Manusia Antara Kebebasan dan Ketundukkan

Manusia; Antara Kebebasan dan Ketundukkannya

Tulisan ini adalah refleksi penulis atas kajian dekonstruksi teks Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) HMI karangan Nurcholis Madjid, yang ber-ruang di Pojok Inspirasi Ushuluddin
(PIUSH) dan ber-waktu selasa sore. Kajian yang digeluti oleh mahasiswa-mahasiswa
Ushuluddin ini menurut saya sangat menarik, karena banyak sekali ilmu yang saya
dapatkan, serta hal-hal baru yang belum pernah terpikirkan.
Terlebih lagi ketika membahas bab. IV tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan”. Dalam bab ini Cak Nur mengatakan, bahwa hubungan yang benar
antara invidu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan, sebab
penyerahan akan meniadakan kemerdekaan, keikhlasan, dan kemanusiaan. Tujuan
manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya adalah kebenaran. Oleh karena
itu, sekalipun manusia tidak tunduk pada dunia sekitarnya, namun manusia masih dan
mesti tunduk pada kebenaran, sehingga ia bisa disebut manusia merdeka. Karena
menjadikan sesuatu sebagai tujuan, sama saja dengan mengabdi kepada-Nya.
Dari proposisi-proposisi yang dibangun Cak Nur diatas, secara eksplisit
menyiratkan makna, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang tidak tunduk pada
sesuatu. “Sesuatu” ini secara ontologis, dapat berarti 2 jenis, yaitu sesuatu yang
bersifat transenden/metafisik, dan sesuatu yang bersifat material/fisik. Ini berhubungan
juga dengan proposisi sebelumnya, yaitu semua manusia pada dasarnya itu percaya
akan sebuah kepercayaan. Keragu-raguan yang sempurna/skeptisme absolut tidak

akan pernah terjadi, karena orang yang seperti itu pun masih percaya akan keraguraguan, dan keragu-raguan juga merupakan salah satu bentuk kepercayaan itu sendiri.
Maka dari itu, mengutip kata Keneth D.G, Skeptisme adalah naïf.
Percaya akan suatu kepercayaan, berarti tunduk pada kepercayaan itu, dan
tunduk padanya merupakan suatu penyerahan/kepasrahan manusia. Kalau manusia
sudah tunduk kepada kepercayaan itu, maka ada suatu kemauan dalam diri manusia,
untuk melaksanakan yang kepercayaan itu perintah, serta menjauhi larangan yang

kepercayaan itu larang. Kalau sudah seperti ini, dimanakah letak kemerdekaan
manusia? Seperti yang dikatakan Cak Nur sendiri, “Penyerahan akan meniadakan
kemerdekaan, keikhlasan, dan kemanusiaan”. Adakah kontradiksi dalam
pernyataannya?
Sebelumnya Cak Nur mengatakan, hubungan yang benar antara individu
manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan, yang berarti bahwa
penyerahan/ketundukan manusia pada dunia sekitarnya adalah “tindakan yang salah”,
karena
akan
meniadakan/menghilangkan
kemerdekaan,
keikhlasan,
dan

kemanusiaannya. Selanjutnya ia mengatakan, sekalipun manusia merdeka tidak
tunduk/serah terhadap dunia sekitarnya, manusia masih dan mesti tunduk kepada
kebenaran, yang berarti bahwa penyerahan/ ketundukkan manusia kepada kebenaran
adalah “tindakan yang benar”. Sebab Cak Nur mengatakan sebelumnya, tujuan hidup
manusia merdeka dengan segala kegiatannya adalah kebenaran, dengan kata lain
kebenaran adalah tujuan hidup “manusia yang merdeka”.
Dari kedua pernyataan tersebut, maka dapat diambil dua kesimpulan. Pertama
Cak Nur melarang manusia merdeka tunduk pada dunia sekitarnya/keduniaan. Berarti
bukanlah manusia merdeka, jika masih tunduk pada keduniaan, dimana keduniaan
adalah “sesuatu” yang sifatnya material/fisik. Kedua, Cak Nur menyarankan
menyarankan manusia merdeka tunduk pada “kebenaran”, berarti bukanlah manusia
merdeka, jika belum tunduk pada kebenaran, dimana kebenaran adalah “sesuatu” yang
sifatnya transenden/metafisik.
Penulis sepakat dengan kesimpulan pertama, namun masih merasakan raguragu pada kesimpulan kedua. Keragu-raguan penulis ini karena penulis masih
mempertanyakan, apakah kemerdekaan itu? Bukankah kemerdekaan adalah
kebebasan melakukan kegiatan yang ingin dilakukan? Dan kebebasan berarti bebas
dari segala sesuatu yang menghalangi kebebasan itu sendiri.
Namun jika penulis memperhatikan pernyataan saudara Dany Ramdany dalam
kajian tersebut: “kebebasan absolut tidak akan pernah bisa terwujud, karena
menghendaki kebebasan absolut, berarti juga menghilangkan segala sesuatu yang

menghalangi kebebasan itu. Semisalkan kita tidak merasa bebas karena orang tua,
maka orang tua harus dihilangkan dari kehidupan kita. Begitu juga dengan sekolah,
kuliah, pekerjaan, teman, rumah, saudara, polisi, negara, bahkan dunia jika itu semua
menyebabkan kita tidak bebas, maka harus kita hilangkan dari kehidupan kita.
Seandainya dunia, jagat raya, beserta isinya telah kita hilangkan, kita pun masih tidak
merasa bebas karena kehidupan kita sendiri. Dalam kehidupan kita ada banyak
pertentangan: antara perasaan sedih, senang, rindu, bahagia, bahkan perasaan bebas
itu sendiri; dan kalau itu semua menghalangi kita untuk merasa bebas, maka kehidupan
kita pun harus dihilangkan dari kehidupan kita”.
Secara eksplisit pernyataan tersebut memang terkesan mengada-ada, namun
jika dihayati secara mendalam maka ada benarnya juga. Kebebasan absolut/bebas
sebagai bebas mustahil diwujudkan. Dan karena hidup manusianya itu sendiri terbatas,
maka tidak mungkin menggapai sesuatu yang tidak terbatas; “kebebasan absolut”.

Maka dari itu, kembali ke pernyataan Cak Nur, manusia yang merdeka masih
dan mesti tunduk pada kebenaran. Manusia yang merdeka mempunyai tujuan hidup
untuk mengabdi kepada kebenaran. Dan tujuan hidup yang terakhir dan mutlak bagi
manusia adalah menuju kebenaran akhir dan mutlak sebagai tempat menundukkan diri.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak, maka sudah pasti kebenaran itu
hanya satu secara mutlak pula. Selanjutnya menurut Cak Nur, secara kultur dan bahasa

kita, maka kita sebut kebenaran mutlak itu sebagai Tuhan, dan Tuhan dalam agama
islam menyatakan diri sebagai Allah SWT (Lukman [31]: 30).
Sampai disini penulis berkesimpulan, antara kebebasan dengan ketundukkan itu
tak dapat dipisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang menempel pada setiap
manusia sebagaimana adanya. Kita tidak dapat memilih salah satunya secara absolut,
tetapi hanya kecendrungan pada salah satunya. Manusia bisa merasakan kebebasan
dalam ketundukkannya, atau merasakan ketundukkan dalam kebebasannya