Kekerasan Pasca G30S dan Segitiga Kekera

Nama : Iwa Maulana
NPM : 1206274481
Mata kuliah : Konflik Sosial dan Gangguan Ketertiban Umum
Dosen : Prof. Bambang Widodo Umar

Kekerasan Pasca-G30S dan Segitiga Kekerasan Galtung

Pendahuluan
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965 menandai berlangsungnya salah
satu peristiwa paling penting dan berdarah dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Dini hari itu, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan
Jenderal Ahmad Yani beserta lima orang staf umumnya (Mayor Jenderal Suprapto,
Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal S. Parman, Brigadir Jenderal D.I.
Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo) dijemput secara paksa—
atau mungkin lebih tepatnya diculik dari rumah-rumah mereka—dan dibawa ke
sebuah areal perkebunan di Selatan Jakarta dengan menggunakan truk oleh
sekelompok orang bersenjata. Meskipun dikatakan penculikan, Yani dan dua
jenderal lainnya terbunuh di rumah mereka masing-masing. Pada pagi keesokan
harinya, para penculik membunuh ketiga orang jenderal sisanya dan melempar
keenam jenazah mereka ke dalam sebuah sumur (Roosa, 2008: 3).
Selain melakukan penculikan, para penculik juga menduduki stasiun pusat

Radio Republik Indonesia (RRI), dan menyatakan diri akan melindungi Presiden
Sukarno dari upaya kudeta yang hendak dilakukan oleh sekumpulan jenderaljenderal kanan yang pro-Barat. Namun, dengan cepat upaya yang tengah
dijalankan oleh para penculik—yang menamai dirinya Gerakan 30 September (G30-S)—dapat dipatahkan serta ditumpas dengan relatif mudah oleh Mayor
Jenderal Suharto yang telah mendapatkan mandat untuk menggantikan posisi Yani
sebagai pemegang komando Angkatan Darat pada pagi hari tanggal 1 Oktober
1965 (Roosa, 2008: 4). Apa yang terjadi setelahnya tentu sudah banyak dibahas
dan dikupas oleh berbagai ahli dengan berbagai macam latar belakang, tumpahnya
darah dan melayangnya ratusan ribu nyawa tidak berdosa di tangan negara, atau
setidaknya, mereka yang mengatasnamakan negara.
Dalam bukunya Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Suharto, John Roosa (2008) menyatakan bahwa pembantaian terhadap
Page | 1

orang-orang yang dituduh sebagai PKI merupakan sesuatu yang salah alamat.
Roosa memaparkan dengan sangat baik bahwa memang benar G-30-S memiliki
hubungan dan keterkaitan dengan PKI, tetapi hanya sebatas pada petinggipetingginya saja. Itu pun tidak mencakup seluruh petinggi PKI, karena beberapa
bahkan tidak tahu dan dilibatkan dalam menyusun dan menjalankan G-30-S.
Mengutip Noam Chomsky dan Edward Herman, Roosa (2008: 19) menyatakan
bahwa pembunuhan terhadap ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota
hingga simpatisan PKI di Indonesia bisa terjadi dan terus mendapat pembiaran

karena ia merupakan “pembantaian bermaksud baik” dan “teror yang konstruktif.”
Selain pembantaian, berbagai diskriminasi dan kekerasan struktural menimpa
orang-orang yang dituduh sebagai kader hingga simpatisan PKI. Bahkan saat
mereka telah menyelesaikan hukuman berupa pemenjaraan pun, stigma sosial dan
berbagai macam pembatasan hak sipil tetap terjadi (Roosa, Ratih & Farid, 2004).
Pembantaian terhadap ratusan ribu anggota, kader, simpatisan, hingga
orang-orang yang dituduh PKI yang terjadi pada 1965 hingga beberapa tahun
setelahnya dapat berlangsung karena adanya konflik. Dalam pandangan Johan
Galtung, pemahaman mengenai konflik harus dibangun pada pengertian mengenai
kontradiksi dan ketidaksesuaian yang kemudian berkembang dalam gagasan
umum mengenai tujuan. Sebuah konflik memang hanya melibatkan tujuan yang
tidak sejalan. Namun, terdapat sesuatu yang kemudian melebihi hal tersebut:
tujuan yang tidak sejalan tersebut dikejar oleh masing-masing pihak, yang lalu
mengarah kepada konflik = para aktor yang ada mengejar tujuan mereka yang
saling tidak sejalan. Guna melihat bagaimana pembantaian, diskriminasi, serta
berbagai macam kekerasan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI pada
1965 hingga beberapa tahun setelahnya, penulis akan meminjam segitiga
kekerasan yang dikemukakan oleh Galtung (kekerasan langsung, kekerasan
struktural, dan kekerasan kultural atau budaya) (Galtung, 1969 & 1990).


Segitiga kekerasan Johan Galtung

Page | 2

Johan Galtung, melalui peace and conflict studies-nya merupakan salah
satu intelektual terdepan ketika bicara mengenai kekerasan, perdamaian, konflik
dan resolusi konflik. Menurut Galtung, kekerasan dapat dikategorikan sebagai
direct dan indirect, atau langsung dan tidak langsung (Galtung, 1996: 2). Galtung
mendefinisikan kekerasan sebagai penyebab terjadinya perbedaan antara yang
‘potensial’ dengan yang ‘aktual’, antara apa yang seharusnya ada dengan apa yang
ada. Kekerasan adalah keadaan yang memperlebar jarak antara yang potensial dan
yang aktual, dan apa pun yang menghambat penyempitan jarak tersebut (1969:
168). Menurut Galtung, kekerasan dapat dipisahkan ke dalam tiga bentuk yang
masing-masing mengisi suatu sudut. Sehingga bila diibaratkan sebuah model, ia
akan membentuk sebuah segitiga.
Pertama adalah kekerasan langsung. Kekerasan langsung dapat diartikan
sebagai kekerasan-kekerasan konvensional yang jelas siapa pelaku, perbuatan apa
yang dilakukan, dan siapa yang menjadi sasarannya. Kekerasan langsung ialah
kekerasan yang merugikan secara fisik (Galtung, 1996: 2). Saat secara jelas
terdapat subjek yang melakukan tindak kekerasan, maka ia dapat digolongkan

sebagai kekerasan langsung (Galtung, 1969: 170). Seseorang, sekelompok orang,
atau sebuah negara melakukan penganiayaan, memukuli pers, atau melakukan
pembantaian merupakan contoh dari kekerasan langsung.
Kedua adalah kekerasan struktural atau juga dapat disebut sebagai
kekerasan tidak langsung. Galtung mengartikan kekerasan struktural sebagai
kekerasan yang tidak dapat ditunjuk siapa pelakunya dan mungkin tidak jelas
wujudnya. Dalam kekerasan struktural, korban mungkin saja dibunuh, dianiaya,
dan dibatasi hak-haknya. Namun yang membedakannya dari kekerasan langsung
adalah, dalam kekerasan ini kita tidak bisa secara langsung menunjuk pelaku
kekerasan (Galtung, 1969). Dengan kata lain, kekerasan struktural merupakan
kekerasan yang berasal dari dalam struktur sosial masyarakat sendiri—antar
manusia, antar kumpulan manusia (masyarakat), antar kumpulan masyarakat
(aliansi, wilayah). Di belakang kekerasan struktural, dapat kita temui kekuatan
politik, ekonomi, militer, serta kultural atau budaya (Galtung, 1996: 2). Dalam
kekerasan struktural, sangat mungkin korban tidak menyadari bahwa dirinya
terviktimisasi. Sebagai contoh, sistem pelayanan dan jaminan kesehatan yang
Page | 3

berlaku di Indonesia tidak mampu menjangkau seluruh warga negara dan sebagai
akibatnya banyak warga negara yang meninggal karena penyakit yang normalnya

masih dapat ditolong. Inilah yang dapat dikatakan sebagai kekerasan struktural.
Bisa juga kita menggunakan contoh lain. Pembatasan hak serta
diskriminasi terhadap kelompok minoritas, misalnya. Tidak jarang, kelompok
mayoritas atau yang berkuasa tidak rela bila kelompok yang lebih inferior naik
derajatnya. Untuk mengatasinya, mereka menerapkan berbagai larangan terhadap
minoritas. Perempuan atau orang-orang kulit hitam dilarang menuntut ilmu
setinggi mungkin merupakan salah satu contoh nyata di abad ke-20 lalu. Sebagai
akibatnya, baik kaum perempuan maupun kulit hitam tidak mampu menentukan
nasibnya sendiri. Mereka jadi terus-menerus bergantung pada kelompok dominan.
Jenis kekerasan yang terakhir adalah kekerasan budaya atau kultural. Yang
dimaksud oleh Galtung sebagai kekerasan kultural ialah aspek-aspek tertentu dari
kebudayaan, yang dapat ditunjukkan melalui agama dan ideologi, bahasa dan seni,
ilmu pengetahuan empirik dan formal (logika dan matematika)—yang kemudian
bisa dimanfaatkan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung
maupun struktural (Galtung, 1990: 291).
Kata “legitimasi” dalam pernyataan Galtung mengenai kekerasan kultural
memiliki peran sentral dalam menjelaskan bagaimana kekerasan budaya dapat
beroperasi. Penggunaan kata “legitimasi” memiliki makna bahwa kekerasan
sesungguhnya dapat “dibenarkan” melalui produk-produk kebudayaan yang
fungsi utamanya adalah mentransformasi nilai-nilai moral dan ideologis agar

masyarakat dapat melihat praktik kekerasan sebagai kejadian yang normal dan
alamiah. Dalam pengertian inilah produk budaya memainkan peran penting
sebagai penggerak utama di belakang praktik kekerasan (Herlambang, 2015: 37).
Bagian tertentu dari kebudayaan dapat mempengaruhi pemikiran atau cara
pandang masyarakat terhadap isu tertentu, dan pada titik paling ekstrem, akan
menyebabkan masyarakat ikut turun tangan dalam melakukan kekerasan secara
langsung.
Meskipun demikian, Galtung menekankan bahwa yang dimaksud sebagai
“kultural” di sini hanyalah sebatas aspek atau bagian tertentu dari sebuah
Page | 4

kebudayaan, bukannya keseluruhan dari sebuah kebudayaan (Galtung, 1990: 291).
Untuk menjelaskan pernyataan Galtung ini, sebuah contoh dapat diajukan.
Misalnya, saat seseorang mendorong terjadinya pembunuhan dengan berteriak
“membunuh adalah realisasi diri!”, mungkin dapat dibuktikan bahwa bahasa
Inggris mampu mengungkapkan pikiran kekerasan semacam itu, tetapi tidak sertamerta menjadikan bahasa Inggris sebagai sesuatu yang kasar. Karenanya, sangat
sulit untuk mengategorikan keseluruhan dari sebuah kebudayaan mempromosikan
kekerasan. Lebih jauh lagi, Galtung pada akhirnya lebih memilih ekspresi seperti
“aspek A dari budaya C merupakan contoh dari kekerasan kultural” daripada
stereotipe-stereotipe seperti “budaya C = kekerasan” (Galtung, 1990).

Dalam menghubungkan ketiga bentuk kekerasan tadi menjadi sebuah
segitiga, Galtung menempatkan kekerasan langsung di puncak segitiga dan
kemudian kekerasan struktural dan kultural sebagai alas dari segitiga. Bila
dihubungkan, maka kekerasan struktural dan kekerasan struktural dapat
menyebabkan terjadinya kekerasan langsung. Sementara kekerasan langsung
sendiri kemudian akan memperkuat kekerasan struktural dan kultural. Lalu
berdasarkan sifatnya, kekerasan langsung merupakan kekerasan yang dapat dilihat
secara langsung, sementara kekerasan struktural dan kultural tidak, atau mungkin
sulit terlihat. Untuk memudahkan memahami hubungan antar ketiga kekerasan,
penulis melampirkan gambar 1.1. seperti di bawah.
Gambar 1.1. Bagan Segitiga Kekerasan Galtung

Pembahasan
Page | 5

Dalam kasus yang menimpa para tertuduh PKI pada 1965 hingga beberapa
tahun setelahnya, kita dapat memasukkan tiga bentuk kekerasan yang ditawarkan
Galtung, dan juga menemukan hubungan di antara ketiga bentuk kekerasan
tersebut. Kekerasan langsung dapat ditemukan pada berbagai macam kekerasan
fisik


yang

dilakukan

oleh

negara—atau

setidaknya

orang-orang

yang

mengatasnamakan negara—terhadap para tertuduh PKI. Kekerasan fisik seperti
pembantaian, penganiayaan, pemerkosaan, pembakaran properti dan lain-lainnya
dapat ditemukan dalam rentetan peristiwa yang mengikuti G-30-S. Pada
gilirannya, kekerasan ini merenggut banyak sekali nyawa tak bersalah.
Kekerasan struktural terhadap para tertuduh PKI dapat ditemukan dalam

hubungan struktur sosial, yakni negara, dengan para tertuduh PKI. Umumnya ini
terjadi ketika mereka telah menjalani masa hukuman berupa kurungan penjara
yang kebanyakan berlangsung sangat lama. Setelah menjalani hukuman penjara
karena dituduh berkomplot melakukan kudeta, para tertuduh PKI mengalami
diskriminasi dan stigmatisasi yang besar dari masyarakat Indonesia yang selama
masa

Orde

Baru

terus-menerus

dicekoki

oleh

narasi

bahaya


laten

komunisme/komunis. Karena struktur sosial yang berlaku sudah anti terhadap
komunisme/komunis, para tertuduh yang sudah dicap sebagai komunis mengalami
berbagai kesulitan, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, hingga kesehatan.
Tidak jarang di antara mereka yang tidak jelas nasibnya setelah menjalani
hukuman penjara.
Sementara pada kekerasan kultural, penggunaan seni untuk melegitimasi
kekerasan langsung dan struktural sudah dituangkan oleh Wijaya Herlambang
dalam sebuah bukunya. Herlambang menyatakan bahwa bersama-sama dengan
rezim Orba, para penulis dan pembuat film telah turut serta dalam melestarikan
narasi komunis sebagai bahaya laten. Dengan membedah film Pengkhianatan
G30S/PKI serta beberapa cerpen dan novel yang terbit pasca peristiwa G-30-S,
Herlambang memaparkan bahwa penggambaran komunisme dalam karya-karya
seni tersebut tidak pernah netral dan komunisme selalu saja diposisikan sebagai
sumber masalah. Bahkan, saat seorang tokoh yang tidak tahu apa-apa menjadi
korban kekejaman rezim Suharto hanya karena kebetulan memiliki hubungan

Page | 6


dengan PKI, komunismelah yang ditempatkan sebagai penyebab nasib malang
tokoh tersebut (Herlambang, 2015).
Bila dihubungkan, maka kekerasan kultural yang, baik secara sadar
maupun tidak sadar dilakukan oleh para seniman dan sastrawan yang tergabung
dalam manifesto kebudayaan (manikebu) telah memberikan legitimasi dan
justifikasi terhadap kekerasan langsung serta struktural yang dilakukan oleh
negara terhadap para tertuduh PKI. Melalui pengambaran serta narasi mengenai
komunis sebagai bahaya laten dalam karya-karyanya, para seniman dan sastrawan
turut terlibat dalam melestarikan diskriminasi dan berbagai kekerasan struktural
lainnya terhadap para tertuduh PKI, dan juga mengkaruniai pembenaran bahwa
pembantaian terhadap ratusan ribu tertuduh PKI sebagai sesuatu yang benar dan
dapat diterima oleh masyarakat.
Sementara berdasarkan sifatnya, diskriminasi serta berbagai kekerasan
struktural yang dialami oleh para tertuduh PKI merupakan sesuatu yang tidak
terlihat, dan bahkan tidak disadari oleh para tertuduh. Begitu pula dengan
kekerasan kultural yang dilakukan melalui karya para seniman dan sastrawan
yang sifatnya tidak terlihat, dan sangat mungkin tidak disadari sebagai suatu
bentuk kekerasan. Sedangkan pembantaian, penganiayaan, pemerkosaan, serta
perusakan properti para tertuduh PKI merupakan sesuatu yang dapat secara
langsung dilihat dan jelas siapa subjeknya.
Oleh karena itu, maka faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya tiga
bentuk kekerasan terhadap para tertuduh PKI terletak pada keberadaan ideologiideologi berbeda yang tengah berebut pengaruh. Seperti dikemukakan Galtung,
ketika konflik timbul berarti terdapat tujuan-tujuan tidak sejalan, yang kemudian
para aktornya mengejar tujuan yang saling tidak sejalan tersebut. Pada kasus G30-S, di satu sisi PKI mengkehendaki ideologi komunis yang berarti masyarakat
tanpa kelas, sementara pemerintah—dalam hal ini Suharto—pada sisi lain
mengkehendaki idologi demokrasi pancasila. Yang berarti tidak ada tempat untuk
PKI, sehingga mereka harus dibasmi. Pada akhirnya, segala macam cara harus
diambil demi menjaga ideologi komunis tetap berada di luar peta perpolitikan
Indonesia.
Page | 7

Penutup
Pergesekan antar ideologi yang terjadi pada pertengahan 1960an antara
komunisme dengan demokrasi liberal Barat berimbas pada timbulnya berbagai
macam konflik, tidak terkecuali di Indonesia. Konflik karena gesekan ideologi
lantas menghasilkan berbagai macam kekerasan terhadap pihak yang dianggap
berseberangan dengan ideologi yang dianut oleh kelompok penguasa. Apa yang
terjadi di Indonesia pada 1965 hingga beberapa tahun sesudahnya terhadap para
terduga PKI dapat menjadi contoh bagaimana perbedaan ideologi menyebabkan
manusia tidak segan untuk membunuh, membantai, menganiaya, serta
mendiskriminasi saudara sebangsanya sendiri. Tiga bentuk kekerasan yang
dikemukakan oleh Johan Galtung (kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan
kekerasan kultural) dapat ditemui dalam apa yang menimpa para terduga PKI,
sedari awal mula naik takhta hingga lengsernya Suharto sebagai orang nomor satu
di Indonesia.

Daftar Pustaka
Galtung, Johan. (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace
Research, Vol. 6, No. 3, 167-191.
Galtung, Johan. (1990). Cultural Violence. Journal of Peace Research, Vol. 27,
No. 3, 291-305.
Galtung, Johan. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict,
Development and Civilization. California: Sage Publication.
Herlambang, Wijaya. (2015). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde
Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Serpong:
Marjin Kiri.
Roosa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra.
Page | 8

Roosa, John, Ratih, Ayu & Farid, Hilmar. (2004). Tahun yang tak Pernah
Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Page | 9