konservasi penyu lekang

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap kawasan konservasi memiliki sejarah pembentukan yang berbeda-beda.
Masing-masing mempunyai tujuan tersendiri yang mungkin tidak sama antara satu
dengan yang lainnya. Sebagai contoh Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan
sebagai kawasan konservasi untuk perlindungan habitat Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus), Taman Nasional Komodo sebagai habitat Komodo (Varanus
komodoensis), Cagar Alam Pagerwunung Darupono di Kendal Jawa Tengah untuk
perlindungan jati alam.
Sejarah mengenai kawasan konservasi merupakan hal penting yang perlu
diketahui, Simon, (2004) menuliskan bahwa sejarah merupakan salah satu sumber
informasi yang penting artinya untuk evaluasi dan perencanaan serta rekayasa
pengelolaan ke depan. Jadi dengan mempelajari sejarah kawasan konservasi
diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi ke arah yang lebih
baik di masa mendatang.
Mengkaji sejarah perkembangan
Tengah


kawasan konservasi di Provinsi Jawa

tidak terlepas dari pengaruh pemerintahan kolonial Belanda. Kegiatan

konservasi sendiri merupakan perkembangan dari preservasi. Sejarah ide preservasi
lahir di Eropa kemudian berkembang menjadi konservasi dengan prinsip
pemanfaatan di Amerika. Meski demikian, Indonesia juga terkena imbasnya,
terutama pada masa Kolonial Belanda. Para naturalis Belanda juga mempunyai rasa
memiliki terhadap alam Indonesia yang kaya dengan aneka ragam flora dan fauna.

1

Hal ini terbukti dengan perlawanan para naturalis tersebut terhadap berbagai
kebijakan kolonialis yang merusak alam, seperti perdagangan burung Cendrawasih
yang tidak terkontrol. Para naturalis Belanda seperti M.C Piepers dan P.J Van
Houten terus melakukan tekanan terhadap pemerintah kolonial Belanda agar peduli
mengenai laju kepunahan cendrawasih, dan akhirnya membuahkan hasil, yaitu
Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels
(Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar) yang
dikeluarkan pada tahun 1910. Tepat pada tanggal 22 Juli 1912 di Buitenzorg

(Bogor), para naturalis ini sepakat mendirikan perkumpulan ini didirikan dengan
nama ”Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda” (Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming) dengan diketuai oleh Dr. SH Koorders,
Mereka juga merintis pendirian kawasan perlindungan seperti cagar alam
(Natuurmonument) di Depok (Yudhistira, 2011).
Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1916 telah menerbitkan
Natuurmonumenten-Ordonnantie (Peraturan tentang Monumen Alam). Peraturan
ini menjadi landasan hukum penunjukkan kawasan cagar alam di wilayah Hindia
Belanda. Ada 43 monumen alam yang ditunjuk sekitar tahun-tahun tersebut.
Taman Nasional Ujung Kulon misalnya, telah ditetapkan sebagai Monumen Alam
pada tahun 1921 (Jepson & Whittaker, 2002). Tonggak sejarah baru dimulai pada
1932, Natuurmonumenten En Wildreservaten Ordonnantie Stbl 17 Th 1932 atau
Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.

 



Dalam perkembangannya, hingga tahun 2010 pemerintah Indonesia telah
menunjuk tak kurang 521 unit kawasan konservasi, dengan luasan mencapai lebih

dari 27,2 juta hektar dengan berbagai tipe ekosistem. Jumlah dan luasan kawasan
konservasi ini sudah berkurang dari tahun sebelumnya yang mencapai 28 juta
hektar lebih (Ditjen PHKA, 2011).
Di Propinsi Jawa

Tengah terdapat

38 kawasan konservasi dan 25 di

antaranya merupakan tinggalan dari Belanda dan kawasan konservasi tersebut
memiliki ukuran yang bervariasi dari 0,5 ha sampai 11.000 ha. Kawasan konservasi
ini tersebar tidak merata dan terkonsentrasi di beberapa tempat dan menyisakan
daerah kosong di tempat lain.
Jepson

(2002)

menuliskan

bahwa


kegiatan

konservasi

pada

masa

pemerintahan kolonial Belanda dipengaruhi oleh kegiatan konservasi dunia
internasional pada masa itu. Sejumlah publikasi mengenai sejarah lingkungan
(termasuk kehutanan) Indonesia dari Proyek EDEN (Ecology, Demography, and
Economy in Nusantara) membuka wawasan akan isu-isu menyangkut hubungan
manusia-lingkungan di Indonesia. Karya yang disunting Peter Boomgaard, David
Henley and Freek Colombijn Paper Landscapes: Explorations in the Environmental
History of Indonesia (Leiden: KITLV Press, 1997) telah memberi banyak
sumbangan. Dari proyek EDEN juga telah terbit beberapa monografi penting
mengenai sejarah lingkungan. Penggalakan kajian sejarah lingkungan memberikan
wawasan yang lebih mendalam atas persoalan lingkungan yang dihadapi pada masa
kini dalam rangka mencari pemecahan yang komprehensif (Nawiyanto, 2011).


 



Penelitian mengenai perkembangan sejarah kawasan konservasi masih sangat
sedikit, sebagian besar hanya membahas sejarah kehutanan secara umum, seperti
Sejarah Kehutanan Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan
(sekarang Kementerian Kehutanan) pada tahun 1986 yang hanya sedikit sekali
mengulas masalah sejarah konservasi. Ini terlihat hanya beberapa penulis lokal
dan luar yang mengulas mengenai sejarah konservasi di Indonesia seperti
contohnya Nancy Pelluso

menulis mengenai

The History of State Forest

Management in Colonial Java pada tahun 1991. Beberapa tulisan yang tercatat
dan yang saat ini dapat ditemukan yaitu Sejarah Kawasan Konservasi Indonesia
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan serta

tulisan tulisan lepas yang dibuat oleh Walman Sinaga dan Ir. Herman Soewardi
dalam buku Menyongsong Kehadiran Taman Nasional di Indonesia: Makna dan
Manfaat dan Pengelolaan yang diterbitkan oleh Direktoral Jenderal Kehutanan,
1978. Beberapa penulis

asing yang juga menyumbangkan tulisan mengenai

sejarah konservasi adalah Paul Jepson dan Robert J.Whitakerr dalam Histories of
Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their
Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia) pada tahun 2002, sebelumnya J.H
Westerman juga menulis Wild Life Conservation In The Netherlands Empire, Its
National And International Aspects. Selain itu tulisan yang sangat berharga
disumbangkan oleh Peter Boomgaard, David Henley and Freek Colombijn Paper
Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden:
KITLV Press, 1997)

 




B.

Permasalahan

Provinsi Jawa Tengah terletak pada koordinat 8º 30' - 5º 40' LS dan 108º 30'
- 111º 30' BT (termasuk Kepulauan Karimunjawa) dengan batas utara adalah Laut
Jawa, batas barat Propinsi Jawa Barat batas Timur Propinsi Jawa Timur dan batas
selatan adalah Samudera Hindia.
Luas kawasan konservasi yang ada di Provinsi Jawa Tengah saat ini adalah
seluas 13.918,56 dengan total jumlah kawasan 38 kawasan konservasi dengan
luasan mulai 0,5 ha (CA Wijaya Kusuma) sampai dengan 111.625 ha (TN
Karimujawa & BKSDA Jawa Tengah, 2011).

Prosentase Luas kawasan

konservasi di Provinsi Jawa Tengah hanya 2,14 % dari total kawasan hutan di
propinsi tersebut yaitu 650.836,12 ha (tanpa menghitung kawasan perairan),dan
apabila dibandingkan dengan luas wilayah provinsi maka luas kawasan konservasi
tersebut hanya 0,47 % dari luas total Provinsi Jawa Tengah.
Provinsi Jawa Tengah ini mempunyai nilai yang penting. Secara iklim

menunjukkan suatu peralihan yang menarik antara kawasan bagian barat Pulau
Jawa yang basah dengan bagian timur yang kering. Kawasan ini juga merupakan
jembatan bagi mobilitas spesies yang mempunyai cakupan sebaran populasi di
seluruh Pulau Jawa (Hermawan , 2002).
Berbagai tipe ekosistem hutan yang dapat dijumpai mulai ekosistem
pegunungan sampai ekosistem pantai serta ekosistem laut, beberapa telaga juga
dijumpai di sini. Dominasi hutan yang ada adalah hutan produksi yang dikelola
oleh Perhutani dengan jenis vegetasi utama jati dan mahoni. Kepadatan penduduk

 



di Provinsi Jawa Tengah 994,9 jiwa/km² (statistik Jawa Tengah, 2010)
menjadikan kawasan ini mempunyai tekanan penduduk yang sangat tinggi dan
mempengaruhi keutuhan hutan di wilayah ini. Hutan yang tersisa terpisah-pisah
dalam bentuk fragmen-fragmen kecil terutama di daerah pegunungan.
Selain mempermasalahkan tingginya tekanan terhadap kawasan konservasi,
pertanyaan juga ditujukan pada desain kawasan konservasi yang ada. Seperti telah
disebutkan di atas, kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah memiliki luasan

kecil-kecil. Lokasi kawasan konservasi tersebar tidak merata dan hanya
terkonsentrasi di beberapa kabupaten saja dengan hanya melindungi beberapa tipe
ekosistem saja. Pemerintah Kolonial Belanda yang memulai penujukan kawsasan
konservasi di Provinsi Jawa Tengah yang kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah
Indonesia pada saat itu tentunya memiliki alasan mengapa menunjuk kawasan
konservasi dengan luasan kecil-kecil di Provinsi Jawa Tengah dan terisolasi antara
satu dengan lainnya mengingat kawasan konservasi yang kecil tersebut rentan
menghadapi kepunahan.
Lamanya pendudukan Peran Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek, tidak terkecuali dibidang konservasi.
Bagaimana pengaruh Belanda terhadap kawasan konservasi di Jawa, apakah
Belanda juga mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kawasan
konservasi dan apakah Pemerintah Indonesia masih melanjutkan sistem yang
digunakan oleh Kolonial Belanda merupakan bahasan yang sangat menarik untuk
diteliti mengingat kawasan konservasi termasuk dalam bagian kehutanan.

 




Melihat hal tersebut pengkajian sejarah penunjukan kawasan konservasi di
Provinsi Jawa Tengah menjadi hal yang sangat penting untuk melihat kembali
pengelolaan kawasan konservasi yang telah dilakukan mulai dari masa kolonial
Belanda (1919) sampai saat ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. apa yang mendasari penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa
Tengah?
2. Bagaimana peran Kolonial Belanda dan Pemerintah Indonesia pada
penunjukkan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah
3. Bagaimana persebarannya dan luasan kawasan konservasi di Provinsi
Jawa Tengah.
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.

Menyusun periodesasi sejarah penunjukan kawasan konservasi di Provinsi
Jawa Tengah sejak masa kolonial Belanda sampai dengan saat ini.

2.


Menganalisa faktor-faktor yang berperan dalam penunjukan kawasan
konservasi di Provinsi Jawa Tengah.

3.

Mengetahui pola sebaran dan luasan kawasan konservasi di Provinsi Jawa
Tengah.

 



D. Manfaat
1.

Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini merupakan data sejarah mengenai sejarah perkembangan
kawasan konservasi yang ada di Provinsi Jawa Tengah.

2.

Manfaat bagi praktisi
Masukan bagi instansi terkait sebagai pengelola kawasan koservasi dalam
mengelola kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah.

E. Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi hanya pada fase-fase penunjukan kawasan konservasi
di Provinsi Jawa Tengah dan sejarah kawasan konservasi secara umum.