Desentralisasi dan Pembangunan pendidikan indonesia

Desentralisasi dan Pembangunan
Oleh, Ahmad Sugiyono
Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yakni de yang berarti lepas dan centrum yang
berarti pusat. Sehingga desentralisasi bisa diartikan melepaskan dari pusat. Desentralisasi dalam
prakteknya dinegara-negara berkembang menurut Cheema dan Rondinelli (1983 : 14) (can be
means of overcoming the severe limitations of centrally controlled national planning by
delegating greater authority for development planning and management to officials who are
working in the field, closer to the problems) dapat menjadi sarana untuk mengatasi keterbatasan
perencanaan nasional yang dikontrol oleh pusat dengan mendelegasikan kewenangan yang lebih
besar untuk perencanaan pembangunan dan manajemen kepada para pejabat yang bekerja di
lapangan, dan lebih dekat dengan permasalahan. Sehingga Desentralisasi dalam konteks regional
atau lokal memungkinkan petugas/pegawai untuk membuat sendiri rencana pembangunan secara
terpisah dan melaksanakan dan program-program sesuai kebutuhan yang berbeda-beda ditiap
kelompok.
Cheema dan Rondinelli (1983 : 18) menyimpulkan beberapa hal mengenai desentralisasi
dan pembangunan. Mereka berpendapat kebijakan desentralisasi terbagi atas empat bentuk.
Pertama, Deconcentration, yaitu pengalihan kewenangan (dan tanggung jawab) administrasi
dalam suatu departemen. Kedua, Delegation to semi-autonomous or parastatal agencies, yaitu
pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi diluar struktur
birokrasi pemerintah dan dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Ketiga,
Devolution to local government, yaitu pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah

ditingkat lokal oleh pemerintah pusat. Dan keempat, transfer of functions from public to non-

government institutions, (biasa juga disebut dengan privatisasi) yakni pelepasan tanggung jawab
kepada organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) atau perusahaan-perusahaan swasta.
Desentralisasi dapat efektif jika agen dan aktor-aktor pada level regional dan lokal telah
membangun suatu kapasitas dalam efektivitas perencanaan, pembuatan kebijakan, dan fungsi
manajemen yang secara formal diberikan kepada mereka. Kefektifan sebagai partisipan dalam
sistem desentralisasi tergantung dari kemampuan organisasi lokal dalam mengidentifikasi
permasalahan dan kesempatan pembangunan, mengidentifikasi atau menciptakan solusi terhadap
permasalahan

pembangunan,

membuat

kebijakan

dan

menyelesaikan


konflik-konflik,

memobilisasi sumber daya, mengatur program dan proyek pembangunan.
Keberhasilan implementasi dari desentralisasi membutuhkan beberapa kerjasama dan
koordinasi agen-agen nasional, regional, dan lokal. Untuk mencapai keberhasilan tersebut,
prosedur perencanaan, pengimplementasian dan evaluasi harus ada standarisasi sehingga agenagen pada level yang berbeda dapat berkoordinasi. Fungsi-fungsi tersebut harus dialokasikan
agar mendapat keuntungan bagi penguatan agen-agen di berbagai level pemerintahan.
Analisis
Dalam konteks Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Indra J Piliang, et al (2003 :
83), salah satu pendorong program desentralisasi di Indonesia adalah pengalaman kebijakan
pembangunan dimasa Orde Baru yang sentralis dan tidak didasarkan pada kondisi lokal.
Akibatnya, terjadi kesenjangan antara daerah-daerah kaya dengan daerah-daerah miskin, antara
Jawa dengan Luar Jawa, serta antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia
Timur. Oleh karena itulah kemudian sejak era reformasi 1998, upaya pemerataan pembangunan
salah satunya dilakukan melalui pembentukan daerah-daerah.

Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang
mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat ke pemerintah
daerah. Titik pusat inovasipun beralih ke tingkat daerah, dimana pemerintahnya memiliki lebih

banyak kewenangan untuk membuat perubahan (baik yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah
negara dengan populasi 220 juta jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan
wewenang ini merupakan potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan layanan
publik. Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998, termasuk lengsernya
Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999 tentang Desentralisasi dan
Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar yang diperlukan bagi program desentralisasi
administratif, keuangan dan politik. Pada tahun 2001, serangkaian kebijakan dan perundangan
nasional diberlakukan sehingga desentralisasi menjadi suatu realitas.
Secara umum, tujuan desentralisasi yang demokratis dalam konteks pemerintah menurut
Smith (1985) salah satunya adalah pendidikan politik bagi masyarakat, pelatihan kepemimpinan
bidang politik yang lebih besar bagi pemerintah daerah, dan adanya kesempatan bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik.
Untuk itu pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan isolasionisme kedaerahan. Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) adalah satu kesatuan politik
(political unity) yang harus saling memperkuat. Dengan demikian, pemberian desentralisasi tidak
boleh menimbulkan kelemahan pada Pemerintah Pusat atau menimbulkan egoisme teritorial
yang sempit.