Sejarah Timbulnya Aliran Muktazilah dan

Sejarah Timbulnya Aliran Muktazilah dan Garis Besar Pemikirannya
Oleh: *Abdul Katar
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran muktazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Kaum
muktazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai
pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Muktazilah I)
muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Muktazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum muktazilah salah satunya Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid
(golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok muktazilah
yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal
Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orangorang muktazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia
islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran muktazilah yang penting masih hidup sampai
sekarang dikalangan syiah zaidiah.
Memang pada awalnya Muktazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak
mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini
merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Muktazilah. Muktazilah tidak mengisolir diri

dalam menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama tetapi mengambil
sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah
tekanan Asy’ariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi. 1[1]
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu
kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu
menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat
Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang
mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang
bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu
adalah Muktazilah.
Mempelajari dan menganalisa aliran pemikiran Muktazilah dalam perkembangan
pemikiran Islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena
aliran Muktazilah merupakan aliran teologi Islam yang tertua dan terbesar yang telah memainkan
peranan penting dalam pemikiran dunia Islam.2[2] Hal menarik lainnya karena Muktazilah
merupakan representasi kesadaran dunia Islam dalam kemajuan dan kemodernaannya. Disebut
signifikan karena mempelajari tentang aliran Muktazilah merupakan bagian dari upaya strategis

dalam mengembalikan wacana kesadaran Islam sebagai counter peradaban (civilization counter)
1
2

terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran
Muktazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial,
politik, budaya dan ekonomi bagi peradaban Islam masa kini.
Banyak yang mengidentikkan Muktazilah dengan aliran sesat, cenderug merusak tatanan
agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang
menganggap Muktazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga
berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit.
Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini
memang tergolong kontroversial.
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Mutazilah
Perkataan "Muktazilah" berasal dari kata "i'itizal", artinya menyisihkan diri. Kaum
Muktazilah berarti kaum yang menyisihkan diri. Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa
sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Muktazilah, yaitu: 3[3]
1. Ada seorang guru besar di Bagdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di
antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin 'Atha' (meninggal 131 H). Pada suatu hari

Imam Hasan Bashri menerangkan bahwa orang Islam yang telah beriman pada Allah dan Rasul-Nya,
tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap Muslim tetapi Muslim yang
durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke dalam
neraka, untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah menjalankan hukuman
ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan ke dalam surga sebagai seorang Mu'min dan
Muslim.
Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia
bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi pula kafir, melainkan fasiq, berada pada posisi diantara
posisi (almanzilah baina al-manzilah). Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Bashri,
pergi ket tempat lain di Masjid.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar
bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara
dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu
tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri
lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ ‫ع ن ونا وواصصلل‬
‫“ ”اص ع‬Washil telah memisahkan diri dari kita”,
‫عتووزول و‬
maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Muktazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku

dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena
keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan
keimanannya pun menjadi tidak sempurna).”4[4]
Jadi dapat dikatakan secara bulat bahwa permulaan munculnya faham Muktazilah pada
permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru besarnya Wasil bin 'Atha' dan Umar bin 'Ubeid. Yang
berkuasa ketika itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umaiyah, yaitu dari tahun 100-125
H.
2. Ada pula orang mengatakan bahwa sebabnya maka mereka dinamai Muktazilah ialah karena
mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Muktazilah ini pada mulanya adalah orang-orang
Syi'ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin 'Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah
Mu'awiyah dari Bani Umaiyah.
3
4

3.

4.

5.
B.

1.

2.

Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku "Ahlul
Hawa wal Bida", yang dikutip oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama "As
Syafi'i". Kalau ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan gerakan Muktazilah ini adalah
sekitar tahun 40 Hijriyah, karena penyerahan pemerintahan Saidina Hasan kepada Saidina
Mu'awiyah adalah pada tahun 40 H.
Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi kalau dilihat dalam kenyataankenyataannya, bahwa orang-orang Muktazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak
sekali meneampuri soal-soal politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma'mun, Khalifah
al Mu'tashim dan Khalifah al Watsiq dan bahkan diantara mereka ada. yang duduk mendam-pingi
Kepala Negara sebagai penasehatnya.
Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Muktazilah itu adalah kaum yang
mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang
kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta.
Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian, banyak kaum Muktazilah
yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan
kedudukan mereka di samping khalifah-khalifah.

Pengarang buku "Fajarul Islam" Ahmad Amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan
kaum Muktazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majlis guru, bukan sekedar menyisihkan diri
dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu.
Mereka menyisihkan fahamnya dan i'itiqadnya dari faham dan i'itiqad ummat Islam yang banyak.
Imron Abdullah berpendapat bahwa Muktazilah lahir pada abad pertama sesudah hijrah. Pusatnya
di sekitar Basra dan Baghdad, mengalami masa kejayaan tahun 750-850 M. Karena pengaruh
Yunani aliran ini memberikan kedudukan tinggi pada akal, melibihi wahyu.
Ajaran-ajaran Dasar Muktazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Muktazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu
dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran dasar yaitu:
Al-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan
Muktazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.
At-tahuid berarti ku ke Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka Tuhan akan benarbenar Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada yang serupa dengan Dia, serupa dalam
segala hal, dalam sifat-Nya, perubatan-Nya, ciptaan-Nya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka
menolak faham antropomorphisme, yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Tuhan tiada merupakan jisim atua syakhs, Tuhan adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yang boleh
qadim, selain Tuhan. Sejalan dengan ajaran ini, Muktazilah berpendapat dengan nafy sifat atau
peniadaan sifat Tuhan, dalma arti Tuhan mengetahui bukan dengan sifat, tetapi dengan zat-Nya,

Tuhan berkuasa dengan zat-Nya, berkehendak dengan zat-Nya. Dengan kata lain Muktazilah
meniadakan sifat Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada
berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar,
maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan.
Sifat-sifat Tuhan itu merupakan esensi Tuhan
Al-‘adl (Keadilan Tuhan)
Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya
makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri
mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl. Dan dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah
yang mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan.
Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan
demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia,

3.

4.

5.

C.


mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari
kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa diterima oleh golongan Ahl al-sunnah wa
al-jama’ah.
Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala oleh-Nya
kalau ia membuat amal ibadat yang baik. Oleh karena itu kata kaum Muktazilah, sekalian perbuatan
manusia di atas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau
perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan
Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia
Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Muktazilah yakni
bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala baig orang yang berbuat baik, dan
memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai
dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebikan atau pahala,
sebaliknya orang yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa. Tiada ampunan
bagi orang berbuat dosa besar tanpa ia bertobat, tiada sebagaimana faham murjiah yang
mengatakan bahwa dapat saja orang berbuat dos abesar tanpa berbuat Tuhan akan mengampuni,
jika Tuhan menghendaki. Yang erat hubungannya dengan ajaran dasar ini ialah ajarannya tentang
al-shalah wa al-ashlah, yaitu berbuat baik dan terbaik bagi manusia, kemudian al-luthf, pengiriman
rasul kepada umat manusia dan al-qur’an bersifat qadim.

Al-manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Al-manzilah bain al-manzilatain berarti "posisi di antara dua posisi." Yang dimaksud di sini
ialah di antara mukmin dan kafir, bukan di antara dua tempat, surga dan neraka. Menurut ajaran ini,
orang yang melakukan dosa besar tidak kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad, tetapi tidak pula mukmin karena imannya tidak sempura. 5[5]
Menurut pandangan Muktazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai
matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara
keduanya. Mereka itu dinamakan orangg fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat diantara
keduanya.6[6]
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Muktazilah, karena merupakan awal persoalan yagn
timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Muktazilah. Yaitu persoalan orang yang
berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir
dan ditempatkan pada suatu posisi diantara dua posisi.
Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat
jahat)
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Muktazilah saja, tetapi juga
dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut
menurut Muktazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau
kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
Aliran-Aliran Dalam Kaum Muktazilah

Kaum Muktazilah akhirnya terpecah atas banyak aliran, karena setiapnya mempergunakan
akalnya masing-masing, sedang akal mereka itu tidak sama, akibat pendidikan mereka yang berlainlain dan akibat zaman dan tempat mereka yang berbeda-beda.
Tetapi dalam satu hal mereka semuanya hampir sepakat, bahwa perbuatan manusia,
geraknya, diamnya, perkataarinya, perbuatannya semuanya tidak dijadikan oleh Allah. Sebagian
mereka memfatwakan bahwa pekerjaan manusia diciptakan oleh manusia sendiri. Sebagian
mengatakan tidak ada yang menjadikan, melainkan terjadi sendiri dan sebagian mereka
5
6

D.
1.

2.

3.

4.

5.


mengatakan bahwa semuanya terjadi saja sesuai dengan undang-undang alam. (Lihat Daeratul
Ma'arif fil Qarnil Isyrin Juz VI hal. 423).
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Muktazilah adalah:
1. Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin 'Atha'.
2. Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al 'Allaf.
3. Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4. Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith,
5. Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu'atmar.
6. Aliran Ma'mariyah, yaitu aliran Ma'mar bin Ubeid as Salami.
7. Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
8. Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin Ar-rasy.
9. Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10. Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11. Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al Khayath.
12. Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
Tokoh-tokoh Muktazilah dan Pemikirannya
Aliran Muktazilah sudah melahirkan para pemuka dan tokoh-tokoh yang penting,
Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M),
Wasil bin Atha’ Al-Ghazal dikenal sebagai seorang pendiri aliran Muktazilah, sekaligus
sebagai pemimpinya yang paling pertama. Serta dia juga terkenal sebagai orang yang telah
menyimpan prinsip pemikiran kaum Muktazilah yang rasional.
Orang yang pertama yang meletakan kerangka dasar ajaran kelompok Muktazilah. Ajaran
pokok yang didengungkannya ada tiga macam yaitu, faham al-Manzilah bain al-Manzilatain, faham
aliran Qodariah yang diambil dari tokohnya Ma’bad dan Gailan, serta faham yang ,meniadakan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu lalu menjadi ajaran Muktazilah, yaitu “al-Manzilah
bain al-Manzilatain” dan peniadaan sifat-sifat Tuhan
PemikirannyaAbu Huzail al-Allaf (135-235 H),
Nama lengkapnya ialah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-Allaf Ia adalah sebagai
pemimpin kaum Muktazilah yang kedua di kota Basrah. Ia banyak sekali menekuni filsafat bangsa
Yunani. Pengetahuanya mengenai filsafat memudahkan utuknya dalam menyusun dasar-dasar
ajaran Muktazilah dengan teratur. Pengetahuanya berkaitan dgn logika, membuat Ia menjelma
menjadi ahli dalam debat. Lawan-lawannya dari kaum zindik dari kelompok majusi, serta
Zoroaster, dan atheis tidak mampu membantah argumen yang ia berikan. Menurut suatu riwayat,
3000 orang telah masukIslam pada tanganya. Puncak kebesaranya itu di raih pada waktu khalifah
Al-Makmun, karena khalifah ini pernah menjadi salah seorang muridnya.
PemikirannyaBisyir Al-Mu’tamir (wafat 226 H)
Ia merupakan pemimpin Muktazilah di kota Baghdad. Pandanganya yang sangat luas
berkenaandengan kasusastraan melahirkan prasangka bahwa ia merupakan orang yang pertama
kali menyusun Ilmu Balaghah. Ia jug seorang tokoh aliran kelompok ini yang membahas konsep
tawallud (reproduction) yaitu batas2 pertanggung jawaban manusia atas kelakuaanya Ia memiliki
murid-murid yang sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran paham aliran Muktazilah,
khususnya di Baghdad.
An-Nazzam (183-231 H),
Ia merupakan murid dari Abul Huzail Al-Allaf. Ia juga banyak bergaul dengan ahli fillsapat.
Pendapatnya itu banyak yang tidak samaa dengan aliran Muktazilah lainya. Dia mempunyai
ketajaman dalam berfikir yang sungguh luar biasa, antara lain tentang metode keraguan serta
metode empirika yang merupakan cikal bakal lahirnya renainssance (pembaharuan) Eropa.
Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869),
Dia merupakan pencetus aliran naturalisme atau kepercayaan pada hukum alam yang
oleh paham Muktazilah dinamakan sunnah Allah. dia diantaranya menerangkan bahwa perbuatan-

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

perbuatan manusia yu tidaklah bisa semuanya diwujudkan manusia itu sendiri, melainkan adanya
pengaruh hukum alam.
Al-Jubba’i (w. 302 H),
Nama asli Al-Jubba’I di ambil dari nama kota kelahiranya, yaitu dari daerah yang bernama
Jubba, di provinsi CHuzestan-Iran. Dia merupakan guru imam Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri
kelompok Asy’ariyah. Pada saat Al-Asy’ari keluar dari barisan Muktazilah serta menyerang
pendapatnya, Ia membalas serangan dari Asy’ari tersebut. Pikirannya tentang tafsiran Al-Qur’an
banyak di ambil oleh Az-Zamakhsyari. Dia dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’I
memperlihatkan akhir kejayaan mmenurut aliran Muktazilah
Pendapatnya yang mashur yaitu mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban
seorang manusia,serta daya ingat. Mengenai kalam Allah SWT, ia sependapat sama dengan anNazzam. Mengenai Sifat Allah SWT, ia menjrlaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, kalau
disebutkan Tuhan berkuasa, atau berkehendak, dan mengetahui berarti Dia berkuasa, juga
berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya itu. Tentang kewajiban
umat manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang pahami oleh
manusia dengan akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan kewajiban-kewajiban manusia melalui ajaranajaran yang dibawa para rasul serta para nabi (wajibah syar’iah). Sementara itu, daya akal menurut
pendapat al-Jubba’i sangatlah besar. melalui akalnya, manusia bisa mengetahui adanya Tuhan serta
kewajiban untuk bersyukur kepada-Nya. Akal manusia seterusnyan dapat mengenal apa-apa yang
baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat baik serta meninggalkan yang buruk.
Pendapat ini menjadi bagian dari ajaran Muktazilah yang penting.
Mu’ammar bin Abbad,
Dia merupakan pendiri Muktazilah aliran kota Baghdad. Pendapatnya yang penting yaitu
mengenai kepercayaan pada hukum alam, sama seperti pendapat al-Jahiz. Ia menyatakan bahwa
Tuhan hanya menjadikan benda-benda materi saja , sementara al-‘arad atau accidents (sesuatu yang
datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam itu. Contohnya,seperti jika sebuah
batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang dihasilkannya oleh lemparan batu itu merupakan
hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan dari Tuhan.
Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H),
Ajarannya yang terpenting berkaitan dengan pertanggungjawaban perbuatan manusia.
Baginya, anak seorang kecil tidak diminta pertanggungjawaban atas kelakuaanya diakhirat kelak
karena ia belum termasuk mukalaf. Seorang yang berdosa besar lalu bertobat, kemudian
mengulangi lagi melakukan dosa besar, akan menerima siksa ganda, meskipun ia sudah bertobat
atas dosa besarnya yang telah lalu.
Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H),
Dia dianggap sebagai pemimpin Muktazilah yang sangat ekstrim karena pendapatnya
yanggampang mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, menuduh kafir semua orang yang
meyakini keqadiman al-Quran. Ia juga membantah pendapat bahwa Allah SWT bisa dilihat dengan
mata kepala akhirat.
Hisyam bin Amr al-Fuwati,
Dia berpendapat bahwa apa yang disebut surga dan neraka hanyalah ilusi semata, belum
ada wujudnya pada saat ini. Alasannya yang dikemukakan adalah tidak ada manfaat menciptakan
surga serta neraka sekarang karena belum saatnya orang memasuki surga dan neraka.
Sumamah bin Asyras (w. 213 H),
Dia berpendapat bahwa manusia sendirilah yang melahirkan perbuatan-perbuatannya
karena dalam dirinya sudah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan
bahwa akal manusia sebelum datangnya wahyu bisa tahu adanya Tuhan serta mengenal
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk, wahyu hanya turun untuk memberikan konfirmasi.
Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),

Dia mengatakan penafsiran yang berbeda dengan para pemuka Muktazilah lainnya
mengenai peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa seandainya Tuhan disebut
berkehendak, maka keinginan Tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan tidak
pula diwujudkan melalui zat-Nya. Jadi, kehendak Tuhan itu bukanlah zat-Nya, melainkan
diinterpretasikan oleh Tuhan mengetahui serta berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya selaras
dengan Pengetahuan-Nya.
13. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H)
Dia angkat sebagi hakim oleh Ibnu Abad. Diantara bagian karyanya yang besar ialah
tentang ulasan pokok-pokok ajaran Muktazilah. Karangan itu demikian luas dan amat sangat
mendalam yang ia sebut Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab yang terdiri lebih dari (15)
lima belas jilid. Dia tergolong tokoh yang hidup pada jaman kemunduran aliran Muktazilah namun
Ia bisa berprestasi baik dalam bidang keilmuan maupun pada jabatan kenegaraan.
14. Az-Zamakhsyari (467-538 H).
Dia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, negara Iran. Sebutan Jarullah artinya ialah
tetangga Allah, karena memang beliau lama hidup di kota mekah, dekat ka’bah. Ia terkenal sebagai
tokoh dalam Ilmu Tafsir, serta nahwu, dan paramasastra. Dalam karanganya Ia secara terangterangan memperlihatkan faham Muktazilah. Seperti Misalnya dalam kitab tafsir Al-Kassyaf, ia
berusaha menafsirkan ayat2 Al-Qur,an berdasarkan ajaran-ajaran Muktazilah, terutama lima
prinsip ajaranya yang akan di bahas pada Sub-Bab berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf dijelaskan
dalam ilmuBalaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang memakainya hingga saat ini.
E. Gerakan Kaum Muktazilah
Gerakan kaum Muktazilah pada permulaannya mempunyai dua cabang:
1. Cabang Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Wasil bin 'Atha' (meninggal 131 H.) dan Umar bin Ubeid
(meninggal 144 H) dengan murid-imiridnya, yaitu Usman at Thawil, Hafasah bin Salim, Hasan bin
Zakwan, Khalid bin Safwan dan Ibrahim bin Yahya al Madani.
Ini pada permulaan abad ke II Hijriyah. Kemudian pada permulaan abad ke III Cabang Basrah ini di pimpin oleh Abu Huzeil al Allaf (meninggal 235 H.), Ibrahim bin Sayyar an Nazham (meninggal 221
H.), Abu Basyar al Marisi (meninggal 218 H), Utsman Al Jahizh (meninggal 255 H.), Ibnu al Mu'tamar
(meninggal 210 H.) dan Abu 'Ali Al Jubai (meninggal 303 H.).
2. Cabang Bagdad (Iraq). Cabang ini didirikan oleh Basyar bin al Mu'tamar, salah seorang pemimpin
Basrah yang pindah ke Bagdad kemudian disokong oleh pembantu-pembantunya, yaitu Abu Musa al
Murdar, Ahmad bin Abi Daud (meninggal 240 H.), Ja'far bin Mubassyar (meninggal 234 H.), dan
Ja'far bin Harb al Hamdani (meninggal 236 H.).
Imam-imam Muktazilah di sekitar abad ke II dan ke III H. di Basrah dan di Bagdad. Adapun
Khalifah-Khalifah Islam yang terang-terangan menganut atau sekurangnya menyokong faham
Muktazilah adalah :
1. Yazid bin Walid, Khalifah Bani Umayyah (berkuasa pada tahun 125 dan 126 H.)
2. Ma'mun bin Harun Rasyid, Khalifah Bani Abbas (berkuasa dari tahun 198 sampai 218 H.)
3. Al Mu'tashim bin Harun ar Rasyid (berkuasa dari tahun 218 H. sampai 227 H.)
4. Al Watsiq bin al Mu'tashim (berkuasa dari tahun 227 H. sampai 232 H.).
Empat orang Khalifah Islam yang menganut terang-terangan atau sekurangnya menyokong
faham Muktazilah. juga dicatat gembong-gembong dan pengarang-pengarang Muktazilah yang
datang kemudian, yaitu:
1. Utsman al Jahizh, pengarang kitab "Al Hewan" (Wafat: 255 H).
2. Syarif Radii, pengarang kitab "Majazul Quran" dan "Haqaiqut Tanzil" (wafat: 406H.).
3.
Abdul Jabbar bin Ahmad yang dimasyhurkan dengan gelar julukan Qadli-Qudlat (Qadli dari
sekalian Qadli), pengarang kitab "Syarah Ushulil Khamsah" (wafat: 415).
4.
Zamakhsyari, pengarang kitab Tafsir "Al Kasyaf", yaitu kitab Tafsir yang dikatakan oleh Imam
Jamaluddin Al Qasimi penuh dengan faham-faham Muktazilah (wafat: 528).

5.
F.

1.
2.

a.
b.
c.
d.

G.

Ibnu Abil Hadad, pengarang kitab "Syarah Nahjul Balagah", seorang pengarang dan pemimpin
Syi'ah-Muktazilah (wafat: 655 H). Kitab-kitab yang tersebut ada pada Kutubkhanah.
Kedudukan Akal Bagi Muktazilah
Sepanjang sejarah tersebut bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Muktazilah ialah
cara mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal,
bukan mengutamakan Quran dan Hadits. Kalau ditimbang akal dengan hadits Nabi, maka akal lebih
berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan haditshadits Nabi.
Barang sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai
dengan akalnya dibuangnya, walaupun ada hadits atau ayat Quran yang berkaitan dengan masalah
itu tetapi berlawan dengan akalnya. Akal bagi kaum Muktazilah di atas dari Quran dan hadits
sebaliknya bagi kaum Ahlussunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa Quran dan hadits lebih tinggi
dari akal.
Tentang mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kaum Muktazilah tidak menerima adanya mi'raj walaupun
ada ayat Quran atau hadits Nabi yang sahih menyatakan hal itu, karena hal itu katanya bertentangan
dengan akal.
Kaum Muktazilah menolak adanya bangkit dikubur dan siksa kubiur. Hal itu katanya bertentangan
dengan akal, karena mus-tahil orang yang sudah mati dan terbaring dalam tanah yang sesempit itu
dibangunkan dan disuruh duduk, walaupun ada hadits sahih yang menyatakan hal ini.7[7]
Sou’yb, Joesoef berpendapat bahwa aliran Muktazilah itu bertitik-tolak pada kemestian
memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Muktazilah memahamkannya itu
merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Muktazilah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Masalah mengetahui Tuhan;
Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
Masalah mengetahui baik dan jahat;
Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat
Aliran Muktazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai
melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar
akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh
para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat
menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan
yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban
manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada
Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah
peranan wahyu sangat diperlukan.
Perkembangan Al-Muktazilah Selanjutnya
Almihnah merupakan lembaran hitam yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah
pemikiran Islam. Hal itu terjadi pada masa pemerintahan al-Mu'minun dari Bani Abbas dan
dilakukan untuk membersihkan keyakinan masyarakat dari paham syirik serta mengembalikannya
kepada paham tauhid vine murni sesuai dengan tuntunan Alquran.
Keyakinan umat Islam pada waktu itu tidak murni lagi dalam pandangan al-Muktazilah
karena telah bercampur dengan paham syirik. Keyakinan dimaksud terdapat dalam paham ulamaulama tradisional terutama dari ahli fiqh dan dalil hadist, yang dianggap berpikiran sempit karena
pembuktian mereka tidak kepada pembuktian yang mencerminkan tauhid yang murni. Mereka
lainya mengulangi ajaran lama tanpa minat untuk menganalisis data-data yang terdapat dalam
Alquran.
7

Di antara paham yang berkembang tersebut adalah keyakinan bahwa Al-Quran adalah
kalam Allah dan ia qadim, sedangkan al-Muktazilah mempunyai paham bahwa Alquran itu ciptaan
Allah yang terdiri dari huruf, suara, dan kalimat. Oleh sebab itu, Alquran pasti baru. Qadim Alquran
dalam pandangan Muktazilah membawa kepada paham syirik. Syirik adalah satu dosa besar yang
tidak diampuni.
H. Kemunduran Golongan Muktazilah
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Muktazilah mencapai kepesatan dan
kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan
mereka sendiri. Mereka hendak membela, memperjuangkan kebebasan berpikir akan tetapi mereka
sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan
mereka ialah ketika Al-Makmun menjadi khalifah di mana mereka dapat memaksakan pendapat dan
keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Makmun,
yang mengakibatkan timbulnya "Peristiwa Quran" yang memecah kaum Muslimin menjadi dua blok,
yaitu blok yang menuju kekuatan akal pikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan
blok lain yang berpegang teguh kepada bunyi nas-nas Quran dan Hadis semata-mata dan
menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.8[8]
Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi, dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan
golongan Muktazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian
Quran. Sejak saat tersebut golongan Muktazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya
menjadi pihak yang menekan. Kitab-kitab mereka dibakar dan ke-kuatannya dicerai-beraikan
sehingga kemudian tidak lagi ada aliran Muktazilah sebagai suatu golongan, terutama sesudah AlAsy'ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemi-kiran.
Akan tetapi mundurnya golongan Muktazilah sebagai golongan yang teratur tidak
menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia yang menyiarkan ajaranajarannya. Pada akhir abad ketiga Hijrah muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli
untuk mengetahui pikiran-pikiran Muktazilah. Pada permulaan abad keempat, muncullah Abu
Bakar al-Ikhsyidi (wafat 320 H atau 932 M), dengan alirannya yang sangat berpengaruh selama
abad keempat. Ulama Muktazilah angkatan baru yang terkenal ialah Az-Zamakhsyari (467-538 H/
1075-1144 M) yang menafsirkan Quran atas dasar ajaran-ajaran Muktazilah, dengan nama
AlKasysyaf. Tafsir ini sangat berpengaruh, dan lama sekali menjadi pegangan oleh Ahli Sunah,
sampai lahirnya Tafsir Baidawi. Kegiatan kaum Muktazilah baru hilang sama sekali setelah adanya
serangan-serangan orang Mongolia. Meskipun demikian, pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang
penting masih hidup sampai sekarang pada golongan Syi'ah Zaidiyah.9[9]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkataan "Muktazilah" berasal dari kata "i'itizal", artinya menyisihkan diri. Kaum
Muktazilah berarti kaum yang menyisihkan diri. Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa
sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Muktazilah
1. Muktazilah adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin
‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar
pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
2. Muktazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai
diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir
dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat

8
9

3.
4.
B.

1.

2.

maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan
dengan al-manzilah baina al-manzilatain.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat.
Secara harfiah Muktazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil
bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
Rekomendasi
Dari kajian tentang aliran muktazilah serta garis besar pemikirannya dapat dipahami
bahwa agama islam merupakan agama yang kaya dengan corak pemikiran. Jika dilihat dengan kaca
mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam
adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis,
bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga
yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang
bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu
adalah Muktazilah.
Dari uraian mengenai aliran muktazilah serta garis besar pemikirannya, dapat penulis
merekomendasikan bahwa:
Pemahaman terhadap aliran muktazilah jangan dipandang dari sisi negatifnya atau mengklaim
sebagai aliran sesat, akan tetapi dengan pemahaman muktazilah tersebut para ilmuan-ilmuan
muslim dapat mengkaji lebih mendalam lagi sisi positif yang diambil dari ajaran muktazilah
tersebut.
Semua permasalah dapat dicapai atau dikaji melalui akal manusia, tuhan mengilhami manusia
dengan akal, maka tuhan telah memberikan kewenangan kepada manusia menurut akal dan
pikiranya, sehingga dapat menentukan perbuatan yang baik dan buruk.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Anwar, Rosihan. 2009. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Hanafi, 2001, Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang
Asghar Ali Engineer, 2006, Islam dan Teologi Pembahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
H. Abdul Halim, 2005, Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, Jakarta:
Ciputat Press
Harun Nasution, 2003, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang
KH. Siradjudin ‘Abbas, 1985, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, 2014, Sejarah Pemikiran Islam; Teologi-Ilmu Kalam, Jakarta: Sinar
Grafika Offset
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, penterjemah : Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi
Aksara
Sharif (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam. Bandung : Nuansa Cendekia

Fotenote
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, penterjemah:
Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. hlm. 46-47
10

[1]

10

Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan
Bintang. 2001. hal. 64
12
[3] KH. Siradjudin ‘Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1985. Hal. 174
13
[4] Al Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, Beirut : Dar al Fikr, hlm. 4748
11

[2]

14

[5] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-lslamiyah, hal. 142
[6] Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa. Ilmu Kalam, Bandung:

Pustaka
Setia 2009, hal.78
16
[7] KH. Siradjudin ‘Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1985. Hal. 177
17
[8] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan
Bintang. 2001. hal. 62
18
[9] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam). hal. 63
15

11
12
13
14
15
16
17
18