Sistem dan Model Pemerintahan dan

Sistem dan Model Pemerintahan Umayyah
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah khalifah pertama Dinasti Umayyah. Ia memindahkan
ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Selain itu, ia juga mengganti sistem
pemerintahan.
Menurut Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul “As-Syiyasah AsSyar'iyah fi Islah Ar-Ra'iyah”, sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur
Rasyidin yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turunmenurun).
Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Perintah Muawiyah ini merupakan bentuk pengukuhan terhadap sistem pemerintahan
yang turun-temurun yang dibangun Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan
berdasarkan asas musyawarah dalam menentukan seorang pemimpin baru.
Muawiyah telah mengubah model kekuasaan dengan model kerajaan, kepemimpinan
diberikan kepada putra mahkota.
Dalam bukunya yang berjudul “Dinasti Bani Umayyah: Perkembangan Politik, Gerakan
Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Kejatuhan Dinasti”, Mohammad
Suhaidi memaparkan, dengan berlakunya sistem (monarki) tersebut, orang-orang yang
berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang
sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti
hanya memberlakukan kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara
hidup Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Hingga masa Ali, pemimpin

negara berlaku sebagai seorang biasa; tinggal di rumah sederhana, menjadi imam
masjid, dan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebanyakan orang Muslim lainnya.
Namun, pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem kerajaan praIslam di Timur Tengah, mereka menjaga jarak dengan masyarakat karena tinggal di
istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup dengan bergelimang
kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

Monarki Dalam Islam

Dewasa ini, sudah hampir tidak ada Negara yang menganut system
kepemerintahan Islam. Padahal di masal lalu, pemerintahan Islam
merupakan suatu pemerintahan yang begitu besar yang bahkan mencakup
dua per tiga dunia pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khattab. Bagaimana
bisa suatu pemerintahan yang begitu besar tergeserkan dan digantikan
dengan peradaban barat ? Hal ini tentu saja diakibatkan oleh dua factor,
yaitu factor internal dalam umat muslim itu sendiri, dan factor eksternal
yang berupa penyebab-penyebab dari luar. Pada essay ini, kami akan
memfokuskan diri untuk menganalisis factor internal yang menyebabkan
kejatuhan Islam yang kami percaya diawali oleh masa kekhalifahan Bani
Umayyah. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kekhalifahan Bani
Umayyah dituding sebagai awal system monarki dalam Islam ? Lalu apakah

yang dapat kita lakukan sebagai kaum intelektual muslim untuk
mengembalikan kejayaan Islam ?
Pada dasarnya usaha untuk menggunakan sistem monarki dalam Islam
sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Meskipun Nabi
Muhammad SAW sudah berusaha menghilangkan ego kesukuan dalam
bangsa Arab, namun hal itu bukanlah hal yang mudah dikarenakan sudah
mendarah daging dalam kehidupan bangsa Arab yang terdiri dari banyak
suku baik besar maupun kecil sejak berabad-abad. Ego kesukuan tersebut
kembali menguat dalam proses pemilihan khalifah atau pemimpin umat
muslim berikutnya. Saat Nabi Muhammad wafat, Bani Hasyim yang
merupakan keluarga Nabi menganggap posisi pemimpin lebih pantas
diserahkan pada mereka, namun usaha itu dihambat oleh terpilihnya Abu
Bakar yang berasal dari suku lain melalui proses musyawarah.
Usaha penegakan konsep monarki itu tak berhenti begitu saja, meskipun Ali
yang mereka ajukan selalu gagal untuk menjadi khalifah sampai akhirnya
tampuk pemerintahan tertinggi dalam Islam itu berhasil mereka rebut dari
Utsman[i]. Tentu saja, jika Ali yang dijadikan pemimpin sejak awal maka
kepemimpinan Ali akan menjadi dasar monarki dalam Islam. Ali merupakan
keponakan dari Nabi, berbeda dengan khalifah sebelumnya yang meskipun
memiliki ikatan kekeluargaan dari pernikahan namun tidak dari ikatan darah.

Bahkan Ali sudah dianggap anak oleh Nabi. Bani Hasyim selalu memprotes
keputusan diangkatnya khalifah selain Ali, karena mereka tidak rela kursi
khalifah diduduki oleh sembarang orang selain keluarga terdekat Nabi di

kalangan suku Quraisy. Dengan demikian ego kesukuan dalam bangsa Arab
ikut melatarbelakangi dijadikannya konsep monarki sebagai sistem
pemerintahan Islam.
Namun ego kesukuan jugalah yang mengawali pertikaian dalam Islam dan
menjadikan Ali terbunuh[ii]. Setelah itu pula Hasan yang ditunjuk oleh Bani
Hasyim sebagai khalifah berikutnya pun mundur dan membuat kekuasaan
yang tadinya dipegang oleh Bani Hasyim menjadi terlepas dan jatuh
ketangan Bani Umayyah dibawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan sejak saat
itu pula mulailah ditegakkannya sistem monarki dalam pemerintahan Islam.
Bani Umayyah terkenal kental dengan kekuasaan. Bahkan sejak zaman
Fathul Mekkah dimana rumah Abi Sufyan, pemimpin Bani Umayyah kala itu,
dijadikan tempat perlindungan yang dijamin keamanannya oleh Nabi SAW.
Kemudian putranya Yazid menjadi panglima pembebasan Syam oleh Abu
Bakar, dan Gubernur di Damaskus oleh Umar. Kemudian Muawiyah yang
dijadikan Gubernur di Yordania serta Damaskus setelah wafatnya Yazid. Maka
kepemimpinan Muawiyah tak perlu dipertanyakan lagi, dia dikenal sebagai

politisi yang handal pada masa kepemimpinannya di Syam. Meskipun begitu
banyak sejarawan yang memandang negatif pada Muawiyah yang
menggunakan cara licik dalam memperoleh kekuasaannya dan menjadi
pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam menjadi monarki[iii].
Namun, walau Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah
menjadi monarkhi, dinasti ini masih memakai gelar Khalifah. Akan tetapi, ia
memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut
dengan pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat
dengan mengaitkannya kepada Al Quran (2:30) dan atas dasar hal itu
siapapun yang menentang keputusan Khalifah atas kehendak Allah dikatakan
kafir. Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Umayyah bercorak teokratis,
yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang
selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya sekalipun ia
beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah
dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Jadi, meskipun pemimpin dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi
dalam prakteknya berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya,
setelah Rasulullah.
Setelah Ali meninggal, bentuk kekhalifahan sesungguhnya telah berakhir dan
menjadi kerajaan yaitu Kerajaan Bani Umayyah yang didirikan oleh

Muawiyah dengan berbagai siasat politik dan tipu muslihat bukan atas

pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para khalifah
sebelumnya. Jabatan khalifah menjadi turun-temurun dan Daulah Islam
berubah sifatnya menjadi daulah yang bersifat kerajaan (monarki). Dan hal
itu kemudian diikuti oleh dinasti berikutnya, seperti Abbasiyah di Irak,
Fatimiyah di Mesir hingga Kesultanan Turki Ustmani.
Akan tetapi, selama menganut sistem pemerintahan monarki ini
banyak kemajuan-kemajuan yang berhasil oleh Bani Umayyah misalnya
perluasaan kekuasaan khalifah Islam, ekspansi wilayah ini sempat terhenti
pada masa Khalifah Utsman dan Ali dan dilanjutkan lagi pada dinasti
umayyah yang melakukan penyebaran Islam lebih luas lagi ke timur, utara
dan barat. Perluasan wilayah ke timur diarahkan ke wilayah seberang sungai
Oxus dan wilayah Sind, meliputi Balkh (Afghanistan sekarang), Badghis
(wilayah barat laut Afghanistan) dan Harah yang dimulai pada pemerintahan
Muawiyah II. Perluasan ke barat dilakukan pada masa Al-Walid I berhasil
menaklukkan Turkharistan, Bukhara, Samarkand dan Khawarizm. Ekspansi
selanjutnya dilakukan ke provinsi disekitar Sungai Jaxartes khususnya
Fergana (Asia Tengah), Tashkent (ibukota Uzbekistan), Makran (Baluchistan),
lembah dan delta Sunagai Indus, Punjab, hingga Spayol di wilayah Eropa. Ke

arah utara ekspansi dilakukan meliputi Aleppo, Asia Kecil (Turki), Cesnia dan
Armenia. [1]
Selain ekspansi wilayah perkembangan pesat ilmu pengetahuan
dalam peradaban Islam juga terjadi pada masa ini. Ilmu pengetahuan agama
yang berkembang misalnya Ilmu Qiraat, Tafsir, Hdis, Fikih, Nahwu, Balaghah.
Kemajuan ilmu pengetahuan ini dilakukan di mesjid-mesjid dan para ulama,
ilmuwan, seniman yang berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan diberi
hadiah dan disediakan anggaran oleh negara. Selain ilmu mengenai Islam
juga berkembang ilmu lainnya nisalnya ilmu kimia, kedokteran, astronomi,
ilmu ukir, ilmu nahwu dan filsafat. Selain itu seni suara dan bahasa, seni rupa
dan arsitektur juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Selain itu
juga dilakukan penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani dan Persia
kedalam bahasa Arab.
Dalam bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat merupakan hal
utama dalam perhatian pemerintah dinasti umayyah, misalnya dengan
memberikan jaminan hidup kepada anak-anak yatim, mendirikan rumah
sakit khusus orang kusta sehingga bisa mendapatkan perawatan yang tepat.

Bani umayyah juga melakukan perbaikan dan pembangunan sarana
pelayanan publik misalnya membangun jalan raya bagi masyarakatnya dan

disepanjang jalan tadi disediakan sumur untuk menyediakan air bagi para
musafir, penyediaan tempat penginapan bagi musafir, memperbanyak
pembanguan mesjid dan pembangunan rumah sakit. Aparat negara yang
bertindak sewenang-wenang juga langsung dipecat dan ditunjak dengan
pembangunan dalam bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan
publik. Selanjutnya bani umayyah juga menjadikan bahasa Arab sebagai
bahasa resmi dan mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham
dan Fals.
Baiklah, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa system
monarki yang dikembangkan pada masa dinasti umayyah memiliki begitu
banyak prestasi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan ummat
Islam dan tentunya membawa Islam ke kejayaan yang lebih tinggi. Lalu
timbullah pertanyaan, apakah monarki dibolehkan dalam Islam mengingat
prestasi yang didapatkan ? Bagi sebagian besar orang yang hanya
memikirkan hasil akhir berupa keuntungan yang akan didapat, maka mereka
akan langsung mengatakan, “Ya, tentu saja boleh”. Akan tetapi, hal yang
harus kita ingat adalah mengembalikan lagi penyelesaian terhadap berbagai
masalah dengan berkaca dengan dasar-dasar hukum Islam.
Pada dasarnya, keinginan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada
keturunan adalah hal yang wajar. Hal ini juga dinyatakan oleh Allah SWT

dalam surat Al-Baqarah ayat 124, yaitu:
“Dan (ingatlah) tatkala telah diuji Ibrahim oleh TuhanNya dengan beberapa
kalimat, maka telah dipenuhinya semuanya. Diapun berfirman :
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan engkau Imam bagi manusia. Dia
berkata : Dan juga dari antara anak-cucuku. Berfirman Dia : Tidaklah akan
mencapai perjanjianKu itu kepada orang-orang yang zalim.
Dalam ayat ini pun dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim AS berdoa agar
keturunannya juga dijadikan pemimpin oleh Allah SWT. Hal ini juga tidak jauh
berbeda dengan yang dinyatakan Allah SWT dalam surah Al-Furqon ayat 74.
Hal ini semakin membuktikan bahwa kecenderungan seseorang untuk
meneruskan hal yang baik kepada keturunannya adalah hal yang sangat
wajar. Hanya saja, system monarki selalu menempatkan kepemimpinan pada

suatu golongan tertentu yang pada akhirnya akan menimbulkan banyak
dampak negative. Dampak negative yang ditimbulkan diantaranya adalah
adanya keserakahan dan rasa lebih tinggi suatu golongan terhadap golongan
yang lain. Hal ini lah yang ditakutkan dari adanya suatu monarki. Oleh sebab
itu lah, Allah SWT menjawab hal tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 124
yaitu “Tidaklah akan mencapai perjanjianKu itu kepada orang-orang yang
zalim”.

Ayat-ayat Allah SWT ini diperteguh oleh perilaku Rasulullah yang
sebelum wafatnya menunjuk Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai imam untuk
menggantikan dirinya yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW
menunjuk dan memilih Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah yang
menggantikan Rasulullah SAW. Padahal, bisa saja Rasulullah SAW lebih
memilih Ali bin Abi Thalib yang merupakan keluarga sebagai pengganti
beliau pada saat itu, akan tetapi Rasulullah SAW tidak melakukannya.
Percayalah bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah pasti ada sebab. Pasti.
Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW merupakan penyampai yang ditunjuk
oleh Allah SWT untuk memberikan petunjuk bagi manusia. Apabila kita telisik
dari apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW maka kita akan mengetahui
bahwa Beliau melakukan hal itu agar tidak ada yang menuhankan keluarga
beliau. Selain itu, agar tidak terciptanya suatu monarki yang pada akhirnya
menganggap suatu golongan lebih tinggi daripada golongan yang lain.
Meskipun ada begitu banyak alasan lain dibalik perilaku yang beliau lakukan
pada saat itu.
Setelah menilik dari dasar-dasar hukum Islam, marilah kita
menganalisis hal ini dengan logika yang rasional sehingga segala hal dapat
tersinkronisasikan dengan baik. Apabila ada yang menyatakan bahwa, “Toh
meskipun pemerintahannya bergeser menjadi monarki, kejayaan Islam tetap

berkembang”. Apabila kita mau menganalisis pendapat tersebut dengan
logika rasional, tidak ada salahnya bila kita menggunakan falsifikasi. Pada
masa Umar bin Abi Khattab, pemerintahan masih dalam bentuk kekhilafahan
dan pada saat itu, Islam berhasil menaklukkan dua per tiga dunia. ini
bukanlah jumlah yang sedikit. Lalu kita bandingkan ketika pemerintahan
telah bergeser ke arah monarki, permasalahan yang terjadi bertambah
banyak dikarenakan pemerintah juga harus berlelah ria menghadapi oposisi
internal dalam Islam itu sendiri. Contohnya saja pada pemerintahan Bani
Umayyah pertentangan antara Yazid putra dari Mu’awiah dan Abdullah putra
dari Zubeir yang terlibat dalam perang merebut tahta kerajaan. Persaingan-

persaingan anggota-anggota bani Umayyah ini untuk menjadi khalifah
karena tidak ada ketentuan tegas tentang garis pemindahan kekuasaan
apakah dari khalifah keanaknya atau kesaudaranya yang masih hidup.
Nepotisme juga dilakukan oleh keluarga-keluarga khalifah (dalam system
monarki) yang mendorong mereka untuk hidup mewah dan terlena dengan
kehidupan duniawi. Bukankah pada masa tersebut merupakan monarki
dengan topeng kekhalifahan ?
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa monarki adalah bentuk
yang tidak dibolehkan dalam Islam. Oleh sebab itu, kita sebagai intelektual

muslim harus berusaha untuk mengembalikan system Islam ke arah
kekhilafahan sejati lagi seperti di zaman Rasululullah SAW, Abu Bakar Ash
Shiddiq, dan Umar bin Abi Khattab. Akan tetapi, hal yang dihadapi oleh
ummat Muslim saat ini bukan lagi hanya sekedar permasalahan
pemerintahan Monarki, akan tetapi permasalahan tersebut telah
berkembang ke arah yang jauh lebih komplkeks dibantu oleh tangan-tangan
tak terlihat yang memang menginginkan ummat Islam terpecah belah. Oleh
sebab itu, yang dibutuhkan oleh kita adalah pengetahuan, lalu spiritualitas
yang tinggi, dan terakhir adalah keberanian serta pengorbanan yang mampu
kita lakukan demi berjihad di jalan Allah SWT. Kejahatan yang teorganisir
harus ditumpas dengan kebenaran yang terorganisir pula. Oleh sebab itu,
cara termudah yang dapat mahasiswa lakukan adalah menulis dan terus
menebarkan nilai-nilai Islam dalam setiap perbuatan yang dilakukannya

1.Jelaskan karakter dari kepemimpinan politik pada masa
khulafaurrsyidin!
2.Jelaskan mengapa pola pemerintahan politik pada masa Ummayah danAbbasiyah lebih
didominasi oleh monarki patrimonial!
JAWABAN:
1. Khulafaurrsyidin
atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah sebutan untuk 4 (empat)orang pemimpin (khalifah) pertama
yang memimpin kaum agama Muslimsetelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Empat orang
yang dipercaya olehkaum Muslim untuk memimpin adalah empat orang yang dikenal
sebagaisahabat Nabi Muhammad yang paling dekat dan paling dikenal oleh umatMuslim
lainnya. Empat orang itu antara lain; a) Abu Bakar, b) Ummar binKhatab, c) Ustman bin Affan
dan d) Ali bin Abi Thalib. Di dalam jawaban inisaya akan mencoba menjelaskan karakter
kepemimpinan dari empat orangtersebut. Sempat terjadi perselisihan dalam menentukan

pemimpin setelah Nabi Muhammad wafat. Hal ini dikarenakan di AlQuran tidak dijelaskanteknis kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat nantinya. Ada
pihakyang memilih Ali bin Abi Thalib sebagai penerus Nabi Muhammad dan ada juga
pihak yang lebih memilih Abu Bakar sebagai penerus Muhammad. Oleh
karena itulah, umat Muslim terpecah menjadi dua; kaum Syi’ah dan kaumSunni. Kaum Syi’ah
meyakini bahwa Nabi Muhammad telah resmi menunjuk
Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya nanti. Mereka meyakini bahwa Aliadalah satu-satunya
penerus Muhammad. Hal ini merujuk pada Hadits GhadirKhum. Ghadir Khum adalah tempat
dimana Nabi Muhammad diyakinimenunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya. Lagipula
kaum S
yi’ah
meyakini bahwa kepemimpinan atau
imamah
yang adalah milik keturunanlangsung Muhammad, dimulai dari Husain Putra Ali dan
seterusnya, telahditetapkan oleh pendahulunya.
1
Lalu ada juga kaum Sunni. Kaum ini
meyakini bahwa orang yang pantas menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad wafatadalah Abu
Bakar. Keempat khalifah tersebut bukanlah berdasarkan
1
Black, Antony. 2001.
The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present.
Edinburgh University Press. (hal. 48)

keturunannya, melainkan berdasarkan hasil konsensus masyarakat.
2
Berikutadalah karakter kepemimpinan dari masig-masing khalifah.a.
Abu Bakar As-ShidiqAbu Bakar adalah seorang pedagang di zaman itu. Ia diberikan gelar
“As
Shidiq”, yang artinya “orang yang percaya”. Abu Bakar diberi gelartersebut karena dialah orang
pertama yang mempercayai peristiwa Isra’Mi’raj. Abu Bakar merupakan salah satu
sahabat Muhammad. BahkanAbu Bakar telah menjadi sahabat karib Muhammad sebelum
datangnyaIslam. Ia bahkan sempat menggantikan Muhammad untuk menjadi imam,memimpin
umat Muslim untuk beribadah saat Muhammad jatuh sakit.
Ia jugalah yang setia menemani Muhammad, bahkan sampai Muhammadwafat. Tidak heran jika
ia terpilih menjadi khalifah pertama penerusMuhammad. Abu Bakar dipilih oleh umat Muslim
ketika itu tak laindisebabkan oleh sifatnya yang tegas namun lemah lembut. Karakter lainyang
dimiliki oleh Abu Bakar adalah selalu memiliki ide cemerlang ketikakeadaan genting, penyabar,
memiliki
azimah

(keinginan keras). Dia begitusetia menemani Nabi Muhammad, bahkan turut mengikuti
semua peperangan yag Muhammad ikuti, antara lain; perang Badar, Uhud,Khandaq,
Penaklukkan Kota Mekkah, Hunain dan juga peperangan diTabuk. Selama kepemimpinannya,
Abu Bakar dikenang banyak orangkarena ia memimpin umat Muslim dengan baik. Ia
menjalankan pemerintahan yang berdasarkan musyawarah, selalu menempatkan diri di bawah un
dang-undang, menyelesaikan permasalahan kaum Riddat(gerakan pembelot agama Islam yang
bermula semenjak Nabi
Muhammad jatuh sakit), dsb. Meskipun kepemimpinan ketika masa itu bersifatsentralistik,
namun Abu Bakar selalu mencoba untuk bermusyawarahdengan rakyat terlebih dahulu sebelum
mengambil keputusan. Bahkanterlihat di pidatonya yang pertama kepada rakyat setelah dia
diangkat
menjadi khalifah penerus Nabi Muhammad, “
Apabila aku berbuat baik,
2
Syaikh , Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu. 2004.
Tafsir Ibnu Katsir Jilid I
.Bogor : Pustaka Imam AsySyafi’i.
(hal. 103)

maka bantulah aku. Tetapi apabila aku berbuat buruk, maka luruskanlah
jalanku.”
Abu Bakar hanya sempat menjadi khalifah selama dua tahun, yaitusemenjak meninggalnya Nabi
Muhammada pada tahun 632 M sampai padatahun ketika ia meninggal, tahun 634 M. Ketika
Abu Bakar merasa bahwaajalnya sudah dekat, maka ia menunjuk khalifah berikutnya, yaitu
Umar bin Khattab. b.
Umar bin KhattabUmar bin Khattab adalah sahabat Nabi Muhammad yang ditunjuk
menjadikhalifah berikutnya setelah wafatnya Abu Bakar As-Shidiq.Umar ditunjuksecara
langsung oleh Abu Bakar. Namun dalam penunjukkannya tersebut,Abu Bakar tidak
meninggalkan musyawarah dengan masyarakat. Ia tetapmengutamakan prinsip musyawarah dan
mufakat yang selalu ditaatinya.Umar dikenal sebagai orang yang sangat pemberani, punya
ketabahan dankemauan keras, tidak ragu, sederhana. Umar dikenal berhasil menaklukkan banyak
wilayah di negeri Syam, antara lain Damaskus, Yordania, Baisan,Gazza dan Anthakiyah. Dia
juga dikenal berhasil menaklukkan Mesir,Alexandria, Tripoli Barat dan Burqah.Umar bin
Khattab terkenal akan karakter kepemimpinannya yangdekat dan memerhatikan kondisi rakyat
dengan seksama. Dia ikutmerasakan penderitaan rakyatnya. Diceritakan bahwa jika malam
telahtiba, Umar akan keluar berkeliling tanpa diketahui oleh siapapun. Selamadia berkeliling ini
ia melihat dan memperhatikan kehidupan rakyatnya,terutama rakyat yang hidup sengsara. Umar
dikenal sebagai salah satukhalifah yang sederhana. Bahkan jubahnya dipenuhi dengan tambalan
darikulit.Umar menjadi khalifah selama sepuluh tahun. Dia wafat karena
ditikam oleh Abu Lu’lu’ah Fairuz.
c.

Ustman bin AffanUstman bin Affan adalah orang yang terpilih untuk meneruskan
masakekhalifahan yang ketiga. Di dalam kepemimpinannya, ia memberikan banyak
perkembangan bagi umat Islam. Misalnya, didirikan angkatan lautuntuk pertama kalinya.
Ustman dikenal sebagai pribadi yang memilikiakhlak mulia, sangat pemalu, dermawan, dan
mendahulukan kebutuhan
keluarganya. Ustman bin Affan diketahui pertama kali masuk Islammelalui dakwah Abu Bakar
As-Shiddiq.Ustman bin Affan dikenal sangat setia dalam menemani khalifah-khalifah yang
sebelumnya. Ustman menemani Nabi Muhammad, AbuBakar dan juga Umar bin Khattab dengan
setia, baik semenjak merekamenjabat menjadi khalifah sampai ajal menjemput masing-masing
darimereka. Salah satu peraturan yang dikeluarkan Ustman yang terkenaladalah bahwa ia
mengharuskan bagi setiap gubernur untuk menghadirisatu musim pasar yang diadakan setahun
sekali. Lalu dia akan menuliskansebuah pesan untuk rakyat yang berisi bahwa jika ada di antara
merekayang pernah merasa terzhalimi oleh gubernur tersebut, maka rakyat itudapat
membalasnya pad setiap musim pasar dan Ustman akanmengambilkan hak mereka daripada
gubernur tersebut.Ustman bin Affan menjabat menjadi khalifah umat Islam sebelas
tahunlamanya. Ia menemui ajalnya ketika berumur 88 tahun. Beliau dibunuholeh pemberontak
ketika itu. Pemberontakan ini terjadi karena Utsmanmengangkat anggota keluarganya untuk
menjadi gubernur.d.
Ali bin ThalibAli bin Thalib adalah penerus kekhalifahan yang memiliki hubungandarah dengan
Nabi Muhammad. Ayahnya, Abu Thalib, adalah pamankandung dari Nabi Muhammad.
Sebenarnya, setelah meninggalnya NabiMuhammad, Ali dipercaya oleh banyak orang untuk
meneruskankekhalifahan Nabi Muhammad ketika itu. Banyak rakyat Muslim
yang percaya bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk Ali untuk menjadi penerusnya ketika bera
da di daerah Ghadir Khum. Penunjukkan tersebutlalu disebut dengan
Hadits Ghadir Khum
. Kaum yang mendukung Aliuntuk menjadi khalifah berikutnya disebut dengan
kaum Syi’ah.
Ali terkenal dengan karakter kepemimpinan yang berani dan tegasdalam menegakkan keadilan.
Dialah yang memecat gubernur yangdiangkat oleh Khalifah sebelumnya, yaitu khalifah Ustman.
Dia jugalahyang mengambil kembali semua harta-harta yang telah diberian khalifahUstman
kepada anggota keluarganya. Selain itu, Ali juga dikenal sebagaiseorang yang mempunya
keahlian di dalam bidang militer dan strategi perang.
Ketika masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, saat itu banyak rakyatyang memberontak. Hal ini
disebabkan oleh karena kekhalifahan Aliadalah kekhalifahan yang paling akhir. Saat itu keadaan
kacau. PendudukSyam saat itu telah tercerai-berai ke utara dan selatan. Ali wafat karenadibunuh
ketika ia sedang membangunkan orang-orang untuk shalat malam
Jum’at 17 Ramadhan.
Masa kekhalifahan Ali hanya empat tahun. Beliau wafat ketika usia 63tahun.2.
Alasan mengapa sistem pemerintahan pada masa bani Umayyah dan baniAbbasiyah menganut
sistem monarki patrimonial adalah sebagai berikuta.

Sejarah mengatakan, ketika masa pemerintahan politik masa baniUmayyaah dan bani Abbasiyah,
sudah terkenal bahwa
sistem pemerintahan yang berlaku adalah kekhalifahan monarki patrimonial.Maksud dari
patrimonial disini adalah sistem pemerintahan yang dianut pada ma
sa itu adalah, “pemerintahan yang memberikan hak kepada
pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan bisadiwariskan kepada keluarganya
secara turun-temurun, sementara rakyatdipandang sebagai bawahan yang berada di bawah
perlindungan dandukungan
nya.”
3
Jadi, kepemimpinan pada masa ini bisa dibilangmerupakan kepemimpinan yang mutlak dan tak
bisa dicampuri oleh oranglain. Pemimpin di masa ini dianggap sebagai bapak atau kepala
keluargayang memimpin dan memberikan perlindungan kepada anak-anaknya(rakyat). Sistem
kepemimpinan pada masa ini bisa dibilang mirip dengansitem kepemimpinan monarki absolut.
Bisa dibilang seorang khalifah berkuasa penuh atas peneta
pan syari’at.
Menurut Antony Black, baniUmayyah lah yang paling mengekpresikan pemikiran mereka
mengenaisistem pemerintahan patrimonial ini. Mereka menganggap khalifah
atau pemimpin adalah wakil Tuhan dan sekaligus penerus Nabi Muhammad.Walaupun khalifah
adalah pemimpin tertinggi, tetap saja mereka harusmemposisikan diri di bawah hukum tertulis.
Para khalifah diwajibkanuntuk membahagiakan rakyatnya.
3
Ibid.
hal. 50

b.
Tradisi pemerintahan monarki muncul ketika Mu’awiyah mengangkatanaknya, Yazid bin
Mu’awiyah sebagai penggantinya. Pengangkatan initentu mendapat respon keras dari rakyat
karena Mu’awiyah telah
mengganti sistem pemerintahan dari kekhalifahan menjadi monarki ataukerajaan. Ketika Yazid
naik tahta banyak dari masyarakat yang menolak
utuk melakukan bai’at. Namun Mu’awiyah berhasil memaksa mereka
untuk melakukan pembaiatan. Semenjak saat itu, sistem pemerintahanmonarki atau kerajaan
diteruskan. Selain itu, kekalahan Ali dalamdiplomasi
perang Shiffin
, yaitu perang yang diakibatkan oleh kepentingan
politik Mu’awiyah dan konflik etnis bani Umayyah dan bani Hasyim,
menyebabkan dunia Islam diperintah dengan sistem monarki.