Epistimologi Dan Metodologi dan teknik

Epistimologi Dan Metodologi
PENDAHULUAN
Salah satu bagian yang paling penting dari ilmu pengetahuan adalah kajian epistimologi
mengenai keberadaan suatu ilmu. Kajian mengenai epistemologi bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat ilmu,
epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
dari objek yang ingin dipikirkan.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai
jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah
pertanyaan, diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah
masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?. Masalah inilah
yang pada ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi. Setiap jenis pengetahuan memiliki
ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi),
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan saling
memiliki keterkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. (Suriasumantri, 2007:105)
Epistemologi merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan
pandangan hidup seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik
itu sifat dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Konsep ilmu

pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir
melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat
penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan
banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian,
sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun
struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri
berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan
keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah
pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas
akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian
sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai
aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini
masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal
dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan
keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan

kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang

berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu
disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan
dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John
Locke di Inggris. (Hardono, 1997: 35)
Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institute of Metaphysics
pada tahun 1854 M dengan tujuan membedakan antara 2 cabang filsafat yaitu
epistemologi dengan ontologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal
mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan (Buku Unsur-Unsur Filsafat,
Louis Kattsoff).
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan,
sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik.
Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Dalam Bahasa Inggris epistemologis disebut sebagai The
Theory of Knowledge dan dalam bahasa Indonesia epistemologi disebut filsafat
pengetahuan.
Epistemologi is one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature,
sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about those topics, but
one virtually universal presupposition is that knowledge is true belie, but not mere true
belief (Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, 2003)

Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika
dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal
pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Jadi epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang
memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal
apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya,
cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Begitu luasnya tentang Epistemologi, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai
Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah (ilmu) serta
metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit
untuk menyatakan yang satu lebih penting dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita
membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya,
cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan.

Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang cukup signifikan bahwa aktivitas

berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu
mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.

BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Epistimologi
Ada beberapa pengertian mengenai epistimologi yang diungkapkan para ahli yang
dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami apa sebenarnya epistimologi itu.
Secara sederhana epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti
teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam
kajian Epistemologi, kajian mengenai kebenaran haruslah haruslah objektif sehingga
siapapun akan mendapatkan paham yang sama pada saat memandang sebuah
masalah dan solusi dari masalah tersebut. Kajian mengenai relativistik mungkin saja
masuk dalam ranah ini namun dalam pandangan ilmu pengetahuan, seluruh pengamat
adalah benar hanya saja melihat dari sisi yang berbeda, oleh karean itu ketika sudut
pandang dari setiap pengamat disamakan akan muncul sisi yang sama.
Pengertian lain, mengenai epistemologi menyatakan bahwa epistimologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan atau lebih

menitikberatkan pada sebuah proses penecarian ilmu: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan
metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian
ilmu.
Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaianpengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan
bahwa orang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert D.Runes.
Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber,
struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra
menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian,
pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.


Ruang Lingkup Epistemologi
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur,
macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin
menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah
ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikat-nya, bagaimana membangun
ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan
masalah benarnya ilmu.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas
pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptualfilosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan
mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek
lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang
mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan
epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan,
bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih
lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seseorang

cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai
metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil
pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif
maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian
dari cakupan wilayah epistemologi.
Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwayang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat
manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yangada).
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran,
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi
tidak terarah sama sekali.

Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi
untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini

menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan.
Landasan Epistemologi
Kholil Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary
knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan
pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman
sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan
ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah
pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang
menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar
sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju
ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang
bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai
dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan
logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan
termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua

pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang
melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti
semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran
yang lainnya secana inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis.
Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut:
1.

Teori Korespondensi
Teori pertama adalah teori korespondensi, the correspondence theory of truth
yang kadang disebut the accordance theory of truth. Menurut teori mi, kebenaran
atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.52Dengan demikian, kebenaran epistemologis
adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan itu dikatakan

benar apabila di dalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan
pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek

dengan apa yang ada di dalam objek.
Hal itu karena puncak dan proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau
pikiran manusia (intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang
terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di
dalam objek. Teori korespondensi mi pada umumnya dianut oleh para pengikut
realisme. Di antara pelopor teori korespondensi mi adalah Plato, Aristoteles,
Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski.54 Teori mi dikembangkan oleh Bertrand
Russell(1872-197O).
Seseorang yang bernama K. Roders, seorang penganut realisme kritis Amerika,
berpendapat, bahwa: keadaan benar mi terletak dalam kesesuaian antara “esensi
atau arti yang kita berikan” dengan “esensi yang terdapat di dalam objeknya”
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah realitas itu objektif
atau subjektif? Dalam hal ini ada dua pandangan realisme epistemologis dan
idealisme epistemologis. Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat
realitas yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dan pemikiran; dan kita
tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya.
Itulah sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Dengan
perkataan lain: realisme epistemologis atau objektivitisme berpegang kepada
kemandirian kenyataan, tidak tergantung pada yang di luarnya. Sedangkan
idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan mengetahui

berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif
.
2. Teori Koherensi
Tentang Kebenaran Teori yang kedua adalah teori koherensi atau konsistensi, the
consistence theory of truth, yang sering pula dinamakan the coherence theory of
truth. Menurut teori mi kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaltu fakta atau realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain, kebenaran
ditegakkan atas hubungan antara puiusan yang baru itu dengai putusán-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlenih dahulu.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang Iainnya saling
berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah
rumusan: Truth is a systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan
yang sistematis; Truth is consistency kebenaran adalah konsistensi dan
kecocokan. Apabila teori korespondensi dianut oleh penganut realisme dan
materialisme, teori konsistensi atau koherensi mi berkembang pada abad ke-19

dibawah

pengaruh Hegel dan

diikuti oleh pengikut mazhab

idealisme.

Seperti filsuf Britania F. M Bradley (18641924).61) Idealisme epistemologi
berpandangan bahwa objek pengetahuan, atau kualitas yang kita serap dengan
indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dan kesadaran tentang objek tersebut.
Itulah sebabnya teori ini sering disebut subjecktivisme.
Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang
kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila
mendapat penyaksianpenyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan
Iainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.
3.

Teori Pragmatisme
Tentang Kebenaran Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the
pramagtic (pramagtist) theory of truth. Pramagtisme berasal dan bahasa Yunani
pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan
bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut
filsafat ml benar tidaknya suatu ucapan, dali!, atau teori semata mata bergantung
kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan
akan
dikatakan
salah
jika
tidak
mendatangkan
manfaat.

Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada
akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila Ia mempunyat
nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh
akibat- akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
.
4. Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia ada!ah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia;
baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran
sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam
agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dan Tuhan.
.
Dengan demikian, suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran
agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. OIeh karena itu, sangat
wajar ketika Imam Al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan
akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya Al- Ghazali sampai pada
kebenaran yang kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang
amat panjang dan berbelit.

Tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu.
Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai
kebenaran mutlak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi.
Namun Al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran.
Akhirnya kebenaran yang di dapatnya adalah kebenaran subjektif atau intersujektif.
1.2 METODOLOGI

Metodologi atau methodology dalam bahasa Inggris, diserap dari bahasa
Perancis “méthodologie” yang berasal dari bahasa Latin modern “methodologia” yang
tersusun dari kata Latin “methodos – logia” (merriam-webster). Beberapa pendapat juga
mengemukakan bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari kata
“methodos – logos“. Dengan penambahan leksem “logia atau logos” menunjukkan
pengertian “yang bersifat ilmiah” atau menunjuk pada ilmu itu sendiri.
Dalam bahasa Indonesia, memahami pengertian metode merupakan hal yang harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum beranjak pada definisi metodologi. Hal ini bertujuan
untuk menyelaraskan kerangka pikir dan memberi pijakan untuk melangkah ke tahap
selanjutnya secara sitematis. KBBI menerangkan bahwa metodologi terdiri dari lima
suku kata “me-to-do-lo-gi” yang memiliki pengertian “ilmu tentang metode atau uraian
tentang metode”.
Sebagai sebuah kerangka ilmiah, metodologi mengedapankan keahlian peneliti
dalam menguji relevansi sebuah metode, apakah tetap digunakan atau sebaliknya,
kemudian menentukan metode lain yang relevan dengan penelitian. Sedangkan
sebagai sebuah proses, metodologi berhubungan dengan cara kerja dan atributatributnya. Dan dari keseluruhan cara kerja tersebut, didahului dengan pertanyaan
mendasar, yaitu: “untuk apa sebuah penelitian dilakukan?”. (Nyoman Kutha Ratna,
2010)

BAB II
KESIMPULAN

Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan
diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik,
sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta
mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan
teruji kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu
pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang
sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah
adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir
deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis
dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode
ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan
kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
(1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan
eksistensial);
(2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah
(ilmu);
(3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis
(filsafat).

_________________

DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Abbas, 1997, Epistemologi Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Hardono, Hadi, 1997, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:Kanisius.
Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
Lubis, Mochtar, 1978, Manusia Indonesia, Jakarta: Yayasan Idayu.
Nasution, Andi Hakim, 1988, Pengantar Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Suriasmantri, Jujun S. , 2000, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Watloly, Anoliab, 2005, Tanggung Jawab Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara
Kultural ,Yogyakarta : Kanisius