepankan ke hadapan perusahaan.
Selanjutnya pada bagian berikut akan dibahas secara lebih khusus pengertian kapitalisme,
neoliberalisme dan globalisasi dan hubungannya dengan filantropi. Pembahasan secara khusus ini
dianggap perlu untuk memperjelas pemahaman kita mengenai hakikat hubungan antara filantropi
dan kapitalisme.
Kapitalisme, Neoliberalisme, dan Globalisasi
Kapitalisme, neoliberalisme, dan globalisasi adalah kata-kata besar yang sarat muatan ideologis
yang telah mengisi ruang publik kita secara serentak di berbagai kesempatan. Praktik kapitalisme
muncul pada abad ke-19 menyusul Revolusi Industri di Inggris, sedangkan kata kapitalisme sendiri
berasal dari konsep Marx mengenai penguasaan alat-alat produksi oleh kelas kapitalis atau
borjuasi.[10] Kata neoliberalisme dan globalisasi relatif baru digunakan. Ada yang memperkirakan
kata globalisasi digunakan sejak 1990-an. Meskipun istilah-istilah ini dipakai hampir saling
bergantian di berbagai tempat untuk menggambarkan ekonomi politik dunia dewasa ini, namun
kata neoliberalisme tidak sepopuler dua kata lainnya. Ketiga kata ini tentu saja memiliki arti yang
saling berbeda-beda meskipun ada keterkaitan di antara ketiganya.

powered by

Videos on Southeast Asia

Kapitalisme, seperti sempat disinggung secara sekilas sebelumnya, mementingkan kepemilikan
pribadi, yang sering diperlawankan dengan paham sosialisme. Neoliberalisme bisa disebut sebagai
turunan dari Kapitalisme yang mengedepankan pasar bebas di seluruh dunia.[11] Perdagangan
bebas di seluruh dunia menciptakan situasi di mana setiap kelompok bisnis bisa berdagang di
mana saja tanpa ada pembatasan. Situasi inilah yang disebut sebagai globalisasi. Namun
globalisasi bukan hanya aktivitas dalam bidang perdagangan. Canggihnya alat komunikasi telah
menimbulkan globalisasi budaya. Remaja-remaja usia belasan tahun di Tokyo, New York dan
Jakarta meskipun belum pernah saling bertemu, mereka memiliki kesamaan selera dalam mode:
rambut pirang, hidung ditindik, celana jeans gombor, dan sama-sama mendengarkan musik R&B –
yang dalam beberapa puluh tahun lalu saat ayah-ayah mereka masih seusia mereka hal ini tak
mungkin bisa terjadi. Lalu mengapa fenomena ini sekarang bisa terjadi? Jawabnya: MTV. MTV
telah menyeragamkan selera remaja-remaja ini. Begitu juga dalam bidang politik. Format politik
banyak negara semakin seragam. Demokrasi semakin hari menjadi standar praktik politik di dunia.
Di samping Kapitalisme, Neoliberalisme dan Globalisasi memiliki pengertian yang saling

powered by

berdekatan dan sering digunakan secara bergantian, ketiga kata ini juga memiliki satu ciri lainnya,
yakni, ketiganya oleh kaum Kiri dianggap sebagai penyebab segala bencana kemiskinan di seluruh
dunia. Terutama Neoliberalisme, yang mengedepankan perdagangan bebas, telah dituduh
memperlebar jurang antara negara kaya dengan negara miskin. Yang kaya makin kaya, yang
miskin makin miskin, kata-kata inilah yang sering digunakan aktivis antiglobalisasi untuk
menyudutkan praktik neoliberalisme.[12] Mengapa bisa terjadi demikian? Kritik pedas aktivis
antiglobalisasi terutama menyoroti mengenai tidak adilnya praktik perdagangan bebas oleh karena
dalam perdagangan bebas negara dengan ekonomi kuat disamakan dengan ekonomi lemah:
mereka sama-sama tidak boleh memproteksi barang mereka. Praktik ini dituduh telah
menguntungkan negara-negara kaya di Utara, dan menimbulkan keterpurukan bagi negara-negara
di Selatan.
Joseph Stiglitz, ekonom Amerika peraih Hadiah Nobel yang juga dikenal sebagai pengeritik
globalisasi, secara terang-benderang menyebutkan adanya ketidakadilan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga perdagangan dunia.[13] IMF dan World Bank, dua lembaga keuangan dunia
yang didukung sepenuhnya oleh Amerika, tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang membantu
negara-negara di dunia untuk sembuh dari krisis ekonomi semata-mata berdasarkan
pertimbangan ekonomi. Sebaliknya, dua lembaga keuangan ini telah menggunakan pengaruhnya
untuk tujuan-tujuan politik tertentu yang ditunggangi oleh kepentingan global Amerika. Resepresep khas IMF dan World Bank yang terangkum dalam kebijakan structural adjustment seperti
penghapusan subsidi, penghapusan proteksi, dan lain-lain kebijakan, amat menyengsarakan
negara-negara yang sedang dalam “perawatannya“. Akibatnya, negara “pasien“ bukannya cepat
sembuh dan sehat, melainkan semakin sekarat, bahkan ada yang tragisnya terus dalam keadaan
koma.
Fundamentalisme pasar kaum neoliberal telah menciptakan ketidakseimbangan baru lanskap
ekonomi dan politik global. Munculnya terorisme di kalangan sebagian penduduk dunia
sebagiannya disebabkan oleh deprivasi ekonomi dan politik yang amat menyengsarakan. Secara
ekonomi para teroris ini merasa tak berdaya melawan digdayanya kekuatan modal, dan secara
politik suara mereka hampir-hampir tak terdengar. Singkatnya, para teroris menempuh jalan
kekerasan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tak kunjung mendapatkan tempat.
Untuk sejenak menengok ke belakang, sejarah kapitalisme dan korporasi sejak awal memang
penuh diwarnai oleh adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya ketika korporasi menjadi
perpanjangan tangan dari kolonialisme Eropa di negara-negara jajahan. Memang betul, ketika
korporasi mulai muncul di Eropa pada awal abad ke-17, tujuannya bukanlah untuk mencari laba
seperti dikenal dewasa ini. Sebagai lembaga nirlaba, korporasi Eropa diberikan tugas mulia untuk
membangun fasilitas umum seperti universitas dan rumah sakit. Namun dalam perkembangannya,
korporasi menjadi alat penghisap darah yang menindas ketika lambat laun secara perlahan
korporasi bergandengan tangan dengan kolonilaisme Eropa di berbagai belahan dunia. Kerajaan
Inggris memberikan semacam surat izin kepada korporasi untuk melakukan kegiatan perdagangan
dalam upaya pemerintah kolonial memperluas pasar di negeri-negeri jajahan. (Jem Bendell dalam
Anton Waspo 2004). Di Indonesia tentu saja kita mengenal VOC yang merupakan perpanjangan
tangan dari pemerintah Belanda. Sejarah kehadiran VOC di Indonesia penuh dengan penghisapan,
pemaksaan dan kekejaman yang menorehkan penderitaan selama berabad-abad.
Dewasa ini wajah kejam korporasi dan kapitalisme semakin menampakkan diri sebagai alat
pembunuh haus darah yang tak mengenal bahasa, bangsa, maupun warna kulit. Kapitalisme bisa
muncul di mana saja karena ia telah mendapatkan legitimasi oleh lembaga-lembaga internasional
yang dibentuk oleh negara bangsa-negara bangsa berdaulat. Tidak itu saja, kapitalisme adalah
sebuah ideologi, suatu ajaran, yang memiliki perangkat filsafat yang lengkap, yang ditopang oleh
argumentasi akademik yang kuat dan memukau. Pasar adalah segalanya. Bahkan pasar adalah
tuhan yang sakral karena ia digerakkan oleh invisible hand yang keramat itu. Pasar menentukan
arus barang dan jasa, fluktuasi harga, dan tentu saja, kemakmuran untuk seluruh penghuni planet.
Para pemuja pasar percaya betul hanya pasarlah yang bisa membawa isi seluruh Bumi menuju
kemakmuran.
Tetapi itulah ideologi. Ia akan dianut hatta kenyataan menunjukkan fakta sebaliknya. Kapitalisme
yang lalu melahirkan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas hanya membawa kemakmuran
bagi negara-negara yang telah mapan berproduksi namun sebaliknya semakin membawa
keterpurukan bagi negara-negara miskin yang baru belajar membuat barang dan jasa. Diktum
ekonomi laissez-faire hanya melahirkan jurang dan ketimpangan ekonomi yang dalam karena
prinsip ini telah menciptakan ketidakadilan dengan mengadu petinju profesional dengan bocah
balita dalam satu ring yang sama. Tak cuma itu, kapitalisme pun memunculkan sikap-sikap
serakah, mau menang sendiri, dan acuh terhadap lingkungan.
Karenanya, kritik merebak di mana-mana yang menghujat kapitalisme adalah kejahatan itu sendiri
yang telah menciptakan kemiskinan, ketimpangan ekonomi Utara-Selatan, kerusakan lingkungan,
dan berbagai persoalan sosial lainnya. Menanggapi ini, korporasi dan kapitalisme lalu
mengembangkan suatu model strategi bisnis yang bertujuan untuk mendapatkan tempat di
tengah-tengah masyarakat. Dalam suasana seperti inilah sebagian praktik filantropi lahir.[14]
Filantropi dan CSR
Filantropi dan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR)

memiliki spirit yang sama, yaitu memberikan empati kepada orang lain atas nama kemanusiaan.
Filantropi adalah perwujudan dari rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang berwujud
sumbangan dalam bentuk uang, barang, atau karya lainnya bagi orang yang membutuhkan atau
untuk tujuan-tujuan sosial lainnya.[15] Di samping definisi normatif yang sangat positif ini, tidak
sedikit kalangan yang memandang filantropi sebagai bentuk “bayar dosa” terhadap masyarakat
oleh karena keburukan-keburukan yang telah dilakukan perusahaan.[16] CSR tidak hanya
menyangkut hubungan perusahaan dengan publik di luarnya, namun juga terkait erat dengan
tanggung jawab perusahaan dengan karyawannya sendiri, misalnya bagaimana perusahaan
memberlakukan peraturan agar para karyawan dapat menyeimbangkan antara dunia kerja dengan
keluarga.[17]
Agama-agama besar di dunia memiliki landasan teologis yang kuat mengenai pentingnya arti
filantropi atau berbagi kepada orang lain.[18] Islam mengenal zakat, Hindu mengenal datra datrtva
dan daanam parmrarth, Budha mengenal thambun dan thamtaan, dan Kristen mengenal
tithing.[19] Tidak cuma agama yang mendorong masyarakat untuk berbagi kepada orang, budaya
pun melakukan hal yang sama. Budaya-budaya di Asia, yang terkenal dengan sifat empatinya yang
besar kepada sesama, juga demikian. Budaya-budaya di Indonesia terkenal dengan gotong-royong,
bangsa Nepal mengenal muthi daan, guthi dan parma, dan lain sebagainya.[20] Budaya filantropi
ini, dengan bentuk yang berbeda-beda pada setiap budaya, memiliki kesamaan filosofi dan prinsip
dasar, yakni:
- Manusia tidak hidup sendirian di atas dunia ini, melainkan bagian dari masyarakatnya,
lingkungan sosial yang lebih luas, serta jagad alam dan spiritual yang mengelilinginya;
- Dengan demikian manusia secara esensial bergantung dalam semua aspek kehidupannya pada
orang lain;
- Karenanya ia harus selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan anggota masyarakat lainnya,
yang dilandasi oleh spirit persamaan; dan
- Ia harus selalu berusaha sebisa mungkin untuk sejalan, dan melakukan yang sama serta menjadi
sama seperti orang-orang lain dalam masyarakat.[21]
Bagi kalangan aktivis pemantau korporasi, filantropi dan CSR bukanlah bentuk tindakan belas
kasihan perusahaan kepada publik oleh karena kebaikan hati perusahaan, tetapi sebaliknya
merupakan kondisi sine qua non yang tercipta oleh karena sifat keberadaan perusahaan di tengah
publik. Perusahaan dianggap berada di ranah publik dan keberadaannya dalam aktivititas bisnis
sehari-hari telah mempengaruhi secara luas dan mendalam kepentingan-kepentingan publik.
Operasi bisnis transnasional telah mempengaruhi masyarakat secara global dengan banyak kasus
yang timbul di seluruh dunia. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan otomotif dunia harus ikut
bertanggung jawab terhadap polusi dan semakin tingginya emisi karbondioksida di seluruh dunia.
Emisi karbondioksida ini adalah salah satu unsur yang menimbulkan pemanasan global dan
ketidakseimbangan ekologi dunia dewasa ini.
Sudah menjadi sebab-akibat yang logis jika kemudian perusahaan harus ikut bertanggung jawab
terhadap segala akibat langsung maupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Perusahaan
harus memberikan donasi kepada mereka yang sakit akibat terkena dampak operasi perusahaan;
perusahaan harus memikirkan secara mendalam bagaimana mengurangi sehingga dampak buruk
yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan menjadi seminimal mungkin; perusahaan harus ikut
memikirkan bagaimana cara agar ketidakseimbangan ekologi dunia yang ditimbulkan oleh operasi
perusahaan dikembalikan ke keadaan semula. Tanggung jawab-tanggung jawab ini tidak saja
bersifat moral, tetapi juga profesional. Perusahaan harus bersikap gentle dengan segala bentuk
dampak yang ditimbulkannya. Perusahaan tidak bisa cuci tangan begitu saja atau pura-pura tidak
tahu dengan segala macam dampak ini lalu melakukan business as usual. Bila ini yang terjadi,
maka perusahaan telah mencoreng mukanya sendiri di depan publik yang semakin hari semakin
kritis. Kehilangan muka di depan publik dengan semakin merosotnya citra perusahaan merupakan
kondisi yang sangat dihindari oleh perusahaan-perusahaan berskala besar. Jika ini yang terjadi,
kemungkinan besar tingkat competitiveness perusahaan akan semakin merosot. Karenanya, harus
ada strategi untuk melindungi dan menyelamatkan perusahaan dari ancaman opini publik yang
buruk.
Sebagiannya, filantropi dan CSR lahir dari penalaran seperti di atas. Logika seperti ini klop dan
saling melengkapi dengan praktik kapitalisme global yang memang bertumpu dan sangat percaya
pada kekuatan modal.
Cara pandang lain untuk melihat praktik filantropi dan CSR adalah dengan mengandaikan bahwa
perusahaan di dalam dirinya telah terbangun praktik etika bisnis yang baik. Tentu asumsi ini bisa
keliru oleh karena dewasa ini tidak sedikit perusahaan berskala besar yang mengabaikan etika
bisnis demi mendapatkan keuntungan dengan cepat. Penyimpangan seperti ini tentu bisa terjadi di
sektor apa pun, entah sektor pemerintah, LSM ataupun institusi publik lainnya.
Filsafat etika pada umumnya membicarakan tentang apa yang baik dan buruk, apa yang
seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, serta kebebasan dan tanggung jawab seseorang baik
kepada dirinya maupun masyarakat. Filsafat etika sangat dekat dengan ajaran moral di mana tolok
ukur terakhir yang dijadikan patokan dalam pengambilan keputusan adalah hati nurani.
Akan halnya dengan bisnis, dewasa ini korporasi-korporasi dituntut untuk menerapkan standar

etika yang tinggi dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Tak mengherankan karenanya di banyak
sekolah bisnis di dunia mata kuliah etika bisnis telah dimasukkan dalam kurikulum yang
terintegrasi. Asumsinya, berbisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun lebih dari itu,
kalangan bisnis harus pula memperhatikan aspek-aspek nonbisnis yang bisa berpengaruh terhadap
masyarakat secara keseluruhan.
Kesimpulan
Setidaknya dalam praktik, tidak ada argumentasi yang kuat untuk memperlawankan antara
filantropi dan kapitalisme. Justru keduanya saling membutuhkan satu sama lain agar masingmasing terus bisa hidup berdampingan. Seperti ditunjukkan oleh studi ini, filantropi memerlukan
kapital agar seseorang bisa berderma. Sebaliknya, kaum kapitalis perlu mengadakan filantropi
untuk – tujuan praktisnya – meyakinkan publik bahwa ia mempunyai perusahaan yang memiliki
tanggung jawab sosial. Namun sebetulnya tidak cukup memadai hanya melihat filantropi
perusahaan dari tujuan praktisnya saja. Harus dilihat juga bahwa banyak kalangan usahawan yang
memang memiliki sifat dermawan seperti ditunjukkan oleh industrialis otomotif Henry Ford.[22]
Harus diakui, memang, kapitalisme memiliki wajah ganda. Di samping mendatangkan berbagai
macam akibat buruk kepada miliaran umat manusia, para kapitalis juga sadar betul bahwa tanpa
tanggung jawab sosial maka keuntungan hanyalah ilusi yang lambat laun akan hilang dengan
sendirinya karena produk-produk mereka dijauhi oleh konsumen. Namun sebetulnya yang lebih
mendasar adalah adanya kesadaran para kaum kapitalis bahwa mereka hidup di suatu dunia di
mana orang-orang lain juga tinggal. Dunia yang satu ini oleh para fungsionalis disebut sebagai satu
sistem layaknya organ manusia yang saling kait-mengait satu sama lain.
Paradoks filantropi dan kapitalisme, bagaimanapun mustahilnya dua gagasan ini seperti tampak di
permukaan, bukanlah praktik dan produk intelektual yang asal jadi begitu saja tanpa ada preseden.
Sebegitu bertentangannya kapitalisme dan sosialisme pun dapat dipadukan menjadi suatu gagasan
yang bisa dipraktikkan menjadi kenyataan. Anthony Giddens (1998) telah menunjukkan dua
ekstrim filsafat ini bisa menjadi satu tanpa saling menghancurkan satu sama lain. Dengan
cemerlang Giddens melahirkan Jalan Ketiga yang mashur itu. Kalau Giddens bisa melahirkan
Jalan Ketiga, mengapa kapitalisme dan filantropi harus mustahil?

Referensi Dikutip
Dictionary of Beliefs and Religion. 1992. Kent, Great Britain: Wordsworth.
Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising & IMC. New York: McGraw-Hill.
Ford, Henry. 2006. The International Jew (terjemahan). Jakarta: Hikmah-Zaman Baru.
Giddens, Anthony. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge, UK:
Polity.
Haralambos dan Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives. London: HarperCollins.
Millet, Fabien Curto. 2005. The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in the 21st Century.
Makalah dipresentasikan pada 35th ISC-Symposium at the University of St. Gallen/Switzerland,
19-21 Mei 2005.
Pacific Philanthropy Consortium. 2002. Giving and Fund Raising in Asia. Manila: Asian
Development Bank.
Rostgaard, Tine. 2000. The Configuration of Corporate Social Responsibility. Makalah untuk
Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of Social Research,
Working Paper 3, 2000.
Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books.
The Random House Dictionary of the English Language. 1968. New York: Random House.
Waspo, Anton. 2004. Partisipasi Publik dalam Tata-Kelola Sektor Korporasi. Surakarta: The
Business Watch Indonesia.
Wibowo, I dan Francis Wahono (eds.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas.
Yani, Buni. Filantropi dan Keadilan Sosial. Opini Republika, 19 Oktober 2004.
Situs Internet:
capitalism.org
importanceofphilosophy.com
isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm
mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.

thebodyshop.com.au
web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html
Endnote
[1] Buni Yani, editor buku Pengantar Memahami Hak Ekosob (2006), Pegangan Ringkas
Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan (2006), dan Sejarah Bank Indonesia Periode II:
1959-1966 (2005), juga editor Jurnal Aksi Sosial yang diterbitkan oleh Program Magister
Manajemen Pembangunan Sosial UI-Departemen Sosial. Mengajar Ilmu Komunikasi di Swiss
German University di samping menjadi Direktur The Public Sphere Institute. Tamat dari program
Master International Studies, Southeast Asian Studies, Ohio University dengan tesis politik
pemberitaan konflik sektarian Maluku.
[2] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992. Definisi yang sama juga didapat dari
www.capitalism.org: “Capitalism is a social system based on the principle of individual rights”
(www.importanceofphilosophy.com).
[3] Lihat http://www.isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm. Pendapat Porter ini banyak
mendapat kritik dan tentangan.
[4] Misalnya, lihat http://www.mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.
[5] Selanjutnya istilah-istilah kapitalisme, perusahaan, dan bisnis akan digunakan secara
bergantian dengan pengertian yang sama.
[6] Uraian lengkap mengenai strategi komunikasi perusahaan dalam menjual produk, lihat Tom
Duncan, Principles of Advertising & IMC, 2005.
[7] Lihat situs Body Shop, www.thebodyshop.com.au.
[8] “Functionalism views society as a system: that is, as a set of interconnected parts which
together form a whole” (Haralambos dan Holborn, 2004:936). Di antara tokoh Fungsionalisme
adalah Emile Durkheim, Talcott Parson, dan Robert K Merton. Untuk pembahasan lebih lanjut
mengenai aliran Fungsionalisme dalam Sosiologi, lihat buku Haralambos dan Holborn, Sociology:
Themes and Perspectives, 2004:934-944.
[9] Terjemahan penulis. Berikut adalah teks aslinya: “The concept of ‘function’ in functionalist
analysis refers to the contribution of the part to the whole. More specifically, the function of any
part of society is the contribution it makes to meeting the functional prerequisites of the social
systems. Parts of society are functional so far as they maintain the system and contribute to its
survival. Thus a function of the family is to ensure the continuity of society by reproducing and
socializing new members. A function of religion is to integrate the social system by reinforcing
common values.” (Haralambos dan Holborn, 2004:938)
[10] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992: 87-88.
[11] Lebih jauh mengenai pengertian istilah-istilah ini, lihat
http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html.
[12] Lihat Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (2002:24). Stiglitz dalam buku ini
lebih banyak menyoroti peran lembaga-lembaga pendukung globalisasi seperti World Bank dan
IMF dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang dibuat sehingga semakin memiskinkan negaranegara yang menjadi “pasien”. Di samping Stiglitz, lihat pula I Wibowo dan Francis Wahono (eds.),
Neoliberalisme, 2003.
[13] Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, khususnya Bab 6 “Unfair Fair Trade Laws
and Other Mischief” (2002:166-179).
[14] Praktik filantropi lainnya ada yang didorong oleh keinginan untuk menghindari pajak, dan ada
juga yang semata-mata digerakkan oleh tanggung jawab kemanusiaan untuk berbagi kepada
sesama manusia.
[15] “Affection for mankind, especially as manifested in donations of money, property, or work to
needy persons or to socially useful purposes”. (The Random House Dictionary of the English
Language, 1968:996)
[16] Lihat misalnya pendapat yang diutarakan oleh Fabien Curto Millet dari Universitas Oxford
dalam makalahnya (yang tak diterbitkan) berjudul “The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in
the 21st Century”, yang dipresentasikan dalam 35th ISC-Symposium at the University of St.
Gallen/Switzerland, May 19–21, 2005. Millet mengatakan: “CSR is an attempt by people worldwide
to manually override values into a system which they perceive sacrifices them all on the altar of
productivity… In fact, capitalism today is sick because of its own affluence, thereby providing an
additional driving force behind the quest for corporate responsibility.”
[17] Lihat makalah (tidak diterbitkan) oleh Tine Rostgaard, “The Configuration of Corporate Social
Responsibility”, Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of
Social Research, Working Paper 3, 2000.
[18] Di antara doktrin yang melekat kuat pada agama-agama besar, khususnya Islam, adalah isu
keadilan sosial. Keadilan sosial mendapatkan tempat sentral oleh karena tanpa adanya keadilan
sosial, sistem sosial akan goyah. Dalam konteks inilah filantropi menjadi sangat relevan. Untuk
diskusi lebih lanjut mengenai hubungan antara filantropi dan keadilan sosial, lihat Buni Yani,
Filantropi dan Keadilan Sosial, Opini, Republika, 19 Oktober 2004.
[19] Asia Pacific Philanthropy Consortium, Investing in Ourselves: Giving and Fund Raising in
Asia, 2002:7-8.
[20] Ibid hal. 8-9.
[21] Ibid hal. 8.
[22] Kebaikan hati dan sifat kedermawanan sosial Ford dapat dibaca dalam pengantar bukunya
yang kontroversial, The International Jew (terjemahan), 2006. ###
Posted by Buni Yani at 3:31 PM
Labels: This article was published by Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani "Galang"

No comments:
Post a Comment

Links to this post
Create a Link
Schoolspullen nodig?
www.Bruna.nl/Schoolspullen
Start het nieuwe schooljaar goed. Bestel
schoolspullen op Bruna.nl!

Newer Post
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Home

Older Post