Tahun 2015 Bagi Guru dan Dosen
Artikel Opini
Tahun 2015, Bagi Guru dan Dosen
Ferisman Tindaon
Tahun 2015 ini akan kita hadapi dengan semangat baru untuk mengwujudkan harapan
baru. Namun, berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka tahun
2015 ini juga merupakan batas waktu bagi para pendidik (guru dan dosen) untuk
memenuhi kualifikasi akademik di bidangnya. Kualifikasi dimaksud yaitu guru
diamanatkan harus memiliki ijazah akademik sarjana atau Diploma IV. Sedangkan
dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum yaitu lulusan program magister
jika mengajar di program diploma atau program sarjana dan lulusan program doktor,
jika mengajar di program pascasarjana.
Lebih lanjut dipersyaratkan bahwa "Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UU No. 14 Tahun 2005, Pasal 8)."
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Sementara
mengenai sertifikat guru disebutkan dalam Pasal 11 UU No. 14/2005 itu, bahwa
sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang
telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan
ditetapkan oleh Pemerintah (ayat 1,2).
Jika sampai 2015 nanti belum mengantongi ijazah S1 atau D4, guru bersangkutan
dilarang mengajar. Posisinya langsung diturunkan menjadi pegawai administrasi atau
non-guru lainnya. Dalam undang-undang itu, pemerintah diberi tugas meningkatkan
kualifikasi guru yang belum sarjana selama sepuluh tahun. Dengan demikian, deadline
pemerintah untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru jatuh pada 2015 nanti.
Hal yang sama, juga berlaku pada dosen yaitu .pada
Pasal 39
(1) Dosen yang tidak dapat memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi dan se rtifikasi
pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dalam jarak waktu 10 (sepuluh)tahun
sejak berlaku UU No. 45 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bagi dosen telah diberi
kesempatan untuk memenuhinya, dikenai sanksi oleh Pemerintah (dosen PTN),
penyelenggara pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
masyarakat (dosen PTS) yaitu: a) Dialihtugaskan pada pekerjaan tenaga kependidikan
yang tidak mempersyaratkan kualifikasi dosen. b) Diberhentikan tunjangan fungsional
atau subsidi tunjangan fungsional dan tunjangan khusus; atau c) Diberhentikan dari
jabatan sebagai dosen. Ketentuan kualifikasi akademik minimum dosen diatas
tertuang dalam Pasal 45, 46 UU No. 14/2005).
Setidaknya, Berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (PDPTDIKTI, 2014) saat ini di seluruh Indonesia terdapat sekitar 38
ribu atau sekitar 23 persen dari total tenaga dosen di perguruan tinggi yang masih
memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma. Sedangkan yang telah disertifikasi
1
baru hampir separuhnya (47 persen). Jumlah ini termasuk dosen yang bekerja di
perguruan tinggi negeri dan swasta. Tentu kondisi ini akan menjadi masalah besar bagi
perguruan tinggi itu sendiri. Disatu sisi terdapat kelebihan tenaga administrasi di
lingkungan perguruan tinggi dan disisi lain terdapat kekurangan tenaga pengajar
(dosen) di berbagai perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi swasta. Hal ini
tercermin dari masih tingginya rasio dosen dan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi
swasta khususnya. Sudah hampir dipastikan situasi itu sangat berkaitan erat dengan
akreditasi institusi dan penilaian kinerja lembaga perguruan tinggi tersebut oleh
pemerintah.
Tabel 1. Data Dosen Berdasarkan Pendidikan Tertinggi Dan Sertifikasi di Indonesia
NO
Lembaga
< S1
S2
1 PTN
5.446
43.512
2 Kopertis Wilayah I
3.102
3.736
3 Kopertis Wilayah II
1.884
3.162
4 Kopertis Wilayah III
4.303
10.923
5 Kopertis Wilayah IV
5.180
9.097
6 Kopertis Wilayah V
1.168
3.807
7 Kopertis Wilayah VI
2.211
5.709
8 Kopertis Wilayah VII
3.267
7.770
9 Kopertis Wilayah VIII
1.766
3.239
10 Kopertis Wilayah IX
3.964
4.766
11 Kopertis Wilayah X
2.384
3.645
12 Kopertis Wilayah XI
1.424
1.789
13 Kopertis Wilayah XII
437
516
14 Kopertis Wilayah XIII
1.442
853
15 Kopertis Wilayah XIV
468
479
JUMLAH
38.446
103.003
23
62
Persentase
Data diolah dari :
Sumber: http://forlap.dikti.go.id diunduh 25 Desember 2014
*) = spesialis 1, 2, Profesi, tanpa jenjang dan lainnya
S3
Lainnya*)
14.484
2.409
234
159
203
97
1.916
423
1.123
366
553
78
565
176
985
252
218
153
455
206
246
154
103
22
29
6
20
20
26
4
21.160
4.525
13
3
Jumlah
65.851
7.231
5.346
17.565
15.766
5.606
8.661
12.274
5.376
9.391
6.429
3.338
988
2.335
977
167.134
100
SERTIFIKASI DOSEN
Sudah
Belum
48.804
16.869
1.610
5.557
1.411
3.934
5.636
11.858
4.099
11.612
2.573
3.031
3.528
5.123
4.081
8.168
1.745
3.608
2.564
6.887
1.589
4.838
822
2.510
277
706
203
2.167
164
814
79.106
87.682
47
53
Jumlah
65.673
7.167
5.345
17.494
15.711
5.604
8.651
12.249
5.353
9.451
6.427
3.332
983
2.370
978
166.788
100
Bagi Perguruan Tinggi Negeri, jumlah dosen yang memiliki kualifikasi akademik lebih
rendah atau sederajat S1 hanya sekitar delapan persen. Sedangkan di perguruan tinggi
swasta jumlah dosen dengan kualifikasi akademik ini jauh lebih tinggi yaitu mencapai
sekitar 32 persen dari total dosen yang bekerja di PTS. Demikian pula halnya dengan
serifikasi dosen dimana dosen PTN telah tersertifikasi sekitar 74 persen lebih
sedangkan dosen PTS baru mencapai sekitar 30 persen. Oleh karenanya, beban terberat
akan dialami oleh dosen yang bekerja di PTS.
Namun demikian, sebagian dari dosen yang memiliki kualifikasi akademik ini masih
termasuk dalam kriteria yang diatur pada Ketentuan Peralihan PP No. 37 Tahun 2009
tentang dosen yaitu pada Pasal 42: Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dosen yang belum memenuhi kualifikasi
akademik magister atau yang setara, dapat
mengikuti uji kompetensi untuk
memperoleh sertifikat pendidik apabila sudah: a. mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
dan mempunyai pengalaman kerja 30 (tiga puluh) tahun sebagai dosen; atau b.
mempunyai jabatan akademik lektor kepala dengan golongan IV/c, atau yang
2
memenuhi angka kredit kumulatif jabatan fungsional dosen setara dengan lektor kepala
dengan golongan IV/c.
Kita ambil contoh di Sumatera Utara, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis)
Indonesia Wilayah I Prof Dr Dian Armanto, di Medan kembali mengingatkan bahwa
“ribuan dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumatera Utara terancam dan tidak
boleh mengajar jika masih berkualifikasi sarjana (S1). “Apabila merujuk UndangUndang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 46 dan diperkuat dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2009 tentang Dosen, maka dosen harus
berkualifikasi magister (S2),” Di Kopertis Wilayah I Sumatera Utara, saat terdapat
sekitar 31% atau 3,091 orang dari 10.000-an dosen PTS berkualifikasi sarjana (S1),
terutama dijumpai di Akademi Kebidanan (Akbid), Akademi Keperawatan (Akper) dan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)” (Selasa, 23 Desember 2014).
Peningkatan kualitas akademik para guru dan dosen ini, tidak sepenuhnya mudah
direspons atau dipenuhi. Menjadi pertanyaan, apakah pendidikan lanjut ini (S1 bagi
guru dan S2 bagi dosen) menjadi tanggungan para pendidik tersebut atau merupakan
kewajiban pemerintah untuk memfasilitasinya. Jumlah beasiswa yang ditawarkan
sangat terbatas, keterbatasan dana yang dimiliki para pendidik, mungkin juga kondisi
lingkungan (tempat tugas jauh dari kota yang terdapat perguruan tinggi), sosial dan
rumah tangga turut mempengaruhi tidak dapat dipenuhinya kewajiban ini. Sebagian
para pendidik dihadapkan pada pilihan antara membiayai pendidikan anaknya
diperbandingkan dengan membiayai pendidikan lanjut dirinya yang diamanatkan
Undang-Undang.
Sungguh menjadi hal yang sulit ditemukan jalan keluarnya, di satu sisi masih terdapat
kekurangan guru dan dosen dan di sisi lain undang-undang dan peraturan pemerintah
mempersyaratkan kualifikasi minimum akademikini. Disamping memiliki kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
mengwujudkan tujuan pendidikan nasional. Memang pintu masuk untuk menjadi
pendidik (saringan awal penerimaan) telah dipesyaratkan sesuai UU di atas. Akan
tetapi menerapkannya atau menjaring kembali yang tidak memenuhi kualifikasi
minimum dalam suatu proses yang telah berlangsung lama (on going) terasa menjadi
pilihan sulit.
Di saat sebagian guru atau dosen berhenti sejenak dari mimbar mengajar, dan
mencoba menarik napas sedikit lega dan bersyukur karena memperoleh tunjangan
sertifikasi. Dengan kata lain “baru mau duduk untuk refleksi diri sudah disuruh berdiri
lagi”. Apakah pemberian penghargaan dan hukuman ini akan segera memperbaiki
keadaan pendidikan nasional kita?. Kita telah tahu penerapan dalam dunia pendidikan
baik terhadap peserta didik maupun pendidik bahwa “Rewards and punishments are the
lowest form of education"- (Zuangzi). Semoga
Penulis adalah :
Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan
3
4
Tahun 2015, Bagi Guru dan Dosen
Ferisman Tindaon
Tahun 2015 ini akan kita hadapi dengan semangat baru untuk mengwujudkan harapan
baru. Namun, berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka tahun
2015 ini juga merupakan batas waktu bagi para pendidik (guru dan dosen) untuk
memenuhi kualifikasi akademik di bidangnya. Kualifikasi dimaksud yaitu guru
diamanatkan harus memiliki ijazah akademik sarjana atau Diploma IV. Sedangkan
dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum yaitu lulusan program magister
jika mengajar di program diploma atau program sarjana dan lulusan program doktor,
jika mengajar di program pascasarjana.
Lebih lanjut dipersyaratkan bahwa "Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UU No. 14 Tahun 2005, Pasal 8)."
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Sementara
mengenai sertifikat guru disebutkan dalam Pasal 11 UU No. 14/2005 itu, bahwa
sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang
telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan
ditetapkan oleh Pemerintah (ayat 1,2).
Jika sampai 2015 nanti belum mengantongi ijazah S1 atau D4, guru bersangkutan
dilarang mengajar. Posisinya langsung diturunkan menjadi pegawai administrasi atau
non-guru lainnya. Dalam undang-undang itu, pemerintah diberi tugas meningkatkan
kualifikasi guru yang belum sarjana selama sepuluh tahun. Dengan demikian, deadline
pemerintah untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru jatuh pada 2015 nanti.
Hal yang sama, juga berlaku pada dosen yaitu .pada
Pasal 39
(1) Dosen yang tidak dapat memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi dan se rtifikasi
pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dalam jarak waktu 10 (sepuluh)tahun
sejak berlaku UU No. 45 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bagi dosen telah diberi
kesempatan untuk memenuhinya, dikenai sanksi oleh Pemerintah (dosen PTN),
penyelenggara pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
masyarakat (dosen PTS) yaitu: a) Dialihtugaskan pada pekerjaan tenaga kependidikan
yang tidak mempersyaratkan kualifikasi dosen. b) Diberhentikan tunjangan fungsional
atau subsidi tunjangan fungsional dan tunjangan khusus; atau c) Diberhentikan dari
jabatan sebagai dosen. Ketentuan kualifikasi akademik minimum dosen diatas
tertuang dalam Pasal 45, 46 UU No. 14/2005).
Setidaknya, Berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (PDPTDIKTI, 2014) saat ini di seluruh Indonesia terdapat sekitar 38
ribu atau sekitar 23 persen dari total tenaga dosen di perguruan tinggi yang masih
memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma. Sedangkan yang telah disertifikasi
1
baru hampir separuhnya (47 persen). Jumlah ini termasuk dosen yang bekerja di
perguruan tinggi negeri dan swasta. Tentu kondisi ini akan menjadi masalah besar bagi
perguruan tinggi itu sendiri. Disatu sisi terdapat kelebihan tenaga administrasi di
lingkungan perguruan tinggi dan disisi lain terdapat kekurangan tenaga pengajar
(dosen) di berbagai perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi swasta. Hal ini
tercermin dari masih tingginya rasio dosen dan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi
swasta khususnya. Sudah hampir dipastikan situasi itu sangat berkaitan erat dengan
akreditasi institusi dan penilaian kinerja lembaga perguruan tinggi tersebut oleh
pemerintah.
Tabel 1. Data Dosen Berdasarkan Pendidikan Tertinggi Dan Sertifikasi di Indonesia
NO
Lembaga
< S1
S2
1 PTN
5.446
43.512
2 Kopertis Wilayah I
3.102
3.736
3 Kopertis Wilayah II
1.884
3.162
4 Kopertis Wilayah III
4.303
10.923
5 Kopertis Wilayah IV
5.180
9.097
6 Kopertis Wilayah V
1.168
3.807
7 Kopertis Wilayah VI
2.211
5.709
8 Kopertis Wilayah VII
3.267
7.770
9 Kopertis Wilayah VIII
1.766
3.239
10 Kopertis Wilayah IX
3.964
4.766
11 Kopertis Wilayah X
2.384
3.645
12 Kopertis Wilayah XI
1.424
1.789
13 Kopertis Wilayah XII
437
516
14 Kopertis Wilayah XIII
1.442
853
15 Kopertis Wilayah XIV
468
479
JUMLAH
38.446
103.003
23
62
Persentase
Data diolah dari :
Sumber: http://forlap.dikti.go.id diunduh 25 Desember 2014
*) = spesialis 1, 2, Profesi, tanpa jenjang dan lainnya
S3
Lainnya*)
14.484
2.409
234
159
203
97
1.916
423
1.123
366
553
78
565
176
985
252
218
153
455
206
246
154
103
22
29
6
20
20
26
4
21.160
4.525
13
3
Jumlah
65.851
7.231
5.346
17.565
15.766
5.606
8.661
12.274
5.376
9.391
6.429
3.338
988
2.335
977
167.134
100
SERTIFIKASI DOSEN
Sudah
Belum
48.804
16.869
1.610
5.557
1.411
3.934
5.636
11.858
4.099
11.612
2.573
3.031
3.528
5.123
4.081
8.168
1.745
3.608
2.564
6.887
1.589
4.838
822
2.510
277
706
203
2.167
164
814
79.106
87.682
47
53
Jumlah
65.673
7.167
5.345
17.494
15.711
5.604
8.651
12.249
5.353
9.451
6.427
3.332
983
2.370
978
166.788
100
Bagi Perguruan Tinggi Negeri, jumlah dosen yang memiliki kualifikasi akademik lebih
rendah atau sederajat S1 hanya sekitar delapan persen. Sedangkan di perguruan tinggi
swasta jumlah dosen dengan kualifikasi akademik ini jauh lebih tinggi yaitu mencapai
sekitar 32 persen dari total dosen yang bekerja di PTS. Demikian pula halnya dengan
serifikasi dosen dimana dosen PTN telah tersertifikasi sekitar 74 persen lebih
sedangkan dosen PTS baru mencapai sekitar 30 persen. Oleh karenanya, beban terberat
akan dialami oleh dosen yang bekerja di PTS.
Namun demikian, sebagian dari dosen yang memiliki kualifikasi akademik ini masih
termasuk dalam kriteria yang diatur pada Ketentuan Peralihan PP No. 37 Tahun 2009
tentang dosen yaitu pada Pasal 42: Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dosen yang belum memenuhi kualifikasi
akademik magister atau yang setara, dapat
mengikuti uji kompetensi untuk
memperoleh sertifikat pendidik apabila sudah: a. mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
dan mempunyai pengalaman kerja 30 (tiga puluh) tahun sebagai dosen; atau b.
mempunyai jabatan akademik lektor kepala dengan golongan IV/c, atau yang
2
memenuhi angka kredit kumulatif jabatan fungsional dosen setara dengan lektor kepala
dengan golongan IV/c.
Kita ambil contoh di Sumatera Utara, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis)
Indonesia Wilayah I Prof Dr Dian Armanto, di Medan kembali mengingatkan bahwa
“ribuan dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumatera Utara terancam dan tidak
boleh mengajar jika masih berkualifikasi sarjana (S1). “Apabila merujuk UndangUndang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 46 dan diperkuat dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2009 tentang Dosen, maka dosen harus
berkualifikasi magister (S2),” Di Kopertis Wilayah I Sumatera Utara, saat terdapat
sekitar 31% atau 3,091 orang dari 10.000-an dosen PTS berkualifikasi sarjana (S1),
terutama dijumpai di Akademi Kebidanan (Akbid), Akademi Keperawatan (Akper) dan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)” (Selasa, 23 Desember 2014).
Peningkatan kualitas akademik para guru dan dosen ini, tidak sepenuhnya mudah
direspons atau dipenuhi. Menjadi pertanyaan, apakah pendidikan lanjut ini (S1 bagi
guru dan S2 bagi dosen) menjadi tanggungan para pendidik tersebut atau merupakan
kewajiban pemerintah untuk memfasilitasinya. Jumlah beasiswa yang ditawarkan
sangat terbatas, keterbatasan dana yang dimiliki para pendidik, mungkin juga kondisi
lingkungan (tempat tugas jauh dari kota yang terdapat perguruan tinggi), sosial dan
rumah tangga turut mempengaruhi tidak dapat dipenuhinya kewajiban ini. Sebagian
para pendidik dihadapkan pada pilihan antara membiayai pendidikan anaknya
diperbandingkan dengan membiayai pendidikan lanjut dirinya yang diamanatkan
Undang-Undang.
Sungguh menjadi hal yang sulit ditemukan jalan keluarnya, di satu sisi masih terdapat
kekurangan guru dan dosen dan di sisi lain undang-undang dan peraturan pemerintah
mempersyaratkan kualifikasi minimum akademikini. Disamping memiliki kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
mengwujudkan tujuan pendidikan nasional. Memang pintu masuk untuk menjadi
pendidik (saringan awal penerimaan) telah dipesyaratkan sesuai UU di atas. Akan
tetapi menerapkannya atau menjaring kembali yang tidak memenuhi kualifikasi
minimum dalam suatu proses yang telah berlangsung lama (on going) terasa menjadi
pilihan sulit.
Di saat sebagian guru atau dosen berhenti sejenak dari mimbar mengajar, dan
mencoba menarik napas sedikit lega dan bersyukur karena memperoleh tunjangan
sertifikasi. Dengan kata lain “baru mau duduk untuk refleksi diri sudah disuruh berdiri
lagi”. Apakah pemberian penghargaan dan hukuman ini akan segera memperbaiki
keadaan pendidikan nasional kita?. Kita telah tahu penerapan dalam dunia pendidikan
baik terhadap peserta didik maupun pendidik bahwa “Rewards and punishments are the
lowest form of education"- (Zuangzi). Semoga
Penulis adalah :
Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan
3
4