Wilayatul Hisbah Sebuah Bentuk Kebijakan

WILAYATUL HISBAH: SEBUAH BENTUK KEBIJAKAN
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN ACEH

Oleh:
Diah Atika Pramono

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Aceh adalah satu-satunya provinsi di wilayah Indonesia yang
menjalankan

sistem

pemerintahan

Islam.


Pemerintah

memberikan

kewenangan (otonomi) khusus kepada provinsi Aceh untuk menerapkan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Pemberian kewenangan
tersebut

tidak

lepas

dari

usaha

rakyat

Aceh


dengan

melakukan

pemberontakan1 kepada pemerintah. Pemberontakan tersebut memakan
banyak korban jiwa dan harta benda yang jumlahnya tidak sedikit, kemudian
ditambah dengan adanya gempa dan tsunami yang akhirnya membuat para
pihak bersedia untuk mengakhiri peperangan2 dengan lahirnya MoU
(memorandum of understanding) di Helsinki Finlandia pada 15 Agustus
2005. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini adalah sebuah bentuk
komitmen politik pemerintah Indonesia dalam menindaklanjuti hasil dari
perjanjian damai di Helsinki tersebut. Salah satu kewenangan (otonomi atau
sel government) yang diberikan dalam undang-undang tersebut adalah

1

Pemberontakan yang terjadi adalah wujud kekecewaan rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno
yang telah mengingkari janjinya. Janji yang dimaksud adalah pemberian kewenangan (otonomi)
penuh kepada provinsi Aceh sebagai wilayah yang akan menerapkan syariat Islam. Dimulai

dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureu‟eh yang
mendeklarasikan Aceh bergabung dengan NII (Negara Islam Indonesia) pada tahun 1953 dibawah
pimpinan Kartosuwiryo. Kemudian dianjutkan oleh muridnya, yaitu Teungku Muhammad Hasan
di Tiro. Seiring dengan struktur NII yang berhasil dikalahkan oleh tentara Indonesia, ia mengubah
filosofi perjuangan dari tuntuttan terhadap penerapan syariat Islam menjadi merestorasi kembali
kedaulatan Aceh yang tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada penjajah Hindia-Belanda.
Lihat Nur El-Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureuh dalam Pergolakan Aceh , (Jakarta: Media
Dakwah, 1999), h. 239, dalam Chairul Fahmi, "Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh
(Kajian terhadap UU No. 11 Tahun 2006)", Jurnal TSAQAFAH, Vol. 8 No. 2 (Oktober 2012).
2
Proses perdamaian di Aceh sebenarnya telah dimulai sejak gerakan reformasi di Indonesia. Jika
ditilik berdasarkan perspektif pemerintah, solusi yang tepat untuk menyelesaikan kasus Aceh
adalah dengan memberikan kewenangan untuk menerapkan sistem hukum Islam. Pada tahun 1999,
dilakukan sebuah deklarasi penerapan syariat Islam di Aceh, dan pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Keistimewaan Aceh yang mencakup kewenangan menjalankan syariat Islam, baik dalam hal
ibadah, mualamat dan jinayat.

2


melaksanakan syariat Islam3 di Aceh secara kaffah, baik dalam hal ibadah,
pendidikan, muamalat, syiar (dakwah), hukum perdata dan juga dalam hal
hukum pidana.4
Salah satu lembaga yang dibentuk dalam pelaksanaan syariat Islam di
Aceh adalah Wilayatul Hisbah5. Secara tersirat dasar hukum pembentukan
Wilayatul Hisbah adalah semua dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di
NAD. Namun, peraturan yang secara tertulis menyatakan pembentukan
lembaga ini adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam pada Pasal 20 ayat (1). Selanjutnya, ketentuan
tersebut mendapatkan penguatan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang ditegaskan pada Pasal 244 dan
245. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan mengenai peran Wilayatul
Hisbah6 sebagai pengawas syariat, tugasnya adalah melakukan penegakan
hukum atas kanun-kanun syariah.
Prakarsa untuk mengaktualisasikan kembali lembaga Wilayatul Hisbah
dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini bukan tanpa alasan dan latar

3

Penerapan syariat Islam merupakan hutang pemerintah. Pendapat tersebut diungkapkan oleh

sebagian masyarakat Aceh. Saat presiden Soekarno berkunjung ke Aceh pada tahun 1948 guna
meminta bantuan materiil dan kesediaan rakyat Aceh untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan, terjadi pembicaraan antara Soekarno dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Sebagai gantinya, Daud Beureueh meminta jaminan tertulis (konstitusional) penerapan syariat
Islam, namun oleh Soekarno hanya disanggupi secara lisan. Lebih lanjut lihat Marzuki Wahid dan
Nurohman, “Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari‟at Islam: Kasus Nanggroe
Aceh Darussalam”, Jurnal Tashwirul Afkar , Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 42-50. Lihat juga AlChaidar, Gerakan Aceh Merdeka , (Jakarta: Madani Press, 2000), h. 251.
4
Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
5
Berdasarkan Qanun No. 11/ 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan
Syi‟ar Islam, Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam
(Pasal 1 ayat (11). Badan ini dibentuk oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ kota, serta dapat
dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah lingkungan lainnya (Pasal
14 ayat (1) dan (2).
6
Pada mulanya, Wilayatul Hisbah merupakan sub dalam Dinas Syariat Islam. Namun, atas dasar
pertimbangan mereka yang bertugas memastikan jalannya peraturan daerah ( qanun) seperti halnya
polisi pamong praja, akhirnya pada tahun 2006 digabungkan dibawah Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP). Namun demikian, kebijakan ini independen di setiap pemerintah kabupaten atau kota.

Di Aceh, Wilayatul Hisbah bergabung dengan Dinas Pemadam Kebakaran. Catatan kaki dalam
Lilik Andaryani, "Formalisasi Syari'ah Islam di Indonesia (Telaah Atas Kanunisasi Hukum Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam)", FENOMENA, Vol IV No. 1 (2012), h. 39. Lebih lengkap
mengenai Wilayatul Hisbah di Aceh, lihat Muhibbuththabary, Konsep dan Implementasi Wilayatul
Hisbah dalam Penerapan Syari‟at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Disertasi Program
Pascasarjana , (Aceh: IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2007).

3

historis yang tidak jelas. Ide tersebut murni dari eksistensi Wilayatul Hisbah
dalam

struktur

pemerintahan

dan

sistem


penegakan

hukum

pada

pemerintahan Islam di masa lalu, baik pada periode awal, periode keemasan,
dan periode kemunduran Islam. 7 Oleh sebab itu, ketika syariat Islam
diresmikan di Aceh, maka visi utama yang diemban adalah sebagaimana visi
diutusnya Nabi Muhammad saw., yaitu menegakkan akhlak (moral). Visi ini
memunculkan prinsip amar ma‟ruf nahi munkar. Dan Wilayatul Hisbah
adalah wujud dari asas dan prinsip tersebut.
Wilayatul Hisbah bukanlah polisi syariat. Ia adalah lembaga pengawas
dan pembinaan yang menghadapi masyarakat dengan menggunakan kharisma
pribadi. Bersenjatakan al-Quran dan hadits serta kanun dalam melawan
argumen

masyarakat.

Seharusnya,


pelaksanaan

syariat

Islam

tidak

memunculkan ketakutan kepada Wilayatul Hisbah, melainkan melahirkan
sikap hormat dan patuh karena para muhtasib atau muhtasibahnya adalah
orang-orang yang dapat dijadikan sebagai ustawun khasanah yang memiliki
moral tinggi dan memahami hukum dalam penegakan syariat Islam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chairul Fahmi dalam
proses perekrutan anggota Wilayatul Hisbah, ternyata tidak semua petugas
memiliki pemahaman yang matang terkait penegakan syariat Islam.
Kebanyakan dari mereka hanyalah pencari kerja, bukan yang mempunyai
landasan pengetahuan tentang penegakan syariat secara komprehensif dan
totalitas. 8 Sehingga mereka sering menemui hambatan dan kendala dalam
melaksanakan tugasnya.

Kedangkalan pemahaman terkait tujuan syariat Islam yang miliki oleh
masyarakat juga menjadi pemicu hambatan tersebut. Mereka beranggapan
bahwa penegakan syariat Islam yang dilakukan melanggar hak asasi manusia.
Kedangkalan pemahaman tersebut juga menimbulkan kesan penolakan
terhadap penerapan syariat Islam.
7

Marah Halim, "Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam", Jurnal Ilmiah
ISLAM FUTURA, Vol. X No. 2 (Februari, 2011), h. 66.
8
Chairul Fahmi, "Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap UU No. 11
Tahun 2006)", Jurnal TSAQAFAH, Vol. 8 No. 2 (Oktober 2012), h. 302-303.

4

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
pembahasan secara lebih intensif terhadap keberadaan Wilayatul Hisbah
sebagai sebuah bentuk kebijakan politik hukum pemerintahan Aceh.
Pembahasan ini sebagai bahan kajian terkait politik dan pergumulan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang hingga saat ini masih menimbulkan

keresahan di berbagai kalangan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana

sejarah

pembentukan

Wilayatul

Hisbah

dalam

pemerintahan Aceh?
2. Bagaimana posisi Wilayatul Hisbah dalam pemerintahan Aceh?
3. Bagaimana peran Wilayatul Hisbah sebagai sebuah bentuk kebijakan

politik hukum pemerintahan Aceh?
4. Apa legal product di Wilayatul Hisbah sebagai dasar hukum
pelaksanaannya?
5. Bagaimana

potret

implementasi

hukum

dalam

pelaksanaan

Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari prinsip Good Corporate
Governance ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembahasan ini, yakni:
1. Memaparkan sejarah pembentukan Wilayatul Hisbah dalam
pemerintahan Aceh.
2. Menganalisis posisi Wilayatul Hisbah dalam pemerintahan Aceh.
3. Menganalisis peran Wilayatul Hisbah sebagai sebuah bentuk
kebijakan politik hukum pemerintahan Aceh.
4. Memaparkan legal product di Wilayatul Hisbah sebagai dasar
hukum pelaksanaannya.

5

5. Memaparkan potret implementasi hukum dalam pelaksanaan
Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari prinsip Good Corporate
Governance.

D. Manfaat Penulisan
Secara teoritis, hasil temuan dalam pembahasan ini diharapkan bisa
memberikan pemahaman baru yang lebih tepat terkait politik hukum
pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang salah satunya diwujudkan dengan
pembentukan Wilayatul Hisbah.
Secara praktis, hasil temuan dalam pembahasan ini dapat dijadikan
sebagai manual rujukan dalam memahami dan mengritisi kebijakan politik
hukum yang dilaksanakan oleh pemerintahan Aceh, terutama terkait dengan
adanya Wilayatul Hisbah. Selanjutnya, dapat diambil kebijakan pembaruan
dalam politik hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh guna pelaksanaan
hukum lebih berimbang dan responsif di masa depan.

E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
sejarah (historical approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Pengumupulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, berupa dokumen
sejarah tentang Wilayatul Hisbah, peraturan perundang-undangan tentang
penerapan syariat Islam di Aceh dan kanun-kanun yang selaras dengan tema,
literatur yang relevan, hasil penelitian terdahulu dengan tema yang serupa,
dan publikasi media massa cetak maupun elektronik. Analisis data
menggunakan teknik analisis wacana kritis. Analisis ini digunakan untuk
mengungkap sejarah Wilayatul Hisbah, posisinya dalam pemerintahan Aceh
dan perannya sebagai salah satu bentuk kebijakan politik hukum.

6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Politik Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang diberikan
keistimewaan oleh pemerintah dalam hal otonomi daerahnya, yakni
penerapan hukum Islam baik dalam segi formal dan informal. Sebelum
membahas mengenai politik di daerah istimewa Aceh, alangkah baiknya kita
mengetahui tentang sejarah Aceh, sehingga diberikan keistimewaan dalam
pelaksanaan otonomi daerahnya.
Secara de jure tidak ada pihak yang dapat memastikan kapan
sebenarnya pertama kali syariat Islam dilaksanakan di Aceh, namun yang
disebut dengan “komunitas Islam” telah terbentuk ketika Islam masuk ke
nusantara. Komunitas itu kemudian menjelma menjadi sebuah kesatuan
politis yang dikenal dengan kerajaan-kerajaan Islam. 9 Indonesia adalah
mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, tentu hal ini bukanlah
kebetulan, kepulauan nusantara dan semenanjung tanah Melayu sepanjang
jalan sejarah adalah merupakan wilayah-wilayah strategis, karena terletak di
antata Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan negerinegeri sebelah timur, seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri sebelah barat,
yaitu anak benua India, Parsi dan negara-negara Arab, Afrika serta benua
Eropa.10 Pada abad ke-13 bersamaan dengan berkembangnya kerajaan Aceh
Darussalam diselat Malaka juga dikenal dengan penyebaran agama Islam
melalui pedagang-pedagang muslim baik dari negeri-negeri Timur Tengah
maupun dari Gujarat (India).11

9

Amirul Hadi, Membumikan Islam di Aceh, kumpulan tulisan dalam buku Aceh Madani Dalam
Wacana, (Banda Aceh: Aceh Justice Resource Centre (AJRC), 2009), hal. 4.
10
Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1999), hal. 1.
11
Zakaria Ahmad, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Di Daerah
Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983), hal. 5.

7

Pada abad ke-15 Kerajaan Aceh menjadi pusat agama dan kebudayaan
Islam pada masa itu, karena berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa
oleh agama Islam untuk dapat menulis karya-karya dalam bahasa Melayu
yang disebut Bahasa Jawi. 12 Dari sinilah budaya Islam sangat kental di daerah
Aceh. Pada waktu itu di kerajaan Aceh telah berlaku hukum Islam, sesuai
dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya kodifikasi hukum-hukum Islam yang dibuat oleh para ulama
yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang (Qanun13) yang berlaku di
kerajaan Aceh Darussalam. Di antara qanun tersebut adalah Qanun al-Asy
yang disebut juga Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam, dan
Kitab Safînah al-Hukkâm fî Takhlîsh al-Khashshâm. Dalam masyarakat Aceh
dikenal empat istilah yang berkaitan dengan hukum, yaitu: hukum, adat, uruf
dan reusam. Hukum adalah hukum Islam, adat diartikan sebagai hukum tidak
tertulis dan mempunyai sanksi, berlaku untuk siapa saja dengan tanpa
pandang bulu, uruf adalah pendapat ulama dalam menjalankan negara, namun
tidak disandarkan kepada agama, akan tetapi disandarkan kepada adat,
sedangkan reusam diartikan sebagai bekas hukum. 14 Kerajaan Aceh
menerapkan hukum Islam di segala aspek kehidupan, mulai dari Syariat,
Jinayah, Siyasah dan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah.

Singkat cerita Aceh menjadi kerajaan yang maju sampai datanglah
negara Belanda untuk merebut Kekuasaan Aceh (1873-1912). Hal ini tidaklah
mudah bagi Belanda untuk merebut kekuasaan di tanah Aceh. Banyak sekali
peperangan yang terjadi seperti Peperangan Aceh Pertama, Kedua dan
Ketiga. 15 Setelah Indonesia memerdekakan diri dari jajahan Belanda, Aceh
waktu itu menyatakan keinginan untuk bergabung dengan Republik Indonesia
12

Alfian, Wajah Aceh, h. 9.
Qanun berasal dari bahasa Arab yang diartikan sebagai “peraturan”, penyebutan atau nama lain
dari Peraturan Daerah (Perda), lebih jauh Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan
sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat
Aceh, (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 21).
14
T. Juned, Penerapan Sistem dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara,
dalam Pedoman Adat Aceh; Peradilan dan Hukum Adat, (Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD,
2001), h. 12-15.
15
Alfian, Wajah Aceh, h. 73.
13

8

dengan syarat bahwa di Aceh diberlakukan syariat Islam dan bahkan
beberapa kali tokoh Aceh Daud Beureueh menuntut kepada presiden
Soekarno. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh pemerintah, kemudian begitu juga
yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan
Soeharto.16 Soeharto merubah pola pemerintahan dan menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara juga sebagai asas tunggal. Kebijakan-kebijakan Soeharto
merugikan mayoritas masyarakat Islam di Aceh, seperti adanya aspirasiaspirasi yang dilancarkan oleh para tokoh Aceh terhadap pelaksanaan syariat
di Aceh, yang pada akhirnya terjerumus pada arus politik disintegrasi bangsa.
Ini menimbulkan dan memicu konflik yang berkepanjangan sampai
akhirnya usaha pelaksanaan syariat Islam di Aceh mendapat angin segar
dengan lengsernya Soeharto yang kemudian digantikan Habibie. Respon
Habibie terhadap Aceh ini menimbulkan semangat baru bagi isu-isu
pelaksanaan Islam di Aceh dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh (bidang agama, adat,
pendidikan dan kebudayaan). Kemudian dipertegas oleh Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, tentang otonomi khusus. 17 Selanjutnya dipertegas lagi
pada tanggal 9 Agustus 2001, Megawati selaku presiden menandatangani
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang dikenal dengan UndangUndang Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian dijabarkan dalam peraturan
daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, hingga akhirnya
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bisa dijalankan dan dikenal dengan
penerapan Syariat Islam secara kaffah, dengan beberapa kanun yang telah
dikeluarkannya.
Ajaran agama Islam tidak hanya berlaku secara formal melainkan sudah
mendarah daging dalam masyarakat Aceh, dikarenakan Islam adalah agama
pertama dan mayoritas bukan seperti di Jawa yang menjadi agama awal
adalah Hindu-Budha.
Daud Rasyid, Syari‟at Islam Yes-Syari‟at Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 218.
17
Rifyah Ka‟bah, Penegakan Syari‟at Islam di Indonesia, (Jakarta Selatan: Khirul Bayan, 2004), h.
17.
16

9

Kata “syariat” yang sudah baku dalam bahasa Indonesia diartikan
dengan “hukum agama, atau yang bertalian dengan agama Islam”. 18 Secara
etimologis berasal dari kata shara‟a (bahasa Arab) yang bermakna “yang
ditetapkan atau didekritkan”. Dalam arti lain syariat adalah “jalan atau
cara” menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah dan etika. 19 Dalam
keseharian syariat sering dipahami sebagai ketentuan atau hukum yang
berasal dari Tuhan sehingga perlu diaktualisasikan dalam kehidupan.
Syariat selalu dipahami sebagai fikih (pemahaman atau ilmu tentang
hukum Islam). Syariat dan fikih merupakan dua hal yang berbeda, tetapi
memiliki kesamaan dan saling berkaitan yaitu fokus kepada persoalan ibadah
dan muamalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya seperti
ketentuan shalat, puasa, zakat, haji, zikir dan sebagainya. Sedangkan
muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam
lingkungannya. Oleh karena itu, tujuan syariat Islam adalah melindungi
agama (hifdzu ad-din), melindungi jiwa (hifdzu an-nafs), melindungi akal
(hifdzu al-aql), melindungi kehormatan (hifdzu al-„irdh), melindungi harta
(hifdzu al-mal) dan keseimbangan lingkungannya. 20
Secara formal pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah didukung oleh
undang-undang dan kanun-kanun yang bersifat publik. Sehingga ada empat
kanun yang sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh, yaitu:
1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Dibidang Akidah, Ibadah Dan Syi‟ar Islam;
2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khmar (Minuman
Keras);
3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Judi);

18

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 984.
Muhammad Said al-Asmawy, al-Syari‟ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Mishri, terj. Saiful Ibad,
(Ciputat: Gaung Persada Press, 2005), h. 11.
20
Muhammad Ali, “Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam dalam Negara Republik
Indonesia” dalam Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cik Hasan Bisri (ed),
(Jakarta: Logos, 1998), h. 43.
19

10

4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Perbuatan Mesum
Dan Pergaulan Bebas)

Berdasarkan kanun yang telah disahkan tersebut dan diberlakukan bagi
masyarakat Aceh seluruhnya tanpa terkecuali. Perilaku, perbuatan dan
pergaulan masyarakat diharapkan sesuai dengan ajaran dan tuntutan Islam.
Oleh karena itu, diperlakukan dukungan dan partisipasi dari masyarakat Aceh
agar terwujud penegakkan syariat Islam yang kaffah. Disamping itu yang
harus dimiliki dalam penerapan syariat Islam adalah kesiapan masyarakat dan
aparat penegak hukum termasuk adalah Wilayatul al-Hisbah sehingga tidak
terjadi penyimpangan dan pelanggaran oleh masyarakat dalam pelaksanaan
syariat Islam. 21
Penerapan dan pelaksanaan hukum Islam bukanlah suatu hal yang baru
di Indonesia, Aceh adalah daerah otonomi pertama yang melaksanakan
syariat Islam secara sempurna (kaffah), bahkan sudah dikenal oleh negara
tetangga yakni Malaysia, karena syariat Islam memang sudah menyatu dan
mendarah daging dalam tubuh masyarakat Aceh. Penerapan syariat Islam di
Aceh hanyalah sebuah formalisasi saja, bahkan sebelum Indonesia merdeka,
Islam sudah dikenal oleh masyarakat Aceh, berdasarkan alasan sosiologis ini
Aceh sangat akrab dan kental dengan pemahaman tentang agama Islam. 22
Pemerintahan Indonesia mengakui dan menghormati bentuk satuan
hukum yang berasal dari pemerintah daerah, baik bersifat khusus maupun
yang sifatnya istimewa. Keistimewaan yang dimaksud adalah lahirnya
pembentukan Qanun Aceh. Kemudian, Qanun Aceh juga berfungsi
mempertegas kembali kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya. Hal ini bisa dilihat dengan adanya beberapa
Qanun Aceh yang mencoba merealisasikan tata cara pelaksanaan syariat
Islam yang dipandang sebagai landasan pokok dalam kehidupan masyarakat
Aceh.
21

Dzulkarnaini, Menelusuri Pelaksanaan Syariat Islam: Gagasan Dan Pelaksanaan Di Wilayah
Timur Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2011), h. 40-41.
22
Rasyid, Syari‟at Islam Yes, h. 217.

11

B. Pergumulan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat
sewaktu Sultan Iskandar muda (1607-1636) menghukum mati anaknya
Meurah Peupok, anak lelaki semata wayangnya yang telah diangkat sebagai
putra mahkota, karena ia telah berbuat zina dengan ist riseorang pejabat
(1621). Para ulama ketika itu memprotesnya karena berlawanan dengan
hukum Islam. Sultan dengan tegas menjawabnya, “matee aneuk muphat
jeurat, matee adat hotamita ”. Jadi, istilah adat dalam ungkapan tersebut tidak

bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum.23
Atas saran para ulama supaya dilakukan perubahan atas aturan-aturan
dalam adat, akhirnya Sultan memerintahkan cendekiawan dan ulama untuk
mengodifikasikan aturan-aturan yang berlaku. Apabila terdapat aturan yang
berlawanan dengan hukum Islam, supaya dihapus atau dibuat yang lain.
Sehingga hadih maja , “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah ”
lahir pada waktu itu. Selain itu ada lagi penegasan dari Sultan bahwa bila
suatu saat kelak lahir adat yang baru apabila bertentangan dengan hukum
Islam, maka hukum baru tersebut tidak dapat disebut sebagai adat. Oleh
karena itu, harus ditolak keberadaannya. Kemudian dinyatakan lagi bahwa
seluruh “hukum” langsung menjadi “adat ”. Antara keduanya tidak boleh
dipisahkan dan harus menyatu seperti zat dengan sifat. Maka ungkapan “adat
ngon hukum hanjeut crei, lagee zat ngon sifeut” (adat dengan hukum tidak

boleh dipisah, seperti zat dengan sifat), juga lahir pada masa itu.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku dalam
kerajaan Aceh Darussalam ketika itu ada dua, yaitu: hukum asli dari adat itu
sendiri dan hukum yang berasal dari hukum Islam. Kemudian keduanya
menyatu dan tidak dapat dipisahkan seperti ungkapan hadih maja di atas.
Berdasarkan keterangan tersebut bahwa hukum Islam itu baru benar-benar
berlaku dengan kekuatan asli dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dalam
kerajaan Aceh Darussalam, setelah adanya penetapan sultan (adat). Hal itu
Mustafa Ahmad, Syari‟at Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry,
1999), h. 1.
23

12

berarti, pada masa-masa sebelumnya, hukum Islam inilah yang dimaksud
dengan pernyataan seperti zat dengan sifat antara kedua hukum tersebut.

C. Penegakan Syariat Islam oleh Wilayatul Hisbah
Secara etimologis, Wilayatul Hisbah berasal dari dua kata, al-Wilayah
dan

al-hisbah. Kata al-Wilayah adalah bentuk masdar dari yang makna

dasarnya menguasai, mengurus, memerintah, dan menolong. Sementara ittu,
kata al-Hisbah menurut bahasa berasal dari kata dengan berbagai bentuk
masdar. Kata ini memiliki variasi makna sesuai dengan konteksnya, seperti:
menentang, menguji, menertibkan (mengurus), mengawasi, perhitungan atau
perhatian.24 Sedangkan secara terminologis, pengertian hisbah dirumuskan
oleh sarjana klasik dan sarjana kontemporer. Sarjana Islam pertama yang
merumuskan pengertian hisbah adalah Abu Hasan al-Mawardi yang
kemudian disempurnakan oleh ulama sesudahnya seperti al-Syaizari, Ibn alUkhwah,

al-Ghazali,

Ibn Khaldun, dan

Ibn Taymiyyah. Menurut al-

Mawardi, hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan
ditinggalkan (tidak dikerjakan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti
kemungkaran dikerjakan.25 Sarjana kontemporer yang merumuskan definisi
hisbah diantaranya adalah Muhammad Mubarak dari Universitas Damaskus:
“Hisbah adalah pengawasan administrasi yang dilaksanakan oleh
pemerintah dengan menugaskan pejabat khusus untuk mengawasi
masalah akhlaq, agama, ekonomi, tepatnya dalam lapangan sosial
secara umum dalam rangka mewujudkan keadilan dan keutamaan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam syariat Islam dan
tradisi yang diakui oleh segala tempat dan zaman.” 26

Ibn Manzur, Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, t.th.). Lihat juga dalam Tahir Ahmad al-Zawi,
Tartib al-Qamus al-Muhit, Juz‟ I, (Riyad: Dar al-„Alam al-Kutub, 1996), h. 637-638, dalam
Halim, Eksistensi Wilayatul Hisbah, h. 66-67.
25
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Cet. III; Mesir: Matba„at
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1973) h. 240. Lihat juga dalam Abu Ya„la al-Farra‟, Al-Ahkam alSultaniyyah, (Cet. III; Mesir: Matba„at Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), h. 284, dalam Halim,
Eksistensi Wilayatul Hisbah, h. 67.
26
Muhammad Mubarak, al-Dawlah wa Nizam al-Hisbah „inda Ibn Taymiyyah, (Cet. I; Beirut: Dar
al-Fikr, 1967), dalam Sa„d „Abdullah Sa„d al-„Arifi, al-Hisbah wa al-Siyasah al-Jina‟iyah, h. 25,
dalam Halim, Eksistensi Wilayatul Hisbah, h. 67.
24

13

Dalam pemerintahan Aceh, Wilayatul Hisbah adalah perangkat
pemerintah Aceh di bidang penegakan pelaksanaan Qanun dan Syariat Islam,
ketentraman, ketertiban umum serta hubungan antar lembaga. 27 Wilayatul
Hisbah mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman
dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah (Qanun), Peraturan
Gubernur,

Keputusan Gubernur,

melakukan

sosialisasi,

pengawasan,

pembinaan, penyidikan, dan pembantuan pelaksanaan hukuman dalam
lingkup Peraturan Perundang-undangan di bidang Syari‟at Islam. 28

27

Pasal 202 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,
Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
28
Pasal 203 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,
Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lihat lebih lanjut terkait tugas dan wewenang
Wilayatul Hisbah dalam qanun ini.

14

BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembentukan Wilayatul Hisbah dalam Pemerintahan Aceh
Wilayul Hisbah atau sering disingkat denga WH dibentuk berdasarkan
Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 1 Tahun 2004
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah. Dalam
Pasal 1 angka 7 menjelaskan bahwa Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang
bertugas

mengawasi,

membina,

dan

melakukan

advokasi

terhadap

pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang syar‟iat Islam dalam
rangka melaksanakan amar ma‟ruf nahi mungkar.29
Keberadaan WH dalam penegakan qanun syar‟iat menurut Waka MS
Langsa30 adalah sangat strategis dan fital. Ia juga merupakan bagian dari
jinayat justice system, oleh karenanya perlu penguatan terhadap status,
struktur, maupun kelengkapan sarana dan prasarana untuk mereka bertugas.
Struktur WH saat ini belum jelas, ada dilebur dibawah Satpol PP ada juga
dibawah Dinas Syari‟at Islam Kabupaten/Kota. Lain lagi menyangkut status
mereka yang masih banyak pegawai honor, dan belum ada yang berstatus
sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sehingga pelanggaran qanun
syari‟at yang dilakukan masyarakat mereka belum bisa melakukan
penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi Wilayatul Hisbah merupakan bagian dari Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP). Hal ini diketahui bahwa dalam praktiknya di Provinsi
Aceh termasuk di Aceh Besar Satpol PP saat ini digabung dengan Wilayatul
Hisbah. Satpol PP dan Wilayatul Hisbah ini merupakan aparatur Pemerintah
Daerah yang melaksanakan tugas membantu kepala daerah dalam memelihara
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat menegakkan qanun, peraturan
29

Acehprov,
"Wilayatul
Hisbah
Bagian
dari
Jinayat
Justice
System",
http://www.acehprov.go.id/news/read/2013/12/04/207/wilayatul-hisbah-bagian-dari-jinayatjustice-system.html, diakses tanggal 10 Oktober 2016.
30
Acehprov, Wilayatul Hisbah.

15

daerah dan keputusan kepala daerah. Sedangkan bagi Wilayatul Hisbah
khusus di bidang Syariat Islam. 31
Dengan demikian, dapat kita katakan di Aceh Besar peran dan tugas
satuan Polisi Pamong Praja lebih luas dibandingkan dengan Wilayatul
Hisbah. Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah. Sedangkan Wilayatul Hisbah hanya
melaksanakan tugas Penegakan Qanun Syariat Islam. Penegakan Syariat
Islam dimaksud adalah dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Qanun Syariat yang hanya berlaku di Provinsi Aceh.
Dalam upaya penegakan Syariat Islam lembaga Wilayatul Hisbah
masih menghadapi berbagai persepsi yang kurang baik. Citra Wilayatul
Hisbah sebagai aparat penegakan Syariat Islam dipandang sama oleh
pelanggar syariat. Padahal sebagai aparat penegakan syariat Islam, Wilayatul
Hisbah seharusnya adalah orang yang punya ilmu agama („alim), tekun
beribadah dan takwa, sudah punya keluarga untuk menahan syahwat,
sehingga mampu bekerja sesuai yang diharapkan dan penegakan Syariat
Islam dapat terus ditingkatkan.
Keberadaan Wilayatul Hisbah akan menjadi partner bagi masyarakat di
Provinsi Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Besar dalam memberantas
maksiat dan menjaga kestabilan kehidupan yang sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan Syariat Islam secara kaffah masih menemui berbagai
hambatan dalam pelaksanaannya. Dalam kenyataannya, Wilayatul Hisbah
seringkali harus menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan
dengan masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat
Islam, yang bermuara pada munculnya konflik atau perselisihan.
Kenyataan ini selanjutnya memunculkan tanggapan negatif terhadap
lembaga Wilayatul Hisbah sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsinya
lembaga Wilayatul Hisbah juga berhadapan dengan berbagai hambatan dan
31

Furqoni dalam Rena Kinnara Arlotas, Gambaran Coping Stres pada Wilayatul Hisbah yang di
Tempatkan di Desa , (Medan: USU Repository, 2010), h. 49.

16

kendala. Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi ini
juga berdampak pada hasil kerja yang masih jauh dari yang diharapkan.
1. Faktor Intern
Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapat
pula dikemukakan beberapa hambatan dalam dari pelaksanaan
tugas dan fungsi lembaga Wilayatul Hisbah dalam upaya
penegakan Qanun Maisir antara lain:
a. Personil Wilayatul Hisbah sangat minim dengan Wilayah Aceh
Besar yang sangat luas dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya; 32
b. Kurangnya sumber daya manusia yang mampu bersosialisasi
secara baik;
c. Kurangnya anggaran operasional dan sarana prasarana;
d. Lambannya penetapan sanksi akibat masih ditemukannya
oknum tertentu yang melindungi pelaku Maisir. 33
2. Faktor Ekstern
a. Dilindungi oleh oknum tertentu;
b. Masyarakat tidak membantu untuk member informasi.

B. Posisi Wilayatul Hisbah dalam Pemerintahan Aceh
Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi,
membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan badan Syariat Islam dalam rangka amar ma'ruf nahi
munkar . Dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Wilayatul Hisbah. Memiliki susunan organisasi yang terdiri atas:
Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilyatul Hisbah Kabupaten atau Kota, Wilayatul
Hisbah

Kecamatan,

dan

Wilayatul

Hisbah

Kemukiman,

bahkan

32

Al Yasa Abubakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja dengan Kewenangan Khusus di
Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2009), h. 28-29.
33
Muhammad Quthb, Sistem Pemikiran Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1984), h. 183.

17

memungkinkan di bentuk di gampong dan lingkungan-lingkungan lainnya. 34
Wilayatul Hisbah dikoordinir oleh Dinas Syariat Islam yang diangkat oleh
gubernur tingkat provinsi, bupati atau walikota ditingkat kabupaten atau kota,
ditingkat kemukiman yang bertugas di gampong-gampong tetap diangkat oleh
bupati atau walikota, pengangkatan Wilayatul Hisbah di berbagai tingkat
terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU).35
Wilayatul Hisbah juga termasuk merupakan satu sistem yang khas dari
berbagai sistem Islam. Ia berdiri tegak di atas landasan tanggung jawab
seorang muslim untuk mencegah keburukan dan membangun tegak kebaikan.
Hisbah sendiri mempunyai beberapa ciri kehakiman dan kekuasaan. Oleh

sebab itu, ia berhak dianggap sebagai bagian dalam lingkungan sistem
kehakiman Islam dan sebagian dari institusi sistem tersebut. Jadi, hisbah
bukanlah suatu yang asing dari sistem kehakiman melainkan seperti yang
telah diungkapkan oleh para fuqaha, yaitu bahwa kedudukan Wilayatul
Hisbah di tengah-tengah antara hukum-hukum kehakiman dan madzalim
(pengadilan).36
Wilayatul Hisbah ini adalah lembaga pembantu tugas (penulis lebih
suka menyebutnya dengan redaksi "mitra") kepolisian di Aceh. Tugas
utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat.
Posisinya adalah sebagai jantung dalam Dinas Syariat Islam. Ia sangat
menentukan berhasil atau tidaknya dinas ini dalam penegakkan syariat 37, atau
tugas keagamaan yang masuk dalam kategori amar ma'ruf nahi munkar .
Tugas ini adalah tugas wajib yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Oleh
sebab itu, penguasa harus merekrut orang-orang yang dipandang cakap dan
kompeten dalam mengemban tugas tersebut.
34

Qanun Nad Nomor 11 Bab VI, Pasal 14 ayat (2), dalam wilayah Kota Banda Aceh baru
terbentuk hanya wilayatul Hisbah kota saja dengan jumlah anggota 45 orang.
35
Abu Bakar, "Penerapan Syariat Islam", http://puslitjaknov.depdiknas.go.id/data/file2008/,
diakses tanggal 3 Oktober 2016.
36
Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid,
2004), h. 78.
37
Hafas Furqani, “Wilayatul Hisbah”, http://www.acehinstitute.org/Frot-html/, diakses tanggal 3
Oktober 2016.

18

Sejarah Islam menyebutkan bahwa hierarki struktural Wilayatul Hisbah
berada di bawah lembaga peradilan. Wilayatul Hisbah bersama dengan
Wilayatul Qadha dan Wilayatul Madzalim berada dibawah qadhi al-qadha

(Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut memiliki peran yang sama, yaitu
sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa dan memberikan
hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas
serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan umum seperti
yang dikenal saat ini. Wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang
dibentuk untuk menangani kasus kesewenangan dan kezaliman pejabat
pemerintah. Sedangkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas
mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan amar ma'ruf nahi munkar secara
umum. 38
Berdasarkan

analisis

penulis

melalui

data-data

yang

berhasil

didapatkan, sudah jelas bahwa posisi wilayatul hisbah secara hierarki
struktural sejarah Islam berada di bawah lembaga peradilan. Keberadaannya
dalam pemerintahan Aceh juga telah dikukuhkan dalam Pasal 244 dan 245
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam
pasal tersebut dipaparkan bahwa wilayatul hisbah adalah bagian dari Satuan
Polisi Pamong Praja yang bertugas menegakkan syariat dalam pelaksanaan
syariat Islam. Kemudian dipertegas kembali bahwa wilayatul hisbah
merupakan bagian dari sistem peradilan syariah sebagai lembaga ekstra
yudisial yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam. Secara eksplisit
pembentukan lembaga ini terdapat dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syari‟at Islam pada Pasal 20 ayat (1). Wilayatul Hisbah ini
secara fungsional berada di bawah koordinasi Dinas Syariah Islam,
sedangkan secara kelembagaan berada di bawah koordinasi Satuan Polisi
Pamong Praja.

38

Furqani, “Wilayatul Hisbah”.

19

C. Peran Wilayatul Hisbah (WH) Sebagai Sebuah Bentuk Kebijakan Politik
Hukum Pemerintahan Aceh
Fungsi hisbah adalah fungsi yang tidak dapat dihilangkan dari struktur
pemerintahan Islam, khususnya dalam sistem penegakan hukumnya. Hal ini
karena fungsi hisbah adalah ekspresi dari karakteristik dan prinsip nilai-nilai
Islam itu sendiri, sehingga manakala fungsi ini dihilangkan maka identitas
keislaman dalam sistem pemerintahan itu dengan sendirinya hilang.
Lebih jauh, peran lembaga ini diharapkan akan menjadi penegak hukum
(law enforcement) dalam penegakan syariat Islam di Aceh secara totalitas.
Hal ini sesuai dengan tugas Wilayatul Hisbah (WH) sebagai badan yang
bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam. 39 Selain itu, fungsi utama dari
lembaga ini berwenang untuk memperingati dan menasehati para pelaku
pelanggaran qanun tersebut. Jika proses tegur atau nasehat terhadap pelaku
tidak terjadi perubahan pada pelaku, maka pejabat WH akan melimpahkan
kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.40 Ironisnya, lembaga ini
tidak mempunyai kewenangan dalam hal penyidikan dan atau penuntutan.
Sementara, realitas para penyidik dan penyelidik tidak mampu
menjalankan fungsinya dalam perkara pelanggaran hukum syariat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kapasitas para penyidik dan
penyelidik yang tidak terlalu paham tentang syariat juga ikut menyebabkan
tidak efektifnya penegakan hukum syariat di Aceh. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh seorang hakim Mahkamah syariah Aceh Armia Ibrahim,
bahwa ada jaksa yang menuntut seorang terdakwa non-muslim dalam kasus
maisir

(judi). Sementara ketentuan hukum (qanun) tersebut hanya

diperuntukkan untuk orang yang beragama Islam. 41
WH perlu diberikan kewenangan lebih besar dalam pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Lembaga ini bukan saja sebagai lembaga “pengawas” syariat,
39

Pasal 1 angka 11 Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang
Aqidah, Ibadah Dan Syi‟ar Islam.
40
Pasal 14 ayat (3) dan (4) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi‟ar Islam.
41
Armia Ibrahim, “Penegak Syariat Islam Salah Memahami KUHAP”, Harian Serambi Indonesia,
12 Maret 2012, h. 8.

20

melainkan juga sebagai lembaga penegak syariat Islam, berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai badan khusus
dalam penegakan hukum syariat, semestinya WH mempunyai kewenangan
secara total, baik dalam hal penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan.
Sehingga kasus-kasus pelanggaran terhadap syariat dapat ditegakkan oleh
pihak yang paham terhadap persoalan dan perkara pelanggaran syariat Islam,
bukan sebaliknya diserahkan kepada lembaga penegak hukum lainnya. 42
Kewenangan penyidikan kasus pelanggaran qanun syariah yang kini
berada pada instansi kepolisian, bersifat sementara. Hal ini disebabkan
adanya rencana ke depan di lingkungan Dinas Syari‟ah Provinsi NAD, bahwa
kewenangan penyidikan kasus-kasus pidana pelanggaran syari‟ah diharapkan
dapat diserahkan kepada Wilayatul Hisbah. Pengalihan wewenang ini terkait
pada persiapan kanun syariah sebagai dasar hukum kewenangan serta
keharusan peningkatan profesionalisme aparat Wilayatul Hisbah untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Reformasi lembaga WH menjadi lembaga independen adalah suatu
keharusan yang mutlak diperlukan, jika penegakan syariat Islam benar-benar
ingin ditegakkan di Aceh. Namun, jika lembaga penegak hukum syariat ini,
hanya sebatas sebagai “pengawas” yang kemudian menjadi bagian dari satuan
polisi pamong praja (SATPOL PP), maka penegak hukum syariat di Aceh
hanya menjadi cerita dongeng saja.
Sudah seharusnya di bawah pimpinan Aceh baru dapat merevitalisasi
peran dari lembaga ini menjadi sebuah lembaga yang mempunyai otoritas
penuh dalam penegakan hukum syariat di Aceh. Sebagai langkah awal
diperlukan sebuah aturan legal formal yang memberikan kewenangan penuh
yang tidak hanya menjadi lembaga pengawas syariat Islam, namun benar
benar menjadi lembaga penegak hukum syariat.
Di samping itu, proses perekrutan WH harus dilakukan dengan berbasis
keilmuan dan moral. Hal ini sebagai upaya preventif terhadap prilaku
beberapa oknum WH yang melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam.
42

Fahmi, Revitalisasi Penerapan Hukum, h. 302.

21

Selama ini proses perekrutan WH adalah dipersamakan dengan model
perekrutan tenaga satpol PP, bahkan sebagian mereka adalah tenaga kontrak
dan honorer. Artinya sebagian besar dari anggota WH adalah para pencari
kerja, bukan yang mempunyai landasan pengetahuan tentang penegakan
syariat secara komprehensif dan totalitas.

D. Legal

Product

di

Wilayatul

Hisbah

Sebagai

Dasar

Hukum

Pelaksanaannya
Wilayatul Hisbah tidak semata-mata hadir tanpa penguatan dari aspek
yuridis. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Wilayatul
Hisbah dibanetuk dengan berdasar pada beberapa pertimbangan baik dari segi
yuridis maupun kultural. Dari segi kultural, wilayatul hisbah memang sudah
dikenal sejak zaman para sahabat Nabi yang menerapkan sistem hukum
Islam. Sedangkan dari segi yuridis, ditilik dari legal produk yang berhasil
melakukan pembentukan Wilayatul Hisbah. Dasar hukum pembentukannya
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh.
3. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
4. Keputusan Gubernur Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Organisasa dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah.
Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja di dalam tatanan Pemerintahan
Negara Republik Indonesia sebelumnya sudah sejak tahun 1950 dan berada di
bawah Departemen Dalam Negeri, sedangkan Wilayatul Hisbah merupakan
satu-satunya unsur penegak Syariat Islam yang ada di Indonesia dan
keberadaannya di Aceh merupakan implementasi dari lahirnya Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam.
Penggabungan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah dalam satu
wadah organisasi adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 11

22

Tahun 2006 Pasal 244 ayat (1) dan (2) .43

E. Potret Implementasi Hukum dalam Pelaksanaan Wilayatul Hisbah
Sebagai Bagian dari Prinsip Good Corporate Governance
Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari prinsip Good Corporate
Governance memiliki suatu rencana strategis sebagai penggambaran

perencanaan program dan kegiatan. Penyusunan Rencana Strategis ini dalam
rangka memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Nomor 8 Tahun
2008 tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan Qanun Aceh Nomor 12
Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
(RPJMA) 2012-2017.
Rencana Strategis tahun 2012-2017 menggambarkan perencanaan
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun,
dalam rangka mendukung visi misi Pembangunan Aceh pada kurun waktu
tersebut dengan memperlihatkan konsistensi antara rumusan rencana
program/kegiatan, anggaran, sumber daya strategis, serta sarana dan
prasarana.44 Penyusunan Renstra ini berfungsi sebagai penentu arah kebijakan
perkembangan program/kegiatan dalam peningkatan kinerjanya sehingga
mampu menjawab tuntutan perkembangan dan perubahan lingkungan
strategis, baik lokal regional, nasional maupun global, yang selanjutnya
diharapkan pula mampu eksis, unggul dan berdaya saing tinggi menuju
perubahan ke arah perbaikan secara sistematis. 45
Pegawai yang ada sampai saat ini berjumlah 1075 orang, terdiri dari 75
orang berstatus Pegawai Negeri Sipil, dan 1000 orang Pegawai Kontrak.
43

Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).
44
Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).
45
Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).

23

Dengan kualifikasi pendidikan S-2 5 orang, S-1 63 orang, SMU 1007 orang.
Adapun jumlah pegawai yang memiliki pangkat Golongan II 6 orang,
Golongan III 61 orang dan Golongan IV sebanyak 8 orang. Pendidikan dan
Pelatihan Teknis yang telah diikuti oleh pegawai negeri pada Satuan Polisi
Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh, yaitu Diklat PPNS, Diklat PIM IV
dan Diklat PIM III. Berdasarkan pemaparan di atas, secara kuantitatif
Pegawai Negeri di instansi Satpol PP-WH Aceh cukup memadai, namun
secara kualitatif masih terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas
sumber daya PNS kedepan melalui diklat-diklat teknis, seperti diklat
struktural, fungsional dan diklat teknis lainnya. 46
Di antara tantangan-tantangan bagi Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah Aceh dalam menjalani tugas dan fungsinya adalah: 47
1. Bermunculan badan usaha tanpa izin dan penimbunan BBM;
2. Kurangnya koordinasi dengan pemuka ulama di kabupaten/kota
untuk mencapai persamaan persepsi terhadap pelaksanaan Qanun
Syariat Islam;
3. Adanya pelanggaran Perda, qanun kebijakan Pemerintah Daerah
dalam masyarakat;
4. Adanya pemahaman masyarakat terhadap tugas fungsi Satpol PPWH yang kurang komunikatif dan persuasif.
5. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tugas dan
fungsi Satpol PP-WH disebabkan beberapa kasus yang terjadi dalam
masyarakat yang melibatkan oknum Pol PP-WH.

Diantara peluang-peluang Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul
Hisbah Aceh sebagai perangkat pemerintah yang dapat menunjang Program
pembangunan Aceh ke depan adalah sebagai berikut:

46

Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).
47
Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).

24

1. Adanya dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya
meningkatkan penegakan Perda dan Qanun Syariat Islam.
2. Adat Istiadat Aceh yang menjunjung tinggi norma-norma dan nilainilai keagamaan;
3. Hubungan dan pola pembinaan yang baik dengan Kabupaten/Kota
serta

instansi

pembina

Departemen

Dalam

Negeri

dalam

penyelenggaraan tugas dan fungsi Satpol PP-WH;
4. Kebijakan Syariat Islam di Provinsi Aceh menjadi prioritas
pembangunan daerah;
5. Adanya peluang pengembangan Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul

Hisbah

sesuai

dengan

kebutuhan

kompetensi

jabatan/pekerjaan aparatur di pemerintah daerah Provinsi Aceh;
6. Kewenangan otonomi khusus yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh. 48

Strategi adalah cara untuk mewujudkan tujuan dirancang secara
konseptual, analitis, realistis, rasional, dan komprehensif yang nantinya
diwujudkan dalam kebijakan dan program. Adapun strategi yang ditempuh
untuk tercapainya visi dan misi adalah:49
1. Penempatan aparatur sesuai dengan bidang keahliannya;
2. Peningkatan kualitas SDM (Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah);
3. Tersedianya sarana dan prasana kerja yang menunjang tugas pokok
dan fungsi;
4. Peningkatan koordinasi, baik internal maupun ekternal dengan
instansi terkait;
5. Mengembangkan sistem pembinaan ketentraman dan ketertiban
dengan Kabupaten/Kota;

48

Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).
49
Pemerintah Aceh, Rencana Strategis Tahun 2012-2017 Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah, (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2014).

25

6. Meningkatkan sosialisasi syariat Islam baik di kalangan aparatur
pemerintah; daerah maupun di tengah-tengah masyarakat secara
umum.

Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh Satuan Polisi
Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh untuk mencapai tujuan. Kebijakan
yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan sistem ketentraman dan ketertiban yang handal,
operasional, fokus, berkelanjutan dan tuntas, partisipaif dan
akuntabel;
2. Meningkatkan pengawasan terhadap Peraturan Daerah (Qanun),
Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur;
3. Melakukan sosialisasi penerapan Syari‟at Islam ke segenap lapisan
masyarakat, baik di kalangan aparatur pemerintah daerah, maupun
masyarakat Aceh secara keseluruhan.
4. Memperbaiki sistem serta meningkatkan sarana dan prasarana yang
mendukung tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul
Hisbah sesuai dengan perkembangan IPTEK terutama di bidang
ketentraman dan ketertiban;
5. Meningkatkan sumber daya aparatur (Satuan Polisi Pamong Praja
dan Wilayatul Hisbah) secara optimal melalui peningkatan
profesional, produktivitas dan berakhlakul karimah (Cerdas, kreatif,
disiplin, dan tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme);
6. Mengupayakan draf Qanun tentang Satpol PP-WH, PPNS dan
petunjuk teknis petugas di lapangan.
7. Meningkatkan sistem koordinasi dengan instansi terkait.50

50

Pemerinta