Kebijakan Impor dan Stategi Meningkatkan

PAPER PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Kebijakan Impor dan Stategi Meningkatkan Daya
Saing Produk Hortikultura Indonesia

O
L
E
H
NAMA
NPM
DOSEN

: DWIKA META SETIANI
: E2D013005
: Dr. Ir. Putri Suci Ariani, M.Si

AN SE3

PROGRAM PASCASARJANA AGRIBISNIS
FAKULATAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU

2014
Kebijakan Impor dan Strategi Meningkatkan Daya Saing Produk
Hortikultura di Indonesia

I.
I.1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa

negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan
konsumsi pangan baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara
merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehadiran undangundang tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ingin bisa mengatur kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan pangannya sendiri. Namun mewujudkan amanat undangundang tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Penanganan ketahanan pangan yang
komprehensif dan efektif menjadi penting mengingat implikasinya yang luas baik dalam
hal pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan petani, hingga pengendalian harga (inflasi).
Dalam rangka mendorong ketahanan pangan khususnya terkait dengan
komoditas hortikultura, pemerintah terus berupaya untuk mencapai kemandirian
produksi hortikultura dalam negeri. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk

mendorong kemandirian ini diantaranya melalui kebijakan yang sifatnya untuk
membatasi gerak program impor hortikultura dari luar negeri yaitu melalui Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 15 dan 16 Tahun. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menghentikan sementara impor 13 jenis hortikultura dan daging sapi
mulai Januari 2013.
Tabel Komotitas Hortikultura Nasional yang Diatur Impor
Produk yang Dibatasi Jumlah
Kuota Impor
- Bawang (bawang bombay, bawang merah, dan
bawang putih)
- Jeruk (jeruk siam, jeruk mandarin)
- Lemon
- Grapefruit/Pamelo

Produk yang Dilarang Masuk
ke Indonesia
- Durian

- Anggrek


- Nanas

- Heliconia

- Melon
- Pisang
- Mangga
- Pepaya

- Anggur

- Kentang

- Apel

- Kubis

- Lengkeng

- Wortel

- Cabe
- Krisan

Sumber: Permentan No. 60 Tahun 2012

Sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa pemberlakuan kebijakan ini cukup
berpengaruh terhadap tingkat inflasi yang terjadi pada dua bulan terakhiri, di mana
terjadi kenaikan harga pada beberapa produk hortikultura di sejumlah kota di Indonesia.
Pada bulan Februari 2013, beberapa produk hortikultura yang mengalami kenaikan harga

adalah bawang putih, bawang merah, cabe merah, cabe rawit, tomat buah, wortel,
anggur, apel, melon, pepaya, pir, dan pisang.
Selain itu, dalam prakteknya kebijakan ini menemui beberapa kendala seperti
semakin besarnya biaya logistik akibat jalur distribusi yang semakin panjang, struktur
pasar yang tersegmentasi sehingga berpotensi menyebabkan kartel serta aksi spekulan
harga yang menyebabkan harga berbagai komoditas hortikultura membumbung tinggi.
Potret umum petani hortikultura Indonesia
Dalam sistem agribinis hortikulura, petani Indonesia kebanyakan hanya terlibat
dalam proses produksi tanaman di lahan. Hal ini sangat dapat dimaklumi, karena ratarata schooling years masyarakat Indonesia, termasuk para petani ini, hanya 7,2 tahun.
Dengan pengalaman belajar seperti ini, memang rata-rata kegiatan ekonomis yang

mungkin mereka geluti hanya pada sub-sistem produksi tanaman di lahan. Tantangan
lain yang dihadapi adalah keterbatasan lahan dan modal yang dimiliki petani, produsen
produk hortikultura.
Dengan ketiga persoalan tersebut saja tidak banyak petani yang mampu masuk
ke subsistem pengolahan hasil dan apalagi ke sub-sistem pemasaran. Persoalan lain yang
dihadapi petani adalah dinamika perubahan iklim, lahan-lahan yang bergelombang dan
terpisah oleh laut, dan

infrastruktur transportasi yang kurang memadai, serta tidak

adanya asosiasi produsen komoditi tertentu untuk meningkatkan posisi tawar petani.
Kondisi tersebut mendorong petani sayuran dan buah-buahan menjadi tergantung dengan
pemilik modal, baik tengkulak maupun industri pengolahan, serta kebijakan dan
keberpihakan pemerintah. Ketidakmampuan petani dalam menghadapi tengkulak dan
pemilik modal menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya harapan untuk meningkatkan
produktivitas mereka.
Namun demikian, dengan segala keterbatasan dan persoalan yang dihadapi,
petani sayuran dan buah-buahan ternyata mampu memproduksi komoditas tersebut
dalam jumlah yang sangat memadai. Data dari Ditjen Hortikultura (2010) menunjukkan
bahwa ketersediaan tanaman sayuran dan buah-buahan, hasil produksi dalam negeri,

setiap tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2009, ketersediaan produk tanaman
sayuran Indonesia sudah mencapai 77,03 kg/kapita/tahun, dan tanaman buah-buahan
sudah mencapai 42,26 kg/kapita/tahun.

Artinya, kemampuan produksi petani

hortikultura saat ini mampu untuk memenuhi kebutuhan atau tingkat konsumsi sayuran
dan

buah

masyarakat

Indonesia

yang

masih

mengkonsumsi


kg/kapita/tahun dan buah-buahan sebesar 32,59 kg/kapita/tahun.

sayuran

40,66

Kelebihan nilai

produksi tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya banyak produk petani yang tidak

dimanfaatkan oleh masyarakat, baik karena lemahnya sistem penyimpanan dan
pengangkutan produk, maupun karena adanya ekspor sayuran dan buah.
I.2.
Tujuan
Tujuan penulisan paper ini adalah :
1. Mengetahui dampak kebijakan impor produk hortikultura di Indonesia.
2. Mengetahui srategi untuk meningkatkan daya saing produk hortikultura agar mampu
diterima di pasar internasional.


II.

PEMBAHASAN
II.1.
Kebijakan impor produk hortikultura di Indonesia
Dengan adanya kebijakan untuk penghentian sementara impor 13 jenis

hortikultura, tentu akan berpengaruh pada ketahanan pangan dan stabilisasi harga
berbagai komoditas hortikultura. Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk mendukung petani domestik dengan mempertimbangkan kemampuan
produksi industri pertanian domestik dalam memenuhi kebutuhan pasar, dan sehingga
tujuan akhirnya adalah terciptanya swasembada pangan pada berbagai produk pangan.
Kebijakan ini seyogyanya memberikan dampak positif terhadap petani domestik untuk
meningkatkan produksinya. Namun berbagai permasalahan muncul apabila kebijakan
pengendalian impor produk hortikultura tersebut diterapkan namun tidak dibarengi
dengan kesiapan dan strategi pemerintah untuk mengantisipasinya.
Pertama, lambatnya penerbitan RIPH untuk semester I tahun 2013
mengakibatkan terhambatnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Aturan RIPH

merupakan aturan baru yang berdasarkan Permentan No. 60 Tahun 2012. Salah satu

aspek yang dipertimbangkan dalam penyusunan RIPH adalah kapasitas gudang (cold
storage) sesuai dengan importir terdaftar, yang diterbitkan oleh Kementerian
Perdagangan.
Aturan ini mendapat keluhan dari negara lain yang menjadi importir produk
hortikultura. Dan menurut Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia
(Gisimindo) Bob Budiman, aturan mengenai penyimpanan bisa mengundang praktek
kartel karena hanya importir besar yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.
Terlambatnya penerbitan RIPH pada produk bawang putih karena jatah kuota impor

bawang putih yang diberikan tidak sebanding dengan jumlah importirnya, sehingga
menyulitkan Pemerintah memilih importir yang layak mendapat kuota impor. Pada tahun
ini ada 130 jumlah importir yang mengajukan izin. Jumlah ini lebih banyak
dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 70 importir.
Kedua, petani domestik belum siap bahkan mengalami kesulitan
meningkatkan jumlah produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga
yang terjadi adalah pasokan domestik menjadi terbatas. Pasokan bawang putih domestik
hanya mencakup 5-10% dari kebutuhan nasional, yaitu sebesar 400.000 ton, sementara
sebagian besar lainnya selama ini diimpor dari luar negeri. Inilah yang menyebabkan
harga bahan makanan meningkat. Kebijakan pembatasan impor akan efektif diterapkan
apabila jumlah produksi domestik berlimpah. Oleh karena itu, sebelum menerapkan

kebijakan pembatasan tersebut, Pemerintah perlu memperhatikan pasokan domestik agar
laju inflasi tetap terjaga.
Dalam kaitannya dengan pasokan bawang putih, terdapat beberapa alasan
mengapa bawang putih diproduksi minim di Indonesia. Pertama, bawang putih
merupakan jenis tanaman subtropis yang sulit ditanam di Indonesia yang beriklim tropis.
Kedua, Pemerintah lebih memilih meningkatkan produksi keledai yang sama-sama
tanaman subtropis karena kebutuhan masyarakat atas kedelai jauh lebih banyak daripada
bawang putih. Ketiga, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi bawang putih jauh
lebih besar daripada kedelai, sehingga petani lebih memilih memproduksi kedelai
daripada bawang putih.
Secara agronomis petani hortikultura Indonesia mampu menjalankan
fungsinya sebagai produsen. Hal ini paling tidak sudah dibuktikan dengan kemampuan
petani hortikultura untuk menyediakan sayuran sebesar 77,03 kg/kapita/tahun dan buah
sebesar 42,26 kg/kapita/tahun. Tentu saja hal ini merupakan fungsi dari pengalaman dan
pengetahuan petani dan interaksinya dengan kondisi agroekologis Indonesia.

Maka

sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu banyak mengimpor sayur dan buah untuk
memenuhi


permintaan

konsumsi

dalam

negeri.

Kalaupun

harus

mengimpor,

sesungguhnyayang diimpor adalah sayuran dan buah yang memang secara agroekologis
tidak dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, atau pada saat pasokan dari petani lokal
rendah.
Sebenarnya yang terjadi adalah impor beberapa produk pertanian (yang resmi)
jauh melebihi kuota yang ditetapkan. Hal ini terjadi melalui mekanisme maraknya
penyelundupan produk sayuran dan buah.

Sebenarnya, mekanisme impor produk

hortikultura, termasuk sayuran dan buah-buahan sebenarnya sudah diatur setiap tahun
oleh pemerintah, dan bahkan perusahaan yang diberikan izin untuk mengimpor juga
sudah ditetapkan, termasuk kuota impor yang diperbolehkan.
Kebijakan impor produk hortikultura Indonesia saat ini paling tidak (1)
menyebabkan lumpuhnya aktivitas agribinis hortikultura pada sub-sistem industri hulu
dan sub-sistem produksi, (2) menimbulkan kerugian massal, karena pada kedua subsistem ini, jumlah masyarakat (petani) yang terlibat sangat tinggi, baik sebagai buruh,
pemilik dan pelaku, dan (3) menurunkan harga komoditas sayuran produksi domestik.
Kebijakan ini juga memberikan manfaat kepada importir saja. Dapat
dibayangkan jika seorang importir diberikan kuota impor sebanyak 10.000 ton, dan lalu
ia mampu memperoleh keuntungan Rp. 2.500,- per kilo gram, maka pengusaha tersebut
sudah untung Rp. 25 milyar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan
impor tidak mampu membantu meningkatkan pendapatan petani, tetapi hanya
memberikan keuntungan kepada importir saja.
II.2.
Strategi meningkatkan daya saing hortikultura Indonesia
Daya saing agribisnis dan agroindustri nasional, khususnya untuk dunia
hortikultura, dapat ditingkatkan, diantaranya melalui pengembangan varitas baru
tanaman buah, sayur atau tanaman hias di sektor hulu, dan penganeka ragaman produk
baru agroindustri di sektor hilir. Pengembangan produk dan jasa agroindustri yang baru,
akan berhasil bertahan di pasar global bila berbagai kiat di bawah ini dapat dilaksanakan
(Gumbira-Sa’id, 2010):
(1) Mengimplementasikan kecenderungan terbaru dari pengembangan komoditas, produk
dan manajemen untuk memperoleh keuntungan kompetitif, terutama dari tanaman yang
khas Indonesia.
(2) Menentukan produk-produk agribisnis (buah atau sayuran segar dalam rantai dingin
dan atau dikemas khusus) dan agroindustri (ragam buah dan sayuran olahan melalui
pengeringan, jus, nectar atau pasta dan buah atau sayur kalengan) yang tepat bagi
perusahaan Indonesia untuk dikembangkan. Buah dan sayuran unggulan Indonesia yang

telah ditetapkan oleh pemerintah memerlukan penelitian dan pengembangan yang
intensif dan berkelanjutan, dari aspek hulu ampai hilirnya.
(3) Melakukan teknik penyimpanan dingin dan penggunaan kemasan khusus bagi
komoditas buah, sayur dan bunga atau tanaman hias segar, serta disain dan rekayasa
proses dan pengemasan produk agroindustri buah dan sayuran olahan yang dapat meraih
posisi jantung pasar yang tepat (sweet spot) di pasar global.
(4) Menemukan cara memasarkan komoditas hortikultura segar dan produk-produk
hortikultura olahan dengan lebih cepat dan lebih disokong oleh sumberdaya perusahaan
yang tanggap pengetahuan.
(5) Semua pemangku agribisnis dan agroindustri hortikultura secara jelas mendiskusikan,
memilih dan menetapkan komoditas, produk dan jasa-jasa hortikultura Indonesia yang
khas dan terintegrasi dengan pariwisata atau agrowisata, seperti yang dilakukan oleh
Jepang melalui program OVOP (One Village One Product) serta Thailand melalui OTOP
(One Tambon One Product).
(6) Menemukan kunci-kunci pendorong yang mampu memperkuat pembukaan pintu
inovasi komoditas dan produk hortikultura Indonesia yang dapat bersaing di pasar global,
misalnya untuk nenas, pepaya, semangka dan pisang, yang pasokannya selalu tersedia
sepanjang tahun, dan nenas, manggis, jambu batu, rambutan dan lain-lain yang pasokan
produksinya melimpah di musim panen raya.
(7) Secara tepat menggunakan tiga dimensi kunci segmentasi pasar (produk, tempat dan
harga) hortikultura Indonesia dan mengupayakan menghindari kesalahan dari target
segmentasi yang dituju.
(8) Secara cerdas melakukan perencanaan dan pelaksanaan proses pengembangan
komoditas dan produk agroindustri hortikultura yang menjamin keberhasilan dalam
waktu yang lama. Misalkan, buah Kiwi, yang asal usulnya berasal dari RR Cina, kini
secara terstruktur sangat berhasil dibudidayakan, diolah dan dipasarkan ke pasar global
oleh Selandia Baru.
(9) Secara yakin menggunakan berbagai metode yang tepat untuk mengorganisasikan
dan mengatur tim pengembangan komoditas dan produk agroindustri hortikultura yang
terpilih, misalnya melalui Riset Unggulan Buah, Sayuran atau Tanaman Hias nasional.
(10) Melakukan koordinasi kegiatan secara harmoni untuk secara tepat meluncurkan
komoditas atau produk dan jasa baru agroindustri hortikulktura ke pasar global.
Strategi pengembangan pertanian dan perdesaan melalui sistem agribisnis dan
agroindustri yang sesuai untuk hortikultura dapat dilakukan dengan cara-cara berikut
(diadaptasi dari ADB, CASER dan SEARCA, 2004; dan Gumbira-Sa’id, 2010):
• Mempercepat proses peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kewirausahaan
dalam bidang pertanian hortikultura (Agropreneur) melalui Inkubator Agribisnis dan
Agroindustri yang mengutamakan peningkatan nilai tambah komoditas dan produk
hortikultura.
• Membentuk modal sosial melalui desentralisasi, aksi penggalangan jejaring kerjasama
dan pemberdayaan masyarakat hortikultura Indonesia, misalnya seperti yang digalang di
Jawa Barat dalam gerakan Masterbu (Masyarakat Klaster Buah).

• Melakukan revitalisasi produktivitas hortikultura melalui kegiatan Riset dan
Pengembangan serta diversifikasi komoditas dan produk, terutama dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi di dalam negeri, dan untuk tujuan ekspor.
• Mendukung penerapan Sistem Agribisnis dan membangun Klaster Agroindustri
Perdesaan untuk hortikultura (buah, sayuran dan tanaman hias) yang kompetitif dan
efisien dalam rangka memanfaatkan surplus produksi dan membangun agroindustri buah
dan sayur berorientasi pasar global dan perolehan devisa nasional.
• Mendorong pertumbuhan dan menciptakan produktivitas sektor ekonomi non-pertanian
di perdesaan, yang mampu mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri
hortikultura serta pertumbuhan ekonomi daerah.
• Memperbaiki sistem produksi hortikultura, sekaligus menerapkan kegiatan manajemen
sumberdaya alam yang lestari, terutama dengan memanfaatkan penemuan-penemuan
bioteknologi tepat terap.
II.3.

Peningkatan nilai tambah dan penguatan rantai nilai agribisnis-

agroindustri hortikultura
Walaupun seluruh titik pada rantai nilai industri hortikultura pada kegiatan
budidaya di lahan (agribisnis) sampai ke pengolahan dan pemasarannya (off-farm) sama
tingkat kepentingannya, tetapi pada dasarnya peningkatan nilai tambah komoditas atau
hortikultura yang terbesar terdapat pada aspek pasca panennya, karena kegiatan pasca
panen terutama pengolahan (agroindustri) dapat meningkatkan konsumsi dengan fungsi
waktu yang lama, tempat yang jauh dan nilai jual produk yang lebih tinggi.
Dengan demikian, titik-titik rantai sepanjang rantai nilai industri hortikultura
adalah pemanenan, pra-pendinginan, pendinginan, penyimpanan dingin, penanganan
pada tempat tujuan, atau penanganan pada agroindustri pengolah hortikultra menjadi
ragam produk yang dapat dipasarkan. Penggunaan rantai dingin pada industri
hortikuktura sangat vital, karena dapat mengurangi kerusakan fisik, pembusukan oleh
serangga, perubahan mutu (flavor, warna dan tekstur), kehilangan nilai nutrisi,
kehilangan nilai pasar (penurunan harga) dan dapat menghindari permasalahan keamanan
komoditas atau produk hortikultura yang dipasarkan. Kegiatan rantai pasok dan rantai
nilai pada industri hortikultura sangat nyata terdapat di dalam klaster industri
hortikultura, yang saat ini juga sedang digalakkan di Indonesia.
II.4.
Penguatan petani hortikultura
Peningkatan daya saing produk hortikultura Indonesia, sayur dan buah, harus
terus dilakukan secara menyeluruh dengan memperbaiki kinerja petani, memperbaiki
komitmen pemerintah, dan meningkatkan partisipasi perusahaan dan industry yanag
bergeraak dalam pemasaran dan pengolahan sayur dan buah. Meskipun luas kepemilikan

lahan petani tidak dapat ditingkatkan, namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar
petani hortikulutra dapat menikmati hasil pertaniannya secara ekonomis, antara lain :
1. Meningkatkan akses petani produsen ke pasar dan industri pengolahan, baik
berupa jalan, alat dan sarana transportasi. Secara hukum juga dapat dilakukan dengan
menindak tegas keberadaan tengkulak, dan pelaku praktek ijon yang secara terselubung
sering dilakukan oleh berbagai perusahaan yang bergerak dalam penyediaan bibit, pupuk
dan sarana produksi lainnya.
2. Mendorong untuk terbentuknya wilayah-wilayah produksi untuk masingmasing komoditi, sehingga tidak terjadi penumpukan produk pada kawasan tertentu,
tetapi langka di tempat lain.
3. Mengembangkan sistem participatory plant breeding berbasis komunitas
untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap benih yang berkualitas dan harga yang
terjangkau.
4. Mendorong terbentuknya asosiasi produsen setiap komoditas yang
berfungsi untuk memperjuangkan posisi tawar mereka dalam mekanisme pasar yang ada.
Asosiasi ini harus didorong untuk muncul tumbuh dari petani yang harus dijauhkan dari
berbagai kepentingan politik transaksional.
5. Mengembangkan sistim penyimpanan produk yang tidak dikuasai oleh
pengusaha, sehingga petani tetap mampu mensuplai produk pada saat produk tidak
sedang panen.
6. Optimalisasi pemanfaatan terminal agribisnis atau sub-terminal agribisnis
yang sudah banyak dikembangkan di sentra-sentra produksi tanaman hortikultura.
7. Meningkatkan peran penyuluh pertanian menjadi fasilitator pemasaran.
Penyuluh pertanian tidak boleh hanya berpengetahuan dalam bidang produksi tanaman
saja, tetapi juga harus mampu menjadi perpanjangan tangan petani untuk mendapatkan
akses sarana produksi yang murah dan berkualitas. Penyuluh pertanian bukannya malah
menjadi salesmen perusahaan-perusahan benih, pestisida, pupuk atau alat dan mesin
pertanian. Penyuluh pertanian harus mampu memberikan bimbingan secara integral
kepada petani dalam sistem agribinis, dari hulu hingga hilir, termasuk pendampingan
untuk memastikan hak-hak petani tidak terabaikan.
8. Meningkatkan kemampuan petani untuk mampu bersaing dengan produkproduk impor. Konsekwensi dari berbagai kesepakatan dagang internasional, pemerintah
Indonesia sudah tidak boleh melarang ekspor negara lain ke Indonesia. Yang dapat
dilakukan adalah meningkatkan daya saing produk domesstik terhadap produk impor,
menekan jumlah importir, menekan kuota impor berbagai produk hortikultura.
9. Mendorong tumbuhnya industri pengolahan produk-produk hortikultura,
sehingga tidak hanya meningkatkan nilai tambah produk dan mampu menampung

produksi yang ada, tetapi juga mampu menyerap lapangan kerja baru dan bahkan dapat
menggerakkan kegiatan peneleitian dan pengembangan produk di Indonesia.
10. Menghukum berat dan tegas para penyelundup dan semua pihak yang
terlibat dalam proses tersebut
11. Mendorong peningkatan konsumsi sayuran dan buah masyarakat Indonesia
per kapita per tahun, sehingga produk hortikultura yang dihasilkan petani dapat terserap
pasar yang dapat memberikan keuntungan ekonomis kepada petani. Hal ini juga dapat
meningkatnya tingkat kesehatan masyarakat dan sekaligus menekan konsumsi beras
masyarakat Indonesia yang sudah mencapai 139 kg/kapita/tahun.
12. Pemerintah harus memfasilitasi dan melindungi petani dalam kegiatan
ekspor produk sayuran dan buah. Jangan biarkan petani menjadi objek tengkulak atau
pengusaha eksportir yang tidak mau berbagi resiko dengan petani.
13. Meningkatkan pemerataan pembangunan antar wilayah. Pembangunan
Indonesia yang menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia
harus dirubah. Munculnya kawasan ekonomi baru akan meningkatkan jumlah penduduk
di kawasan ekonomi baru tersebut. Hal ini akan mempersingkat rantai pemasaran sayur
dan buah, sehingga nilai ekonomis yang dapat dinikmati petani meningkat.
14. Meningkatkan subsidi secara tidak langsung kepada petani melalui
penyediaan benih dan pupuk yang murah, memperbaiki infrastruktur dan sistem
transportasi yang mampu mempercepat sampainya sayuran dan buah dari petani ke
konsumen. Subsidi BBM yang mencapai Rp. 240 trilliun pertahun (Kompas, 21/03/2013)
harus dicabut dan dialihkan untuk program peningkatan daya saing petani Indonesia
umumnya, termasuk petani hortikultura. Subsidi pemerintah terhadap BBM ini sangat
tinggi. Sebagai gambaran, untuk membangun jalan trans Sumatera sepanjang 2.700 km
‘hanya’ membutuhkan Rp. 99,88 trilliun, untuk perbaikan dan peningkatan enam
pelabuhan utama dan pelabuhan pedukung lainnya di Indonesia ‘hanya’ membutuhkan
dana sebesar Rp. 14,87 triulliun.
15. Mari kita bersama-sama memberantas korupsi di Indonesia. Mulai dari diri
sendiri dan orang-orang yang ada di sekitar kita. Tolak semua bentuk korupsi. Lakukan
di semua lini kehidupan, baik sebagai anggota masyarakat, pengusaha, politisi, maupun
sebagai

aparatur

pemerintahan.

Korupsi

itu

tidak

hanya

dosa

yang

harus

dipertanggungjawabkan, tetapi juga dapat menyengsarakan banyak orang, dan bahkan
dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan peradaban
manausia itu sendiri.
III.

KESIMPULAN

1. Swasembada pangan sebagai target dari penerapan kebijakan pembatasan impor sulit
tercapai.

Permasalahan

yang

sering

dialami

dalam

mengembangkan

erkebunan/pertanian adalah kurang kondusifnya iklim investasi pada sektor
perkebunan/pertanian dan minimnya penelitian dan pengembangan (Research and
Development) pada bidang ini, sehingga dana yang tersalurkan untuk program ini
sangat kecil. Untuk menjaga kestabilan harga, maka diharapkan ada keseimbangan
antara pasokan dan permintaan, sehingga kepentingan petani dan konsumen dapat
dilindungi. Perlu peran Pemerintah dalam menekan inflasi baik dalam jangka pendek,
maupun jangka panjang.
2. Meningkatkan kemampuan petani hortikultura Indonesia untuk menghasilkan produk
yang berdaya saing dengan produk impor bukan hanya merupakan tanggungjawab
petani, tetapi merupakan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat Indonesia secara
umum. Petani Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi oleh pihakpihak yang tiidak bertanggungjawab. Petani Indonesia harus difasilitasi dan
ditingkatkan kemampuannya untuk dapat menghasilkan produk yang mampu
menyediakan sumber nutrisi untuk bangsanya dan produk yang mampu bersaing
dengan produk impor.

IV.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. “Dampak Pembatasan Kuota Impor Hortikultura Terhadap Inflasi Komoditas
Bumbu-bumbuan”,

http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-

regional/sulteng/Documents/d002c4beab3541ff84cf945e0cdda4e6Boks2Damp
akPembatasanImporHortikulturaTerhadapInfl.pdf , diakses 4 Mei 2014.
Fahrurrozi. 2013. Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura Indonesia. Makalah
Seminar

Nasional

Ikatan

(IMMPERTI). Bengkulu.

Mahasiswa

Muslim

Pertanian

Indonesia

Gumbira-Sa’id, E., 2010. Peningkatan nilai tambah untuk mendukung daya saing produk
hortikulturaIndonesia di pasar global. Paper Pascasarjana Manajemen dan
Bisnis SPS - IPB.
Saptana dan Prajogo U. Hadi. 2008. Perkiraan dampak kebijakan proteksi dan promosi
terhadap ekonomi hortikultura Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 26
No.1 : 21 - 46
Saptana, dkk. 2006. Analisi kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura.
Makalah seminar penelitian.
Sari, Rafika. 2013. Tingkat inflasi dan kebijakan pembatasan impor hortikultura. Jurnal
ekonomi dan kebijakan publik, Vol. V, No. 05.