Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkua
MAKALAH
PENDIDIKAN NILAI DAN PEMBELAJARAN BERKUALITAS
Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Tugas
Pendidikan Nilai dalam Kimia
Dosen : Dr. Wawan Wahyu, S.Pd, M.Si
KHOMSATUN ROKHYATI
Nim. 1302181
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
BAB I
0
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 pasal 3,
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi dasar dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Dewasa ini, problem remaja terutama pelajar dan mahasiswa adalah mudah marah
dan terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada tawuran antar pelajar atau
tawuran antar mahasiswa seperti yang sering diberitakan di media massa.
Penyalahgunaan obat-obat terlarang dengan berbagai jenisnya, bahkan stigma pelajar
saat ini diperparah oleh perilaku penyimpangan sosial yang mereka lakukan dalam
bentuk pergaulan bebas (free sex, aborsi, homoseksual, lesbian dan sebagainya). Mereka
juga terkesan kurang hormat kepada orangtuanya, guru (dosen), orang yang lebih tua dan
tokoh masyarakat. Fenomena bangsa ini dapat diilustrasikan sebagai sosok anak bangsa
yang berada dalam kondisi split personality (kepribadian yang pecah, tidak utuh).
Kasus akhir-akhir ini menjadi berita hangat adalah kasus Seorang Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas Hasanuddin Prof Musakkir yang ditangkap polisi di kamar hotel bersama
seorang orang mahasiswi yang tengah berpesta sabu pada Jumat (14/11) dini hari. Penangkapan
pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas ini tentulah
mengejutkan banyak pihak. Hal ini semakin membuktikan bahwa hasil pendidikan hanya
menghasilkan manusia yang mempunyai kemampuan akademik tinggi namun tidak berkarakter.
Berdasarkan hasil studi longitudinal Nasional terhadap kesehatan remaja tahun
1997, yang mewawancarai lebih dari 12.000 siswa kelas tujuh sekolah menengah atas
lintas negeri dan sekolah-sekolah pemasoknya di Amerika, mengidentifikasi dua “faktor
pelindung” yang cenderung mencegah para remaja terlibat dalam perilaku berisiko ini.
Yang paling penting adalah keterikatan dengan keluarga, perasaan dekat dengan orang
tua dan keterikatan dengan sekolah, perasaan dekat dengan orang-orang di sekolah
(Resnick dkk dalam Lickona, 2014).
Studi lain yang dilakukan oleh Bonnie Benard tahun 1993 (dalam Lickona, 2014)
menunjukkan anak-anak yang ulet, biasanya memiliki empat kekuatan: kompetensi sosial,
keahlian memecahkan masalah, kesadaran akan identitas dan harapan pada masa depan.
1
Anak-anak seperti itu, dalam menjelaskan bagaimana mereka mengatasi berbagai
rintangan dalam kehidupan, sering mengutip seorang “guru istimewa” yang bukan hanya
sekedar instruktur akademik tetapi juga seorang yang dipercaya dan model peran yang
mengilhami.
Menurut Bill Rose dalam Ratnawangi (2004), guru yang galak, merupakan ciri umum
guru-guru di Indonesia. Mereka jarang sekali memberi pujian kepada anak, tetapi lebih
banyak mengkritik dan memarahi anak. Seringkali terjadi guru mempermalukan anak di
depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Selain itu, adanya sistem
perangkingan sejak kecil, berhubung hanya segelintir anak yang masuk rangking, maka
sebagian besar anak sudah divonis bodoh sejak kecil. Hal ini menyebabkan anak-anak
Indonesia menjadi individu-individu yang tidak mempunyai percaya diri, minder, atau
malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Inilah mungkin yang menjadi salah satu
penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia menjadi nomor 4 terburuk di Indonesia.
Sikap guru yang demikian juga dikarenakan kesalahan sistem pendidikan yang hanya
semata-mata berorientasi mengejar keberhasilan akademik yaitu sistem yang mengejar
target kurikulum. Selain itu banyak juga guru yang tidak peduli dengan pembentukan
moral anak didiknya. Hal ini dikarenakan Indonesia belum mempunyai pendidikan
karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin
dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yang berisikan pesan-pesan
moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila. Hal ini dikarenakan
proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan hafalan (kognitif), lebih
ditekankan bagaimana memperoleh nilai yang bagus, sedangkan bagaimana dampak mata
pelajaran terhadap perubahan perilaku tidak diperhatikan. Sehingga terdapat kesenjangan
antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Misal, semua orang pasti
tahu bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi
banyak sekali orang yang tetap melakukannya.
Krisis karakter yang dialami bangsa ini disebabkan kerusakan individu-individu
masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Krisis karakter yang
terjadi secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Adanya gap
antara program pendidikan moral dan agama, gap antara program pendidikan dengan
pendidikan nilai, disorientasi pendidikan yang hanya mengembangkan aspek kognitif
saja, menjadi alasan mengapa dunia pendidikan harus ikut bertanggung jawab terhadap
krisis moral dan karakter yang terjadi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Nilai
1. Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena pendidikan tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan,sehingga
anak/ peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian
dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian dapat dikatakan karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon
situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui melalui perilaku
baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia
lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ikhsan.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Aristolteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan
3
“habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan atau diamalkan ( E. Mulyasa,
2011)
Secara etimologi, istilah karakter
berasal dari bahasa latin “kharakteri”,
“kharassein”, dan “kharax” yang bermakna “tools for marking”, ”to engrave”, dan
“pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai
“caractere” pada abad ke 14. Ketika masuk ke bahasa Inggris , kata “caractere” ini
berubah menjadi “character”. Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia kata “character”
ini menjadi karakter (Dani Setiawan dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012).
Menurut Thomas Lickona (1992) karakter itu merupakan sifat alami sesorang
dalam merespon situasi bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata
melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai
orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.
Ki Hadjar Dewantara (dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012) memandang
karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti
adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang
kemudian menimbulkan tenaga. Karakter menjadi penanda sesorang. Misalnya apakah
orang tersebut berkarakter baik, atau berkarakter buruk.
Karakter menurut Kemendiknas (2010) adalah tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertidak.
Sedangkan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2011) adalah usaha
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik
mampu
bersikap
dan
bertindak
berdasarkan
nilai-nilai
yang
telah
menjadi
kepribadiannya. Dengan kata lain pendidikan karakter yang baik harus melibatkan
pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral
feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan
perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Menurut Lickona (2012 ) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus
disampaikan :
a. merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki
kepribadian yang baik dalam kehidupannya
b. merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik
4
c. sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di
tempat lain
d. mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat
hidup dalam masyarakat beragam
e. berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial,
seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan
seksual, dan etos kerja (belajar) rendah
f. merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja;
dan
g. mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari peradaban
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk
karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi:
a.
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b. membangun bangsa yang berkarakter Pancasila
c. mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri,
bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter adalah :
a. membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural
b. membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan berperilaku
baik
2. Pendidikan Nilai
Nilai menurut Patricia Craton (dalam Agus Z.F, 2012) adalah prinsip-prinsip
sosial, tujuan-tujuan, atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas,
masyarakat, dan lain-lain. Drijarkara (dalam Agus Z.F, 2012) mengungkapkan bahwa
nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh
manusia.
Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia serta
melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai merupakan realitas abstrak.
Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai yang menjadi sesuatu yang
abstrak dapat dilacak dari tiga realitas sebagai berikut (Ibid dalam Agus Zaenul,
Pola tingkah laku
2012).
NILAI
Pola berpikir
Sikap-sikap
Seorang pribadi atau
suatu kelompok
5
Gambar 2.1. Tiga Realitas dari Nilai
Menurut Linckona (2012), nilai-nilai moral yang sebaiknya diajarkan di sekolah
adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong,
peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan sikap demokratis.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa
diidentifikasi dari sumber-sumber (Kemendiknas, 2010):
1. Agama : masyarakat Indonesia adalah
masyarakat beragama, maka nilai-nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah
yang berasal dari agama.
2. Pancasila : negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Artinya, nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang lebih
baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilainilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya : sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep
dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai
kemanusiaan yang harus dimiliki warga Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan
nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter.
Berdasarkan keempat sumber nilai ini, teridentifikasi 18 nilai untuk pendidikan
budaya dan karakter bangsa, yaitu :
Nilai
1. Religius
Deskripsi
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
6
Nilai
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan
11. Cinta tanah air
12. Menghargai prestasi
13. Bersahabat / komunikasi
Deskripsi
melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
7
Nilai
14. Cinta damai
15. Gemar membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli sosial
18. Tanggung jawab
Deskripsi
berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan
mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
B. Pembelajaran Berkualitas
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas
pengajar. Pelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu
memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target
belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa
melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai,
ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai
target belajar.
Proses pendagogi yang cocok menurut Ratno Harsanto (2007) adalah pendagogi
konstruktivistik yaitu pendekatan yang lebih menempatkan siswa sebagai subjek belajar
dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Pengajar menjadi narasumber yang
8
melontarkan gagasan yang akan diolah, diseleksi, dan dikritisi atau bahkan mungkin
ditolak oleh pembelajar. Proses pembelajaran yang dirancang oleh siswa dan untuk siswa
(student centered), dirancang, dikonstruksi, dan dikondisikan untuk siswa. Seperti bagan
berikut :
Berorientasi pada
kebutuhan anak
Visual
Auditif
Motorik
Intelektual
Bahasa
Sosio-emosional
Belajar sambil
berkegiatan
(Joyful Learning)
Strategis
Metoda
Materi/bahan
Media
Proses belajar:
Kreatif
Inovatif
Eksploratif
Berpikir analitis
Kritis
Kreatif
Berorientasi pada prinsip
perkembangan siswa
Anak merasa aman dan tentram
Berulang-ulang
Interaksi sosial
Minat dan rasa ingin tahu
Perbedaan individu
Menggunakan
pembelajaran
terpadu
Materi
SISW
A
Sederhana
Menarik minat
Pemetaan bahan
Mengembangkan kecakapan
hidup
Mampu menolong diri sendiri
Disiplin
Mampu bersosialisasi
Mempunyai ketrampilan dasar
untuk jenjang selanjutnya
Lingkungan
kondusif
Menarik
Membuat betah atau
kerasan
Gambar 2.2 Proses pembelajaran dirancang, dikontruksi dan dikondisikan untuk siswa
Strategi keterlibatan siswa dalam pembelajaran menurut Sally Philiph (1997) dalam
Dede Rosyada (2007) adalah dengan active learning dan terus dikembangkan ke dalam
bentuk collaborative learning. Active learning atau belajar aktif adalah belajar yang
memperbanyak aktifitas siswa dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber, buku teks, perpustakaan, internet atau sumber-sumber lain, untuk mereka bahas
dalam proses pembelajaran dalam kelas, sehingga memperoleh berbagai pengalaman
yang tidak saja menambah kompetensi pengetahuan mereka, tetapi juga kemampuan
9
analitis, sintesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan nilai baru dalam
kehidupannya, sehingga mereka terima, dijadikan bagian dari nilai yang diadopsi dalam
hidup mereka, diimitasi, dibiasakan sampai mereka adaptasikan dalam kehidupannya.
Belajar model ini biasa disebut sebagai self discovery learning yakni belajar melalui
penemuan mereka sendiri, peran guru menjelaskan tugas apa yang harus siswa lakukan,
apa tujuannya, kemana mereka harus mencari informasi dan bagaimnan mereka
mengolah informasi tersebut, membahasnya dalam kelas, sampai mereka mempunyai
kesimpulan yang sudah dibahas dalam kelompokknya masing-masing.
Sedangkan collaborative learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan
bersama-sama antara guru dan siswa, siswa dengan siswa lainnya (peer teaching). Guru
menstranformasikan pengalaman belajarnya pada siswa, membantu berbagai kesulitan
siswa. Sedangkan
dalam peer teaching atau tutor sebaya siswa yang mengajari
temannya akan semakin matang penguasaannya,sementara siswa yang diajari akan
memperoleh bantuan teman sebayanya dalam proses pemahaman bahan ajar yang
mereka pelajari.
Sebagaimana empat pilar pendidikan sebagai landasan pembelajaran berbasis
kompetesi adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together yang dicanangkan UNESCO. Para siswa harus diberdayakan agar mau dan
mampu beraktivitas untuk
memperkaya pengalaman belajarnya (learning to know)
dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budayanya
sehingga siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia
sekitarnya (learning to do). Interaksi siswa dengan dirinya sendiri, lingkungan fisik,
sosial, dan budayanya akan membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya sebagai
manusia yang hidup berkembang (learning to be). Keberadaan siswa sebagai makhluk
sosial tidak dapat diingkari sehingga dia perlumendapatkan kesempatan untuk belajar
berinteraksi, bekerja sama, dan hidup berdampingan bersama orang lain. Melalui
interaksi individu dalam sebuah kelompok itulah pemahaman-pemahaman dan
pengalaman seseorang untuk hidup dengan orang lain ditanamkan dan dipelajari
(learning to live together). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau
kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya
untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif
serta toleransi
terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
Suasana belajar akan menyenangkan (joyful) jika siswa sebagai subjek belajar
melakukan proses pembelajaran berdasarkan apa yang dikehendaki. Guru bertindak
10
sebagai fasilitator yang secara demokratis memberikan arahan akan peta proses
pembelajaran yang akan berlangsung.
Proses pembelajaran adalah proses psikologis, merupakan kegiatan mental yang
tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang terjadi pada diri seseorang yang belajar tidak
dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu melakukan sesuatu
yang menampakkan kemampuan yang telah diperolehnya dari belajar (Winkel, 1991
dalam Radno Harsanto, 2007).
Suatu sistem pendidikan dikatakan berkualitas jika proses pembelajaran berlangsung
secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin
melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang berkualitas akan
membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas pula. Proses pembelajaran yang
berkualitas adalah proses pembelajaran yang memberi perubahan atas input menuju
output (hasil) yang lebih baik dari sebelumnya (Radno Harsanto, 2007).
C. Hubungan antara Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas
Terry Lovat (2009) mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini telah
menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai keterbatasan
peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif terhadap prestasi
siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan pengajaran dan persekolahan hanya
sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh
rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat mencontohkan hasil-hasil penelitian
terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons (1955) yang menyimpulkan bahwa
keluargalah yang menghasilkan kepribadian manusia, Christopher Jencks (1972)
menyimpulkan bahwa karakter dari luaran (output) sebuah sekolah sangat tergantung
pada masukan (input) tunggal, yaitu karakteristik dari anak-anak yang masuk.
Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers” untuk
menunjukkan optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada guru-guru
yang merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk keberhasilan siswa
terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat melakukan perubahan.
Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas sebagai sasaran mendasar dari
pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie Corporation menyatakan secara jelas
bahwa pembelajaran yang luas dihubungkan dengan keahlian komunikasi, empati,
refleksi dan manajemen diri.
11
Pembelajaran berkualitas bukan sekedar pembelajaran di permukaan yang bersifat
faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa lalu, tetapi pembelajaran dalam
arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan pribadi keseluruhan dalam
aspek kognisi, kematangan sosial dan emosional, juga pengetahuan diri sendiri.
Pembelajaran berkualitas telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan
potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi
pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok
pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan
Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara benar dan
komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan
melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu (Lovet, 2009).
Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa
sekarang telah menjadi
bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai
mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang
bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri peserta
didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri,
kesadaran sosial, dan
kematangan emosional yang bersifat integratif.
Pendekatan komprehensif terhadap nilai dan pendidikan karakter digambarkan
dalam bagan berikut Linckona (2012):
12
Gambar 2.3
Pembelajaran berkualitas merupakan pembelajaran yang bersifat holistik karena
dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan merupakan bagian penting dalam prosesnya.
Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas adalah seperti dua sisi koin yang tidak
terpisahkan.
Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas memiliki potensi untuk menyatu
dalam menghasilkan kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empati, refleksi
dan manajeman diri, yang merupakan dimensi pembelajaran berkualitas. Hubungan
pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas juga digambarkan sebagai “double
heliks”. Pendekatan ini diambil karena mengajar, selain diaspek manajerial dan strategis,
sebagian
besar
yang pasti guru lakukan di ruang kelas dapat membantu untuk menghasilkan hasil yang
baik. Dari penelitian efektivitas guru (misalnya, Raja-Beras, 2003; Hill & Crevola,2000;
13
Kemp & Hall, 1992; Taylor, Pearson, & Walpole, 1999 dalam Terry Lovat, 2009) bahwa
guru sangat efektif ketika mereka: menggunakan prosedur pengajaran yang sistematis;
menghabiskan lebih banyak waktu bekerja dengan kelompok-kelompok kecil sepanjang
hari; menggunakan umpan balik yang sistematis dengan siswa tentang kinerja mereka;
menjalankan kelas lebih teratur; menyesuaikan kesulitan tingkat bahan untuk
kemampuan siswa; melibatkan siswa pada tugas; dan, sejumlah fitur operasional lainnya
yang membuat keakraban siswa dengan guru. Studi kasus ini menunjukkan bahwa nilainilai pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk:
o Membentuk hubungan interpersonal yang positif tidak hanya antara mahasiswa tetapi
juga, yang paling penting, antara siswa dan guru di kelas;
o Memproduksi tenang, lebih bijaksana dan pemikiran lingkungan di kelas;
o
Memberikan orang ruang emosional dan spiritual mereka; dan, impor pusat,
o
Membuat disposisi positif terhadap pembelajaran dan memungkinkan potensi untuk
cinta belajar untuk mengembangkan.
Mereka juga menunjukkannya dalam lingkungan dimana semua orang, guru dan
siswa,
tumbuh dalam kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empatik karakter,
kapasitas untuk refleksi, manajemen diri dan pengetahuan diri.
Penggunakan metafora dari genetika merupakan upaya untuk menangkap sifat
hubungan antara nilai-nilai pendidikan dan kualitas pengajaran bahwa hubungan antara
nilai-nilai dan ajaran kualitas agak seperti double helix. Ketika kita mengidentifikasi
praktik nilai-nilai yang baik kita juga mengidentifikasi praktik pembelajaran yang
berkualitas.
Gambar 2.4 “Double Heliks” Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas
Pendidikan Nilai :
Kekuatan hubungan yang
positif
Disposisi positif terhadap
pembelajaran dan
memungkinkan potensi untuk
cinta belajar
ruang emosional dan spiritual
Ketenangan pengajaran dalan
Pembelajaran Berkualitas:
lingkungan belajar
Kedalaman intektual
Kompetensi komunikasi
Kapasitas untuk refleksi
Karakter empati
Menajemen diri
Pengetahuan diri
14
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan nilai adalah usaha menanamkan prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan atau
standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat dan lain-lain, pada
siswa sehingga menjadi pedoman hidup siswa serta dapat dilihat dalam pola tingkah
laku, pola berpikir dan sikap-sikap individu atau kelompok.
2. Pembelajaran berkualitas adalah pembelajaran yang melibatkan aspek kognitif,
psikomor dan afektif peserta didik, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak
mungkin melalui pembelajaran berkelanjutan.
3. Hubungan antara pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas bagaikan dua sisi
koin yang tidak terpisahkan dan bagaikan “double heliks”, karena ketika kita
mengidentifikasi praktik nilai-nilai yang baik, kita juga mengidentifikasi praktik
pembelajaran yang berkualitas.
15
DAFTAR PUSTAKA
Fitri, A. Z. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jakarta: ArRuzz Media
Harsanto, R.(2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis. Jakarta: Kanisius
Kemendiknas.(2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter.Jakarta: Balitbang
Puskur.
Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Balitbang
Puskurbuk
Linckona, Thomas diterjemahkan oleh Saffana Intani. (2014). Pendidikan Karakter dalam
Pengelolaan Kelas Sekolah. Bantul: Kreasi Kencana
Lickona, Thomas 2012. Educating for Character: Mendidik untk Membentuk Karakter,
diterjemahkan oleh Juma Wadu Wamaungu. Jakarta: Bumi Aksara
Lovat, T and Ron, T. (2009). Values Education and Quality TeachingThe Double Helix
Effect. Australia: Springer.
Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BPMIGAS
Mulyasa. E.(2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Permana, S. (2014). 4 Fakta di Balik Penangkapan Guru Besar Unhas di Kasus Narkoba.
[online]. Tersedia di : http://news.detik.com/read/2014/11/15/084819/2749131/10/4fakta-di-balik-penangkapan-guru-besar-unhas-di-kasus-narkoba. diakses 16
November 2014
16
Rosyada, D. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana
Wibowo, A dan Hamrin. (2012). Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
17
PENDIDIKAN NILAI DAN PEMBELAJARAN BERKUALITAS
Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Tugas
Pendidikan Nilai dalam Kimia
Dosen : Dr. Wawan Wahyu, S.Pd, M.Si
KHOMSATUN ROKHYATI
Nim. 1302181
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
BAB I
0
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 pasal 3,
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi dasar dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Dewasa ini, problem remaja terutama pelajar dan mahasiswa adalah mudah marah
dan terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada tawuran antar pelajar atau
tawuran antar mahasiswa seperti yang sering diberitakan di media massa.
Penyalahgunaan obat-obat terlarang dengan berbagai jenisnya, bahkan stigma pelajar
saat ini diperparah oleh perilaku penyimpangan sosial yang mereka lakukan dalam
bentuk pergaulan bebas (free sex, aborsi, homoseksual, lesbian dan sebagainya). Mereka
juga terkesan kurang hormat kepada orangtuanya, guru (dosen), orang yang lebih tua dan
tokoh masyarakat. Fenomena bangsa ini dapat diilustrasikan sebagai sosok anak bangsa
yang berada dalam kondisi split personality (kepribadian yang pecah, tidak utuh).
Kasus akhir-akhir ini menjadi berita hangat adalah kasus Seorang Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas Hasanuddin Prof Musakkir yang ditangkap polisi di kamar hotel bersama
seorang orang mahasiswi yang tengah berpesta sabu pada Jumat (14/11) dini hari. Penangkapan
pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas ini tentulah
mengejutkan banyak pihak. Hal ini semakin membuktikan bahwa hasil pendidikan hanya
menghasilkan manusia yang mempunyai kemampuan akademik tinggi namun tidak berkarakter.
Berdasarkan hasil studi longitudinal Nasional terhadap kesehatan remaja tahun
1997, yang mewawancarai lebih dari 12.000 siswa kelas tujuh sekolah menengah atas
lintas negeri dan sekolah-sekolah pemasoknya di Amerika, mengidentifikasi dua “faktor
pelindung” yang cenderung mencegah para remaja terlibat dalam perilaku berisiko ini.
Yang paling penting adalah keterikatan dengan keluarga, perasaan dekat dengan orang
tua dan keterikatan dengan sekolah, perasaan dekat dengan orang-orang di sekolah
(Resnick dkk dalam Lickona, 2014).
Studi lain yang dilakukan oleh Bonnie Benard tahun 1993 (dalam Lickona, 2014)
menunjukkan anak-anak yang ulet, biasanya memiliki empat kekuatan: kompetensi sosial,
keahlian memecahkan masalah, kesadaran akan identitas dan harapan pada masa depan.
1
Anak-anak seperti itu, dalam menjelaskan bagaimana mereka mengatasi berbagai
rintangan dalam kehidupan, sering mengutip seorang “guru istimewa” yang bukan hanya
sekedar instruktur akademik tetapi juga seorang yang dipercaya dan model peran yang
mengilhami.
Menurut Bill Rose dalam Ratnawangi (2004), guru yang galak, merupakan ciri umum
guru-guru di Indonesia. Mereka jarang sekali memberi pujian kepada anak, tetapi lebih
banyak mengkritik dan memarahi anak. Seringkali terjadi guru mempermalukan anak di
depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Selain itu, adanya sistem
perangkingan sejak kecil, berhubung hanya segelintir anak yang masuk rangking, maka
sebagian besar anak sudah divonis bodoh sejak kecil. Hal ini menyebabkan anak-anak
Indonesia menjadi individu-individu yang tidak mempunyai percaya diri, minder, atau
malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Inilah mungkin yang menjadi salah satu
penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia menjadi nomor 4 terburuk di Indonesia.
Sikap guru yang demikian juga dikarenakan kesalahan sistem pendidikan yang hanya
semata-mata berorientasi mengejar keberhasilan akademik yaitu sistem yang mengejar
target kurikulum. Selain itu banyak juga guru yang tidak peduli dengan pembentukan
moral anak didiknya. Hal ini dikarenakan Indonesia belum mempunyai pendidikan
karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin
dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yang berisikan pesan-pesan
moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila. Hal ini dikarenakan
proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan hafalan (kognitif), lebih
ditekankan bagaimana memperoleh nilai yang bagus, sedangkan bagaimana dampak mata
pelajaran terhadap perubahan perilaku tidak diperhatikan. Sehingga terdapat kesenjangan
antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Misal, semua orang pasti
tahu bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi
banyak sekali orang yang tetap melakukannya.
Krisis karakter yang dialami bangsa ini disebabkan kerusakan individu-individu
masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Krisis karakter yang
terjadi secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Adanya gap
antara program pendidikan moral dan agama, gap antara program pendidikan dengan
pendidikan nilai, disorientasi pendidikan yang hanya mengembangkan aspek kognitif
saja, menjadi alasan mengapa dunia pendidikan harus ikut bertanggung jawab terhadap
krisis moral dan karakter yang terjadi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Nilai
1. Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena pendidikan tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan,sehingga
anak/ peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian
dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian dapat dikatakan karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon
situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui melalui perilaku
baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia
lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ikhsan.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Aristolteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan
3
“habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan atau diamalkan ( E. Mulyasa,
2011)
Secara etimologi, istilah karakter
berasal dari bahasa latin “kharakteri”,
“kharassein”, dan “kharax” yang bermakna “tools for marking”, ”to engrave”, dan
“pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai
“caractere” pada abad ke 14. Ketika masuk ke bahasa Inggris , kata “caractere” ini
berubah menjadi “character”. Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia kata “character”
ini menjadi karakter (Dani Setiawan dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012).
Menurut Thomas Lickona (1992) karakter itu merupakan sifat alami sesorang
dalam merespon situasi bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata
melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai
orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.
Ki Hadjar Dewantara (dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012) memandang
karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti
adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang
kemudian menimbulkan tenaga. Karakter menjadi penanda sesorang. Misalnya apakah
orang tersebut berkarakter baik, atau berkarakter buruk.
Karakter menurut Kemendiknas (2010) adalah tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertidak.
Sedangkan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2011) adalah usaha
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik
mampu
bersikap
dan
bertindak
berdasarkan
nilai-nilai
yang
telah
menjadi
kepribadiannya. Dengan kata lain pendidikan karakter yang baik harus melibatkan
pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral
feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan
perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Menurut Lickona (2012 ) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus
disampaikan :
a. merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki
kepribadian yang baik dalam kehidupannya
b. merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik
4
c. sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di
tempat lain
d. mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat
hidup dalam masyarakat beragam
e. berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial,
seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan
seksual, dan etos kerja (belajar) rendah
f. merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja;
dan
g. mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari peradaban
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk
karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi:
a.
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b. membangun bangsa yang berkarakter Pancasila
c. mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri,
bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter adalah :
a. membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural
b. membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan berperilaku
baik
2. Pendidikan Nilai
Nilai menurut Patricia Craton (dalam Agus Z.F, 2012) adalah prinsip-prinsip
sosial, tujuan-tujuan, atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas,
masyarakat, dan lain-lain. Drijarkara (dalam Agus Z.F, 2012) mengungkapkan bahwa
nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh
manusia.
Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia serta
melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai merupakan realitas abstrak.
Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai yang menjadi sesuatu yang
abstrak dapat dilacak dari tiga realitas sebagai berikut (Ibid dalam Agus Zaenul,
Pola tingkah laku
2012).
NILAI
Pola berpikir
Sikap-sikap
Seorang pribadi atau
suatu kelompok
5
Gambar 2.1. Tiga Realitas dari Nilai
Menurut Linckona (2012), nilai-nilai moral yang sebaiknya diajarkan di sekolah
adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong,
peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan sikap demokratis.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa
diidentifikasi dari sumber-sumber (Kemendiknas, 2010):
1. Agama : masyarakat Indonesia adalah
masyarakat beragama, maka nilai-nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah
yang berasal dari agama.
2. Pancasila : negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Artinya, nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang lebih
baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilainilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya : sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep
dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai
kemanusiaan yang harus dimiliki warga Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan
nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter.
Berdasarkan keempat sumber nilai ini, teridentifikasi 18 nilai untuk pendidikan
budaya dan karakter bangsa, yaitu :
Nilai
1. Religius
Deskripsi
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
6
Nilai
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan
11. Cinta tanah air
12. Menghargai prestasi
13. Bersahabat / komunikasi
Deskripsi
melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
7
Nilai
14. Cinta damai
15. Gemar membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli sosial
18. Tanggung jawab
Deskripsi
berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan
mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
B. Pembelajaran Berkualitas
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas
pengajar. Pelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu
memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target
belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa
melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai,
ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai
target belajar.
Proses pendagogi yang cocok menurut Ratno Harsanto (2007) adalah pendagogi
konstruktivistik yaitu pendekatan yang lebih menempatkan siswa sebagai subjek belajar
dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Pengajar menjadi narasumber yang
8
melontarkan gagasan yang akan diolah, diseleksi, dan dikritisi atau bahkan mungkin
ditolak oleh pembelajar. Proses pembelajaran yang dirancang oleh siswa dan untuk siswa
(student centered), dirancang, dikonstruksi, dan dikondisikan untuk siswa. Seperti bagan
berikut :
Berorientasi pada
kebutuhan anak
Visual
Auditif
Motorik
Intelektual
Bahasa
Sosio-emosional
Belajar sambil
berkegiatan
(Joyful Learning)
Strategis
Metoda
Materi/bahan
Media
Proses belajar:
Kreatif
Inovatif
Eksploratif
Berpikir analitis
Kritis
Kreatif
Berorientasi pada prinsip
perkembangan siswa
Anak merasa aman dan tentram
Berulang-ulang
Interaksi sosial
Minat dan rasa ingin tahu
Perbedaan individu
Menggunakan
pembelajaran
terpadu
Materi
SISW
A
Sederhana
Menarik minat
Pemetaan bahan
Mengembangkan kecakapan
hidup
Mampu menolong diri sendiri
Disiplin
Mampu bersosialisasi
Mempunyai ketrampilan dasar
untuk jenjang selanjutnya
Lingkungan
kondusif
Menarik
Membuat betah atau
kerasan
Gambar 2.2 Proses pembelajaran dirancang, dikontruksi dan dikondisikan untuk siswa
Strategi keterlibatan siswa dalam pembelajaran menurut Sally Philiph (1997) dalam
Dede Rosyada (2007) adalah dengan active learning dan terus dikembangkan ke dalam
bentuk collaborative learning. Active learning atau belajar aktif adalah belajar yang
memperbanyak aktifitas siswa dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber, buku teks, perpustakaan, internet atau sumber-sumber lain, untuk mereka bahas
dalam proses pembelajaran dalam kelas, sehingga memperoleh berbagai pengalaman
yang tidak saja menambah kompetensi pengetahuan mereka, tetapi juga kemampuan
9
analitis, sintesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan nilai baru dalam
kehidupannya, sehingga mereka terima, dijadikan bagian dari nilai yang diadopsi dalam
hidup mereka, diimitasi, dibiasakan sampai mereka adaptasikan dalam kehidupannya.
Belajar model ini biasa disebut sebagai self discovery learning yakni belajar melalui
penemuan mereka sendiri, peran guru menjelaskan tugas apa yang harus siswa lakukan,
apa tujuannya, kemana mereka harus mencari informasi dan bagaimnan mereka
mengolah informasi tersebut, membahasnya dalam kelas, sampai mereka mempunyai
kesimpulan yang sudah dibahas dalam kelompokknya masing-masing.
Sedangkan collaborative learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan
bersama-sama antara guru dan siswa, siswa dengan siswa lainnya (peer teaching). Guru
menstranformasikan pengalaman belajarnya pada siswa, membantu berbagai kesulitan
siswa. Sedangkan
dalam peer teaching atau tutor sebaya siswa yang mengajari
temannya akan semakin matang penguasaannya,sementara siswa yang diajari akan
memperoleh bantuan teman sebayanya dalam proses pemahaman bahan ajar yang
mereka pelajari.
Sebagaimana empat pilar pendidikan sebagai landasan pembelajaran berbasis
kompetesi adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together yang dicanangkan UNESCO. Para siswa harus diberdayakan agar mau dan
mampu beraktivitas untuk
memperkaya pengalaman belajarnya (learning to know)
dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budayanya
sehingga siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia
sekitarnya (learning to do). Interaksi siswa dengan dirinya sendiri, lingkungan fisik,
sosial, dan budayanya akan membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya sebagai
manusia yang hidup berkembang (learning to be). Keberadaan siswa sebagai makhluk
sosial tidak dapat diingkari sehingga dia perlumendapatkan kesempatan untuk belajar
berinteraksi, bekerja sama, dan hidup berdampingan bersama orang lain. Melalui
interaksi individu dalam sebuah kelompok itulah pemahaman-pemahaman dan
pengalaman seseorang untuk hidup dengan orang lain ditanamkan dan dipelajari
(learning to live together). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau
kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya
untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif
serta toleransi
terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
Suasana belajar akan menyenangkan (joyful) jika siswa sebagai subjek belajar
melakukan proses pembelajaran berdasarkan apa yang dikehendaki. Guru bertindak
10
sebagai fasilitator yang secara demokratis memberikan arahan akan peta proses
pembelajaran yang akan berlangsung.
Proses pembelajaran adalah proses psikologis, merupakan kegiatan mental yang
tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang terjadi pada diri seseorang yang belajar tidak
dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu melakukan sesuatu
yang menampakkan kemampuan yang telah diperolehnya dari belajar (Winkel, 1991
dalam Radno Harsanto, 2007).
Suatu sistem pendidikan dikatakan berkualitas jika proses pembelajaran berlangsung
secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin
melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang berkualitas akan
membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas pula. Proses pembelajaran yang
berkualitas adalah proses pembelajaran yang memberi perubahan atas input menuju
output (hasil) yang lebih baik dari sebelumnya (Radno Harsanto, 2007).
C. Hubungan antara Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas
Terry Lovat (2009) mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini telah
menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai keterbatasan
peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif terhadap prestasi
siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan pengajaran dan persekolahan hanya
sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh
rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat mencontohkan hasil-hasil penelitian
terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons (1955) yang menyimpulkan bahwa
keluargalah yang menghasilkan kepribadian manusia, Christopher Jencks (1972)
menyimpulkan bahwa karakter dari luaran (output) sebuah sekolah sangat tergantung
pada masukan (input) tunggal, yaitu karakteristik dari anak-anak yang masuk.
Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers” untuk
menunjukkan optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada guru-guru
yang merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk keberhasilan siswa
terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat melakukan perubahan.
Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas sebagai sasaran mendasar dari
pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie Corporation menyatakan secara jelas
bahwa pembelajaran yang luas dihubungkan dengan keahlian komunikasi, empati,
refleksi dan manajemen diri.
11
Pembelajaran berkualitas bukan sekedar pembelajaran di permukaan yang bersifat
faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa lalu, tetapi pembelajaran dalam
arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan pribadi keseluruhan dalam
aspek kognisi, kematangan sosial dan emosional, juga pengetahuan diri sendiri.
Pembelajaran berkualitas telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan
potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi
pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok
pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan
Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara benar dan
komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan
melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu (Lovet, 2009).
Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa
sekarang telah menjadi
bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai
mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang
bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri peserta
didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri,
kesadaran sosial, dan
kematangan emosional yang bersifat integratif.
Pendekatan komprehensif terhadap nilai dan pendidikan karakter digambarkan
dalam bagan berikut Linckona (2012):
12
Gambar 2.3
Pembelajaran berkualitas merupakan pembelajaran yang bersifat holistik karena
dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan merupakan bagian penting dalam prosesnya.
Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas adalah seperti dua sisi koin yang tidak
terpisahkan.
Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas memiliki potensi untuk menyatu
dalam menghasilkan kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empati, refleksi
dan manajeman diri, yang merupakan dimensi pembelajaran berkualitas. Hubungan
pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas juga digambarkan sebagai “double
heliks”. Pendekatan ini diambil karena mengajar, selain diaspek manajerial dan strategis,
sebagian
besar
yang pasti guru lakukan di ruang kelas dapat membantu untuk menghasilkan hasil yang
baik. Dari penelitian efektivitas guru (misalnya, Raja-Beras, 2003; Hill & Crevola,2000;
13
Kemp & Hall, 1992; Taylor, Pearson, & Walpole, 1999 dalam Terry Lovat, 2009) bahwa
guru sangat efektif ketika mereka: menggunakan prosedur pengajaran yang sistematis;
menghabiskan lebih banyak waktu bekerja dengan kelompok-kelompok kecil sepanjang
hari; menggunakan umpan balik yang sistematis dengan siswa tentang kinerja mereka;
menjalankan kelas lebih teratur; menyesuaikan kesulitan tingkat bahan untuk
kemampuan siswa; melibatkan siswa pada tugas; dan, sejumlah fitur operasional lainnya
yang membuat keakraban siswa dengan guru. Studi kasus ini menunjukkan bahwa nilainilai pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk:
o Membentuk hubungan interpersonal yang positif tidak hanya antara mahasiswa tetapi
juga, yang paling penting, antara siswa dan guru di kelas;
o Memproduksi tenang, lebih bijaksana dan pemikiran lingkungan di kelas;
o
Memberikan orang ruang emosional dan spiritual mereka; dan, impor pusat,
o
Membuat disposisi positif terhadap pembelajaran dan memungkinkan potensi untuk
cinta belajar untuk mengembangkan.
Mereka juga menunjukkannya dalam lingkungan dimana semua orang, guru dan
siswa,
tumbuh dalam kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empatik karakter,
kapasitas untuk refleksi, manajemen diri dan pengetahuan diri.
Penggunakan metafora dari genetika merupakan upaya untuk menangkap sifat
hubungan antara nilai-nilai pendidikan dan kualitas pengajaran bahwa hubungan antara
nilai-nilai dan ajaran kualitas agak seperti double helix. Ketika kita mengidentifikasi
praktik nilai-nilai yang baik kita juga mengidentifikasi praktik pembelajaran yang
berkualitas.
Gambar 2.4 “Double Heliks” Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas
Pendidikan Nilai :
Kekuatan hubungan yang
positif
Disposisi positif terhadap
pembelajaran dan
memungkinkan potensi untuk
cinta belajar
ruang emosional dan spiritual
Ketenangan pengajaran dalan
Pembelajaran Berkualitas:
lingkungan belajar
Kedalaman intektual
Kompetensi komunikasi
Kapasitas untuk refleksi
Karakter empati
Menajemen diri
Pengetahuan diri
14
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan nilai adalah usaha menanamkan prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan atau
standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat dan lain-lain, pada
siswa sehingga menjadi pedoman hidup siswa serta dapat dilihat dalam pola tingkah
laku, pola berpikir dan sikap-sikap individu atau kelompok.
2. Pembelajaran berkualitas adalah pembelajaran yang melibatkan aspek kognitif,
psikomor dan afektif peserta didik, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak
mungkin melalui pembelajaran berkelanjutan.
3. Hubungan antara pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas bagaikan dua sisi
koin yang tidak terpisahkan dan bagaikan “double heliks”, karena ketika kita
mengidentifikasi praktik nilai-nilai yang baik, kita juga mengidentifikasi praktik
pembelajaran yang berkualitas.
15
DAFTAR PUSTAKA
Fitri, A. Z. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jakarta: ArRuzz Media
Harsanto, R.(2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis. Jakarta: Kanisius
Kemendiknas.(2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter.Jakarta: Balitbang
Puskur.
Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Balitbang
Puskurbuk
Linckona, Thomas diterjemahkan oleh Saffana Intani. (2014). Pendidikan Karakter dalam
Pengelolaan Kelas Sekolah. Bantul: Kreasi Kencana
Lickona, Thomas 2012. Educating for Character: Mendidik untk Membentuk Karakter,
diterjemahkan oleh Juma Wadu Wamaungu. Jakarta: Bumi Aksara
Lovat, T and Ron, T. (2009). Values Education and Quality TeachingThe Double Helix
Effect. Australia: Springer.
Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BPMIGAS
Mulyasa. E.(2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Permana, S. (2014). 4 Fakta di Balik Penangkapan Guru Besar Unhas di Kasus Narkoba.
[online]. Tersedia di : http://news.detik.com/read/2014/11/15/084819/2749131/10/4fakta-di-balik-penangkapan-guru-besar-unhas-di-kasus-narkoba. diakses 16
November 2014
16
Rosyada, D. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana
Wibowo, A dan Hamrin. (2012). Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
17